Aku mengangguk meyakinkan kondisiku dalam keadaan baik-baik saja. Rizam mengangguk kecut, semuanya terdiam beberapa saat memikirkan tentang suku kanibal itu, aku pun terpikir hal yang sama. Namun, kepalaku nyeri sesekali saat kupaksa mengingat hal itu. Aku pun mencoba menarik nafas membiarkan rasa lega di dadaku yang sedikit sesak karena terlalu banyak berpikir.
“Kalian sudah menunaikan shalat isya’?” Tanyaku mereka semua menggeleng cepat seolah baru tersadar dari lamunan. Azlan melangkah keluar segera mengakhiri pembicaraan kita. Aku menyusulnya semuanya pun demikian. Kami semua bergantian ke danau sebab beberapa orang di antara kami menjaga tenda agar tetap aman.
Setelah semuanya selesai, kami mendirikan shalat berlajut dengan makan malam. Nasi yang sudah matang sedari tadi kini sudah hampir dingin, tidak ada asap mengepul lagi di atasnya. Namun masih nikmat untuk di makan. Kami menghabiskan makan malam tanpa percakapan, setelah semuanya selesai aku kembali ke tenda. Aku masih sibuk dengan pikiranku, aku tidak bisa menuntaskan tugas. Aku meminta waktu istirahat lebih cepat dari malam kemarin.
Azlan memanggilku dari luar, aku berseru jengkel di buatnya, aku bahakan belum bsa menetralkan suasana di hatiku tapi Azlan sudah mengakacaukannya. Aku enggan beranjak keluar, aku membuka jendela tenda sebagai gantinya, Azlan menyuruhku keluar sebentar. Ia sedikit memaksa, aku berseru jengekel sekali lagi, dari kejauhan aku melihat Rizam menatap kami berdua. Akhirnya aku membuka tenda dan membiarkan Azlan tetap duduk di luar.
“Tanpa pengaman tenda kita dalam bahaya” Dia mengucapkan apa yang perlu ia ucapkan. Aku melihat sekeiling, ada jaring-jaring yang nyaris terpasang sempurna menutupi area perkemahan. Rumput hijau yang terhampar luas kini terbatas oleh jaring yang berjarak kecil-kecil antara satu dengan lainnya sehingga tangan pun tidak bisa melewatinya.
Aku keluar dari tenda menatapnya lebih jelas, sekitar lima belas kali lima belas meter sudah di penuhi dengan jaring. Tiga bagian telah tertutup sempurna dengan jaring, sisa satu yang belum di tutup jaring dengan sempurna. Tanpa menunggu lebih banyak waktu, aku segera mengangguk sebagai jawaban. Akhirnya jaring itu pun turun dengan kendali tali yang terpaut di samping tenda. Aku melihatnya terkesan, Azlan tersenyum sebagai jawaban atas jawabanku.
“Lalu, sampai kapan kita akan menggunakan jaring ini?” Pertanyaan itu membuat Rizam mengangguk. Ia mendengar percakapan kami, aku tersenyum ke arahnya dia menyeringai sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, ia merasa seperti menguping pembicaraan.
“Aku membatasi ini setelah kita shalat subuh hingga beraktivitas di pagi hari. Aku akan membukanya setiap kita ada di wilayah tenda kita setiap siang hari. Jika kita meneliti maka jaring ini akan turun, selain itu di malam hari saat memasuki makan malam kita sudah akan menutup jaring ini “ Aku mengangguk mantap, menyetujui idenya.
“Setidaknya kita aman dari binatang buas….” Aku tidak melanjutkan ucapanku.
“Tidak hanya binatang buas, aku juga ingin kita semua aman dari manusia kanibal itu.” Ia menjawab mantap. Kay mengangguk di ikuti oleh Faleya dan lainnya.
“Lagipula, aku akan memikirkan cara agar bisa meningkatkan keamanan. Jaring ini hanya melindungi kita dua puluh persen sisanya kita harus bertarung jika ada marabahaya.
“ Aku setuju, namun sayangnya aku tidak pandai bermain pedang” Aku sedikit mengeluh.
