Berbagai rutuk dan umpatan terlontar untuk Maddox dalam hatinya. Namun, ketika menyadari bahwa ini adalah kesalahannya, Foxy berakhir dengan penyesalan. Seharusnya dia tidak pernah meninggalkan Maddox untuk bersenang-senang sendiri. Mustahil dia semudah itu memberikan tubuhnya pada pria asing. Semakin sadar ada yang tidak beres, Foxy mencoba mengingat kondisinya setelah minum gelas traktiran pria yang ia tiduri tersebut. Dirinya tidak akan pernah meniduri pria sembarangan tanpa pertimbangan. Foxy juga belum pernah melakukan hubungan seks dengan seseorang yang tidak ia kenal sebelumnya. ‘Pasti pria itu menaruh sesuatu dalam gelasku!’ pekik Foxy makin merasakan dendam membara. Seandainya ia berhasil keluar dengan selamat, Foxy bersumpah akan mencari pria itu dan melakukan perhitungan. Kembali terdengar suara langkah kaki mendekat dan kali ini bukan satu, melainkan beberapa pasang kaki. Foxy menajamkan pendengarannya dan ia mulai sadar jika bagasi itu sedang mencoba dibuka oleh ses
Entah kenapa, segala rasa kesal dan jengkel seketika menguap saat melihat Foxy dalam keadaan tidak berdaya. Perempuan yang membelakanginya sedang menghantamkan palu bertubi-tubi pada kedua tangan Foxy, yang menyebabkan wanita pengacara itu menjerit histeris. Maddox tidak lagi berpikir, langsung menembakkan senjata dan tepat menembus tengkorak Ruby! Dor! Foxy menjerit ketakutan begitu cipratan darah seperti meledak dari kening wanita penyiksanya. Tubuh Ruby ambruk menindihnya dan Foxy semakin menggigil ketakutan. “Diam, Foxy!” bentak Maddox. Wajah Foxy tampak kacau dan kedua tangannya terlihat hancur. Maddox tidak bisa membayangkan kerusakan yang Ruby sebabkan pada kedua tangan kliennya. Dengan hati-hati, Maddox melepaskan tali pada pergelangan tangan juga kaki, lalu menopang tubuh wanita itu. “Kau tidak apa-apa?” tanya detektif itu kemudian. Foxy mengangguk sementara air matanya kembali berlinang. Dia tidak menyangka akan selamat dan Maddoxlah yang menyelamatkan dirinya. “Aku
Pagi itu Jean melihat wajah Maddox yang terlihat kusut dan muram. Saat ini Foxy masih mendapat perawatan, sementara Maddox memilih untuk diam di kantornya. Seharusnya Maddox menunggu Foxy untuk mendapatkan cerita yang benar dari mulut pengacara tersebut. “Apa yang telah kalian lalui, Mad? Bajingan yang menculik Foxy sudah tertangkap, tapi seperti ada sesuatu yang terjadi di luar peristiwa penculikan.” Insting Jean begitu tajam dan pengamatannya sangat jeli. Maddox menghabiskan kopi dan meraba-raba saku jaketnya. Mulut si detektif mulai mengeluarkan makian karena tidak menemukan bungkus rokok tersebut. Jean menarik laci dan melemparkan sebungkus rokok baru padanya disertai tatapan kesal. Dengan sigap Maddox menangkap. “Joe Black mendatangi kami.” Kalimat itu membuat Jean tersentak, ia mengurungkan ketikannya. “Maksudmu, pembunuh bayaran yang diutus Russel?” Detektif itu mengangguk sementara mulutnya mengisap batang nikotin dalam-dalam. “Ada sesuatu yang disembunyikan Foxy dan
Permintaan Tim untuk mengawasi Foxy sempat membuat Maddox merasa enggan. Banyak ganjalan yang mengisi hatinya. Akan tetapi, baru kali ini pria itu tidak mampu menguak semua sekaligus. Bahkan menghadapi Foxy untuk mencari penjelasan saja, membuat Maddox begitu muak. Entah kenapa, tapi jika ia mau jujur, rasa muak yang ia rasakan saat ini lebih condong pada kecewa. Sedari awal Maddox yakin, jika Foxy tidak menyimpan apa pun dari dia. Tidak biasanya ia begitu naif dan ceroboh, hingga melupakan detail kecil yang mungkin terlewatkan darinya. Kenapa dirinya begitu mudah percaya dan tidak mencari tahu lebih dulu? Dari kaca yang memiliki tirai lipat sedikit terbuka, Maddox melihat Foxy terbaring dengan kedua tangan dan kaki kiri terbalut gips. Dari keterangan polisi yang berjaga, Maddox mendapatkan informasi jika wanita itu menjalani operasi yang tidak sebentar. Kedua tangannya harus dibenahi total dikarenakan ada sebagian tulang yang retak parah. Jari-jari Foxy harus kembali disusun se
