Tristan memasuki kantornya pada pagi yang cerah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah dengan lebar saat ia berjalan menuju ruang kerjanya. Hari ini, ia mengenakan kemeja putih yang rapi dengan jas warna biru tua yang cocok di badannya. Di pergelangan tangannya, terdapat jam tangan mewah merek Rolex yang menambah kesan elegan pada penampilannya.Sesampainya di depan ruang kerjanya, Tristan melihat Dafina yang sibuk bekerja. “Dafina,” seru Tristan.“Iya, Tuan.” Dengan hormat, Dafina berdiri dan memberikan salam. Tristan mengangguk sebagai balasan dan segera menanyakan tentang dokumen yang dicari.“Dafina, apa kamu sudah menemukan dokumen itu?” tanya Tristan dengan nada yang agak tegang.Dafina menggelengkan kepala dengan wajah yang cemas. “Maaf, Tuan, saya belum menemukan dokumen tersebut. Saya masih mencarinya.”Tristan mengangguk singkat, namun ekspresinya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Baiklah, segera temukan dan persiapkan beberapa dokumen untuk rapat hari ini.”Setelah memberi inst
Tristan dengan cepat menggendong Stella ala bridal style dan segera membawanya keluar dari gudang menuju ruangannya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan akan kondisi Stella. Para karyawan yang melihatnya hanya bisa menatap heran, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Stella.“Tuan!” seru Dafina ketika melihat Tristan menggendong Stella.“Cepat panggil dokter!” perintah Tristan kepada Dafina.Dafina dengan cepat mengangguk. “Baik, Tuan.”“Stella!” Sementara itu, Maya berteriak panik sambil mendekati Tristan dan Stella. “Tuan, apa yang terjadi dengan Stella?” tanyanya dengan suara gemetar.“Dia pingsan. Segera bawa minyak angin ke ruanganku,” titah Tristan kepada Maya.Maya mengangguk. “Baik, Tuan.”Tristan kembali fokus pada tugasnya untuk membawa Stella ke ruangannya. Begitu sampai di sana, dia meletakkan tubuh Stella dengan perlahan di atas sofa.Dengan cepat, Tristan berusaha memeriksa keadaan Stella, memastikan dia tetap bernapas dengan stabil. Hatinya berd
Tristan mencoba menenangkan Stella dari ketakutannya dengan mendekapnya erat dan mengelus lembut rambutnya. Meskipun Stella tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakan sentuhan hangat lelaki itu, dan kehadiran Tristan membuatnya merasa lebih aman. “Jangan takut, Stella. Aku di sini bersamamu,” bisik Tristan dengan suara lirih, ia mencoba menenangkan gadis itu. Suara tenang dan penuh kasih dari Tristan mampu meredakan sedikit ketegangan yang dirasakan Stella di tengah ketakutan yang menyelimuti dirinya.Sinar matahari pagi menembus jendela ruangan, menciptakan coretan-coretan cahaya yang menari-nari di lantai. Udara segar dan harum menyejukkan ruangan, memberikan suasana yang tenang meskipun masih tersisa kecemasan dalam hati Stella.Stella memandang keluar jendela, melihat gemerlap cahaya pagi yang menyinari bangunan-bangunan di sekitar kantor mereka. Meskipun alam luar terlihat damai, dalam hatinya masih ada kecemasan akan kejadian di gudang. Dia masih merasakan ketakutan yang mel
“Halo, Pak. Kamu bisa pulang terlebih dulu. Malam ini, aku ingin membawa mobil sendiri.”“Baik, Tuan.”Setelah menghubungi sopir pribadinya, Tristan meletakan kembali ponselnya di atas meja, ia melihat ke arah Stella yang masih tertidur pulas, meski malam sudah semakin larut. Meski begitu, lelaki tampan itu tak tega untuk membangunkannya.Stella menggeliat ketika udara dingin menyentuh wajahnya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Pandangannya memperhatikan dinding sebentar sebelum menyadari bahwa dia masih berada di kantor. Dengan refleks, ia bangun dari sofa dan duduk tegak, melihat ke arah jendela. Langit sudah gelap, dan melalui jendela, cahaya lampu-lampu kota mulai bersinar.“Kamu sudah bangun?” tanya Tristan dari meja kerja.Stella membalikkan kepala ke arah suara itu. “Sudah malam?” tanyanya kembali.Tristan mengangguk, menutup laptopnya dengan perlahan. “Ya, sudah larut.”Stella menatap jam dinding, jarum
