“Apa kamu bilang?” Pijar melototkan matanya maksimal. “Kamu apa? Minta izin sama Ayah mau nikahin aku?” “Hem.” Elang mengangguk penuh dengan percaya diri. “Aku udah cerita tentang kita kepada mereka dan sekarang tergantung sama kamu. Kalau kamu mau nikah cepet, mereka juga akan izinkan.” Pijar tidak bisa berkata-kata. Elang ini benar-benar titisan iblis berambut hitam. Sebelum ini dia tak pernah mengatakan kepada siapa pun tentang orang tuanya, di mana alamat rumah mereka, atau hal-hal lain yang menyangkut privasi orang tuanya. Jika Noah tahu rumah orang tuanya, itu tentu hal wajar karena orang tua Noah adalah teman ayahnya. Namun, dari mana Elang tahu juga?Untuk beberapa saat, Pijar hanya termenung dan menatap Elang dengan tatapan kosong. Kenapa begitu cepatnya lelaki itu bertindak. Kenapa ayahnya tidak mengatakan apa pun kepadanya? Lalu, kapan Elang datang ke rumah orang tuanya? Elang beranjak ketika mendengar ketukan pintu. Pesanan makanan sudah datang. Ada dua paperbag bertuli
Pijar tidak mengatakan dengan spesifik jika dirinya menerima Elang lagi. Tidak ada juga pernyataan yang jelas jika mereka sudah merajut hubungan mereka yang sempat putus. Namun, Elang tetaplah Elang. Dia sudah merasa memiliki Pijar sepenuhnya. Lelaki itu jadi sering menemui Pijar baik itu di kantor atau bahkan di rumah Pijar. Dia tak akan membiarkan lelaki lain mengambil Pijar dari tangannya. Tidak akan ada kesempatan untuk orang lain mendekati Pijar. “Kenapa kamu jadi sering datang ke sini?” tanya Pijar kepada Elang saat malam ini Elang kembali datang ke rumah Pijar. Tatapan kesal Pijar tidak dihiraukan. Elang nyelonong masuk ketika Pijar baru saja membukakan pintu rumahnya. “Makanya ayo nikah biar kita tinggal serumah. Capek aku tiap pulang kerja harus nyetir agar jauh-jauh datang ke sini.” Begitu bunyi suara Elang sambil berjalan menuju sofa ruang keluarga. Padahal, dia dulu juga tinggal di depan rumah Pijar. Perjalanan dari kantornya ke rumah Pijar juga hanya setengah jam. Ela
“Gimana keadaan, Tante, Mas?” Pijar terlihat khawatir ketika mengeluarkan pertanyaan itu kepada Noah. Dia baru saja pulang dari kantor ketika sang ayah mengatakan jika ibu Noah masuk rumah sakit. Ayahnya meminta agar Pijar menjenguk perempuan paruh baya itu sebagai perwakilan dirinya. Baru saja dia memarkirkan mobilnya, dia kembali pergi bahkan belum sempat untuk masuk ke dalam rumah. “Masih ditangani dokter, Jar.” Noah terlihat lemah ketika mengatakan itu. “Kok kamu bisa tahu kalau Mama ada di rumah sakit? Aku belum kasih tahu kamu, ‘kan?” “Ayah yang bilang. Jadi, aku langsung cepat-cepat dateng. Kejadiannya gimana, Mas?” Noah menarik napasnya panjang sebelum menjawab. “Mama tadi katanya sesak napas. Terus pingsan. Aku nggak tahu kenapa karena beliau nggak punya riwayat penyakit dalam.” “Tante pasti baik-baik saja.” Pijar segera bersuara untuk menguatkan Noah. Dia ingat betul bagaimana rasanya ketika orang tua sedang terbaring sakit di rumah sakit. Dia pernah mengalaminya ketika
“Calon suami?” Ibu Noah terkejut luar biasa mendengar jawaban Elang. Pijar menutup matanya erat karena ulah Elang. Tidak seharusnya dia mengatakan itu di depan ibu Noah. Perempuan paruh baya itu tampak bingung ketika menatap Elang dan Pijar bergantian. “Kamu … punya pacar, Pijar? Bukannya kamu sedang dekat dengan Noah?” “Ma!” Noah mendekat. “Jangan pikirkan apa pun dulu. Yang penting sekarang adalah Mama sembuh.” “Tapi, Noah ….” “Pijar, udah malam. Jam besuk juga udah habis. Kamu bisa pulang dulu. Besok bisa kesini lagi.” Noah tentu tidak ingin kalau ibunya menjadi terbebani dengan masalah perjodohan dirinya dengan Pijar. Bukan hanya itu, terlihat sekali Elang tidak akan bisa mengalah dan menahan ucapannya. “Kalau begitu, kami pulang dulu, Mas.” Pijar menyetujui ucapan Noah. Dia pamit dengan ibu Noah meskipun perempuan paruh baya itu masih terlihat bingung. “Kamu itu tolong tahan ucapan kamu dong, Lang.” Sampai di luar rumah sakit, Pijar segera menegur Elang. “Tante itu lagi sa
“Padahal ada harapan besar untuk kalian bersama. Tante ingin sekali kamu dan Noah menikah.” Kali ini ibu Noah tidak bisa menutupi kekecewaannya ketika mengatakan itu. Pijar sudah mengatakan tentang hubungannya dengan Noah, juga hubungannya dengan Elang. Dia ingin semuanya menjadi jelas dan tidak ada yang perlu ditutupi. Hatinya tak bisa dibohongi. Cintanya dengan Elang memang sudah melekat erat di dalam hatinya. “Saya minta maaf karena sudah mengecewakan Tante. Saya hanya ingin semua ini menjadi jelas. Saya memang belum menerima Elang sepenuhnya, tapi perasaan saya tidak bisa dibohongi.” Sejak awal, dia sudah menganggap Noah sebagai kakaknya. Pijar memang merasa jahat, tetapi dia juga tidak bisa memaksakan hatinya. Elang memang brengsek, hanya saja si brengsek itulah yang sanggup membuatnya jatuh cinta. “Apa tidak ada celah untuk Noah masuk dalam hati kamu, Jar?” Perempuan paruh itu tampaknya tidak ingin menyerah. “Sedikitpun tidak masalah bagi Tante, Jar.” Pijar merasa bersalah,
“Jangan bilang sama Mama kalau aku di rumah sakit, ya, udah cukup kamu di sini aja.” Setelah dua jam berlalu, panas Elang tak kunjung turun. Pada akhirnya Pijar meminta Adam untuk membantu Elang membawa ke rumah sakit. Ternyata setelah dicek, bukan hanya demam biasa melainkan sakit tipes. Parahnya lagi, Elang tidak ingin orang tuanya dihubungi. Baginya sekarang keberadaan Pijar sudah cukup. Pijar bahkan harus meminta izin kepada Leo untuk tidak masuk kantor. Semua itu gara-gara permintaan si bocah tua bernama Elang. Pijar sebenarnya juga merasa kesal, tetapi dia harus menjaga lelaki itu. “Ayo, makan dulu!” Pijar sudah benar-benar lelah ketika dia harus membujuk Elang untuk makan. Ini sudah waktunya jam makan siang dan Elang sulit sekali diminta makan. “Pahit, Jar, ya ampun. Udah, nggak usah makan. Temani aja sini.” Pijar semalam hanya tidur sebentar dan sekarang dia juga harus menemani Elang yang rewelnya minta ampun. Dia sudah seperti merawat suaminya saja sekarang. Kalau saja A
“Mas, aku minta maaf. Aku hari ini nggak bisa ke rumah sakit. Elang juga masuk rumah sakit semalam.” Entah kebetulan seperti apa, tetapi ketika Pijar keluar dari sebuah toko baju, dia mendapati Noah baru saja keluar dari sebuah restoran di samping toko. Lelaki itu baru saja meeting dan pertemuan itu akhirnya terjadi. “Elang sakit?” tanya Noah terkejut. “Iya. Dia kena tipes.” Wajah lelah Pijar tak bisa ditutupi. Noah mengajak Pijar masuk ke dalam restoran agar mereka setidaknya bisa mengobrol meskipun sebentar. Pijar tak menolak dan mereka duduk berdua di sebuah meja di sudut restoran. “Kamu terlihat lelah banget, Jar.” Begitu Noah mengawali obrolan. “Kamu semaleman nunggu dia?” Pijar tersenyum. Dia tak mungkin mengatakan secara gamblang apa yang dilakukan oleh Elang yang kekanakan. “Iya, Mas. Kebetulan aku semalem yang bawa dia ke rumah sakit.” “Lho, emang orang tuanya ke mana?” “Dia tinggal di apartemen sendirian. Dia juga nggak bilang kalau sakit, sekretaris pribadin
“Kamu pikir nikah itu seperti beli cabe?” Almeda melototi Elang yang sudah duduk sambil menatap tiga orang di depannya. Perempuan paruh baya itu sepertinya sudah tidak sabar dengan tingkah putranya yang seenaknya sendiri. “Pijar berhak berpikir apa kamu pantas atau tidak diterima menjadi suaminya!” Gema pun ikut angkat bicara. “Kamu itu sudah tua, tingkah kayak anak kecil.” Gema yang sejak tadi membiarkan Elang bertingkah semaunya itu akhirnya mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hanya Pijar yang dibuat kesal, orang tuanya juga terlihat kesal dengan tingkah Elang. “Papa ini harusnya belain aku. Aku ini anak Papa, lho. Kalau aku diterima sama Pijar, sebentar lagi kalian akan punya menantu,” balas Elang terlihat licik. Pijar tidak menanggapi dan membiarkan lelaki itu berbuat sesuka hatinya. Dia menatap Gema dan Almeda bergantian. “Bu, Pak, terima kasih karena sudah memberikan saya waktu untuk berpikir. Jujur saja, saya masih belum ada keinginan untuk menikah cepat-cepat.” “Nggak usah