Maddox membeku di kursinya. Kisah itu tidak pernah ada dalam bayangannya selama ini. Berharap semua dugaan adalah hasil dari imajinasinya semata, ternyata apa yang Maddox perkirakan benar-benar terjadi. “Perempuan yang menculikku adalah kekasih Joe yang dendam, karena aku selalu membuat kekasihnya berkhianat. Aku tidak pernah tahu jika Joe memiliki wanita yang begitu mencintainya.” Foxy menatap Maddox. “Rasanya memalukan untuk mengakui, bahwa aku pernah menjalani hubungan dengan seseorang yang akhirnya menjadi pembunuh Josh. Aku hanya ingin menjauhi masalah, Mad. Berbohong adalah kesempatanku untuk tetap memiliki nama bersih.” Perasaan detektif itu benar-benar kebas dan hatinya bingung, harus memilih reaksi yang mana? “Jadi Joe adalah bekas kekasihmu?” tanyanya. “Aku … ya, dia adalah orang yang pernah dekat denganku.” Foxy tidak bisa mengelak. Maddox mengusap wajah, menggelengkan kepala seperti ingin menyingkirkan segala hal yang membuatnya berspekulasi liar. “Alasan dia mengej
Pria yang seharusnya sudah menikmati masa tua dengan tenang itu tampak bersantai di teras rumah mewahnya, di sebuah kota yang tersembunyi. Tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaan dia, sebab Russel memiliki begitu banyak musuh yang mengincar dirinya. Sebagai pria yang tidak pernah memiliki keluarga apalagi menikah, Russel hanya mempunyai Joe sebagai satu-satunya anak asuh. Joe telah mendapat didikan yang begitu keras dan mungkin menjadi manusia yang paling mengerti juga paham akan dirinya. Semenjak ia mengangkat Joe menjadi orang kepercayaan, Russel selalu melihat jika pria itu bisa menjadi sosok anak yang dirinya inginkan. Joe memiliki sifat pemberani dan tidak pernah peduli akan bahaya. Caranya mencapai tujuan juga begitu unik sekaligus menakutkan. Joe Black tidak akan pernah mewakilkan siapa pun juga untuk menuntaskan keinginannya. Russel menyukai prinsip dan kepribadian Joe. Akan tetapi, sejak puluhan tahun berlalu, Russel mulai ingin mewariskan semua yang telah ia bangu
Seorang wanita panggilan yang sepertinya berkelas memasuki sebuah kamar hotel bintang lima. Dengan dandanan yang seronok dan tubuh hasil dari goresan pisau operasi, wanita itu tersenyum samar pada Joe. “Kau terlambat,” ucap Joe, sembari memandang dengan wajah angkuh serta dingin. “Jangan terlalu cepat emosi. Kau tahu aku harus menyelesaikan beberapa hal. Kau bukan dan tidak akan pernah jadi prioritasku, Joe.” Wanita itu segera melepas bajunya satu persatu hingga tinggal baju dalam. Dengan sepatu hak tinggi berujung runcing, ia berjalan menuju ke meja bar dan menuangkan minumannya sendiri. “Tidak kusangka kau masih saja mau melayani mereka.” Joe melepas jaket dan melemparkan bantal begitu saja di lantai. Shelby, nama perempuan itu, menoleh dan melirik Joe dengan senyum sinis. “Aku selalu butuh materi untuk membiayai hidupku. Lagi pula, jika aku berhenti, kalian akan kesepian.” Bentuk tubuh yang indah itu begitu menawan dan mengundang hasrat Joe yang memang sengaja mengundangnya u
Joe Black Mobil pickup itu berhenti dan menyebabkan debu beterbangan. Dengan langkah pelan dan siaga, Joe keluar serta memandang dengan mata terpicing ke arah pondok yang temboknya terbuat dari batu tersebut. Suasana sekeliling tampak sepi dan rumah itu hanya satu-satunya yang berdiri di sana. Ada beberapa pohon besar yang menaungi dan sedikit memberi keteduhan di tengah teriaknya matahari. Pintu kayu itu tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda keberadaan penghuni. Joe mengintip ke dalam kaca jendela kotak. Gelap. Tangannya mengetuk hingga berulang kali dan tidak ada jawaban. Joe dengan kesal mengumpat dan kesabarannya habis. Ia berjalan memutar dan tidak menemukan satu pun pertanda keberadaan Maowi. Hatinya semakin jengkel dan kesal. Akhirnya, dia menendang pintu dapur dan masuk ke dalam. Tungku yang masih menggunakan kayu bakar itu terlihat baru saja dipadamkan. Asapnya mengepul dalam kabut putih tipis. Joe mencabut pistolnya sembari terus melangkah ke satu persatu ruang