Ferdian mengeluarkan seluruh uang dan dompet yang ada di dalam pakaian Bobby pria botak itu.
"Apa yang kau lakukan?" Mira heran dengan apa yang dilakukan Ferdian terhadap temannya sendiri.
"Apakah kau baik baik saja?" tanyanya.
Mira mengangguk lemah.
"Ingatlah kata-kataku dengan baik, katakan pada Cherry bahwa ada seseorang yang merampoknya. Setelah itu tunggulah aku besok malam di meja yang sama!" Ferdian mengucapkan perlahan, dan menatap Mira yang sudah lemah.
"Kamu harus mengingat kata-kata ini dengan baik, percayalah padaku! Kamu tidak akan bisa keluar dari sini begitu saja, jadi berhati-hatilah!" Mira hanya mengangguk. Dia hanya membutuhkan sedikit harapan untuk bisa selamat malam ini. Dan dia akan mencoba mempercayai pria itu.
Ferdian mengenakan topeng itu lagi. Mira terpaku melihat pria botak yang masih pingsan di lantai. Namun tak lama kemudian ia ingat pesan Ferdian untuk segera melaporkan kejadian ini sebagai perampokan sebelum si botak itu bangun. Mira bergegas keluar setelah merapikan pakaiannya yang berantakan karena ulah pria botak itu.
"Dirampok?" Nyonya Cherry menyelidik kearah Mira yang tampak berantakan.
"Periksa kamar itu!" Ia memerintah bawahannya untuk memeriksa kamar itu. Setelah kembali para penjaga itu telah membawa pria botak yang dituntun kedua tangannya.
Sesekali pria itu melirik Mira, yang membuat Mira bergidik ngeri mengingat apa yang telah dilakukannya dikamar tadi.
"Kami tidak pernah mengalami kejadian perampokan seperti ini," ujar wanita itu kepada si botak. "Jadi kamu tahu apa maksudku bukan?"
Pria botak itu hanya mengangguk.
"Kami akan mengembalikan uang muka yang sudah kamu bayarkan dengan syarat kamu tidak melaporkan kejadian perampokan ini kepada polisi!" Lagi-lagi pria itu mengangguk.
Nyonya Cherry melempar sejumlah uang keatas meja dan pria itupun memungutinya. Sampai pria itu pergi, Mira tetap berdiri ditempat itu.
Nyonya Cherry lalu mendekati Mira. Menyentuh wajah Mira yang tertunduk
"Kamu baik-baik saja bukan? Apakah dia telah melakukan sesuatu kepadamu?" Mira menggeleng. Wanita jahat ini sungguh menanyakan apakah dirinya baik-baik saja? Bahkan dengan suaranya yang lembut. Tak tahukah dia bahwa dirinya hampir saja mati ketakutan kalau saja bukan karena Ferdian yang menolongnya. Dasar Munafik! Umpat Mira dalam hati.
"Kamu sungguh bernilai, jadi kamu tidak usah khawatir tidak mendapatkan uang." Ia berjalan memutari Mira, persis memutari sebuah karya seni.
Mira hanya mengingat Ferdian. Ia ingin percaya pria itu akan melakukan sesuatu untuknya.
###
"Apakah benar kalian dirampok?" Lilis antusias ingin mendengar cerita yang sebenarnya dari Mira.Mira mengangguk.
"Aneh sekali, bukankah penjaga ada dimana-mana? Tapi bagaimana bisa tidak ketahuan?"
"Entahlah Lis, aku cuma orang baru disini."
"Dan kamu melihat bagaimana perampok itu mengambil seluruh uangnya?" Mira manggut-manggut.
"Padahal pak Bobby adalah pelanggan lama yang selalu membayar mahal," keluh Lilis.
"Sudah berapa lama kamu melakukan hal semacam ini?" tanya Mira kepada Lilis.
Lilis membalikkan badannya dan menghadap kearah Mira." Aku? Hemmm, mungkin tiga tahun, sejak umurku tujuh belas tahun," jawabnya santai.
"Kamu sungguh menyukainya?" Mira sangat penasaran. Tapi Lilis cepat menggeleng.
"Akan tetapi aku lebih tidak suka jika menjadi miskin dan kelaparan"
Mira merinding, kenapa tiba-tiba hidupnya mendengar hal-hal seperti ini? Apakah dirinya sejenis pelac*r? Sejenis wanita malam? Ya Tuhan...Air matanya mengalir perlahan.
