Share

04

Waktu pukul 17.00 saat kami tiba di area perkemahan. Kami segera membersihkan diri dan bersiap untuk shalat magrib. Kebutulan shalat ashar sudah kita kerjakan saat bertugas tadi. Kami mempersiapkan diri dengan baik, setelah shalat maghrib nanti Azlan dan Rizam akan memasak menu makan malam, malam ini sesuai jadwal yang telah di tentukan. Akhirnya, aku bisa duduk di dalam tenda dengan tenang, sambil lalu menunggu waktu maghrib tiba aku menyempatkan diri menulis sesuatu di buku kecil yang ku dapatkan dari Kay saat di atas kapal waktu itu. 

 Buku ini ku jadikan sebagai buku khusus yang mencatat delapan atau lebih kata yang bermakna sebagai kenangan yang bisa kubaca. Buku berwarna-warni ini membuatku semangat untuk menulis setiap hari. Aku tersenyum kemudian menuliskan sesuatu di halaman pertama.. Perjalanan yang indah tidak terlepas dari pengelaman yang bermakna aku menuliskan kalimat pertama di dalam buku diaryku.

Aku tersenyum kecut, dalam hati ada sesuatu yang mengusikku. Aku masih terdiam menatap lurus ke depan, mencoba menghilangkan perasaan ini dengan memejamkan mataku. Aku mengeluh! Aku tidak mampu melakukannya.

Hingga suara Dira terdengar memanggilku dari luar, aku segera menutup buku, menyimpannya di dalam saku baju tugasku. Dan beranjak meninggalkan tenda menuju halaman. Langit sudah cukup gelap, asap api yang berkobar sepertinya akan menjadi kebiasaanku untuk gari-hariku yang tidak sebentar menunaikan tugas. Aku menghela nafas, langit yang yang masih menyinarkan sisa cahaya membuatku teringat rumah. Sepanjang salat berjamaah aku terusik dengan pikiranku.

Akhirnya setelah shalat maghrib selesai, aku beranjak membawa ponselku ke sudut perkemahan, mencoba mencari sinyal. Awalnya masih sekitar perkemahan ada sedikit sinyal di sini, namun jaringan internetnya sangat buruk. Aku mencoba mencari dengan lebih jauh lagi, selagi perkemahan masih terlihat. Aku sudah tidak takut dengan langit malam yang gelap, bintang di atas sana membuatku berani melangkah lebih jauh. Koneksinya sudah lebih baik namun masih kurang stabil.

Mungkin jika berjalan sepuluh meter lagi aku tidak akan melihat perkemahan. Namun aku masih tau jalan pulang, tadi aku pergi lewat arah belakang tenda karena aku yakin jika aku lewat depan aku pasti tidak akan di bolehkan untuk pergi. Apalagi Azlan, dia adalah oaring pertama yang akan meletakkan api di bawah kakiku jika aku memaksa pergi. Jadi tidak ada pilihan lain aku harus pergi lewat belakang dengan niat yang mantap. Hingga akhirnya aku berjalan cukup jauh.

Aku berjalan sekali lagi, sinyalnya sudah membaik aku pun sangat bahagia hingga sinyalnya benar-benar bagus. Aku menghidupkan data seketika puluhan, ratusan bahkan ribuan notifikasi sudah masuk. Aku tidak sempat membuka satu persatu, ada yang lebih penting. Aku harus menghubungi ibuku, dengan perasaan berbunga-bunga aku segera memeencet tombol dial dan panggilan pun berlangsung.

“Assalamualaikum, ibu! Ini Sena, ibu sehat?” Aku bertanya dengan linangan airmata, aku sangat merindukan sosok wanita di seberang sana. Suaranya, wajahnya, nasehatnya dan semua tentangnya.

“Waalaikumsalam nak, Alhamdulillah ibu baik-bai saja. Kamu sendiri apa kabar? Ibu sangat merindukanmu” Suara itu selalu membuatku hangat. Aku meneteskan air mata sekali lagi menarik nafas dan menetralkan suara.

“Alhamdulillah Sena sehat bu, maaf Sena baru bisa menghubungi ibu. Tempat Sena bertugas sangat jauh, tapi jangan khawatir tempatnya bagus dan aman, hanya kendalanya ada pada sinyal. Sena harap ibu mengerti” Ujarku dengan nada sedikit serak.

‘ Tentu nak, ibu selalu mendo’akanmu setiap saat, jaga dirimu, jaga kesehatan jangan terlalu memforsir diri. Apa pun itu lakukan dengan tenang dan teliti. InsyaAllah akan Allah mudahkan” Ucapan ibu membuatku meneteskan air mata sekali lagi. Rasanya seperti ibu memelukku aku sangat nyaman dengan ucapannya.

