“Ah… uhm..” Sebuah ingatan singkat menghantam Hanna. Alarm KB—ia lupa menyalakannya pagi ini. Di negara Valthera, masa depan setiap perempuan ditentukan oleh implan KB—alat kendali biologis yang menautkan mereka dengan pasangan pilihan pemerintah sesuai DNA. Sistem itu diciptakan demi stabilitas- menekan populasi, memastikan kecocokan genetik, menciptakan keluarga “sempurna.” Tapi kenyataannya jauh dari utopia. Angka perceraian justru meroket. Kehangatan keluarga hilang, berganti hubungan hampa yang hanya patuh pada aturan. Tapi satu kesalahan kecil mengubah segalanya—malam itu ia lupa mengaktifkan implan. Tubuhnya justru terkunci dengan pria terakhir yang seharusnya ia hindari—Profesor Liam, pencipta sistem itu sendiri. Jika aturan dilanggar, implan tidak lagi melindungi, melainkan mengikat. Tubuh akan mengenali pria pertama yang menyentuhnya sebagai pusat loyalitas biologis. Dan yang paling ironis—pria itu kini resmi menjadi kakak tirinya. (MATURE 21+)
Lihat lebih banyak“Mmm…”
Napas Hanna seolah direnggut paksa saat bibir Profesor Liam menubruknya. Ciuman itu bukan sekadar desakan—ia menyerbu seperti badai, menghancurkan batasan yang Hanna pegang teguh. Lidah pria itu masuk tanpa kompromi, menjarah mulutnya, menyapu setiap sudut hingga dirinya gemetar tak berdaya.
Suara itu lolos tanpa izin, memalukan, tapi tak bisa ia bendung. Segala kekuatan di sendi-sendinya lenyap. Handuk tipis yang hanya menutupi tubuhnya terasa konyol di tengah belitan tubuh Liam yang basah dan membara.
Hanna berusaha menolak, tapi setiap upaya hanyalah percikan kecil di hadapan arus deras. Aroma mint dari mulut Liam menempel, menusuk, menyisakan rasa getir yang anehnya memabukkan. Saat kepala pria itu miring, memperdalam ciuman, kain terakhir pelindung Hanna jatuh ke lantai, terinjak air.
“Tidak…” batinnya berteriak, tetapi tubuhnya… tubuhnya mengkhianati dirinya.
Semburan air hangat mengguyur, menciptakan ruang pengap dan pekat. Punggung Hanna terhimpit pada kaca dingin, sementara tubuh Liam mendesak dari depan, keras, menuntut. Ia tak lagi punya ruang untuk bernapas, apalagi berpikir jernih.
Ia tahu ini salah. Ia tahu ia sedang jatuh ke jurang. Namun, setiap desahan napas, setiap helaan di telinganya, menelanjangi sisa pertahanannya. Dan ketika Liam mendorongnya lebih dalam, menyatukan mereka dalam desakan brutal dan primitif, semua perlawanan Hanna terkubur.
Lalu—sebuah ingatan singkat menghantamnya. Alarm KB. Ia lupa menyalakannya pagi ini.
Darahnya membeku. Nafasnya tercekat. Rasa ngeri menelan seluruh kenikmatan yang mengikatnya.
“Ah… shiiit!!”
Jeritannya pecah, bercampur kenikmatan yang menghancurkan kesadarannya. Tubuh Hanna bergetar, tangannya mengepal, menghantam punggung Liam dengan pukulan lemah. Itu bukan perlawanan, melainkan letupan frustrasi—marah pada dirinya, takut akan akibat, tapi tak kuasa melepaskan diri dari sensasi yang meremukkan akal sehatnya.
Bagaimana bisa ia jatuh sejauh ini? Bagaimana bisa Hanna—perempuan yang selalu rasional—menyerahkan dirinya pada pria yang bahkan tak benar-benar ia kenal? Hanya nama yang ia tahu—Profesor Liam. Orang yang dulu ia lawan di forum, dalam debat panas yang berakhir tanpa pemenang.
