Mira terusik dengan suara dengkuran seseorang. Badannya juga terasa pegal karena duduk terlalu lama tertidur di dalam mobil. Perlahan Mira membuka matanya mencari arah suara dengkuran seorang pria. Mira tersadar bahwa dia sedang bersama seorang pria bernama Ferdian. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak dihadapannya, ia tak bisa melihat dengan jelas karena masih gelap. Mira melihat angka yang tertera didalam jam digital di mobil itu. Waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari.
Emmmhhh!
Mira pura-pura memejamkan mata saat melihat gerakan pada tubuh Ferdian. Dia tidak mau kepergok sedang memperhatikan tidurnya.
"Kalau capek, kamu bisa tidur di belakang," tiba-tiba Ferdian berkata.
Mira terpaksa membuka mata dan melihat ke arah Ferdian. "Tidak perlu, sepertinya aku sudah tak mengantuk lagi." mereka terdiam.
"Kemana kita akan pergi?" tanya Mira.
"Kerumahku," jawab Ferdian singkat.
"Kerumahmu? Jangan bercanda Om, tolong turunkan saja Mira di terminal. Mira bisa pulang ke Jakarta."
"Tapi aku sudah membayar mahal untuk membawamu keluar dari tempat itu semalam."
Mira menatap tajam Ferdian, sayangnya suasana masih gelap dan mengaburkan raut wajah amarah yang terpancar diwajahnya.
"Tapi Mira tak pernah meminta Om Ferdian membayar untuk Nyonya Cherry..."
"Membayar? Apa maksud membayar yang kamu tahu?"
Mira tak tahu, mungkinkah itu serupa sewa atau beli? Apakah tubuhnya telah terjual dan dibeli pria disampingnya ini? Mira menggigit bibirnya, meremas pinggiran rok hingga memutih buku jarinya.
"Akan kuperjelas padamu, aku telah membayar seratus juta kepada Nyonya Cherry untuk bisa membawamu sepuasku. Jadi aku berharap kamu bekerja sama dengan baik."
Membawanya? Sepuasnya?
Lama ia merenungi kalimat barusan.
Mira menitikkan air mata, Ferdian yang dikiranya orang baik ternyata orang yang lebih jahat dari si botak. Dia hanya terisak tak mengerti lagi bagaimana dia akan lari dari kenyataan hidupnya.
"Dengar, anggap saja ini sebuah kontrak perjanjian. Kamu akan tinggal bersamaku sepanjang waktu yang aku butuhkan,"
"Apa? Kontrak? Aku tak pernah menyetujui apapun, mengapa bisa kontrak? Bahkan yang diuntungkan hanyalah Nyonya Cherry, haruskah dia menyetujui kontrak segila ini?" Batinnya.
Lagi-lagi Mira hanya bisa terisak, dia benci dengan kenyataan bahwa Ferdian tak ubahnya dengan orang-orang semisal Andres, Nyonya Cherry dan juga si botak. Dia sangat benci!
Lambat laun onggokan awan hitam beranjak dari tempatnya, burung laut mulai meramaikan suasana. Sinar matahari menembus cakrawala dengan sinarnya yang lembut. Andaikan suasana hatinya tak seburuk ini, ia akan sangat bahagia menyaksikan pemandangan pagi yang indah dan menyegarkan. Di tepi laut saat mentari menyembul dari ufuk timur, saat gulungan ombak menari menyambut sinar mentari. Mira tak pernah merasakan rekreasi sekadar memanjakan matanya pada nuansa alam yang menyajikan keindahan seperti ini. Tapi pagi ini, dia tidak bisa mengatakan selamat pagi pada dunia. Karena pada dasarnya itu hanya akan memperlihatkan betapa menyedihkannya dirinya kini.
"Maaf karena disini tidak ada nasi, hanya ada roti selai untuk mengganjal perutmu," Ferdian menyerahkan dua bungkus roti dengan selai kacang tanah ke tangan Mira dan juga segelas coffee mix hangat sebagai minumannya. Mira menerimanya dan mengangguk.
Tidak masalah baginya sepotong roti, itu bahkan sangat berharga. Dia bahkan tak memiliki uang sepeserpun sekarang ini. Mira menatap Ferdian saat mengunyah roti yang dipegangnya, dia melihat juga bagaimana Ferdian sedang mengunyah roti yang sama dengan miliknya. Ferdian balas melihatnya.
"Adakah yang ingin kau katakan?"
"Apakah aku harus mengikutimu?" Tanya Mira.
"Tentu saja, aku telah mengatakannya kepadamu,"
"Dan juga melayanimu?"
Ferdian tersenyum. "Kamu memang pelayanku sekarang, kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan kepadamu, itulah sebabnya aku harus berbaik hati kepadamu agar kamu melayaniku dengan baik, jelas?"
Mira masih menggantung tanda tanya, ia ingin bertanya apakah sebenarnya tugas yang dimilikinya termasuk juga melayaninya di tempat tidur? Karena Ferdian telah membelinya dari seorang mucikari.
