Happy Reading
******
"Bun, menurutmu bagaimana sifat Tari?" tanya Andrian, ketika dia melihat istrinya memasuki ruang kerja di rumah.
Pertanyaan itu ingin sekali dilontarkan oleh Andrian setelah acara makan siang bersama waktu itu. Namun, karena kesibukan dan sikap posesif Lita, lelaki itu baru mengutarakan hal ini sekarang.
"Maksud Ayah?" Hati Nina kembali merasakan nyeri, sama persis saat dia melihat Andrian berhubungan dengan Lita dulu.
"Ayah nggak tahu rasa apa ini, Bun? Setiap kali ada di dekat Tari. Ayah merasakan ketenangan dan keteduhan apalagi saat memandangnya." Andrian membayangkan wajah gadis itu. Bagaimana dia dengan berani menegur kesalahannya.
"Apa kamu mencintainya?" Nina menatap kedalaman hati sang suami. Nalurinya sebagai perempuan bekerja, saat melihat suaminya sering curi-curi pandang pada sang sekretaris, dia mulai curiga. Namun, tak menyangka bahwa Andrian akan mengajaknya diskusi seperti sekarang.
"Ayah nggak tahu, Bun. Kamu orang yang paling tahu bagaimana isi hati Ayah melebihi diriku sendiri. Menurut Bunda, apa perasaan ini bisa disebut cinta?" Andrian memeluk pinggang istrinya. Dia mulai mengendus aroma tubuh perempuan yang telah memberikannya tiga orang anak.
"Kita tidur sekarang, yuk! Besok aku harus berangkat ke Purwokerto, jadi malam ini ...." Andrian mengerlingkan sebelah matanya. Sengaja memberikan kode agar istrinya memenuhi kebutuhan satu itu.
"Jangan genit, deh! Ayah sudah pamit sama Lita? Jangan sampai dia salah paham lagi! Nanti dikira Bunda nahan-nahan Ayah di sini," ucap Nina, "malam ini kan giliran Ayah nginep di tempat Lita."
"Biarin, ah! Dia sendiri sering nahan-nahan Ayah supaya nggak pulang ke rumah ini. Padahal tahu bahwa jatah Ayah nginep dan berduaan sama Bunda," kata Andiran enteng.
"Ayah sudah pamit kalau mau ke Purwokerto?"
"Besok saja pamitnya pas sudah sampai. Biar Ayah hubungi dia langsung kalau pamit sekarang, Lita suka ribet. Biarkan malam ini menjadi milik kita berdua. Anak-anak sudah tidur, 'kan?" Nina mengangguk patuh pada ajakan suaminya.
Malam itu menjadi malam panas bagi pasangan suami istri tersebut. Nina berhasil membuat suaminya puas dengan servis yang diberikan. Perempuan itupun merasa bahagia karena Andrian memuji setelah penyatuan mereka.
***
Sang surya baru menyapa kekasihnya saat supir suruhan Andrian datang menjemput Tari di tempat kos. Oleh karena mendengar ketukan pintu, maka gadis itu membukanya.
"Pak tunggu sebentar! Saya belum mempersiapkan diri. Duduk saja dulu." Tari menunjuk kursi di depan kamar kosnya.
"Baik, Mbak. Jangan lama-lama, ya!"
Tari segera masuk dan bersiap. Ada rasa enggan untuk mengikuti perintah Andrian kemarin. Namun, saat teringat watak atasannya, dia dengan cepat menyiapkan semua. Tak sampai sepuluh menit, gadis itu sudah keluar kamar.
Sesampainya di rumah Andrian, Tari sudah disambut oleh Nina. Rasa kagum benar-benar diapresiasikan oleh gadis itu untuk istri pertama atasannya. Bagaimana bisa Andrian menelepon Lita dengan mesra saat ada Nina di sebelahnya. Seolah-olah keberadaan perempuan yang telah memberikan si bos anak, tak pernah tampak.
"Bun, kami berangkat dulu," pamit Andrian sedetik setelah layar ponselnya mati.
"Hati-hati, Sayang." Seperti kebanyakan pasangan suami istri saat berpamitan, mereka pun melakukannya. Andrian mencium kening Nina setelah perempuan itu mencium punggung tangannya.
Delapan jam mereka menempuh perjalanan dari Surabaya ke Purwokerto. Sekali saja mereka beristirahat di rest area, Andrian memang tidak membawa sopir untuk perjalanannya kali ini. Dia ingin menikmati waktu, hanya berdua dengan Tari. Tepat pukul tiga sore, mereka sampai di sebuah hotel.
"Kita istirahat di hotel ini saja, Tar. Jaraknya nggak terlalu jauh dari lokasi yang akan kita tinjau. Pak Yadi juga sudah reserved dua kamar di hotel ini." Andri bersiap untuk turun dari mobil.
Kejadian beberapa waktu lalu masih membekas dalam diri Tari. Kaki dan tangannya mulai terasa dingin saat akan keluar. "Iya, Pak."