“Apakah ini caramu membuktikan pendapatmu, Nona Hanna Walsh?” suara Liam terdengar seperti ejekan yang merobek harga dirinya.
“Lepaskan aku, Profesor Liam! Ini bukan tentang perdebatan kita. Pertanyaanku—kenapa kamu ada di apartemenku?!” Nada Hanna meninggi, getir, nyaris putus asa.
“Apartemenmu?” Liam akhirnya melepaskannya, meski jelas enggan. “Yang aku tahu, ini… apartemen saudari tiriku.”
“Apa?!” Hanna hampir histeris.
Dunia seakan runtuh di hadapannya. Ini bukan sekadar bencana—ini ‘malapetaka berlapis’.
Pertama, kenyataan absurd—Profesor Liam adalah anak dari ayah tirinya.
Kedua, dosa yang baru saja mereka lakukan—tak mungkin ditarik kembali.
Ketiga, yang paling mematikan—ia lupa mengaktifkan alarm KB.
Risiko hamil mungkin kecil, tapi bukan itu yang menghantamnya paling keras. Yang ia takuti adalah kutukan yang sudah diperingatkan sejak usia tujuh belas. Jika berhubungan tanpa perlindungan dengan pria yang bukan jodohnya, tubuhnya bisa terikat, terjerat dalam ketergantungan seksual yang tak bisa diputus.
Namun, Hanna tahu itu sejatinya bukan kutukan. Bukan takhayul. Itu adalah konsekuensi nyata dari sistem implan alarm KB—sebuah ciptaan dingin dan kejam yang ditanamkan di tubuh setiap perempuan Valthera. Tujuannya sederhana tapi menakutkan— memastikan setiap orang tetap setia pada pasangan yang sudah ditentukan negara.
Jika aturan itu dilanggar, implan tidak melindungi, melainkan mengikat. Tubuh akan mengenali pria pertama yang menyentuhnya sebagai “pusat loyalitas biologis,” memaksa perasaan dan gairah untuk tunduk padanya, entah suka atau tidak.
Dan kini, tubuhnya telah memilih Profesor Liam. Padahal jodohnya sudah ditentukan semenjak usia tujuh belas tahun—seseorang yang seharusnya menjadi satu-satunya pusat kesetiaan biologisnya.
Kesadaran itu menampar lebih keras dari air panas yang mengguyur kulitnya. Ia tidak hanya melanggar aturan, ia telah merusak takdir yang dipaksakan negara padanya. Dan konsekuensinya… tidak akan berhenti di sini.
Hanna merasakan sesuatu yang lebih menyeramkan daripada sekadar kehilangan kontrol barusan. Seolah ada mekanisme halus di dalam tubuhnya yang terpicu, bergerak perlahan, namun pasti.
Implan alarm KB yang seharusnya ia aktifkan pagi tadi—alat kecil yang ditanam di bawah tulang selangka sejak ia berusia tujuh belas—bukan hanya berfungsi sebagai pengatur kesuburan, tapi juga penjaga kesetiaan. Negara menyebutnya ‘sistem loyalitas biologis’, sebuah program yang memastikan setiap warga tetap setia pada pasangan yang telah ditentukan demi kestabilan populasi Valthera.
Jika sistem itu gagal diaktifkan, tubuh akan mencatat “kontak pertama” dengan pria yang bukan jodohnya sebagai pemicu ikatan. Reaksinya tidak langsung terasa seperti sakit, melainkan jauh lebih licik— pelepasan hormon pengikat yang menjalari syaraf otak, menciptakan ketergantungan seksual dan emosional pada pria itu.
Sekarang, Hanna malah merasakan sinyal-sinyal samar mulai menjalari tubuhnya. Degup jantungnya terlalu cepat, bukan sekadar karena gairah tadi, tapi seperti ada denyut baru yang sinkron dengan ritme napas Liam. Aroma tubuhnya menempel di indera penciumannya, tak bisa ia usir. Bahkan setelah Liam melepaskannya, tubuh Hanna masih mencari, masih merindukan sentuhan yang barusan menghancurkannya.
