Share

Resto

Sesampainya di restoran kami segera masuk dan bergabung ke sebuah meja yang ternyata di sana sudah ada Elina asisten suamiku dan Andhara serta suaminya, Mas Ilham.

"Hai selamat malam," sapa Mas Andri.

"Hai, mari, silakan." mereka semua berdiri untuk menyambut kami.

"Mas ... Kukira kita akan menikmati makan malam keluarga," desisku pelan membisikinya.

"Ya, anggap aja ini makan malam keluarga, toh mereka sudah cukup dekat dengan kita," bisiknya.

"Maksudku, hanya kita bertiga," balasku.

"Sudah diam, mereka bisa tersinggung," tegasnya sambil menajamkan pandangan mata padaku agar aku tak lagi memprotes.

"Oh Tuhan, bahkan hendak makan pun, kami harus bertengkar dulu," keluhku dalam hati.

Suasana makan malam berlangsung gembira dan diselingi canda dan tawa, obrolan tentang bisnis, proyek terbaru, perhiasan yang sedang trend atau tantang masa depan anak bergulir begitu saja di antara kami. Sesekali mas Ilham melontarkan candaan yang membuatku tersenyum malu atau godaan untuk suamiku yang membuatnya hanya mampu meneguk campagne untuk mengalihkan sikap menjaga imagenya 

Sejujurnya di tengah canda tawa itu, aku sama sekali tak bahagia. Hatiku hampa dan entah mengapa aku tak tahu apa yang sebenarnya membuatku tak nyaman. Sampai acara makan berakhir dan di lanjutkan dengan sesi melantai dalam gemulai gerakan dansa, pesta khas kaum Borjuis dan pebisnis.

Aku lebih memilih mengalihkan diri untuk menikmati udara malam dari lantai dua restoran ini, hiruk pikuk mobil yang lalu lalang, pendar cahaya layar besar dari gedung seberang yang menampilkan iklan produk, jejeran outlet branded, semua pemandangan itu membuatku gamang. Aku hampa, ya, aku hampa dan merana.

 Sejurus kemudian aku memutuskan kembali ke dalam dan membaur bersama suamiku dan rekannya.

Kulangkahkan kaki menuju ke dalam ruangan yang kini semarak olah musik dan canda tawa pengunjung, baru saja berjalan lima langkah ketika kulihat Mas Andri di sudut sana sedang menikmati segelas campagne sambil mengobrol dengan Mbak Andhara, sesekali mas Andri membisiki sesuatu di telinganya dengan gestur mesra dan wanita itu hanya tersipu.

Lalu ketika tiba-tiba Mas Ilham datang dari arah yang berlawanan dengan mereka wanita itu membenahi posisi tubuhnya dengan sedikit menarik jarak dari suamiku. Merasa ada yang janggal, kuputuskan untuk menyamarkan diri  diantara buket bunga bunga untuk mengawasi mereka. Ketika asyik bercengkerama tiba tiba tangan mas Andri menyentuh punggung Mbak Andhara dengan ujung jarinya. 

Model gaunnya yang punggung terbuka meng-ekspose kulit indah dan bentuk tubuh mbak Andara dengan jelas, kemudian detik berikutnya jari itu turun dengan lembutnya ke bawah menuju tulang panggul lalu mas Andri menjauhkan jemarinya.

Aku terpana dan cukup heran melihat pemandangan yang mengejutkan itu, lebih lebih mengejutkan lagi,Wanita itu terlihat biasa-biasa saja dengan sentuhan mas Andri, seolah menikmatinya, atau seolah ia telah terbiasa diperlakukan demikian, sedangkan suaminya, Mas Ilham meski sedang berbicara di hadapan mereka tak menyadari jika suamiku tengah membelai punggung Mbak Andhara  ia bahkan tidak mempermasalahkan jarak ketika mereka berbicara mbak Andhara malah lebih dekat dengan mas Andri daripada suaminya sendiri.

Ini sungguh aneh, mengapa? Jika itu wanita lain, dibelai dengan cara seperti itu pasti akan murka karena hal demikian adalah bentuk pelecehan, namun ... Jika mereka tidak menjalin sesuatu atau hal yang rahasia, apa lagi yang bisa kusimpulkan?

"Hei, Sabrina, ngapain berdiri mematung aja di situ, ayo sini?" panggil Mbak Andhara ketika tiba-tiba dia memutar badan dan pandangan kami bersitatap.

Aku  sedikit gugup dan berdebar-debar ssketika, khawatir mereka tahu aku telah memergoki mereka,

 "eh, iya Mbak, tadi, aku dari belakang," jawabku.

"Mari sini," ajaknya dengan sikap manis dan roman wajah yang biasa-biasa saja. Tanpa rasa malu atau bersalah.

