Waktu pukul 17.00 saat kami tiba di area perkemahan. Kami segera membersihkan diri dan bersiap untuk shalat magrib. Kebutulan shalat ashar sudah kita kerjakan saat bertugas tadi. Kami mempersiapkan diri dengan baik, setelah shalat maghrib nanti Azlan dan Rizam akan memasak menu makan malam, malam ini sesuai jadwal yang telah di tentukan. Akhirnya, aku bisa duduk di dalam tenda dengan tenang, sambil lalu menunggu waktu maghrib tiba aku menyempatkan diri menulis sesuatu di buku kecil yang ku dapatkan dari Kay saat di atas kapal waktu itu.
Buku ini ku jadikan sebagai buku khusus yang mencatat delapan atau lebih kata yang bermakna sebagai kenangan yang bisa kubaca. Buku berwarna-warni ini membuatku semangat untuk menulis setiap hari. Aku tersenyum kemudian menuliskan sesuatu di halaman pertama.. Perjalanan yang indah tidak terlepas dari pengelaman yang bermakna aku menuliskan kalimat pertama di dalam buku diaryku.
Aku tersenyum kecut, dalam hati ada sesuatu yang mengusikku. Aku masih terdiam menatap lurus ke depan, mencoba menghilangkan perasaan ini dengan memejamkan mataku. Aku mengeluh! Aku tidak mampu melakukannya.
Hingga suara Dira terdengar memanggilku dari luar, aku segera menutup buku, menyimpannya di dalam saku baju tugasku. Dan beranjak meninggalkan tenda menuju halaman. Langit sudah cukup gelap, asap api yang berkobar sepertinya akan menjadi kebiasaanku untuk gari-hariku yang tidak sebentar menunaikan tugas. Aku menghela nafas, langit yang yang masih menyinarkan sisa cahaya membuatku teringat rumah. Sepanjang salat berjamaah aku terusik dengan pikiranku.
Akhirnya setelah shalat maghrib selesai, aku beranjak membawa ponselku ke sudut perkemahan, mencoba mencari sinyal. Awalnya masih sekitar perkemahan ada sedikit sinyal di sini, namun jaringan internetnya sangat buruk. Aku mencoba mencari dengan lebih jauh lagi, selagi perkemahan masih terlihat. Aku sudah tidak takut dengan langit malam yang gelap, bintang di atas sana membuatku berani melangkah lebih jauh. Koneksinya sudah lebih baik namun masih kurang stabil.
Mungkin jika berjalan sepuluh meter lagi aku tidak akan melihat perkemahan. Namun aku masih tau jalan pulang, tadi aku pergi lewat arah belakang tenda karena aku yakin jika aku lewat depan aku pasti tidak akan di bolehkan untuk pergi. Apalagi Azlan, dia adalah oaring pertama yang akan meletakkan api di bawah kakiku jika aku memaksa pergi. Jadi tidak ada pilihan lain aku harus pergi lewat belakang dengan niat yang mantap. Hingga akhirnya aku berjalan cukup jauh.
Aku berjalan sekali lagi, sinyalnya sudah membaik aku pun sangat bahagia hingga sinyalnya benar-benar bagus. Aku menghidupkan data seketika puluhan, ratusan bahkan ribuan notifikasi sudah masuk. Aku tidak sempat membuka satu persatu, ada yang lebih penting. Aku harus menghubungi ibuku, dengan perasaan berbunga-bunga aku segera memeencet tombol dial dan panggilan pun berlangsung.
“Assalamualaikum, ibu! Ini Sena, ibu sehat?” Aku bertanya dengan linangan airmata, aku sangat merindukan sosok wanita di seberang sana. Suaranya, wajahnya, nasehatnya dan semua tentangnya.
“Waalaikumsalam nak, Alhamdulillah ibu baik-bai saja. Kamu sendiri apa kabar? Ibu sangat merindukanmu” Suara itu selalu membuatku hangat. Aku meneteskan air mata sekali lagi menarik nafas dan menetralkan suara.
“Alhamdulillah Sena sehat bu, maaf Sena baru bisa menghubungi ibu. Tempat Sena bertugas sangat jauh, tapi jangan khawatir tempatnya bagus dan aman, hanya kendalanya ada pada sinyal. Sena harap ibu mengerti” Ujarku dengan nada sedikit serak.
