Share

Sikap dingin suamiku

*

Mobil meluncur kembali dengan kecepatan sedang menuju kota. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya menikmati pemandangan yang membentang hijau di tepian jalan.

"Mas Jadi makan siang di Mang Ali Resto, anak kita pasti senang setelah sekian lama di asrama?" Tanyaku ingin memastikan rencana semula kami.

"Maaf gak jadi, tiba-tiba klienku menelepon dan minta bertemu untuk membahas proyek."

"Tapi ...." Kugantung ucapanku sambil menatapnya dan Reza yang dudu di depan di samping Handy bergantian.

Mas Andri mendesah pelan lalu melirik arloji di pergelangan kirinya.

"Maaf, hari ini aku gak cukup waktu, proyek dan kesempatan bisa hilang jika aku tidak segera menemui kolegaku."

"Baiklah Mas, terserah Mas saja," jawabku dengan rasa kecewa tak terkira.

*

Sesampainya di rumah.

"Reza, gak apa kan, kita ga jadi makan siang bareng," tanyaku lembut ingin mengambil hatinya.

"Hmm, gak usah lah, Ma. Gak apa-apa."

"Kamu kecewa karena papa ga ikut?"

"Gak juga Ma, Papa kan ada kerja," jawabnya dengan nada datar namun dari helaan napasnya kutangkap sesuatu yang membuatnya bersedih.

"Gini sayang," aku menghampirinya, "kita makan malam bareng aja, ya. Papa pasti pulang," kataku membujuknya.

"Kok pasti pulang, memangnya selama ini gak pulang," balasnya balik bertanya.

Deg

Tenggorokan tiba-tiba terasa kering dan lidahku kelu, aku tak tahu harus bicara apa.

"Engg, enggak gitu, selama ini Papa sibuk, jadi lebih banyak menghabiskan waktu di kantor."

"Mama kesepian?" Lanjutnya sambil menatapku.

"Gak, sayang, Mama baik-baik saja," balasku sambil tersenyum.

"Sebaiknya Reza ganti baju, Mama akan siapkan makan siang nanti kita makan siang bareng," kataku sambil menepuk bahunya.

"Iya, Ma." Ia bangkit mengambil tas punggungnya lalu menaiki anak tangga.

Kuperhatikan punggung anakku yang pelan menapaki anak tangga, betapa ia telah tumbuh menjadi anak yang bijak, cerdas dan begitu dewasa. Ia sama sekali tak menunjukkan ekspresi kecewa meski papa nya telah menolak makan siang bersama.

*

"Ini enak lho, Za, ayam goreng crispy pedas buatan Mama," kataku sambil meletakkan sepotong paha ayam di piringnya.

"Makasih Ma," katanya.

"Uhm ... Pasti mama jarang masak kan, selama Reza gak di rumah," tebaknya.

"Ya ... Jarang sih, apalagi mama kan, ngurus yayasan bareng sama teman-teman Mama dan ada Papa juga.

"Wah, hebat dong sekarang. Mama posisinya sebagai apa?"

"Wakil Ketua, Tante Andhara adalah pemimpinnya," jawabku.

"Oh, Tante Andhara," katanya sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Baru saja hendak kutamabahkan nasi ke piring ketika bel rumah kami berdenting.

Ting .. tong ...

Aku dan Reza saling pandang, entah siapa yang datang siang-siang begini.

"Halo, selamat siang," sapa seorang wanita cantik dengan sebuket bunga dan sebuah kado. Ternyata dia orang yang baru kubicarakan dengan Reza barusan.

"Hai, ya ampun, panjang umur Andhara baru aja aku dan Reza ngomongin kamu lho," kataku.

"Oh ya, he he," balasnya sambil menjabatku.

"Oh ya, apa ini?" Tanyaku melihatnya membawa kado.

"Hadiah kenaikan kelas untuk Reza."

"Ya ampun repot-repot banget," kataku sambil menerimanya.

"Yuk masuk," lanjutku, kupersilakan dia masuk ke dalam rumah.

"Hai Reza ...." Ia menyapa anakku dan anakku segera bangkit untuk menyambut tamu kami.

"Gimana kabarnya, Tante dengar kamu juara umum lagi ya, di sekolah," katanya ramah.

"Iya, tante, terima kasih, atas perhatian Tante."