"Mukamu pucat sekali. Apa kamu sakit?"
"Ti-dak, Pak." Tari mulai tergagap.
"Tar, jawab dengan jujur! Apa kamu fobia menginap di hotel?" Andri memegang tangan Tari. Dia menjadi khawatir dengan sekretarisnya itu. Tangan si gadis terasa dingin sekali. "Kalau kamu memang takut menginap di sini, saya akan meminta Pak Yadi untuk mencarikan rumah yang bisa kita sewa. Bagaimana?"
"Tidak perlu, Pak. Saya tidak apa-apa." Tari berusaha melepaskan pegangan tangan sang atasan.
Sesampainya di lobi hotel, Andrian melihat rekan kerjanya, Yadi. Dia melambaikan tangan, lalu mendekat. "Apa kabar, Yad?" Mereka berpelukan.
"Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan sangat bersemangat menyambut kedatanganmu." Yadi berbisik pada Andrian. "Siapa dia? Gebetan barumu? Seleranya sudah berubah sekarang, kok, nyari yang pake pakaian tertutup?"
Andrian memukul lengan Yadi. "Jaga ucapanmu! Dia berbeda dari cewek-cewek yang pernah aku bawa."
"Wah, hebat! Makin penasaran, bagaimana kelanjutannya nanti." Tawa Yadi menggema. "Sepertinya semesta mendukungmu, Ndri. Sejak kemarin kamar di hotel ini penuh dan tadi pagi saat aku memesan lagi, tinggal satu kamar yang kosong."
"Yakin kamu?" tanya Andrian. Yadi pun mengangguk.
"Kalian istirahatlah dulu! Jam lima nanti kita akan bertemu dengan investor baru. Aku tinggal, ya?"
"Oke, terima kasih, Yad." Andrian menepuk bahu Yadi sebagai salam perpisahan.
Andrian mengajak Tari ke kamar yang telah dipesan, sebelumnya dia meminta tambahan bed untuk mereka. Namun, pihak hotel tidak meloloskan permintaannya. Tari, hanya mengikuti langkah sang atasan tanpa bertanya apa pun lagi.
Aroma lavender menyeruak ketika pintu kamar di buka. Menenangkan hati Tari yang sedari tadi ketakutan.
"Terima kasih, Pak." Andrian berkata pada salah satu pegawai hotel, dia juga menyerahkan selembar uang berwarna biru pada pria itu.
"Pak, kamar saya di mana?" tanya Tari.
"Di sini. Kita berdua satu kamar kali ini." Andrian melenggang ke kamar mandi.
Tari terduduk lemas di sebuah sofa tunggal. Angannya melayang tak jelas, rasa lelah hilang seketika. Dari arah kamar mandi Andrian melihat kegelisahan Tari.
"Tenanglah! Kita, hanya menginap dua hari dan saya janji kamu akan aman sampai kita pulang nanti."
"Saya pegang janji, Bapak. Jangan melakukan sesuatu di luar batas hubungan antara atasan dan bawahan! Ingat perkataan saya tempo hari? Saya bukanlah Ibu Lita."
Andrian menatap tidak suka pada Tari. "Perjelas perkataanmu! Kalau nggak ...." Dia sudah mencengkeram erat pergelangan tangan gadis itu. Wajahnya mendekat dengan pupil mata yang melebar.
"Saya bukan selingkuhan Bapak! Jadi, jangan perlakukan saya sama sepertinya!" Setengah berteriak Tari mengungkapkan semua kekesalan hatinya.
Andrian mundur hingga terduduk di pinggiran ranjang. "Begitu hinakah aku di matamu, Tar? Apa salah, jika aku memiliki keinginan bercinta yang lebih besar dari rata-rata kaumku?"
