Aku Jual Diri karena Ibuku

Aku Jual Diri karena Ibuku

By:  Kutudollar  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
27Chapters
285views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Tentang seorang gadis miskin yang lugu. Menjalani hidup sengsara oleh perlakuan orang tuanya sendiri. Hingga membuatnya hancur dan berakhir pada dunia malam. Nyatanya dia justru tahu tentang segala hal tentang lingkaran dunia malam. Termasuk orang-orang sakti yang dia kenal.

View More
Aku Jual Diri karena Ibuku Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
27 Chapters
Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk
Bab 1 Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi UdukPrang .."Kamu pikir aku senang kita hidup susah begini, hah? Setiap hari harus kerja pontang panting dan kamu cuma bisa minta duit!"Aku memeluk erat tas sekolah lusuh di dada. Suara teriakkan yang sangat kukenal membuat langkahku terhenti di depan daun pintu yang sudah buruk dan berlubang. Entah apa lagi yang membuat Bapak marah kali ini. "Kamu pikir aku juga senang, hah? Mengurus tiga anak seorang diri sedangkan kamu cuma di luar, pulang malam, dan mabuk. Itu yang kamu bilang kerja?"Plak ....Terdengar suara jeritan Ibu. Mungkin Bapak menamparnya lagi. Lalu suara barang-barang yang dilempar dan pecah terdengar bersahutan. Semua terdengar sangat genting dan menyayat hati. Belum lagi suara tangis Kaina dan Kinara. Ya, apa yang bisa dilakukan dua balita itu saat Bapak dan Ibu bertengkar selain menangis?Perlahan aku mendorong daun pintu yang tidak dikunci. Aku terus menunduk, tidak berani menatap Bapak maupun Ibu yang suda
Read more
Semua Demi Kami, Katanya
Aku menggeliat bangun ketika tangan hangat menyentuh pipiku pelan dan mengusapnya perlahan. Kubuka mata pelan-pelan dan kudapati wajah kecil dan bulat yang menatapku. "Kaina?"Aku beringsut bangun dengan bantuannya. Bocah tiga tahun dengan rambut keriting itu menuntunku masuk ke dalam rumah. Kepala pening hebat, dengan persendian yang terasa sakit semua, membuat langkahku sedikit terhuyung. Kaina lantas langsung bermain dengan tumpukkan mainan bekas yang didapat Bapak. Mainan yang rata-rata sudah rusak dan bahkan mungkin tidak layak dimainkan lagi. Dia mengacuhkanku yang duduk di kursi, tak jauh darinya. Aku memperhatikan sekitar. Sepi. Tidak ada suara dengkuran Bapak yang biasanya menggema di seluruh rumah atau suara rengekkan Kinara. Kulihat nenek yang berbaring lemah dengan napas yang sangat pelan. Ke mana ibu?"Ibu mana, Dek?"Kaina hanya menggeleng, membuat rambut kriting kriwilnya bergerak-gerak. Kuperhatikan l
Read more
Jatah Makan Malam dari Malaikat
Hilang rasa lapar, kini haus tak tertahankan menyerang. Cuaca yang panas tanpa ampun seolah mematahkan semangatku. "Ayo, Leena, jalan lagi!" Gumamku pada diri sendiri. Sekuat tenaga kuteruskan langkah dan sesekali berteriak menawarkam barang daganganku. Suara keras yang kuhasilkan tentu saja semakin menambah kering tenggorokan.Akhirnya aku sampai di sebuah gedung yang sedang dibangun. Tempat langganan yang sering kudatangi. Tidak laris memang, tapi setidaknya ada yang membeli. Namun, harapanku seolah sirna ketika kulihat para kuli bangunan di sana tengah santap siang. Nasi kotak dengan lauk yang sepertinya enak menjadi jatah makan siang mereka kali ini. Niatku untuk menawarkan dagangan seketika sirna. Namun, dengan niat dan sedikit takut akhirnya aku mendekat. "Nasi uduknya, Pak?" Beberapa lelaki yang tengah mengunyah makanan menoleh ke arahku. Mereka menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hingga tatapan mereka berhenti pada
Read more
Anak Haram Itu Apa, Nek?
Demi membayar semua kesalahan, seharian aku habiskan waktu dengan bersih-bersih. Mulai dari ruang depan yang hanya ada meja usang yang salah satu kakinya sudah ditambahi kayu, ruang tengah yang berisi kasur lapuk tempatku tidur bersama Kaina, dan kamar Bapak, Ibu, dan Kinara yang hanya dibatasi kain besar sebagai tirai. Lalu ruangan sempit berisi sofa buruk tempat nenek tidur yang bersebelahan langsung dengan dapur kumuh. Hingga bagian belakang, tempat pemandian dan mencuci. Semua kubersihkan dan kulap, meski tak menyamarkan usangnya. Selesai berberes aku lantas teringat tas sekolah yang kemarin robek ditarik Bapak. Kuperhatikan benda usang yang pernah kubeli dengan uang hasil memunggut sampah selama seminggu, tiga tahun lalu. Ya, tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tas dengan warna merah muda—yang sekarang kecokelatan dan pudar—bergambar bunga dan princess itu kubawa ke depan pintu, untuk melihatnya dengan jelas. Tuhan, sepertinya ini tid
Read more
Kami Si Lusuh yang Tak Tersentuh
💔💔💔Pagi sekali aku sudah mandi. Setelah membantu ibu menyiapkan sarapan. Bukan sarapan sebenarnya, karena hanya ada nasi kering 'bekas' saja. Nasi sisa dijemur hingga kering, dicuci bersih, lantas ditanak lagi. Jangan tanya rasanya. Kurasa hewan pun tidak ingin mengunyahnya. Hambar dan sama sekali tidak enak. Namun itulah yang sering menjadi pengganjal perut kami ketika tidak ada apa pun untuk dimakan. Tiga ekor ikan asin dipotong dua dipanggang dan dihidangkan begitu saja di meja. Siapa yang ingin sarapan, tinggal ambil. Ibu mengambil satu porsi kecil untuk nenek. Wanita renta itu terlihat enggan menyantapnya. Dia hanya menatap makanan itu lama. Air mataku nyatis jatuh melihat bagaimana wajahnya berubah sendu. "Mau ke mana kamu?" tanya Ibu ketika aku mengenakan sepatu. "Sekolah, Bu.""Jangan lupa bawa sampah!"Aku hanya mengangguk. Ya, dulu Ibu juga seperti bapak. Tidak mengijinkanku sek
Read more
Anak Durhaka
Aku pulang dengan hati riang. Ada sekantung besar barang bekas dan plastik berisi sepatu. Sepanjang jalan aku berdendang dalam hati, menyuarakan kegembiraanku. Semua orang mungkin hanya menganggap remeh kebehagiaanku, tapi tidak denganku. "Kalau nggak bisa bayar, pergi kalian dari sini!" teriak seorang wanita dengan kuat di depan rumah kami. Teriakkannya seolah menghentikan kebahagiaanku. Langkahku terhenti di tepi jalan menuju rumahku. Kulihat ibu pemilik rumah yang kami sewa berkacak pinggang di depan pintu rumah. Di depannya tergeletak sendal butut, gagang sapu, hingga ember pecah. Di depan daun pintuku juga terdapat beberapa buah batu berukuran kecil hingga sedang. Daun pintu yang sudah lapuk pun terlihat berlubang. Sepertinya apa yang kukhawatirkan benar terjadi. Ibu dan pemilik rumah beradu mulut. Atau bahkan sudah bertukar alat perang. Apa yang terjadi?"Dasar miskin! Dibantu malah ngelunjak!"Aku terdiam, memegang dua kant
Read more
Cerita (mabuk) Bapak
Hari ini aku tidak sekolah. Satu-satunya seragamku basah setelah adegan siram-siraman bersama Ibu kemarin. Cuaca yang tidak panas membuat seragam yang kugantung di belakang tidak kering. Biarlah! Tak sekolah sehari tidak masalah. Bukankah tidak ada yang peduli aku sekolah atau tidak. Ya ... meski aku sangat menyayangkan. Aku pasti ketinggalan pelajaran hari ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membantu ibu membersihkan rumah. Pagi sekali Ibu sudah menuju rumah orang kaya untuk mencuci baju dan menyetrika. Tentu saja dengan Kaina dalam gendongan. Nenek sudah membaik. Dia sudah duduk di tepi ranjang. Aku hanya melihatnya sekilas. Entahlah, sejak kejadian kemarin aku berubah pandangan pada nenek. Bukan benci, tapi kasihan yang terlalu dalam. "Tidak ada yang mau merawat nenek lagi selain Ibumu!"Kalimat nenek saat kutanya mengapa menangis terus terbayang. Ke mana saudara ibu yang lain?Lalu mengapa ibu mau menerima nene
Read more
Tino dan Pak Doni
Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana. "Siapa yang kasih kamu sepatu?"Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara. "Pak Doni.""Siapa dia?""Guru olahragaku, Bu."Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak. Selamat tinggal sepatu buaya.****Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan. Hingga kemudian langkahku sam
Read more
Harga Satu Stel Seragam Bekas
Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku. Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?"Ayo!" Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam. "Ayo!' Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh. Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel da
Read more
Kamu Harus Kerja, Kata Bapak
10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak"Sini!"Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku. "Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku. "Pak—""Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong. Dia bapak Tino?Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak D
Read more
DMCA.com Protection Status