"Ah, manis sekali kamu," katanya sambil menepuk punggung anakku.

"Apa ini Tante?" Tanya Reza sambil memperhatikan kado dalam ukuran besar tersebut.

"Game consolle seri terbaru, kamu pasti suka," katanya.

"Wah, ini kan mahal Tante," kata anakku takjub melihat hadiah untuknya.

"Gak apa, Tante kan mesti ngambil hati kamu," balasnya sambil tertawa.

"Bisa aja, Tante, buat apa ngambil hati aku, aku kan gak ikut berbisnis," ucap Reza santai.

"Hah haha, bisa saja, kamu, ngambil hati bisa buat banyak hal kan? Kali aja nanti, posisi kamu menggantikan Papamu, jadi bisnis Tante juga bisa mulus atas bantuanmu.

Kami seketika tertawa lepas dan selanjutnya tenggelam dalam cerita dan obrolan hingga hari menjelang sore.

*

Malam hari, kami berencana untuk keluar dan makan malam bersama, ini adalah rencana mas Andri untuk menebus kesalahannya siang tadi yang tidak jadi makan siang bersama kami.

Kusiapkan diri sebaik mungkin, mengenakan dress Lace warna hitam selutut, perhiasan berlian serta sepatu heels andalanku yang dihiasi kristal. Sedangkan mas Andri sibuk memasang dasi di depan kaca lemari yang bersebrangan dengan kaca riasku.

"Kita makan malam di mana Mas," tanyaku sambil memakai lipstik di bibir.

"Olivia green Resto," jawabnya singkat.

"Oh, ya Mas, tolong naikkan resleting gaunku ya," kataku sambil mendekat padanya dan memperlihatkan punggung bajuku yang belum tertutup.

"Ok." dinaikkannya resleting itu lalu sejurus kemudian ia menjauh dariku.

Kubayangkan tadi setelah ia menutup gaunku, ia akan memelukku dari belakang dan memberiku kecupan di bahu, tapi semua itu hanya angan-angan yang sia-sia saja. 

Nyatanya, suamiku acuh tak acuh saja meski aku sudah berusaha sekeras mungkin untuk terlihat cantik dan menawan.

Kuhela napasku kasar sambil menggigit ujung bibir, kuperhatikan pantulan diriku di kaca lemari,

"Apa yang kurang dariku?" Gumamku bersenandika.

"Sabrina, kamu sudah siap?" Kata suamiku sambil meraih dompet dan kunci mobilnya membuyarkan lamunanku.

"Iya, Mas."

"Ayo, kita pergi," ajaknya.

Baru saja hendak keluar dari pintu utama dan menuju mobil ketika tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, kulihat suamiku berjalan cepat tanpa menolehku dan Reza sudah lebih dulu memasuki mobil sedang aku masih tertahan di teras oleh hujan.

Tiba-tiba bayangan Handy seolah olah hadir di hadapanku, ketika hujan ia selalu melepas jasnya dan memakaikan padaku untuk melindungi kepala dan riasanku dari terpaan hujan, itu romantis sekali bagiku. aku merindukannya lagi, ah.

"Hei kenapa termenung di teras, ayo pergi," teriak suamiku dari mobilnya.

"I-iya Mas." Aku menggunakan clutch untuk menutup kepala dan segera berlari dan memasuki mobil.

"Lama sekali, sih," rutuknya.

Aku dan anakku saling berpandangan melihat sikap mas Andri yang tiba-tiba kehilangan kesabaran dan kelembutan padaku.

"Reza, boleh minta tissunya Mama mau keringkan bekas air hujan di rambut dan wajah mama," pintaku.

"Gak usah dibenahi juga, gara-gara riasan itu kita jadi terlambat dan kehujanan," ucap suamiku tanpa perasaaan.

Aku lagi-lagi terkesiap mendengarnya mengucapkan kata-kata itu.

"Oh, iya, Ma, ini tissunya," cetus Anakku menyerahkan tissu itu padaku.

Keterima tissu tersebut dengan menyunggingkan senyum getir pada putraku, lalu kuseka pelan tetesan hujan dan juga air mata yang kini meluncur begitu saja dari sudut mata ini.

Ah, Mas Andri aku tersakiti oleh sikap dinginmu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status