“Terima kasih banyak ibu, Sena selalu merindukan ibu” Aku meneteskan air mata yang kesekian kalinya. Suaraku sudah tidak bisa di sembunyikan.

“Ibu lebih merindukanmu. Jangan lupa shalatmu, istirahat yang cukup jika ada waktu hubungi ibu lagi nak” Aku mengangguk.

“ Pasti bu, Assalamualaikum, ibu jangan lupa juga jaga kesehatan dan jangan terlalu memikirkan Sena, selama do’a ibu ada Sena selalu baik-baik saja bu.” Ungkapmu dengan bulir-bulir air mata yang jatuh.

“Waalaikumsalam nak, pasti. Kamu juga janga lupa” Setelah itu sambungan terputus. Aku bahagia dan sedih sekaligus, ada rasa lega dan rasa rindu bergantian datang. Namun, aku segera menghapus air mataku. Aku segera menarik nafas dan memeluk ponselku sebagai ganti dari ibu, aku tersenyum menatapnya.

Aku segera beranjak dari tempatku berdiri, gelap sekali. Malam sudah datang begitu cepat, sebentar lagi jam sudah menunjukkan waktu shalat isya aku harus segera kembali. Namun, suara berisik tedengar seketika. Ada cahaya api yang menyinariku di balik phon dan semak-semak. Mataku mencari sumber cahaya, dan aku sangat terkejut setelah melihatnya.

Hampir saja berteriak, namun sebuah tangan membungkam mulutku. Aku takut bukan main, tangan itu membawaku bersembunyi dengan menundukkan kepala. Aku menatap pemilik tangan dan membelalakkan mata.

Azlan berada di sampingku, dia melepaskan tangannya dan menyuruhku diam. Sekali lagi aku kaget saat seseorang melangkah kea rah kami membawa obor, Azlan hampir membekap mulutku lagi namun, aku membekap mulutku dengan tanganku. Seseorang itu mencari sesuatu, mungkin ia tadi sempat melihatku berdiri atau Azlan pastinya aku tidak tau, namun aku yakin mereka melihat orang asing atau merasa ada sesuatu yang aneh.

Seseorang yang berpakaian aneh itu pergi. Aku melihat mereka dari kejauhan mereka sedang berpesta daging manusia, kepalanya di simpan dalam nampan khusus. Aku membelalakkan mata tidak percaya, Azlan ikut memeperhatikan mereka. Kami enggan beranjak dari tempat kami. Mereka berpesta di temani kepala sukunya kami tidak menyebutnya kepala desa seperti di rumah kami.

Aku berpikir cepat, aku menatap sekeliling yang di penuhi pagar dan pohon. Azlan seolah bisa membaca pikiranku mengangguk saat aku menatapnya mencari jawaban. Kami masih enggan beranjak, beberapa orang mengawasi setiap sudut, sepertinya mereka tidak berpesta biasa mereka sedang mencoba melakukan ritual. Aku bergidik ngeri menatap mereka, sungguh ini mengerikan!

Azlan mencoba menangkap foto mereka, tanpa suara dia mengambilnya dengan jelas. Setelah mereka menyelesaikan ritual mereka merobek-robek tubuh manusia itu Azlan menyuruhku mengikutinya aku pun menurut. Ini bukan saatnya mengingat masalah soal password bukan saatnya mengingat masalahku dengan Azlan kami harus berhati-hati agar pergi dengan aman. Selain itu banyak sekali pertanyaan dalam otakku yang masih belum ku sampaikan.

Tanpa obor, tanpa senter, kami berdua berjalan bersisian melewati semak-semak. Aku berdo’a dalam hati agar terhindar dari binatang yang membayakan seperti ular dan banyak lagi binatang berbisa lainnya. Dengan langkah yang sedikit ragu dan takut aku mengikuti langkah Azlan, langit gelap sudah tidak berbintang lagi. Aku menatap langit dengan seksama, sebelum aku berangkat tadi aku melihat satu dua bintang di atas sana. Mengapa sekarang malah tidak ada bintang? Apakah besok akan hujan? Pertanyaan itu menyelimuti kepalaku.

 Kami terus berjalan, kami sengaja tidak menggunakan senter agar mereka tidak melihat jejak kami. Setelah hampir ke perkemahan dan jauh dari tempat mengerikan tadi Azlan menyalakan senter, kami tidak ada yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya aku yang bertanya.