"Iya, Mbak," aku membalas uluran nya dan bergabung dalam pembicaraan palsu membosankan tersebut.

 Bisnis dan uang saja, hanya itu bahasan kaum elite.

*

"Mas, aku mau bicara," kataku sambil melepas anting-anting di meja rias, kulihat suamiku dari pantulan kaca sedang melepas dasi dan kancing kemejanya.

"Hmm, ada apa?" Gumamnya.

"Mas, ada hubungan apa sama Mbak Andhara?" Tanyaku sepelan mungkin, dengan harapan tak memancing emosinya.

Ia  menghentikan aktivitasnya dan  menatap padaku dengan  membulatkan mata, 

"aku gak ngerti maksud kamu," ungkapnya lalu melanjutkan menggantinya celana panjangnya.

"Aku melihat ... Apa yang kamu lakukan tadi?" 

"Apa yang aku lakukan," tanyanya dengan intonasi yang mulai meninggi.

"Kamu menyentuh punggung wanita itu, lalu membelainya," ujarku dengan nada bergetar, bergetar oleh menahan gejolak dalam dada.

"Kamu pasti salah lihat?" Ia berusaha mengelak.

"Gak mungkin, jelas-jelas aku di belakang kalian." Aku membantah argumennya.

Gubrak!

Lemari ditutup dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang sangat memekakkan telinga. Aku terkesiap dan sedikit mundur dari hadapannya.

"Apa sih, keinginan kamu? Kenapa setiap kali aku pulang ke rumah kamu selalu mengajak aku berantem?" Katanya dengan mata membeliak.

"Aku gak ngajak berantem Mas, aku cuma tanya, aku ingin ...."

Dumprang!

Kaca lemari pecah dan jatuh berserakan  oleh tinjuan tangan Mas Andri.

"Mas, kamu ... Gini ya, emosi kamu  semakin ga terkendali ...."

"Diam!"

Aku tahu ia terdesak hingga tak punya cara lain agar ia bisa memenangkan perdebatan ini, bagaimana pun seorang pemimpin keluarga menurutnya adalah sosok yang harus dihormati dan selalu benar.

"Aku menyesal sudah pulang dan makan malam bersama kalian," ucapnya dengan geram.

"Uangmu, sudah membutakanmu Mas," desisku sedih.

Plak!

Sebuah tamparan melayang di pipiku dengan sangat keras hingga menimbulkan rasa berdenyut-denyut dan pedas di sekitar pelipis dan mataku. Air mataku lirih begitu saja menerima perlakuannya yang demikian bengisnya pada istri sendiri.

"Aku akan tidur di luar rumah," katanya sambil meraih jaketnya.

"Ada Reza di rumah Mas, anak kita, dia bisa curiga jika kita tidak tidur sekamar."

"Aku gak tahan denganmu!" Teriaknya.

"Bahkan aku pun tak tahan denganmu Mas," batinku namun apa daya.

Suamiku benar-benar sudah berubah. Ia sudah menjadi sosok yang asing bagiku, atau ... Mungkin juga aku yang salah, mungkin selama ini aku yang telah gagal mengenalnya,  bahkan, mungkin aku tidak pernah mengenalnya.

Kenyataan ini, adalah kenyataan yang harus kutelan pahit. Aku tak bisa berlari dari kenyataan lalu memulai hidupku sendiri, aku telah terbiasa hidup dalam kenyamanan duduk manis sebagai boneka yang siap diatur dan dipajang sesukanya.

"Kamu memang tak pernah menganggapku, Mas." Aku meratap dengan linangan air mata yang  tak mampu kubendung.

"Kamu ya ... Seandainya aku tidak menganggapmu, tentu aku akan melemparmu ke jalan," pungkasnya ketus.

"Mungkin Mas punya alasan kenapa Mas, hingga saat ini tidak melakukan itu," balasku.

"Ya. Aku memang bodoh."

"Jadi katakan apa hubunganmu dengan Mbak Andhara?"

"Bukan urusanmu!"

"Oh ya?" Balasku.

Ia menjauh lalu membanting pintu dengan kerasnya meninggalkanku yang masih tergugu sedih di lantai dekat tempat tidurku. Kuedarkan pandangan dengan hati yang semakin nyeri. Lampu gantung Swedia berpendar cantik di langit-langit gipsum berlukiskan karya seni nuansa Eropa, ranjang Garuda dan furnitur premium, tertata indah, lemari dengan ratusan set pakaian mahal, kaca rias dengan segala produk kecantikan dan perawatan terbaik.

Sedangkan aku teronggok menyedihkan bagai bangkai yang seharusnya disingkirkan. 

Ini sungguh kenyataan yang tidak ingin dihadapi oleh wanita manapun di dunia ini.

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
ini selingkuh dg Andhara apa seketarisnya sih kq bingung pas di permainan naik kuda sama seketarisnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status