“Kau perlu belajar, tapi tugasmu lebih penting. Kamu harus mampu mengendalikan diri dan pikiranmu” Ia menjelaskan. Aku mengangguk untuk kesekian kalinya mendengar jawabannya, terkadang dia bijaksana namun terkadang dia menyebalkan sekali.
“Apa kita punya tugas untuk besok?” Tanyaku lagi.
“Tidak, kita masih menggunakan jadwal kemarin, banyak tugas yang belum kita selesaikan dalam jadwal kemarin. Lagipula kamu perlu lebih banyak istirahat” Jelasnya lagi.
“Aku tidak mengerti. Biasanya kamu akan menyuruhku untuk tidak memanjakan diri. Waktu perjalanan menuju kemari seolah kau tidak ada ampun untukku. Tapi hari ini?’ Aku bertanya datar menunggu jawabnnya dengan tatapan tajam.
“Ini bagian dari ke kompakan tim” Ia menjawab sambil menaikkan alis. Dia sangat menyebalkan. Dalam hati aku berteriak ANDAIKAN DIA BUKAN SEORANG KAPTEN sudah ku hempaskan manusia yang satu ini. Namun aku mencoba mengendalikan diri untuk menjawab pertanyaannya.
“Baiklah, semoga setelah hari ini kamu akan sering menerapkan bagian dari ke kompakan tim untuk kami” Aku tersenyum menantang.
“Pembicaraanku denganmu tidak pernah singkat. Jadi, aku pergi lagipula tugasku banyak aku perlu menyelesaikannya malam ini” Dia tersenyum datar. Aku mengangguk puas, akhirnya si menyebalkan itu mengalah juga, meskipun ia tidak pernah benar-benar mau mengalah. Sebelum ia banyak memerintah aku beranjak masuk ke dalam tenda. Pikiranku dan perasaanku harus segera membaik itu yang lebih penting.
“Apa jadwal kita masih sesuai dengan misi kita?” Rizam bertanya saat Azlan tiba di sisi api unggun ia melemparkan kayu bakar sehingga api menyala lebih besar.
“Iya, aku menyetel target menyelesaikan misi jauh dari target asli yang di tentukan” Azlan menjawab pertanyaan Rizam. Dalam kelompok memamg harus selalu kompak dan adil. Namun, tak semua informasi harus di jelaskan kepada masing-masing anggota, ada kalanya beberapa informasi harus di simpan agar tidak menambah beban anggota agar mereka tetap fokus ke bidang masing-masing. Batas waktu kami menyelesaikan misi tidak ada yang tau, kami telah menyepakati ini dalam konferensi musyawarah terbuka yakni rapat yang diadakan sebelum kami memiliki tim. Dan di setujui oleh anggota elit yakni pasukan di bawah jabatan kapten, pasukan tertentu yang memiliki keterampilan di bawah jabatan kapten ini biasanya di sandingkan dengan misi kapten atau sebagai sekrestarisnya.
Sehingga anggota tidak bisa menolak keputusan kapten jika telah di setujui pasuka elit. Menjadi pasukan elit juga bukanlah hal yang mudah, setidaknya ada dua pasukan elit dalam tim penelitian. Dalam konferensi musyawarah terbuka Kami menyetujui hanya kapten yang bisa mengetahui informasi tenggat waktu itu demi kemaslahatan bersama sehingga kesepakatan ini menjadi aturan yang tidak bisa di ganggu gugat. Selain itu menjadi seorang kapten memiliki tugas dan hukuman yang sangat berat. Tapi, menjadi seorang kapten juga banyak keuntungannya terlebih dengan pengalaman dan apresiasi dari ketua tim jika berhasil menyelesaikan misi dengan baik hingga tuntas.
Dengan keputusan itu kami tidak meminta keadilan dengan memberitahu semua anggota tentang tenggat waktu pengumpulan data. Sebab, terkadang adil bukan mengetahui semuanya. Namun, mendapatkan informasi yang perlu tanpa banyak penolakan adalah jalan yang lebih baik dan aman, daripada menerima semua informasi yang nantinya justru akan membebani dan mengganggu misi anggota tim. Itulah mengapa, mejadi seorang kapten bukanlah orang sembarangan, ia mampu berpikir dua kali lebih cepat, dan melangkah dua kali lebih tangkas adalah hal yang perlu dimiliki sang kapten. Itulah sebabnya kita tidak bisa menolak peintah kapten, sebab mereka telah banyak di uji dan kemampuannya telah terlatih.
Sebagai anggota, kami hanya bisa berargumen dengan logis dan memiliki alasan yang kuat. Sisanya, kaptenlah yang menentukan argumen kita diterima atau di tolak. Semua itu tergantung tepat tidaknya kita berpikir dalam mencari solusi dan mempertimbangkan resikonya.
“Baik kapten, jawabanmu membuat diriku lebih tenang. Setelah mendengar perkataan Sena tadi pikiranku berkecamuk. Namun sekarang, sudah lebih baik.” Rizam tersenyum mengembang. Ia terlihat lega sekarang.
“Aku mengatakan ini, bukan berarti kamu perlu bersantai Zam, tugasmu harus selesai malam ini” Azlan berucap tegas. Rizam mengangguk, sambil melihat kearah tenda Sena, kemudian menatap api yang menyala menerangi wajahnya.
“Dalam tim kita perlu kesadaran, abaikan keegoisan. Dalam tim juga tidak ada kata baik-baik saja namun kita di damaikan oleh masalah.” Azlan mencoba menyemangati Rizam. Rizam mencerna kalimat Azlan dengan baik ia mengangguk sebagai jawaban. Rizam memikirkan kalimat itu lebih dalam, ada sesuatu yang menghangatkan hatinya.
Ia terpikir sejenak tentang ucapan Azlan ia meresapinya dengan diam dan mendalam. Maknanya sangat dalam meskipun terdengar sederhana. Azlan beranjak dari duduknya.
“Aku ingin menuntaskan tugasku Zam, jika kamu ingin memakai laptopku ia ada di dalam tas hitamku” Rizam mengangguk ia harus segera menyelesaikan tugasnya, pertama ia mengambil beberapa barang dari tenda serbaguna dan mulai meneliti daun yang ia simpan. Dira dan Azlan sudah membuat berbagai percobaan dari tumbuhan yang ia teliti tadi siang. Begitu pun dengan Kay dan Faleya, aku hanya menghela nafas menyelesaikan tugas yang tersisa meskipun sendirian. Tanpa banyak mengeluh aku akan menyelesaikan tugas ini semampuku. Jika tidak selesai melebihi waktu yang di tentukan maka aku akan begadang.
Angin malam yang berhembus dingin menyentuh permukaan kulit Rizam ia tengah sibuk mengetes berbagai bahan dengan campuran daun yang ia ambil tadi. Berkali-kali ia membuat cairan daun itu dan berkali-kali ia mengalami masalah, ia mencoba berpikir cepat. Suhu dingin malam memacunya bekerja sedikit lambat.
Rizam masih fokus dengan alat-alatnya di depan api, ia mengeluarkan buku tebal dari tas nya. Ia membaca dan memastikannya dengan bahan penelitian miliknya yang berserakan di depannya. Terlalu banyak dan sangat sensitif.
Api masih berkobar dengan sangat panas. Di dalam tenda Sena tidak bisa tidur sedetik pun, ia tidak bisa melakukannya. Akhirnya, setelah lama berbaring menatap lama langit-langit tenda. Ia keluar menghampiri Rizam yang sangat sibuk sendirian, ia menatap Faleya sedang berjuang keras dengan misinya begitu pun Dira.
“Biar ku lanjutkan sisanya, fokus saja ke penelitianmu. “ Aku tersenyum mengambil alih kendali buku dari tangan Rizam. Ia menatap enggan.
“Aku sudah membaik. Tidak baik mengistirahatkan tubuh terlalu lama bukan?” Jawabku sambil bertanya. Rizam tersenyum mengangguk, akhirnya kami berdua bekerjasama hingga larut melebihi batas waktu yang di tentukan. Kami memutuskan untuk lembur, aku sudah hampir menyelesaikan tugas. Rizam masih sibuk berkutat, aku akan segera membantunya jika tugasku telah selesai.
Tugasku sudah selesai Rizam pun demikian kami membereskan semua peralatan penelitian kami. Kami memutuskan untuk berjaga mengambil jadwal lebih awal dari yang sudah di tentukan. Semuanya menyetujui keputusan kami dan mengubah jadwal untuk Minggu ini. “Sebaiknya kita istirahat sesudah subuh saja Sen. Aku pikir kita perlu membuka mata agar penjagaan lebih aman. Tapi jika kamu butuh lebih banyak istirahat kamu bisa istirahat saja dulu nanti ku bangunkan” Ucap Rizam. Sebagai jawaban aku menggeleng tidak setuju. “Aku tidak mengantuk lagi. Tidak apa-apa aku akan berjaga juga sesuai kesepakatan” Jawabku tegas. Angin malam di tengah hutan membuat kulitku menggigil kedinginan. Untunglah, aku membawa jaket dari tenda tadi, sehingga angin dingin tidak menembus tulang-tulangku. Meskipun kami di daerah perkemahan, namun tetap saja suasana hutan memberikan suasana yang berbeda. “Aku penasaran dengan persis apa yang kamu lihat tentang suku kanibal” Rizam menatap ten
“Bagaimana kita akan melakukannya, kapten?” Kay sedikit ragu. Air hujan membasahi wajahnya, ratusan tetes air itu membasahi jas hujan yang membungkus tubuhnya. Azlan menunjuk jas hujannya. “Kita akan mengelabuhi mereka dengan ini” Azlan menatap serius. “Baiklah. Aku ikut” Kay berujar serius. “Kau harus ikut. Tapi dengarkan aku, kau hanya perlu melepas jas hujan. Dan menghilanglah di balik semak-semak. Aku tau kamu pasti paham maksudku, jangan sampai dirimu ketahuan berlari.” Azlan menjelaskan. “Aku paham kapten” Kay tersenyum semangat. Ia merapikan jas hujan dengan seringai singkat di wajahnya. Ada semangat yang tiba-tiba mengobar di dalam jiwanya. Ia sudah geram dengan kelakuan burung-burung itu, terlebih lagi ia geram karena mereka enggan pergi saja tanpa perlu membuat keduanya repot. Sebelum pergi kami melihat burung-burung itu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Azlan melihat satu persatu burung itu, ia melihat hal janggal di sana
Kay menatap Azlan berusaha mencari penjelasan. Dari sirat matanya seolah banyak sekali pertanyaan di benaknya. Ia melangkah sedikit lebih dekat ke pembatas pepohonan. Tak hanya cuaca di sini yang aneh karena yang tadinya hujan deras berubah menjadi terik. Namun, cuaca di desa sebelah juga tak kalah aneh yang awalnya terik berubah menjadi hujan deras seketika seperti hujan sebelumnya di daerah desa damai. Meskipun sebelumnya di sana terik panas matahari dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Tapi setelah air di dalam kendi itu di tuang pada titik pusat itu, semuanya berbalik seketika. Banyak pertanyaan pula di benak Azlan dengan semua hal yang yang ia lihat sejak tadi. Tidak hanya aneh, ini seolah sihir baginya. Ia pun tidak yakin hujan ini merata di desa damai sebagaimana hujan pada umumnya. “Kapten, ini sulit dijelaskan. Banyak sekali pertanyaan di benakku” Kay masih terus menatap apa yang ada di depannya. Setelah wanita itu menyiram air, ada se
Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik. “Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda. “Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru. “Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya “Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan. “Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku. “Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel. “Kapten kel
Mereka tiba sebelum matahari terbenam. Azlan tiba saat yang lainnya baru saja tiba di perkemahan. Matahari sudah berwarna jingga pekat. “Kita akan bersiap menunaikan shalat Maghrib sebelum memulai penjelasanku” Azlan memerintahkan semuanya untuk bersiap sesaat setelah menyimpan kayu dan bahan makanan di tempat khusus. Semuanya bersemangat melihat raut wajah Azlan yang terlihat begitu ceria saat mengucapkan kalimat itu. Tanda baik sedang ia tampakkan meskipun nyatanya tidak demikian. Ia mencoba membuat teman-temannya sedikit merasa lebih baik. “Kau bisa membersihkan diri dan bersiap untuk misi besok dan seterusnya. Kita tidak punya waktu bersantai.” Azlan berbisik di telinga Sena. Sena terdiam datar tanpa anggukan atau jawaban. Setelah kalimat itu selesai Azlan menjauh meninggalkan tenda menuju danau untuk membersihkan diri. Gelap sudah menyelimuti langit di atas sana. Sena, Dira dan Faleya bersiap mengenakan mukenah di dalam tenda. Mereka menunggu Maghrib di
Malam telah berlalu. Pagi telah datang memancarkan cahayanya sebagaimana biasa. Tugas susul-menyusul menungguku. Diariku telah mencapai lembar ke delapan, sebagaimana aku mengisinya dengan catatan-catatan singkat tentang kesanku menjalani hari-hari. Aku menyimpan diari, dan kembali berkutat dengan ponselku yang sepi tanpa bunyi notifikasi. Semuanya beraktivitas sebagaimana seharusnya. Tidak ada hujan yang melanda, tidak ada mendung yang menyelimuti langit perkemahan. Udara lebih sejuk dari sebelumnya, seolah terapi bagi otakku yang akhir-akhir ini sering pusing dan sering melihat sekilas memori lama dalam hidupku. Perkemahan ini adalah rumah kedua kami beberapa hari terakhir. Dira menjemur pakaian kotor di belakang tenda. Ah iya, kehidupan kami di sini persis sama seperti kehidupan di rumah. Memasak, mencuci, menyapu dan kegiatan lainnya yang juga tak kalah merepotkan di samping bertugas. Tapi kami melakukannya bersama-sama lagi pula teman-teman lainn
Faleya membawa segelas teh hangat dari luar tenda dan mengulurkannya pada Sena. Sena menerimanya dan menegaknya sekali. Kay masuk ke dalam tenda menghampiri keduanya setelah membereskan urusannya di luar. “Kau sudah baikan?” Tanyanya membawa buah yang di simpan di atas piring datar berbentuk persegi. “Cukup baik. Terima kasih” Aku menerima uluran piring itu dan berterima kasih. “Kau akan segera sembuh. Aku akan keluar untuk mengawasi penombak itu.” Kay tersenyum padaku dan Faleya. Kay tersenyum mengangguk ke arah Faleya. “Hati-hati” Faleya tersenyum membalasnya. Kay duduk di samping perapian sambil memanggang ubi singkong yang kemarin ia dapat dengan Faleya di dalam hutan. Ia membolak-balikkan ubi singkong itu dan menyantapnya sambil lalu mengawasi sekitar. Ia menuangkan segelas teh hangat dari samping perapian yang ia sisihkan setelah mendidih tadi. Ia menegak teh hangat itu dengan rasa dahaga yang begitu besar di tenggorokannya sehin
Sore telah tiba semuanya berdiri mendirikan sholat ashar, matahari telah berubah warna di kaki langit sana. Suara air danau yang mengalir, menentramkan sholat yang terlaksana dengan irama syahdu menenangkan jiwa-jiwa yang resah. Saat pikiran terlalu sesak dengan masalah, juga hati yang terasa berat dengan tekanan situasi semuanya kembali lagi pada sang Ilahi. Penombak itu memperhatikan kami yang mendirikan sholat berjamaah, ia merasa aneh untuk pertama kalinya melihat hal ini dalam hidupnya. Ia memperhatikan dengan seksama dan teliti bahkan ia sempat mengabaikan tali yang melingkar di pergelangan tangan dan kakinya dengan erat. Seolah ia bebas dari semua itu, ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah semuanya selesai, aku mempersiapkan makanan untuk makan malam. Faleya dan Dira membantu banyak, keduanya cekatan memotong sayur dan bergerak gesit memasukkan sayur-sayur itu pada panci yang sudah penuh dengan air yang mendidih. Aku meletakkan masakan yang sudah matan