Akan tetapi Mira tak berani bertanya lebih lanjut. Dikarenakan itu tampak seperti dirinya yang menginginkannya.
Tidak! Tidak! Itu tak boleh terjadi!
Mira menghela napas. Dia terlalu berbaik sangka pada pria ini kemarin.
Ferdian membuka sebuah pintu dengan nomor sandi. Mira melihat kesana kemari. Kenapa lorong disana-sini sangat sepi. Di lift tadi mereka bertemu dengan penghuni lantai atas, tapi Ferdian tidak bertegur sapa dengan mereka."Pemukiman apakah ini?" Mira membatin."Tinit tinit" pintu terbuka."Masuklah!" Perintah Ferdian.Mira berjalan pelan memasuki pintu apartemen Ferdian. Hatinya hanya serasa galau saat pintu itu tertutup kembali."Itu ruanganmu!" Ferdian menunjuk pada sebuah pintu yang terbuka. "Diruangan itu ada almari yang banyak pakaian seukuranmu, pakailah sesukamu," lalu Ferdian berlalu dari hadapan Mira.Mira memasuki kamar dengan nuansa pastel itu, banyak foto-foto bergantungan disana. Mira bisa memastikan bahwa foto itu foto adik Ferdian karena mereka tampak sangat mirip. Di ujung kamar tersebut masih ada sebuah pintu lagi. Mira membukanya perlahan, iapun mengagumi semua yang terpajang didalam sana hingga tak terasa kakinya menu
Mira mengganti pakaiannya, sekarang ia mengenakan celana selutut dengan kaos berwarna putih. Padahal cacing diperutnya sudah meronta sejak tadi, tetapi siapakah yang bisa mengerti keadaannya saat ini? Mira berdiam di tepi tempat tidur, ia takut disalahkan jika keluar tanpa ijin. Tapi mana mungkin ia membiarkan dirinya mati kelaparan? Tidak! Aku harus berani menuntut hak mendapatkan makanan yang layak di dalam rumah ini! Tekadnya. "Mira! Ini makananmu!" Mira kegirangan di dalam hati. "Kenapa nggak dari tadi?" Ia ingin menjawab seperti itu, tapi nggak mungkin. Sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng sudah menantinya. Mira bisa melihat Ferdian menyelesaikan sendokan terakhir di mulutnya. Lalu meneguk air putih dan bangkit dari kursinya saat Mira baru saja mendaratkan bokongnya. Ferdian bahkan bersendawa dengan suara keras setelah itu, membuat selera makan Mira menurun. "Menjijikkan!" Gumamnya. Mira sangat membenci orang yang bersenda
Ferdian merapikan kemejanya yang berwarna biru Turkish, lalu melepaskan satu anak kancing di bagian dada. Rambut coklat bergelombang hanya ia sela dengan jari-jari tangannya. Aroma parfum menguar ke seluruh walk and closed miliknya saat ia menyemprotkan parfum keluaran Lancome yang mengeluarkan aroma segar bunga Lilac dan lemon.Di kamar, Mira melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi."Haruskah aku mandi? Jam segini pastilah masih sangat dingin," gumam Mira. Ia sangat malas mandi sepagi itu, namun ia sangat takut dengan Ferdian. Sementara ia juga butuh untuk ke kamar mandi menyelesaikan hajatnya setiap pagi."Sial! Sudah jam enam lewat lima menit, masih tersisa lima menit lagi! Aku harus segera ke kamar mandi!" Mira berlari keluar kamarnya menuju kamar mandi. Syukurlah Ferdian belum keluar dari kamarnya. Dengan berjinjit Mira melewati pintu kamar Ferdian."Yaah, tahan dulu dong...," desakan ingin keluar sudah sangat terasa di ujung. Mira berusaha sekuat t
"Ah sial banget karena harus ngurusin yang beginian," gerutunya sambil memilih pembalut mana yang harus dia beli. Terlalu banyak merk yang berjajar di sana. Iapun mengambil keranjang dan memasukkan semua merek yang ada. Dia menghitung ada sekitar tujuh pack pembalut yang ia beli.Seorang wanita yang berdiri di sudut swalayan tampak memperhatikan Ferdian yang masih sibuk berbelanja. Ia juga membeli beberapa produk kecantikan yang barangkali dibutuhkan Mira. Sebab Ferdian tahu Mira tak membawa apa-apa."Kamu kayak emak-emak, Fer," sapa wanita itu yang ternyata Gea, teman masa kecilnya."Bisa dibilang begitu," jawabnya singkat."Apa yang kamu beli?" Gea mengintip isi kantong belanja Ferdian. "Pembalut? Emang kamu..." Gea melihatnya penasaran."Kenapa? Penasaran?" Ferdian berjalan cepat. Wajahnya datar tak bersahabat. Ia tak mau Gea semakin kepo."Fer, buat siapa?" teriaknya. Tapi Ferdian tak bergeming. Ia harus cepat sampai di rumah karena takut
Mira yang ditanya begitu hanya bisa menatap Ferdian kaget. Ia tak menyangka Ferdian ada di rumah dan melihat apa yang dilakukannya."Itu karena, eh..Mira nggak pernah pakai mesin cuci Om," katanya sambil menunduk."Kamu selalu memanggilku Om,""Oh, maaf. Ferdian.""Ambil bed cover itu, aku akan mengajarimu menggunakannya," katanya kemudian.Mira berusaha mengangkat bed cover tersebut, tapi ia tak menyangka kalau bed cover tersebut sangat berat setelah bercampur air. Mira kewalahan mengangkatnya."Astaga! Air apa ini" Ferdian terkejut saat aliran air yang keluar dari bed cover membanjiri area mesin cuci."MIRAAA!!" teriaknya kesal. Betapa bodohnya gadis ini, dan betapa sialnya hidupnya kini.Kekacauan demi kekacauan telah tercipta seperti petaka baginya."Astaga! Aku tak pernah merasakan kekacauan ketika hidup bersama Vivin, tapi denganmu?" Ferdian mengambil bed cover yang diangkat Mira lalu memasukkannya kedalam mesin cu
"Kau memang tampak lelah sejak tadi, kenapa memaksakan diri? Pulanglah saja kalau merasa kurang fokus atau tidak enak badan," ayahnya memberikan saran."Ah, tidak Yah. Aku sudah terlalu lama mengambil cuti, bagaimana bisa aku libur terus?" ujarnya."Hem, terserah padamu. Akan tetapi jangan sampai kesibukanmu membuat tubuhmu letih dan jadi sakit karenanya.""Ayah terlalu berlebih-lebihan, aku bisa menjaga diri Yah," ujarnya sambil membenarkan dasinya yang terbalik."Apa proyek ayah sekarang ini?""Benar, ayah mau memberi tahu kepadamu tentang brand yang sekarang di garap kita.""Apa itu Yah?""Itu adalah milik Suroya fashion, mantan kekasihmu."Ferdian melirik malas. Kenapa masih juga berkaitan dengan wanita itu?"Apa yang menarik? Aku bahkan merasa muak. Sebaiknya dia mencari agensi lain yang bisa mengurusinya. Dan bukan kita!" Ferdian mendengkus kesal. Ia tak bisa hidup tenang jika wanita itu masih ada kesempatan menemu
Kalau dulu memang perjodohan hal biasa, tapi sekarang? Ferdian nggak terima kalau harus dijodohkan."Bu, aku sudah ada pacar kok. Please nggak usah bingung sendiri. Cuma sekarang ini kita lagi nggak bagus hubungannya," kilahnya, ia berbohong supaya ibunya tidak mencarikan jodoh untuknya."Benarkah? Coba bawa sini gadis itu, ibu pengen berkenalan dengannya. Apa dia cantik?"Astaga! Apa dia salah mengambil langkah?"Bu, kapan-kapan saja ya, Ferdian masih sangat sibuk dengan pekerjaan. Dan dia juga masih sibuk dengan pekerjaan. Lain kali Ferdian bawa kesini.""Baiklah, dalam sebulan kalau kamu tidak membawanya kesini ibu akan menjodohkan kamu dengan Vina anak Tante Zeya, kamu ingat kan? Lagipula dia cantik dan baik, Vina juga menyukaimu. Jadi, tinggal kamu saja yang harus membuktikan apakah kamu beneran punya pacar atau tidak!"Ferdian merapatkan bibirnya. Situasi semakin tak kondusif.Dia mengenal Vina, gadis itu sempat menj
Gadis celaka!Entahlah, sejak hari-hari terakhir hidupnya seakan tertimpa banyak kesialan.Kekacauan selalu saja terjadi dan membuatnya frustasi.Mira masih terduduk memegangi bokongnya yang berdenyut-denyut karena terhempas di lantai tadi. Mengingat bagaimana Ferdian berteriak marah tadi ia punya firasat buruk."Hei bocah tengil! Kau apakan dapurku? Ck!" Ferdian mulai mengeluarkan tanduk.Bagaimana tidak? Dapur kesayangannya sudah hancur lebur tak berbentuk.Meja cantiknya telah penuh dengan bahan kue dan belepotan tepung. Kompor juga tertumpah adonan. Seluruh peralatan dapur seakan keluar dari tempatnya. Belum lagi lantai yang berserakan tepung yang tumpah menimpanya tadi.Mira meringis. Kali ini ia pasrah karena kesalahannya cukup fatal."Maaf," ucapnya pelan. Dari sudut matanya ia bisa melihat pria itu berdiri menjulang dengan berkacak pinggang.Tapi pemandangan itu menyita perhatiannya. Pria itu bertelanjang dada dengan rambutnya yang basah. Lil