Mira menyiapkan dirinya. Dia tahu, pasti Ferdian akan berlagak seperti tamu hidung belang. Tapi benarkah pria itu akan datang? Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Pria seperti apakah Ferdian? Oh tidak! Dia bahkan tidak tahu siapa sebenarnya pria itu! Bagaimana kalau nasibnya lebih buruk?
Didalam perjalanan menuju Club, pikirannya menjadi kacau dan campur aduk. Akan tetapi yang paling ia takutkan adalah Ferdian tidak datang seperti yang ia janjikan.
"Mira! Meja dua puluh satu menunggumu!" Lilis membisik kepada Mira.
"Deg! Ferdian?" Mira bergegas ke arah meja itu. Benar saja disana Ferdian telah menunggu.
"Duduklah disini, lebih dekat sedikit."
Mira mengernyitkan dahinya. "Apakah dia sama saja?" Mira ragu-ragu.
Tangan Ferdian menyambar Mira. "Lakukan seperti yang mereka lakukan agar Cherry tidak curiga."
Mira tak mengerti. Hingga tangan Ferdian melingkar di pinggang Mira membuat Mira terkejut.
"Maafkan aku," bisik Ferdian. "Kamu siap?" tanya Ferdian kemudian.
"Apa maksudmu?" Mira tambah tak mengerti.
"Baiklah, kamu menurut saja oke?" Ferdian menggandeng Mira ke sebuah tempat di lantai dua. Disana terdapat kamar-kamar dengan pintu tertutup. Sesekali Mira mendengar suara Wanita atau pria tertawa. Ruangan apa sebenarnya? batin Mira.
Sudah terlanjur. Ia harus mempercayai Ferdian bukan? Lalu bagaimana kalau Ferdian lebih jahat dari si botak itu?
"Selamat datang tuan Ferdian," Ferdian membuka salah satu pintu paling ujung. Bukankah itu suara Cherry?
"Aku sudah membawa gadis yang kumaksud."
"Kau biasanya tak pernah cocok dengan gadis-gadis sebelumnya. Tapi matamu memang punya selera bagus. Dia gadis kami yang sepesial."
"Sepertinya aku harus membayar mahal?!" Ferdian menyeringai lalu memeluk pinggang Mira lagi. Mira meronta agar Ferdian melepaskan tangannya.
"Dia tidak ubahnya seperti di botak bukan?" batin Mira mulai berperang.
"Aku akan membawanya selama seminggu." Ferdian mengeluarkan segepok uang dan menyerahkan kepada Nyonya Cherry yang kemudian Nyonya Cherry menghitungnya.
"Baiklah, aku setuju."
Sekarang Mira benar-benar yakin bahwa dirinya hanyalah serupa barang yang diperjual belikan. Setelah dijual kepada paman botak, sekarang dia adalah barang yang dijual kepada Ferdian. Dan semakin membuatnya kesal karena Ferdian sama seperti tuan botak itu.
Alih alih menyelamatkan dirinya sekarang malah dia yang membeli dirinya. Mira sangat sedih. Tamatlah riwayatku! bisik hatinya.
Ferdian mengajak Mira keluar dari Club itu. Dia hampir saja berniat untuk kabur setelah keluar dari pintu Club.
"Kalau mau kabur jangan disini, semua penjaga pintu Club ini mengawasimu. Lihatlah!" Mata Mira mengitari sekeliling Club dan Ferdian tidak berbohong dengan ucapannya. Terpaksa ia mengikuti langkah Ferdian memasuki BMW i8 di pelataran parkir.
"Tenanglah sedikit, dan maafkan aku tadi." Ferdian minta maaf karena terpaksa menyentuh Mira untuk membuat Cherry percaya.
"Kamu memang tampak brengsek!" Umpat Mira.
Ferdian tertawa, itu memang benar bahwa dirinya tampak seperti orang brengsek tadi.
"Sekarang kita mau kemana?" canda Ferdian, dia sangat khawatir jika sampai Mira tak mempercayainya maka semua rencananya akan gagal.
"Huh, terserah saja. Bukankah kau tadi sudah membayar untuk Nyonya Cherry? Tapi aku tidak mau kalau kejadian sibotak itu terulang. Aku pasti akan membunuhmu!" kesal Mira.
"Baiklah, percalah padaku!"
BMW dengan bandrol 3,5 milyar itu melesat menembus kegelapan malam. Suasana syahdu didalam mobil itu membuat Mira mengantuk. Walaupun tak sepenuhnya mempercayai Ferdian, tapi rasa aman membuat hatinya tenang. Pada akhirnya dia benar-benar terlelap.
Ferdian melirik gadis disampingnya. Dia sangat cantik alami. Tetapi itu membuatnya teringat dengan Vivin adiknya. Malam itu di club Cherry, Ferdian mencari Vivin setelah mendapat khabar seseorang membawanya kesana. Betapa terkejutnya Ferdian saat menemukan adiknya dalam keadaan tanpa busana.
"Vivin?" Ferdian mengguncang tubuh Vivin di atas kasur di salah satu Club itu.
"Kakak?" Tiba-tiba Vivin tersadar.
"Vin, ini kakak. Siapa yang melakukan ini? Katakan Vin, katakan."
Vivin menangis, badannya sudah lemah.
"Andres kak, Andres..." Vivin pingsan setelah mengatakan itu. Ferdian terkejut, tapi melihat tubuh adiknya yang melemah Ferdian tak bisa pasrah, ia membawa Vivin ke rumah sakit segera.
Ia terus mengingat nama itu, tapi ia belum bisa mendapatkan dimana Andres berada, yang dia tahu Andres adalah kaki tangan Cherry untuk mendapatkan mangsa gadis-gadis belia untuk mengeruk keuntungan.
Vivin meregang nyawa setelah melakukan perawatan seminggu lamanya. Menurut autopsi Vivin overdosis narkotika. Dan itu membuatnya semakin marah. Adiknya yang lembut dan jarang bergaul, bagaimana mungkin mengenal narkotika. Itu adalah tanda tanya besar.
Dia harus menemukan Andres.
Mira termenung, ia memikirkan tawaran Ferdian untuk bertemu dengan Tantenya dan juga adiknya.'Haruskah aku ceritakan semuanya? Menceritakan bagaimana aku hampir diperkosa si Botak lalu berakhir dibeli Ferdian?' Mira mengucek matanya, bibir tipisnya beberapa kali menjadi sasaran gigitannya sendiri. "Hei! Jangan mikirin yang enggak-enggak, aku udah bilang khilaf, tapi kamu masih diinget terus.""Hah? Maksudnya?""Tadi..."Ferdian menunjuk bibir Mira. "Kau menggigiti bibirmu, apa itu ciuman pertama kamu? Seolah kamu mengingat kejadian tadi. Nggak usah baperan, itu tak akan terulang lagi!" Wajah Mira bersemu merah, apa hal itu biasa dikalangan orang dewasa? Sehingga tidak segan-segan lagi untuk membahasnya? Itu sungguh memalukan baginya.Mira melengos, lalu bangkit meninggalkan Ferdian. Tapi Ferdian mengatakan sesuatu yang membuatnya berbalik melihatnya. "Oh ya, ini gaji bulan pertama aku bayar di mu
"Lagi?"Ferdian mengangguk. Tak ada cara lain karena ia sudah terlanjur mengatakan kepada ayahnya, ibunya dan juga Suroya. Apa jadinya kalau tiba-tiba mengatakan bahwa mereka sudah putus."Itu karena kau sepakat mengembalikan uang seratus juta itu hanya dengan berpura-pura menjadi pacarku.""Tuan Ferdian, apakah tidak ada cara lain?""Tidak Nona Mira, hanya itu yang bisa menyelamatkan dirimu dari hutang. Atau aku akan mengembalikan dirimu kepada Nyonya Cherry."Mira menyerah, ia tak bisa mengelak lagi."Oh ya, bagaimana dengan pakaianmu yang berantakan itu? Jangan sampai orang mengira aku melakukan hal-hal yang melampaui batas," cicit Ferdian yang tentu saja hal itu membuat Mira memutar bola matanya. Bukankah baru saja Ferdian melecehkan dirinya?*Mira memainkan ponsel yang baru saja diterimanya dari Ferdian. Bahkan Nomor pria itu sudah berada disana.Andai saja waktu itu dirinya sempat mengemas pakaian yang ada di rumah Elis, mungkin di