Happy Reading*****Sebelum menjawab salam dari perempuan di hadapannya, Tari meneliti tampilan orang tersebut dari atas ke bawah. Rentang waktu setahun telah mengubah perempuan itu menjadi jauh lebih baik. Pakaian yang semuanya tertutup serta tutur kata lembut saat menyapa. Mencerminkan adanya perubahan dalam dirinya."Waalaikumsalam. Apa kabar, Bu?" sapa Tari berusaha menghormati perempuan itu."Jangan panggil aku ibu. Saya bukan suami atasan kamu lagi," ucap perempuan itu yang tak lain adalah Lita. Tari sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Lita hingga merubahnya seperti sekarang. Walau jelas tahu bahwa perempuan itu sudah tidak bersama Andrian, tetapi Tari tetap berusaha menghormatinya. Terlepas dari segala ancaman dan teror yang pernah dilakukan, istri Andrian sudah memaafkan semua kesalahan itu.Baru akan menjawab perkataan Lita, dari arah belakang Andrian memanggil nama Tari. "Sayang, belanjanya sudah selesai belum." Lita dengan cepat menundukkan pandangan dari l
Happy Reading*****Ingin rasanya Tari menghilang saat ini juga. Bagaimana bisa dia sebrutal itu. Sungguh, si perempuan tidak menyadari aksinya sudah meninggalkan begitu banyak jejak pada suaminya.Andrian yang tahu jika istrinya terkejut dengan hasil perbuatannya sendiri, hanya bisa mengulas senyum. Hatinya berbunga-bunga, ternyata Tari juga bisa seganas tadi. Sebelum sang istri menjawab perkataan putranya, lelaki itu berbisik."Kamu hebat, Sayang. Mas ketagihan dengan yang tadi." Lalu, lelaki itu membuka selimutnya dan menjejakkan kaki ke lantai.Tari menghela napas panjang. Benar-benar jahil suaminya itu. Tidak tahukah Andrian jika dirinya malu setengah mati dengan kebrutalan itu. Melihat begitu banyak jejak di bagian tubuh sang suami yang lain, Tari menggelengkan kepala. Dia kemudian fokus pada Akmal sebelum si kecil bertanya macam-macam."Iya, Sayang. Nanti, Mama pasti obati bekas gigitan serangga di leher Ayah," jawab Tari pada akhirnya.Perempuan itu merutuki dirinya sendiri ya
Happy Reading*****Sesampainya di kamar, Tari membuka pintu dengan tergesa. Takut juga jika sang suami sampai salah paham dengan perkataannya tadi. "Mas, jangan salah paham, dong," ucapnya.Sekarang, Andrian sedang mengganti pakaiannya dengan kaos serta celana pendek. Dia melirik sang istri sebentar. "Gimana nggak salah paham. Kamu membandingkan lelaki lain di depan suamimu. Aku itu cemburuan, Sayang. Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu?" Sang suami melanjutkan aktifitasnya melipat sarung dan menggantung baju koko, tiba-tiba saja suasana hati Andrian berubah jelek."Membandingkan gimana, Mas?" Sepertinya, Tari memang salah memilih kata. Padahal maksudnya tadi bukan membandingkan Andrian dengan Pamungkas. "Kalau nggak membandingkan terus apa? Bukankah kamu mengatakan kasus kami berbeda. Maksudmu pasti si Pamungkas pasti jauh lebih baik dari Mas, kan?" Andrian duduk di tepi ranjang dan memajukan bibir. Setelah menjadi suami Tari, lelaki itu makin manja saja. Tidak ingat sama umur.Sek
Happy Reading *****Andrian tidak pernah bosan dengan ibadah menyenangkan bersama sang istri. Sekali lagi, mereka melakukannya dan setelahnya tertidur hingga suara azan Zuhur membangunkan. Tari melenguh dan meregangkan tangan. Kemudian menatap lelaki di sebelahnya yang masih menutup mata."Mas, bangun. Sudah Zuhur," kata Tari pelan disertai guncangan pelan pada lengan Andrian."Hmm," jawab Andrian, tetapi matanya masih tertutup. "Boleh nggak kalau Mas salatnya di rumah saja?""Tidak boleh. Memangnya Mas Andri mau disebut salihah?" kata Tari cepat.Seketika Andrian membuka mata dan menatap sang istri. "Kok bisa salihah, Yang?"Memutar bola mata dan tersenyum, Tari berkata, "Ya, kan. Seorang perempuan itu lebih baik salat di rumah. Nah, jika seorang lelaki tidak salat di masjid tanpa uzur yang jelas, kan, namanya salihah." "Ih, jadi kamu ngatain Mas, ya?" Andrian gemas sendiri melihat wajah sang istri. Dia menggelitik pinggang perempuan itu sampai minta ampun setelahnya."Sudah ... su
Happy Reading*****Tari menengok pada suaminya. Indera Andrian sudah dipenuhi kabur gairah. Tak akan bisa lagi perempuan itu beralasan lain apalagi anak-anak tidak berada di kamar lagi. "Mas mau sarapan apa? Biar aku siapkan dulu," katanya berusaha lepas dari pelukan Andrian yang makin erat dan menggebu."Sarapan kamu boleh, Sayang?" Andrian semakin berani. Mulai menciumi leher dan juga pundak sang istri."Jangan dulu, masih ada anak-anak di rumah. Jika mereka tiba-tiba ketuk pintu kayak kemarin, malah tidak nyaman. Lebih baik, biarkan aku masak supaya cepat sarapan dan meminta bantuan Bapak sama Ibu untuk menjaga anak-anak," kata Tari mencoba bernegosiasi. Dia, hanya perlu sedikit waktu untuk melayani suaminya. Menata jantung yang terus saja bertalu."Anak-anak sudah dibawa ngungsi sama Mas Radit. Di rumah ini tinggal kita berdua, Sayang. Mas sudah nggak sabar menantikan hari ini, apalagi melihat wajah cantikmu. Mas semakin nggak kuat menahannya." Andrian mulai melancarkan rayuan ke
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama