Em ... lanjut nggak nih???
“A‒apa?” ucap Reina terbata.Dengan kekasihnya saja Reina tidak pernah melakukan perbuatan seperti itu. Berpelukan saja tidak pernah. Apalagi berciuman. Dan untuk peristiwa malam itu ... tentu saja tidak ada unsur kesengajaan sama sekali. Bahkan Reina mati-matian berusaha melupakan malam terlarang yang penuh kekhilafan. Reina menggelengkan kepalanya. Ia masih diam terpaku di tempatnya. “Tunggu apalagi? Mau hukuman yang lebih dari ini?!” tegas Regan berapi-api. “Ja‒jangan, Pak. Baiklah, saya akan melepaskan pakaian Bapak. Tapi Bapak jangan lihat, ya?” Reina mencoba bernegosiasi. Wajahnya terlihat sangat gugup. Hal itu membuat Regan menahan tawa di bibirnya. Baginya Reina sangat lucu. “Cepatlah!” Regan sudah tidak sabaran. Dengan perlahan Reina mulai melepaskan satu persatu kancing baju milik Regan. Hingga saat terbuka kancing paling bawah, terlihatlah perut kotak-kotak yang sangat dibenci oleh indera penglihatan milik gadis itu. Sebenarnya bukan benci. Lebih tepatnya Reina tidak in
Reina hampir saja pingsan. Beruntung ada yang dengan cepat langsung menangkap tubuhnya. “Reina, kamu tidak apa-apa?” “Pak Regan ....” Setelah mengatakan dua kata itu, Reina benar-benar pingsan. Regan langsung membawa Reina ke dalam ruangan pribadinya. Sementara Karin dan Leon tampak kebingungan. “Leon, bagaimana ini? Reina sudah tahu semuanya. Ini semua gara-gara kamu.” “Tadi kamu bilang apa? Sepertinya kamu tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku,” balas Leon mengalihkan pembicaraan. “Aku hamil, Leon. Aku hamil anak kamu. Kamu harus segera menikahiku.” “Apa? Tidak mungkin, Karin. Kamu pasti bercanda. Bagaimana mungkin. Aku belum jadi dipromosikan. Entah kapan. Sepertinya perasaanku tak enak.” Leon melangkah pergi. Niatnya ingin menyusul kepergian Reina. Ia masih berusaha membujuk kekasihnya tersebut meski kemungkinan besar ia akan diputuskan. “Leon, tunggu! Kamu tidak percaya dengan ucapanku?! Kamu tega sekali Leon. Bagaimana kalau perut ini semakin membesar?! Aku takut akan d
Karin mendekatkan tubuhnya kepada Leon. Ia tepuk pelan bahu kanan kekasihnya itu. “Kamu tidak perlu mempedulikan Reina lagi. Dia itu cuma gadis murahan. Bahkan dia rela jual diri demi uang,” ungkap Karin bernada serius. “Apa maksud kamu, Karin? Kamu tidak sedang berhalusinasi ‘kan?” Kening Leon berkerut. Bagaimana mungkin selingkuhannya itu bisa berkata seperti itu? Jelas-jelas Reina selalu menolak saat Leon meminta sesuatu yang berharga dari gadis tersebut. “Aku punya buktinya.” Karin mengeluarkan ponselnya. Ia menunjukkan gambar-gambar saat Reina masuk ke dalam kamar hotel berkat jebakannya. Kedua mata Leon meniti dengan seksama. Apakah gambar tersebut benar milik Reina atau hanya editan belaka. “Sekarang kamu percaya ‘kan sama aku? Aku ada sebuah ide yang bagus. Aku yakin kamu pasti puas saat mendengar penjelasanku nanti.” “Katakanlah, secepatnya!” Leon sudah tidak sabaran. Karin tersenyum smirk. Lalu ia membisikkan sesuatu ke telinga Leon. Berharap kekasihnya tersebut bersed
“Te-terima kasih, Pak. Saya ambil ini saja kalau begitu,” balas Reina malu-malu. Sejujurnya ia merasa tidak enak hati. Ingin sekali membayar pakaian itu dengan uangnya sendiri, tetapi apa daya. Dirinya tidak punya dana sebanyak itu. “Ambil semua yang sudah direkomendasikan oleh toko ini.” “Tapi, Pak? Bukannya itu terlalu berlebihan?” Reina menunduk resah. “Tidak apa-apa, Reina. Sebagai seorang sekretaris juga harus menjaga penampilan agar menambah semangat dalam bekerja.” Akhirnya Reina hanya terdiam dan menurut saat karyawan tadi mengambil semua pakaian dan membantu Reina ke tempat kasir. Setelah keluar dari area mall tersebut, mereka berdua sepakat untuk kembali ke kantor. “Hari ini saya ada urusan. Jadi tidak ada tambahan kerja untuk kamu. Kamu bisa pulang lebih cepat.” ‘Hah?!’ Reina terdiam seketika. Harapannya telah sirna untuk mendapatkan uang tambahan. Apalagi hatinya juga masih hancur mengingat perselingkuhan yang telah dilakukan oleh Leon. Bahkan lelaki itu tidak mencob