"Mira," Ferdian tercekat melihat Mira yang kacau balau. Matanya bengkak dan merah, begitu juga bibirnya seperti tersengat tawon. Rambutnya berantakan dan sebagian basah karena membasuh wajah, begitu juga pakaiannya terdapat noda lipstik di ujung kemeja dan lengannya, itupun sebagian basah karena air yang terciprat."Mira, maafkan aku," Ferdian menghampiri Mira dan menggenggam tangannya lembut. Tangan itu sangat dingin."Astaga, ayolah kemari aku buatkan minuman hangat untukmu," ajaknya sambil membimbing Mira ke meja kerjanya.Secangkir teh hangat telah berada di tangannya, lalu ia mengambil sendok untuk menyuapi Mira."Aku terlalu egois tadi, aku tidak bermaksud melecehkanmu tadi, itu karena aku tak punya cara untuk membuatnya pergi."Mira menerima suapan Ferdian."Bisakah aku kembali ke rumah tanteku? Aku sungguh ingin kembali," lirih Mira kepada Ferdian.Kalau Mira kembali ke rumah tantenya, bukankah peluang untuk bertemu Andres juga
"Aku memang berkepala batu untuk mencintaimu, dan aku akan lebih keras lagi dalam mencintaimu Ferdian, bukankah itu adil? Adil karena aku dulu pernah bersalah kepadamu."MataSuroya melirik Mira, ia bisa tahu bahwa Mira masih gadis ingusan dan akan merasa minder kalau ia memprovokasi gadis itu. Ia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu menyerah."Cinta macam apa kalau bertepuk sebelah tangan?""Hmm, kita lihat saja nanti. Kalian sepertinya masih baru saling mengenal. Lihatlah gadis itu, sangat gugup di dekatmu." celoteh Suroya. "Aku rasa kau hanya bisa menyentuh tangannya bukan?" Suroya malah ingin tahu sedekat apakah mereka."Benarkah?"Kali ini Ferdian berbuat nekat, dengan sekali gerakan ia memeluk Mira dan mencium bibirnya. Ia bahkan dengan sengaja melumatnya dengan rakus di depan Suroya. Ferdian memamerkan bagaimana ciumannya sangat intens kepada kekasih barunya.Mira yang terkejut tak bisa berbuat apa-apa karena kua
Ferdian menoleh kearah suara itu. Ah, ternyata adalah ibunda tersayang yang sedang mengalunkan suaranya. Padahal ia mengira bahwa Suroya yang akan datang menemuinya, ia sungguh sedang berakting seolah Mira adalah kekasihnya."Ehem, ehem," ibunya berdehem membuat Ferdian tersipu malu. Ini seperti senjata makan tuan."Kenapa ibu datang nggak nelpon dulu?" Ferdian mengomel."Emangnya Ibu harus selalu laporan kemana Ibu pergi, hah?" katanya sambil meletakkan kotak berisi kue-kue buatannya. Matanya mulai mencari sosok yang tadi dilihatnya sedang bermesraan dengan putranya. Ia sungguh datang disaat yang sangat tepat."Siapa namamu, Nduk?" Ibunya mendekati Mira."Saya Mira, Ibu.""Kamu bekerja disini?""Iya, Bu," jawabnya malu-malu, sesekali sudut matanya melirik Ferdian."Ooh begitu. Saya ibunya Ferdian, tidak perlu sungkan ya," katanya kemudian."Terimakasih, Bu," ujar Mira sedikit bergidik karena teringat bagaimana ibu Ferdian mendesak putran
Turun dari mobil, mata Mira tertumpu pada bangunan megah di hadapannya. Entahlah berapa lantai dan milik siapa gedung ini dia belum tahu pasti. Beberapa layar besar menghiasi sisi depan gedung tersebut. Sepertinya tayangan iklan beberapa produk ternama tampil dalam tayangan tersebut."Ayo, jalanlah dengan cepat!" Ferdian memerintah Mira.Mira mengikuti langkah lebar Ferdian setengah berlari. 'Katanya, dia harus berpura-pura seperti kekasihnya, tapi lihat saja cara berjalannya yang nggak tahu aturan' batinnya."Ah ya, kesini sebentar!" Ferdian menunggu langkahnya, lalu dengan cepat tangannya meraih telapak tangan Mira. Ia menggandengnya dengan santai. Beberapa orang yang melihatnya seperti mengalihkan pandangannya pada genggaman tangan mereka membuat Mira sedikit risih."Kak, aku malu," lirih Mira kepada pria itu."Kau malu, atau mau?" godanya.Mira menarik tangannya, memberengut karena kesal. "Apa yang akan mereka pikirkan nanti?"