“Apa yang kamu lakukan di meja kerjaku?” Stella terkejut ketika melihat Dafina, sekretaris Tristan, sedang duduk di meja kerjanya. Stella merasa kesal karena ini adalah meja kerjanya dan tidak ada yang berhak menggunakannya selain dirinya sendiri. Dia langsung meminta Dafina untuk pergi dari meja kerjanya.
“Tolong pergi dari meja ini, ini adalah meja kerjaku!” kata Stella dengan tegas.Namun, Dafina mengabaikan permintaan Stella dan berkata, “Tapi sekarang, aku yang menempati meja ini. Kamu tidak lagi dibutuhkan di perusahaan ini karena posisimu telah digantikan olehku.”Stella menjadi semakin kesal dengan ucapan Dafina. “Ini tidak benar! Aku masih menjadi bagian dari perusahaan ini dan aku masih membutuhkan meja kerjaku!” balas Stella.Dafina berdecak kesal, ia melempar dokumen yang ia pegang ke atas meja, sambil berdiri, wanita itu berkata, “Stella, faktanya bahwa Pak Damian sudah tidak bekerja lagi di sini. Dan sudah jelas bahwa kamu sudah tidak memegang posisi di perusahaan ini lagi. Jadi sekarang, silakan berikan meja ini kepadaku karena memang aku yang pantas memegang posisi sebagai sekretaris Tuan Tristan,” jelas Dafina dengan meyakinkan.Stella tak bisa menerima permintaan Dafina dan bertekad untuk mempertahankan meja kerjanya. Keduanya akhirnya terlibat dalam sebuah pertengkaran sengit di kantor.“Tidak, aku masih bekerja di sini dan aku masih memiliki tanggung jawab di perusahaan ini. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil alih meja kerjaku, Dafina,” jawab Stella dengan tegas.Stella tetap bersikeras dan percakapan mereka semakin panas. Semua pekerja kantor mulai terganggu dengan pertengkaran mereka dan berusaha mengalihkan perhatian mereka dengan bekerja lagi. Namun, pertikaian antara Stella dan Dafina tetap terdengar keras dan tak ada satu sama lain yang mau mengalah.“Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut?” tanya Tristan yang penasaran, ketika ia mendengar keributan yang ada di depan ruang kerjanya, lelaki itu pun langsung keluar.“Tuan, bila pertikaian kami mengganggu Anda, kami mohon maaf,” kata Dafina dengan hormat.“Apa yang kalian ributkan?” Tristan menanyakan alasan pertikaian tersebut.“Dia, dia sudah mengambil meja kerjaku!” protes Stella sambil menunjuk ke arah Dafina.“Tuan, tapi saya adalah sekretaris Anda dan seharusnya berada di meja ini,” bantah Dafina.Melihat keadaan ini, Tristan merasa kesal dan memanggil salah satu stafnya, Pak Heri, untuk mengambil tindakan.“Pak Heri,” panggil Tristan ketika Pak Heri melintas ke arahnya.“Iya, Tuan.”“Tolong buatkan meja sekretaris yang sama dan letakkan di seberang meja ini,” pinta Tristan.Pak Heri mengangguk mengerti. “Baik, Tuan.”Setelah menerima instruksi dari Tristan, Pak Heri lalu bergerak untuk memenuhi permintaannya. Sementara itu, Tristan menanyakan kepada Stella dan Dafina. “Bagaimana? Sudah beres, ‘kan?”Stella langsung berlari dan duduk di meja kerjanya. “Meja ini tetap menjadi milikku. Jadi, tolong singkirkan barang-barangmu dari sini!” perintah Stella, sambil mengumpulkan barang-barang milik Dafina di samping mejanya.Tentu saja, sikap Stella yang egois dan tidak mau berbagi tersebut membuat Dafina merasa geram. Namun, bertindak secara reaktif justru akan memperburuk situasi. Karena itulah, Dafina memilih untuk membungkukkan kepala dan melakukan apa yang diminta oleh Stella.“Stella,” panggil Tristan.“Iya,” jawab Stella, pandangannya langsung terarah kepada Tristan, ketika lelaki tampan itu memanggilnya.“Keruanganku sekarang juga!” titah Tristan dengan tegas, lalu langsung masuk ke dalam ruangannya.Stella hanya tersenyum dan setelah itu, dengan santai, ia mengingatkan Dafina kembali. “Tolong jangan mengambil meja kerjaku lagi, ya?” kata Stella dengan senyum manis di wajahnya.Mendengar perkataan Stella, Dafina hanya bisa berdecak kesal. Dafina merasa bahwa Stella telah mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja mereka.‘Awas saja Stella, aku akan membuatmu merasakan akibatnya karena telah bermain denganku,’ gumam Dafina di dalam hatinya ketika melihat punggung Stella yang telah pergi berlalu dari hadapannya.Stella memasuki ruangan Tristan dengan hati-hati. Wanita yang menguncir rambutnya itu, melihat Tristan yang sedang memandangi ke luar jendela.“Ada apa kamu memanggilku?” tanya Stella sambil melangkah mendekati Tristan.“Sejak kapan kamu bekerja di sini?” tanya Tristan sambil melihat ke arah jendela.“Sudah tiga tahun, kenapa memangnya?” tanya Stella kembali.Namun, Tristan tidak langsung menolehkan kepalanya untuk melihat Stella, sehingga membuat Stella merasa tidak nyaman. Sejak tadi, Tristan terus saja berbicara dengan punggungnya menghadap Stella.“Bisakah kamu melihat ke arahku, Tristan? Dari tadi kamu berbicara, tapi selalu membelakangiku. Aku seperti berbicara dengan tembok,” ungkap Stella dengan perasaan gundah.“Dan aku seperti berbicara dengan lalat, sangat sulit meyakinkannya, bahwa bunga jauh lebih indah daripada sampah,” terang Tristan, sambil memutar kursinya menghadap Stella.Stella menelan ludah begitu susah ketika mendengar perkataan Tristan. Apakah lelaki itu sedang menyindirnya?Wanita itu mencoba untuk tenang, Stella menghela napas sebelum berkata, “Lalat sebenarnya tahu kalau bunga lebih harum daripada sampah, tapi lalat sadar diri kalau sebenarnya yang di tunggu oleh bunga adalah kupu-kupu.”Tristan hanya tertawa getir mendengar jawaban Stella. Sedangkan Stella hanya menatap aneh ke arah Tristan. Tatapan yang tajam dari lelaki itu seolah mengoyak-ngoyak hatinya.Stella mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mengambil napas panjang, dan menahan diri agar tidak terbawa emosi.“Maaf, aku tidak tahu kalau kamu adalah anak dari Pak Damian, kalau aku tahu, mungkin aku tidak akan memasukkan resume-ku ke perusahaan ini,” kata Stella mencoba membela diri.“Sekarang kamu sudah tahu. Lantas kenapa kamu tidak mengundurkan diri?” tanya Tristan dengan nada yang agak tegas.“Karena aku sudah melakukan yang terbaik, dan aku masih bisa bekerja dengan baik di sini. Aku akan tetap mempertahankan pekerjaanku dengan baik, tidak peduli siapa yang menjadi pimpinannya." jawab Stella dengan rasa percaya diri.Tristan terdiam sejenak setelah mendengar kata-kata Stella. Setelah beberapa saat, ia menjawab, “Aku menghargai semangat kerjamu, tapi kamu harus tahu bahwa di tempat kerja, hubungan orang harus profesional dan tidak boleh ada intervensi personal. Aku menyarankanmu untuk tetap fokus pada kinerjamu daripada berfokus padaku. Apa kamu mengerti, Nona Stella Anastasya?”“Ya, Anda benar, Tuan Exzel Tristan Wishnutama. Maaf bila kata-kata saya telah menyinggung Anda.” Stella berpikir sejenak. “Wishnutama? Sepertinya, saya melupakan itu. Tapi, Anda tenang saja. Mulai sekarang, saya akan mengingatnya.”Stella merasa canggung karena tidak menyadari bahwa Tristan memiliki nama Wishnutama, seperti nama perusahaan tempatnya bekerja. Namun, ia tidak tahu apakah nama itu menjadi nama dari silsilah keluarga dan perusahaan.Stella memandangi lelaki yang duduk di hadapannya. Pria yang pernah menyatakan cinta kepadanya 13 tahun yang lalu. Namun, kali ini, Tristan terlihat begitu dewasa dan semakin gagah. Stella menyadari bahwa Tristan telah berubah seiring berjalannya waktu.“Kenapa kamu memandangku seperti itu? Apakah kamu merasa menyesal karena telah menolak cintaku dulu?” tanya Tristan dengan senyuman yang masih sama seperti dulu.Stella merasa sedikit tercengang oleh pertanyaan Tristan. Ia tidak pernah berpikir akan bertemu kembali dengan Tristan, apalagi untuk mengulang kembali masa lalu ketika mereka masih muda.Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,