‘ Tentu nak, ibu selalu mendo’akanmu setiap saat, jaga dirimu, jaga kesehatan jangan terlalu memforsir diri. Apa pun itu lakukan dengan tenang dan teliti. InsyaAllah akan Allah mudahkan” Ucapan ibu membuatku meneteskan air mata sekali lagi. Rasanya seperti ibu memelukku aku sangat nyaman dengan ucapannya.
“Terima kasih banyak ibu, Sena selalu merindukan ibu” Aku meneteskan air mata yang kesekian kalinya. Suaraku sudah tidak bisa di sembunyikan.
“Ibu lebih merindukanmu. Jangan lupa shalatmu, istirahat yang cukup jika ada waktu hubungi ibu lagi nak” Aku mengangguk.
“ Pasti bu, Assalamualaikum, ibu jangan lupa juga jaga kesehatan dan jangan terlalu memikirkan Sena, selama do’a ibu ada Sena selalu baik-baik saja bu.” Ungkapmu dengan bulir-bulir air mata yang jatuh.
“Waalaikumsalam nak, pasti. Kamu juga janga lupa” Setelah itu sambungan terputus. Aku bahagia dan sedih sekaligus, ada rasa lega dan rasa rindu bergantian datang. Namun, aku segera menghapus air mataku. Aku segera menarik nafas dan memeluk ponselku sebagai ganti dari ibu, aku tersenyum menatapnya.
Aku segera beranjak dari tempatku berdiri, gelap sekali. Malam sudah datang begitu cepat, sebentar lagi jam sudah menunjukkan waktu shalat isya aku harus segera kembali. Namun, suara berisik tedengar seketika. Ada cahaya api yang menyinariku di balik phon dan semak-semak. Mataku mencari sumber cahaya, dan aku sangat terkejut setelah melihatnya.
Hampir saja berteriak, namun sebuah tangan membungkam mulutku. Aku takut bukan main, tangan itu membawaku bersembunyi dengan menundukkan kepala. Aku menatap pemilik tangan dan membelalakkan mata.
Azlan berada di sampingku, dia melepaskan tangannya dan menyuruhku diam. Sekali lagi aku kaget saat seseorang melangkah kea rah kami membawa obor, Azlan hampir membekap mulutku lagi namun, aku membekap mulutku dengan tanganku. Seseorang itu mencari sesuatu, mungkin ia tadi sempat melihatku berdiri atau Azlan pastinya aku tidak tau, namun aku yakin mereka melihat orang asing atau merasa ada sesuatu yang aneh.
Seseorang yang berpakaian aneh itu pergi. Aku melihat mereka dari kejauhan mereka sedang berpesta daging manusia, kepalanya di simpan dalam nampan khusus. Aku membelalakkan mata tidak percaya, Azlan ikut memeperhatikan mereka. Kami enggan beranjak dari tempat kami. Mereka berpesta di temani kepala sukunya kami tidak menyebutnya kepala desa seperti di rumah kami.
Aku berpikir cepat, aku menatap sekeliling yang di penuhi pagar dan pohon. Azlan seolah bisa membaca pikiranku mengangguk saat aku menatapnya mencari jawaban. Kami masih enggan beranjak, beberapa orang mengawasi setiap sudut, sepertinya mereka tidak berpesta biasa mereka sedang mencoba melakukan ritual. Aku bergidik ngeri menatap mereka, sungguh ini mengerikan!
Azlan mencoba menangkap foto mereka, tanpa suara dia mengambilnya dengan jelas. Setelah mereka menyelesaikan ritual mereka merobek-robek tubuh manusia itu Azlan menyuruhku mengikutinya aku pun menurut. Ini bukan saatnya mengingat masalah soal password bukan saatnya mengingat masalahku dengan Azlan kami harus berhati-hati agar pergi dengan aman. Selain itu banyak sekali pertanyaan dalam otakku yang masih belum ku sampaikan.
Tanpa obor, tanpa senter, kami berdua berjalan bersisian melewati semak-semak. Aku berdo’a dalam hati agar terhindar dari binatang yang membayakan seperti ular dan banyak lagi binatang berbisa lainnya. Dengan langkah yang sedikit ragu dan takut aku mengikuti langkah Azlan, langit gelap sudah tidak berbintang lagi. Aku menatap langit dengan seksama, sebelum aku berangkat tadi aku melihat satu dua bintang di atas sana. Mengapa sekarang malah tidak ada bintang? Apakah besok akan hujan? Pertanyaan itu menyelimuti kepalaku.
Kami terus berjalan, kami sengaja tidak menggunakan senter agar mereka tidak melihat jejak kami. Setelah hampir ke perkemahan dan jauh dari tempat mengerikan tadi Azlan menyalakan senter, kami tidak ada yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya aku yang bertanya.
“Pertama, aku minta maaf, aku tidak memberitahumu sebelum pergi. Kedua, kenapa kamu tiba-tiba ada di belakangku?” Aku memulai percakapn sambil masih mengikuti langkahnya.
“Pertama, harusnya kamu memang memberitahuku, tapi aku sudah tahu alasanmu permintaan maaf diterima. Kedua, aku melihatmu berjalan meninggalkan perkemahan sendirian, saat aku mengambil beberapa bahan untuk di masak sehingga aku mengikutimu dari jauh. Lagi pula hari sudah malam tidak baik perempuan berjalan sendirian.” Azlan menjawab.
“Aku tidak berpikir kamu khawatir, tapi aku perlu mengatakan terima kasih.” Ujarku.
“Aku memang khawatir bagiku menyelamatkan dirimu malam ini, lebih baik dari pada harus mencarimu berhari-hari dan membuang-buang waktu timku menyelesaikan misi” Jawabannya terdengar menyebalkan. Padahal aku sudah ingin memberinya pujian, namun semuanya sirna kareana kalimatnya barusan. Dasar Azlan sangat menyebalkan! Aku berseru dalam hati.
Setelah lama berjalan, kami akhirnya melihat perkemahan, aku berpikir bagaimana aku akan menjelaskan kepada mereka tentang kepergian kami. Azlan menghentikan langkah. Ia menoleh dan menatapku. Aku tidak menatapnya tapi langkahku ikut berhenti.
“Kita akan jujur kepada mereka!” Seruku seolah mengerti apa yang Azlan pikirkan. Ia mengangguk tanpa basa-basi sepertinya dia sudah skakmat. Aku berjalan lebih dulu, Azlan mengikutiku dari belakang. Aku menghela nafas, itu artinya aku yang akan menjelaskan alasan mengenai kepergian kami berdua tadi.
Kami tiba di perkemahan dengan sambutan interogasi dan di cecar dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun. Aku menatap Azlan, dan melangkah ke dalam tenda. Mereka mengikutiku tanpa perlu ku suruh, Azlan pun melakukan hal yang sama. Aku menghela mencoba memberikan pemahaman.
“ Maaf, biar kujelaskan. Aku pergi dari daerah perkemahan untuk mencari sinyal, untuk ini maafkan aku karena tidak memberitahu kalian mengenai kepergianku ini. Aku memang salah! Azlan melihatku menjauh dari tenda dan mengikutiku dari belakang tanpa memberitahuku dia mengikutiku secara tiba-tiba” Aku menjeda kalimatku dan melanjutkan.
“Aku menelpon ibuku, sudah lama aku merndukannya aku menemukan tempat yang memiliki koneksi jaringan yang bagus. Ketika aku selesai menelpon, seseorang datang mendekat hampir saja ia melihatku. Naumn, Azlan membawaku bersembunyi di balik semak tempatku menelpon, kami berjongkok” Sekali lagi aku menjeda kalimatku dan mejelaskan.
“Kalian tahu apa yang kita lihat?” Tanyaku kepada mereka. Mereka terlihat semakin penasaran, aku mencoba memperhatikan sekitar tenda berharap setelah aku menjelaskan, tidak ada orang lain selain kelompok kita yang akan mendengarkan percakapan kita.
“ Kami melihat ke seberang, aku yakin itu daerah suku kacau. Suku berbahaya yang pernah di beritahu pak tua kepada kita. Suku itu sangat berbahaya, dan yang paling penting mereka adalah suku kanibal. Dari sana kita melihat sesuatu yang mengerikan.” Jelasku mereka semua saling pandang, ada pancaran rasa takut di dalam mata mereka, aku menatap Rizam dia justru tidak takut malah memiliki rasa penasaran yang lebih.
“Kita harus hati-hati apalagi, di daerah perbatasan ini memiliki akses koneksi yang sangat bagus. Suatu saat nanti kita akan ke sana untuk menghubungi keluarga kita. Jadi, kita tidak bisa meninggalkan atau jauh dari daerah perbatasan itu” Ujarku yang di angguki oleh semuanya. Dalam hati aku benar-benar takut dengan apa yang ku ucapkan sedari tadi, aku takut suku kanibal itu akan memangsa salah satu dari kita. Aku memegang kepalaku yang sedikit sakit.
“Kau baik-baik saja?” Dira menyentuh dahiku.
“Hanya kelelahan saat pulang tadi, aku tidak menyangka berjalan cukup jauh. “ aku menjelaskan apa adanya.
Aku mengangguk meyakinkan kondisiku dalam keadaan baik-baik saja. Rizam mengangguk kecut, semuanya terdiam beberapa saat memikirkan tentang suku kanibal itu, aku pun terpikir hal yang sama. Namun, kepalaku nyeri sesekali saat kupaksa mengingat hal itu. Aku pun mencoba menarik nafas membiarkan rasa lega di dadaku yang sedikit sesak karena terlalu banyak berpikir. “Kalian sudah menunaikan shalat isya’?” Tanyaku mereka semua menggeleng cepat seolah baru tersadar dari lamunan. Azlan melangkah keluar segera mengakhiri pembicaraan kita. Aku menyusulnya semuanya pun demikian. Kami semua bergantian ke danau sebab beberapa orang di antara kami menjaga tenda agar tetap aman. Setelah semuanya selesai, kami mendirikan shalat berlajut dengan makan malam. Nasi yang sudah matang sedari tadi kini sudah hampir dingin, tidak ada asap mengepul lagi di atasnya. Namun masih nikmat untuk di makan. Kami menghabiskan makan malam tanpa percakapan, setelah semuanya selesai aku kembali ke tend
Tugasku sudah selesai Rizam pun demikian kami membereskan semua peralatan penelitian kami. Kami memutuskan untuk berjaga mengambil jadwal lebih awal dari yang sudah di tentukan. Semuanya menyetujui keputusan kami dan mengubah jadwal untuk Minggu ini. “Sebaiknya kita istirahat sesudah subuh saja Sen. Aku pikir kita perlu membuka mata agar penjagaan lebih aman. Tapi jika kamu butuh lebih banyak istirahat kamu bisa istirahat saja dulu nanti ku bangunkan” Ucap Rizam. Sebagai jawaban aku menggeleng tidak setuju. “Aku tidak mengantuk lagi. Tidak apa-apa aku akan berjaga juga sesuai kesepakatan” Jawabku tegas. Angin malam di tengah hutan membuat kulitku menggigil kedinginan. Untunglah, aku membawa jaket dari tenda tadi, sehingga angin dingin tidak menembus tulang-tulangku. Meskipun kami di daerah perkemahan, namun tetap saja suasana hutan memberikan suasana yang berbeda. “Aku penasaran dengan persis apa yang kamu lihat tentang suku kanibal” Rizam menatap ten
“Bagaimana kita akan melakukannya, kapten?” Kay sedikit ragu. Air hujan membasahi wajahnya, ratusan tetes air itu membasahi jas hujan yang membungkus tubuhnya. Azlan menunjuk jas hujannya. “Kita akan mengelabuhi mereka dengan ini” Azlan menatap serius. “Baiklah. Aku ikut” Kay berujar serius. “Kau harus ikut. Tapi dengarkan aku, kau hanya perlu melepas jas hujan. Dan menghilanglah di balik semak-semak. Aku tau kamu pasti paham maksudku, jangan sampai dirimu ketahuan berlari.” Azlan menjelaskan. “Aku paham kapten” Kay tersenyum semangat. Ia merapikan jas hujan dengan seringai singkat di wajahnya. Ada semangat yang tiba-tiba mengobar di dalam jiwanya. Ia sudah geram dengan kelakuan burung-burung itu, terlebih lagi ia geram karena mereka enggan pergi saja tanpa perlu membuat keduanya repot. Sebelum pergi kami melihat burung-burung itu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Azlan melihat satu persatu burung itu, ia melihat hal janggal di sana