Ini bukan cinta. Bukan pilihan. Ini adalah belenggu halus yang diprogram masuk ke dalam dagingnya sendiri.
Ketakutan itu merayap, menyatu dengan sisa kenikmatan yang masih menghantui syarafnya. Hanna tahu, sejak detik itu, ia mungkin takkan pernah bisa lepas dari Profesor Liam—bukan karena ia mau, melainkan karena tubuhnya sudah dipaksa untuk setia pada pria yang salah.
Dan yang paling ironis—pria itu adalah anak dari ayah tirinya.
Lobby hotel Asterion Lumeris berkilau oleh cahaya kristal lampu gantung yang megah. Hanna berjalan di samping Ryan, wajahnya ia buat pucat agar alibinya terlihat meyakinkan. Ryan merangkul pundaknya dengan hati-hati, membimbing langkah Hanna yang sedikit limbung, hingga kepalanya sempat bersandar di dada Ryan. Dari dekat, Hanna bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup lebih cepat.Sebuah tanda. Rencananya hampir berhasil.Apa boleh buat, meski apa yang akan dilakukannya bertentangan dengan nuraninya, Hanna rela. Jika dengan tidur bersama Ryan ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman efek Alarm KB itu, maka ia akan melakukannya.Senyum tipis melintas di bibirnya. Ironis, karena detak jantungnya sendiri justru semakin tak terkendali—bukan karena kelemahan tubuhnya, melainkan karena rencana berbahaya yang sedang ia mainkan.Namun sebelum mereka sempat melewati meja resepsionis, sebuah suara dalam, tenang, dan familiar memecah udara.“Hanna.”Hanna menegang seketika. Tubuhnya kaku sa
Esok harinya, Hanna berdiri di depan cermin kamarnya. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan anggun, sederhana tapi elegan. Rambutnya digelung setengah, sisanya tergerai lembut di bahu. Dia ingin terlihat sempurna untuk Ryan, calon suaminya. Dia yakin, bahwa dia bisa menyingkirkan efek dari sistem yang dia sebut error tapi Liam mengatakan sebaliknya.Saat ia meraih clutch kecilnya, pintu kamar terbuka. Lily masuk sambil tersenyum, matanya berbinar melihat putrinya yang cantik. “Kau terlihat luar biasa, Hanna. Bahkan lebih cantik dari Mama saat muda, Ryan pasti terpesona. ”Hanna hanya mengangguk sopan, tapi sebelum ia sempat membalas, Lily melanjutkan dengan nada yang lebih serius.“Ngomong-ngomong, Mama sudah bicara dengan Julian,” ucap Lily sambil melangkah lebih dekat. “Kami berdua sepakat… lebih baik kau tetap tinggal di rumah ini. Agar kita bisa terasa seperti keluarga. Apalagi Liam juga sudah setuju tinggal di sini. Tidak baik kalau kau sendirian di apartemen kecil itu.”H
Hanna mendorong dada Liam dengan kasar. “Cukup!” desisnya, suaranya bergetar di antara amarah dan rasa takut.Liam bergeser setengah langkah ke belakang. Bukan karena kalah, melainkan seperti sengaja memberi ruang—predator yang tahu kapan harus mundur agar mangsanya tetap bernafas. Smirk itu kembali muncul, tipis, penuh perhitungan.“Menarik sekali,” ucapnya tenang. “Setiap kali kau melawanku, tubuhmu justru mengungkap hal yang berbeda. Detak jantungmu… suhu kulitmu…” Ia mengangkat jemari yang tadi menyentuh rahangnya, lalu menatapnya seolah sedang mempelajari spesimen laboratorium. “Kau sadar, kan? Penolakanmu ini hanya memperkuat algoritma yang sudah tertanam di dalam DNA-mu.”Hanna menggertakkan gigi, tapi tubuhnya masih gemetar—bukan hanya karena marah.Liam condong sedikit lagi, suaranya nyaris berbisik. “Dan itu yang membuatmu berbahaya, Hanna. Karena aku tidak sedang meneliti sistem… aku sedang meneliti kamu.”Ia mundur perlahan, tapi matanya tak pernah lepas darinya. Tatapan i