Stella menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, ia begitu berat untuk mengungkapkan apa yang ada di benaknya. “Aku masih teringat saat kita dulu, saat aku menolakmu. Apakah kamu masih marah padaku karena itu?”Tristan yang masih fokus mengemudikan mobil, merasakan kebekuan di setiap sudut ruang hatinya. Dia bisa merasakan ketegangan di sepanjang ruang mobil, bahkan tanpa harus menoleh ke arah Stella. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat yang dia inginkan untuk dilupakan, tetapi masih terukir jelas di dalam ingatannya.“Iya, aku masih marah,” jawab Tristan dengan suara yang terdengar rendah, tetapi penuh dengan ketegasan.Stella merasakan getaran kesedihan melintasi dadanya. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi melihat Tristan masih terbawa oleh kemarahan itu membuatnya merasa hancur. Dia berharap Tristan telah melupakan semuanya, tetapi sepertinya luka itu masih ada di dalam hatinya.“Maafkan aku
Tristan sedang fokus berolahraga di ruang gym pribadi di rumahnya. Pagi yang cerah memberinya semangat ekstra untuk menjalani latihan rutinnya. Dengan gerakan yang teratur, ia mengangkat beban besi dengan tangannya yang kuat, mengejar keringatnya dengan setiap repetisi.Tiba-tiba, pintu ruang gym terbuka, memotong konsentrasi Tristan. Evan, sahabat lamanya muncul di ambang pintu dengan senyum cerah di wajahnya.“Tristan, sudah berapa lama kamu nge-gym? Aku sudah menunggumu dari tadi di luar, tapi kamu tidak kunjung keluar,” tanya Evan sambil memperhatikan sahabatnya yang tengah fokus berolahraga.“Aku akan habiskan hari Minggu untuk berolahraga,” jawab Tristan, masih fokus memainkan alat-alat gym-nya.Evan mengernyitkan kening melihat keputusan sahabatnya itu. ”Oh iya, kemarin aku melihat Weni di salah satu minimarket. Apa dia ada di Jakarta?” tanya Evan, mencoba mengalihkan perhatian dari topik olahraga.“Iya, dia sedang ada di Jakarta,” jawab Tristan sambil mengambil botol minum dan
Pagi ini hari begitu cerah menyambut kedatangan Tristan ketika ia memasuki kantor. Suasana kantor begitu sibuk dengan karyawan yang silih memasuki pintu masuk, membawa tas dan membicarakan rencana kerja mereka untuk hari ini. Terdengar suara ceria dari beberapa karyawan yang saling menyapa sambil berjalan menuju meja kerja masing-masing. Tristan melangkah dengan langkah tegas, ia berusaha fokus pada pekerjaannya hari ini.Namun, kesibukan pagi ini terganggu ketika seorang OB (office boy) yang bergegas dengan membawa seember air tak sengaja menabrak Tristan yang sedang melangkah maju. Air dari ember tersebut tumpah membasahi jas Tristan, membuatnya menjadi marah.“Shit, sialan!” umpat Tristan berang ketika jasnya sudah kotor.“Maaf, Tuan! Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap OB tersebut sambil panik, mencoba membersihkan air yang tumpah dengan tisu yang dibawanya.Tristan menatap OB tersebut dengan tatapan tajam, ekspresinya penuh kemarahan. “Ini jas baruku, bagaimana bisa kau begitu
Hoeek! Hoeek!Stella mencoba menutup mulutnya, ketika semua orang yang ada di ruang rapat melihat ke arahnya.“Maaf semua, saya permisi dulu,” pamit wanita berkulit mulus itu, sambil berlari keluar dari ruang rapat. Semua orang menatap heran kepada Stella, tak biasanya wanita itu mual-mual di tempat kerja.Setelah masuk ke kamar mandi, Stella langsung menuju wastafel. Wajahnya pucat dan terlihat sedikit berkeringat. Dia mencuci mulutnya dengan air dingin, berharap bisa meredakan rasa mual yang mengganggu. Tetapi, mualnya tidak kunjung hilang.Hoeek! Hoeek!Setelah beberapa saat mencuci muka dan menghirup napas dalam-dalam, Stella menatap tampilan dirinya di cermin. Dia terlihat lelah dan gelisah. Pikirannya melayang ke belakang, mengingat apa yang telah terjadi beberapa hari belakangan. Stres di tempat kerja, pertemuan dengan Tristan, dan sekarang, mual yang tak kunjung mereda.“Kenapa aku jadi mual-mual seperti ini?” Dia mencoba mengingat apa yang mungkin menjadi penyebab mualnya. Ma