Kay menatap Azlan berusaha mencari penjelasan. Dari sirat matanya seolah banyak sekali pertanyaan di benaknya. Ia melangkah sedikit lebih dekat ke pembatas pepohonan. Tak hanya cuaca di sini yang aneh karena yang tadinya hujan deras berubah menjadi terik. Namun, cuaca di desa sebelah juga tak kalah aneh yang awalnya terik berubah menjadi hujan deras seketika seperti hujan sebelumnya di daerah desa damai. Meskipun sebelumnya di sana terik panas matahari dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Tapi setelah air di dalam kendi itu di tuang pada titik pusat itu, semuanya berbalik seketika. Banyak pertanyaan pula di benak Azlan dengan semua hal yang yang ia lihat sejak tadi. Tidak hanya aneh, ini seolah sihir baginya. Ia pun tidak yakin hujan ini merata di desa damai sebagaimana hujan pada umumnya. “Kapten, ini sulit dijelaskan. Banyak sekali pertanyaan di benakku” Kay masih terus menatap apa yang ada di depannya. Setelah wanita itu menyiram air, ada se
Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik. “Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda. “Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru. “Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya “Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan. “Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku. “Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel. “Kapten kel
Mereka tiba sebelum matahari terbenam. Azlan tiba saat yang lainnya baru saja tiba di perkemahan. Matahari sudah berwarna jingga pekat. “Kita akan bersiap menunaikan shalat Maghrib sebelum memulai penjelasanku” Azlan memerintahkan semuanya untuk bersiap sesaat setelah menyimpan kayu dan bahan makanan di tempat khusus. Semuanya bersemangat melihat raut wajah Azlan yang terlihat begitu ceria saat mengucapkan kalimat itu. Tanda baik sedang ia tampakkan meskipun nyatanya tidak demikian. Ia mencoba membuat teman-temannya sedikit merasa lebih baik. “Kau bisa membersihkan diri dan bersiap untuk misi besok dan seterusnya. Kita tidak punya waktu bersantai.” Azlan berbisik di telinga Sena. Sena terdiam datar tanpa anggukan atau jawaban. Setelah kalimat itu selesai Azlan menjauh meninggalkan tenda menuju danau untuk membersihkan diri. Gelap sudah menyelimuti langit di atas sana. Sena, Dira dan Faleya bersiap mengenakan mukenah di dalam tenda. Mereka menunggu Maghrib di
Malam telah berlalu. Pagi telah datang memancarkan cahayanya sebagaimana biasa. Tugas susul-menyusul menungguku. Diariku telah mencapai lembar ke delapan, sebagaimana aku mengisinya dengan catatan-catatan singkat tentang kesanku menjalani hari-hari. Aku menyimpan diari, dan kembali berkutat dengan ponselku yang sepi tanpa bunyi notifikasi. Semuanya beraktivitas sebagaimana seharusnya. Tidak ada hujan yang melanda, tidak ada mendung yang menyelimuti langit perkemahan. Udara lebih sejuk dari sebelumnya, seolah terapi bagi otakku yang akhir-akhir ini sering pusing dan sering melihat sekilas memori lama dalam hidupku. Perkemahan ini adalah rumah kedua kami beberapa hari terakhir. Dira menjemur pakaian kotor di belakang tenda. Ah iya, kehidupan kami di sini persis sama seperti kehidupan di rumah. Memasak, mencuci, menyapu dan kegiatan lainnya yang juga tak kalah merepotkan di samping bertugas. Tapi kami melakukannya bersama-sama lagi pula teman-teman lainn
Faleya membawa segelas teh hangat dari luar tenda dan mengulurkannya pada Sena. Sena menerimanya dan menegaknya sekali. Kay masuk ke dalam tenda menghampiri keduanya setelah membereskan urusannya di luar. “Kau sudah baikan?” Tanyanya membawa buah yang di simpan di atas piring datar berbentuk persegi. “Cukup baik. Terima kasih” Aku menerima uluran piring itu dan berterima kasih. “Kau akan segera sembuh. Aku akan keluar untuk mengawasi penombak itu.” Kay tersenyum padaku dan Faleya. Kay tersenyum mengangguk ke arah Faleya. “Hati-hati” Faleya tersenyum membalasnya. Kay duduk di samping perapian sambil memanggang ubi singkong yang kemarin ia dapat dengan Faleya di dalam hutan. Ia membolak-balikkan ubi singkong itu dan menyantapnya sambil lalu mengawasi sekitar. Ia menuangkan segelas teh hangat dari samping perapian yang ia sisihkan setelah mendidih tadi. Ia menegak teh hangat itu dengan rasa dahaga yang begitu besar di tenggorokannya sehin