“Pertama, aku minta maaf, aku tidak memberitahumu sebelum pergi. Kedua, kenapa kamu tiba-tiba ada di belakangku?” Aku memulai percakapn sambil masih mengikuti langkahnya.

“Pertama, harusnya kamu memang memberitahuku, tapi aku sudah tahu alasanmu permintaan maaf diterima. Kedua, aku melihatmu berjalan meninggalkan perkemahan sendirian, saat aku mengambil beberapa bahan untuk di masak sehingga aku mengikutimu dari jauh. Lagi pula hari sudah malam tidak baik perempuan berjalan sendirian.” Azlan menjawab.

“Aku tidak berpikir kamu khawatir, tapi aku perlu mengatakan terima kasih.” Ujarku.

“Aku memang khawatir bagiku menyelamatkan dirimu malam ini, lebih baik dari pada harus mencarimu berhari-hari dan membuang-buang waktu timku menyelesaikan misi” Jawabannya terdengar menyebalkan. Padahal aku sudah ingin memberinya pujian, namun semuanya sirna kareana kalimatnya barusan. Dasar Azlan sangat menyebalkan! Aku berseru dalam hati.

Setelah lama berjalan, kami akhirnya melihat perkemahan, aku berpikir bagaimana aku akan menjelaskan kepada mereka tentang kepergian kami. Azlan menghentikan langkah. Ia menoleh dan menatapku. Aku tidak menatapnya tapi langkahku ikut berhenti.

“Kita akan jujur kepada mereka!” Seruku seolah mengerti apa yang Azlan pikirkan. Ia mengangguk tanpa basa-basi sepertinya dia sudah skakmat. Aku berjalan lebih dulu, Azlan mengikutiku dari belakang. Aku menghela nafas, itu artinya aku yang akan menjelaskan alasan mengenai kepergian kami berdua tadi.

Kami tiba di perkemahan dengan sambutan interogasi dan di cecar dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun. Aku menatap Azlan, dan melangkah ke dalam tenda. Mereka mengikutiku tanpa perlu ku suruh, Azlan pun melakukan hal yang sama. Aku menghela mencoba memberikan pemahaman.

“ Maaf, biar kujelaskan. Aku pergi dari daerah perkemahan untuk mencari sinyal, untuk ini maafkan aku karena tidak memberitahu kalian mengenai kepergianku ini. Aku memang salah! Azlan melihatku menjauh dari tenda dan mengikutiku dari belakang tanpa memberitahuku dia mengikutiku secara tiba-tiba” Aku menjeda kalimatku dan melanjutkan.

“Aku menelpon ibuku, sudah lama aku merndukannya aku menemukan tempat yang memiliki koneksi jaringan yang bagus. Ketika aku selesai menelpon, seseorang datang mendekat hampir saja ia melihatku. Naumn, Azlan membawaku bersembunyi di balik semak tempatku menelpon, kami berjongkok” Sekali lagi aku menjeda kalimatku dan mejelaskan.

“Kalian tahu apa yang kita lihat?” Tanyaku kepada mereka. Mereka terlihat semakin penasaran, aku mencoba memperhatikan sekitar tenda berharap setelah aku menjelaskan, tidak ada orang lain selain kelompok kita yang akan mendengarkan percakapan kita.

“ Kami melihat ke seberang, aku yakin itu daerah suku kacau. Suku berbahaya yang pernah di beritahu pak tua kepada kita. Suku itu sangat berbahaya, dan yang paling penting mereka adalah suku kanibal. Dari sana kita melihat sesuatu yang mengerikan.” Jelasku mereka semua saling pandang, ada pancaran rasa takut di dalam mata mereka, aku menatap Rizam dia justru tidak takut malah memiliki rasa penasaran yang lebih.

“Kita harus hati-hati apalagi, di daerah perbatasan ini memiliki akses koneksi yang sangat bagus. Suatu saat nanti kita akan ke sana untuk menghubungi keluarga kita. Jadi, kita tidak bisa meninggalkan atau jauh dari daerah perbatasan itu” Ujarku yang di angguki oleh semuanya. Dalam hati aku benar-benar takut dengan apa yang ku ucapkan sedari tadi, aku takut suku kanibal itu akan memangsa salah satu dari kita. Aku memegang kepalaku yang sedikit sakit.

“Kau baik-baik saja?” Dira menyentuh dahiku.

“Hanya kelelahan saat pulang tadi, aku tidak menyangka berjalan cukup jauh. “ aku menjelaskan apa adanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status