Share

Bab 4

"Tolong" rintihan melemahkan perhatian. Memilukan pendengar, alam seakan membantu jika dirinya mati mengenaskan.

Hujan deras membuat suaranya teredam. Tidak ada yang mendengarkan itu bisa menyebabkan hal yang fatal. Seorang lelaki hampir sekarat dengan tusukan bagian perut. Merintih kesakitan dibawah kolong jembatan.

Argebi berjalan dengan santai menuju rumah. Angin kencang menerbangkan payung bening miliknya. Tidak ingin basah dia berlari kearah kolong jembatan, setidaknya bisa berteduh untuk sementara.

"To-long"Rintihan terdengar memilukan. Tapi malah mengerikan untuk Gebi. Mengelus tengkuknya yang dingin karena cuaca dan suara.

Menatap kearah lorong jembatan yang panjang. Arus Sungai deras akibat hujan. Gelap, penglihatan Argebi tidak bisa menembus kedalam sana.

Mengeluarkan handphone miliknya dan menghidupkan mode senter. Mata Argebi membelalak melihat seorang lelaki memakai jas kantoran merintih kesakitan sambil memegang perut.

Berlari menghampiri kedalam. Argebi berhenti sejenak memejamkan mata. Nihil, tidak ada kisah yang didapatnya. Kejadian sebelum ataupun setelah. Gebi tidak menghiraukan dan berlari kearah orang itu.

"Aku menolongmu"ujar Gebi, menekan perut yang terus menerus mengeluarkan darah.

"Bawa aku kerumahmu" Gebi menggeleng 

"Tidak. Kita harus kerumah sakit, kau sekarat" Argebi mencoba memapah menaruh tangan pemuda yang jauh lebih tua dari Argebi itu ke bahunya.

Berjalan tertatih. Membawa kerumah sakit terdekat.

Tapi pemuda itu meringis berkali kali dan memohon tidak membawanya ke rumah sakit.

Akhirnya Gebi memutuskan membawa kerumahnya. Yang jaraknya sudah lumayan dekat. Untungnya hari sedang hujan jadi jalanan sepi dari orang orang.

Menidurkan pemuda itu dikasur miliknya. Bergegas mengambil air dan peralatan medis dasar untuk pertolongan pertama. Mengompres air hangat membersihkan lukanya. 

"Aishhhh" Ringis pemuda itu membuat Gebi ikut ngilu. 

Jas kantoran dibuka. Menyisakan kemeja. Memiliki nama disakunya Hakkan kausetta.

Argebi tidak menghiraukan, dia sibuk mengompres dan mengoles dengan alkohol. Luka tusukan terlalu besar. Argebi ngin keluar membeli peralatan.

"kau pakai ini" Pemuda itu memberi satu alat dari saku jasnya tanpa melihat kearah Argebi.

Gebi tidak membantah. Menjahit luka itu dengan delapan jahitan. Ringisan dan rintihan terdengar sedikit mengganggu telinga. Gebi mengambil sapu tangan dan meletaknya didalam mulut pemuda itu dengan kasar.

"aa kawsar swekali" Bantah tidak jelas karena mulut tertutup. Argebi hanya butuh konsentrasi yang penuh. Itu saja, jadi dia tidak salah.

Hah

Nafas lega dari keduanya karena luka sudah terobati. Walau rasa masih mendenyut lelaki itu terlelap meninggalkan Gebi yang penuh keringat perjuangan.

"Hakkan kausetta, harus ku panggil apa dia?" Gebi mengelus kepala gatal dan beranjak membereskan semua yang berantakan dan darah yang bersimbah.

Jam sudah menunjukkan pukul 02:40 malam. Tapi Argebi tidak bisa memejamkan mata. Sedari tadi ia menatap heran kearah pemuda yang tidur diranjangnya. Sehingga ia harus tidur dimatras bawah.

"Kenapa aku tidak bisa membacanya?" 

"Apa keahlian ini sudah hilang?"

"Sungguh, benar benar hilang"bermonolog sendiri seakan itu terjadi. Ia senang jika benar sesuai.

Lamunannya terhenti mendengar suara batuk pemuda yang tertidur.

Mendadak Argebi duduk dan memberi air putih yang ada di nakas sebelah kasur.

"Terimakasih"

Mata saling bertemu. Manik berwarna biru terang membekukan tubuh. Dingin, seakan Gebi berada dikutub.

"Terimakasih" lelaki itu membuka suara, Argebi menjauhkan diri dari kasur hanya bisa menangguk kecil.

Merebahkan badan yang lelah ke matras dibawah. Tapi lelaki itu mencoba untuk duduk membuat Gebi sedikit kewalahan. 

Tapi tetap membantu untuk melakukan apa yang lelaki itu mau.

"Kau tidurlah disini" menepuk kasur disebelah dirinya. Tidak mungkin, karena kasur ini khusus untuk satu orang saja.

"Jangan gila. Itu tidak muat" Gebi malas menghiraukan ingin kembali ketempat tidurnya. Tapu ditarik duluan hingga terduduk keatas kasur.

Menegang, lelaki itu memeluk badan Argebi.

Membuat kedua tubuh berdempetan sehingga muat disatu kasur kecil.

"Sepertinya, kau butuh kasur yang lebih besar" Bisik lelaki itu ke telinga, membuat Argebi menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Jika memikirkan aku, maka tidurlah. Jawaban akan datang jika sudah waktunya"

Kata-kata terakhir yang didengar Argebi sebelum larut masuk kealam mimpi.

"Kau, dan aku akan selalu bersama. Walau takdir menetang" 

Hakkan kausetta, mengelus rambut gadis bermata abu terang dengan lembut. Janji yang terucap akan tercatat disebuah kertas tak terlihat. 

Pertemuan kedua insan yang memiliki kesamaan, atau bahkan perbedaan yang terpandang jauh. Melewati masa mencekam untuk bisa bertemu gadis yang susah payah untuk ditemui.

.

Mata mengerjap. Matahari menerobos retina menyilaukan memberikan sensasi hangat. Jendela terbuka sebelum dirinya bangun.

"HAH"

Terlonjak kaget. Sebelum bangun? lalu siapa yang membuka jika bukan diri sendiri.

Memandang keseluruh penjuru tempat tinggal. Tidak ada tanda-tanda orang lain selain dirinya.

Lagi lagi pandangan teralih mendengarkan suara dari dapur yang berserakan. Seorang lelaki berkutat dengan lihainya ber-eksperimen didalam dapur milik Argebi. Sehingga menyebabkan kekacauan yang besar.

Dapur seolah tidak berbentuk. Semua barang berserakan bahkan ada yang pecah. Kacau

"Apa yang kau lakukan" tanya Gebi dengan tatapan datar

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status