“Atau jangan-jangan kamu yang menceritakan tentang makanan kesukaan kakak kepada Pak Regan, ya?” tebak Reina kemudian. Rafa hanya senyum-senyum sambil manggut-manggut dan memperlihatkan giginya yang gigis dan tidak rapi itu. Reina geleng-geleng kepala dibuatnya. Kenapa sang adik kesayangan harus menceritakan hal itu kepada bosnya? Apa keuntungannya? “Sepertinya Kakak tampan itu suka sama Kak Reina. Hehehe.” Rafa justru sengaja meledek kakaknya. “Hm ... ya sudahlah. Kakak mau mandi dulu kalau begitu. Nanti baru kamu, ya? Habisnya Rafa resek sih?!” Reina langsung pergi ke dalam kamarnya. Mencari handuk dan bersiap untuk mandi terlebih dahulu. Sementara Rafa masih menyelesaikan makannya yang tinggal sedikit. Sayang sekali jika harus dibuang. Kalaupun tersisa nanti pasti akan diomelin Amel ataupun ibu tirinya. Beberapa waktu telah berlalu. Reina dan Rafa sudah siap dengan pakaian barunya. Mereka berjalan menuju perempatan jalan raya untuk mencegat kendaraan umum yang lewat. “Nggak
Tiba-tiba Regan muncul kembali dari balik pintu ruangan CEO. Membuat Reina tampak terkejut dan hanya bisa melongo. “Kamu ‘kan bisa buat, lagi.” Regan menjawab dengan santai. Ia menunjukkan gelas yang dibawanya dan berucap, “Terima kasih.” Tanpa rasa bersalah Regan mengatakan kalimat itu dan langsung menutup pintu ruangannya dengan sedikit keras. Sepertinya ia sangat senang karena merasa menang dari Reina. “Pak Regan menyebalkan!” teriak Reina kesal. Kedua matanya melotot seolah hendak ke luar. Sebenarnya gadis itu ingin sekali mendobrak pintu milik sang CEO. Meski mungkin tidak akan berhasil. Tapi ketika ia hendak berdiri, tiba-tiba asisten pribadi Regan masuk ke dalam ruangan CEO. Membuat Reina menaikkan sebelah alisnya. “Pagi-pagi sudah ke sini aja. Mau ngapain ya, dia? Nggak nyapa sama sekali pulak!” Reina geleng-geleng kepala. “Ah, iya. Itu ‘kan bukan urusanku.” Reina akhirnya benar-benar berdiri dari duduknya. Ia berniat untuk membuat minuman coklat lagi. Karena masih ada wa
“Apakah kamu maunya seperti itu?” tanya Regan lagi yang seolah sengaja membuat Reina semakin salah tingkah. “Bapak tidak bercanda ‘kan?” “Ya, saya serius.” Regan menjawab dengan tenang. “Maksud Bapak?” Reina bingung sendiri atas pertanyaannya yang semakin ngawur itu. “Lebih baik sekarang kita makan siang dulu.” Regan melajukan mobilnya lebih kencang. Tiada percakapan lagi di antara mereka hingga tiba di sebuah restoran. Seperti biasanya, Reina membiarkan Regan yang memesan makanan. Setelah beberapa menit lamanya menunggu, pesanan pun datang. Mereka berdua makan dalam keadaan tenang. Sesekali Regan melirik ke arah Reina yang tampak tidak fokus. Sepertinya gadis itu tengah memikirkan sesuatu. Reina selesai makan terlebih dahulu. Ia tetap setia menanti Regan menyelesaikan makannya. “Jadi bagaimana Reina?” tanya Regan setelah ia selesai mengelap mulutnya dengan tisu. “Bagaimana apanya, Pak?” jawab Reina balik bertanya. Meski ia tahu mungkin Regan menanyakan tentang hal tadi, namun
Setelah menanti seorang diri, dua hingga tiga jam lamanya, seorang dokter menemui Reina untuk mengabari hasil pembedahan sore itu. Gadis itu menggengga erat tangannya sendiri. Berusaha menguatkan diri sendiri apapun hasilnya. Tetapi jauh di lubuk hatinya selalu mendo’akan yang terbaik untuk sang ayah. “Operasinya berjalan dengan lancar Nona Reina. Tetapi Beliau masih belum sadar dan perlu banyak istirahat.” Dokter itu menerangkan dengan tenang. “Syukurlah ....” Reina merasa lega. “ Saya sangat senang mendengarnya, Dok. Terima kasih banyak.” Kedua mata Reina sudah berkaca-kaca. Rasanya ingin sekali ia menemui sang ayah dan memeluknya. “Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit dokter itu. Reina tersenyum sambil mengangguk. Kemudian ia duduk kembali dan menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit itu. “Minum dulu dan makanlah,” ucap seseorang dengan penuh perhatian. Reina menoleh cepat. Seorang lelaki mengulurkan sebotol air minum kepadanya. “Leon? Kamu ke sini?” tanya Reina dengan