Hanna baru saja selesai mandi ketika ponselnya berdering. Rambutnya masih basah menetes di bahu saat ia meraih handphone. Nama Ryan Kelly terpampang di layar.“Hanna?” suara Ryan terdengar hangat, lembut, tapi juga ragu, seakan ia masih hati-hati menakar jarak. “Besok malam… kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan malam di Lumeria District. Kau tahu tempat itu? Malam harinya jalanan dipenuhi lampion kaca yang melayang di udara, ada kanal kecil dengan perahu kayu berlampu kristal, dan restoran atap di menara Archelion yang langsung menghadap kota. Aku pikir… tempat itu akan menyenangkan untuk kita.”Hanna terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Bayangan cahaya lampion yang memantul di air terlintas di kepalanya. “Tentu, Ryan. Itu terdengar indah sekali.”Ada jeda di ujung telepon, seolah Ryan sedang menimbang kata-katanya. “Syukurlah… aku khawatir kau menolak. Aku… hanya ingin kita saling mengenal lebih baik, itu saja.”Hanna hendak menjawab, namun suara ketukan pelan di
Hanna mencoba bersikap santai, meski jemarinya gelisah meremas ujung gaunnya di pangkuan.“Ma… aku tidak… maksudku, aku tidak melakukan apa-apa yang aneh, kalau Mama berpikir aku melakukan itu…” katanya tergagap.Lily mengerling, bibirnya melengkung tipis, seperti senyum yang tidak pernah benar-benar hangat.“Hanna, tidak ada yang aneh dengan seorang wanita dua puluh dua tahun yang tubuhnya mulai mencari penyaluran. Seks bukan hal tabu, apalagi dalam pernikahan. Yang tabu adalah jika kau menutup mata dari kebutuhanmu sendiri.”Hanna terdiam. Jantungnya berdentum keras, seakan ingin melompat keluar. Sekilas bayangan tubuh Liam menindihnya menyeruak begitu jelas di benaknya—ciumannya yang dalam, sentuhan panas itu… Hanna berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kendali.Kemudian dia yakinkan dirinya, kalau apa yang dilakukan dengan Liam bertujuan untuk penelitian. Mungkin Mamanya juga bisa menjadi narasumber untuk hal ini.“Nanti, dengan Ryan sebagai suamimu,” lanjut Lily pelan nam
“Kenapa kau bisa setenang itu, hah?!” Hanna berdiri, mendorong dada Liam keras-keras. “Dia hampir saja melihatmu! Aku bisa mati kalau Mama tahu!”Liam hanya menunduk sedikit, wajahnya mendekat pada Hanna. “Tapi nyatanya… dia tidak tahu.” Suaranya dalam, dingin, penuh keangkuhan.“Jangan senyum-senyum seperti itu! Kau pikir ini lucu?!” Hanna mengangkat tangannya hendak menampar, tapi Liam lebih cepat. Ia menangkap pergelangan Hanna, memutar dengan mudah, membuat tubuh Hanna terperangkap di antara dadanya dan dinding.“Aku pikir…” bisiknya dekat telinga, membuat Hanna merinding, “…kau menikmati ketegangannya. Degup jantungmu barusan lebih liar daripada ketika aku mencium bibirmu.”Hanna menggigit bibir, tubuhnya bergetar, antara marah dan malu. “Kau… bajingan…” suaranya serak, tapi bukannya mendorong, tangannya justru mencengkeram baju Liam.Liam menunduk lagi, bibirnya nyaris menyentuh leher Hanna. “Kau masih gemetar. Itu bukan marah, Hanna. Itu tubuhmu… memanggilku lagi.”Hanna tereng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen