“Bagaimana kita akan melakukannya, kapten?” Kay sedikit ragu. Air hujan membasahi wajahnya, ratusan tetes air itu membasahi jas hujan yang membungkus tubuhnya. Azlan menunjuk jas hujannya.
“Kita akan mengelabuhi mereka dengan ini” Azlan menatap serius.
“Baiklah. Aku ikut” Kay berujar serius.
“Kau harus ikut. Tapi dengarkan aku, kau hanya perlu melepas jas hujan. Dan menghilanglah di balik semak-semak. Aku tau kamu pasti paham maksudku, jangan sampai dirimu ketahuan berlari.” Azlan menjelaskan.
“Aku paham kapten” Kay tersenyum semangat. Ia merapikan jas hujan dengan seringai singkat di wajahnya. Ada semangat yang tiba-tiba mengobar di dalam jiwanya. Ia sudah geram dengan kelakuan burung-burung itu, terlebih lagi ia geram karena mereka enggan pergi saja tanpa perlu membuat keduanya repot.
Sebelum pergi kami melihat burung-burung itu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Azlan melihat satu persatu burung itu, ia melihat hal janggal di sana. Tapi ia perlu untuk menyelesaikan urusan ini secepatnya. Ia akan mengetahui jawabannya nanti.
“Kita akan bersiap. Lakukan tugasmu dengan baik” Ujar Azlan. Kay mengangguk keduanya langsung menuju ke arah hutan yang di penuhi semak. Burung-burung itu bersuara dengan khasnya saat melihat keduanya. Mereka mengubah haluan dari terbang biasa menjadi posisi siap menyerang.
Kay membawa kayu panjang begitu juga dengan Azlan. Keduanya mengangguk satu sama lain saat burung itu berjarak 2 meter di depannya. Mereka mengibaskan kayu, namun melayang di udara. kemudian menjatuhkan diri ke semak dan melepas jas hujan sambil lalu menjatuhkan diri dari semak yang rimbun itu.
Kay berhasil mendarat dengan mulus ia segera bersembunyi di balik semak yang lain. Tak lama setelah itu Azlan menyusul, namun ia terkena cakar burung itu sebelum akhirnya lolos dengan selamat. Darah segar mengalir di tangan kirinya, cakarannya cukup dalam. Hingga darah itu menetes di jas penelitian putihnya.
***
Di tenda perkemahan, Aku tidak berhenti berjalan maju mundur. Aku cemas bukan main, jam sudah menunjukkan pukul 13.00 siang. Kami sudah menunaikan shalat berjamaah. Untunglah tenda cukup luas untuk digunakan shalat berjamaah. Meskipun harus di saf di belakang imam.
“Tenang Sen, duduklah dengan tenang.” Rizam menyuruhku untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya lagi aku menolak dengan gelengan jengkel dan khawatir. Mereka belum kembali setelah 4 jam pergi dari perkemahan, aku takut sesuatu buruk terjadi. Ku amati pintu keluar dari jaring di balik jendela tenda, berharap keduanya akan pulang dengan wajah ceria.
“Aku tau perasaanmu. Mari duduk di sampingku.” Faleya menawarkan, ia tersenyum sedikit pucat. Aku tau dia juga pasti sangat khawatir. Untuk pertama kalinya dia menyuruhku untuk duduk. Akhirnya aku menurut demi menatap wajah pucatnya.
“Kau yang harus tenang. Jangan sampai membuatmu sakit. Kali ini aku mengkhawatirkannya. Dira menatap Faleya dia ikut cemas padanya.
“Aku akan baik-baik saja.” Faleya menjawab dengan senyum terpaksa di wajahnya.
“Kalian jangan membuatku khawatir!” Seru Rizam menatap kami sekaligus. Ia tampak frustasi, aku menatapnya agar ia tidak terlalu cemas. Rizam menghela nafas.
Awan kelabu masih membungkus area perkemahan, membuat basah halaman yang hijau dengan rumput pendek yang tumbuh beraturan. Kami tidak ada yang berbicara lagi semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rizam sedari tadi menatap jas hujan di pojok belakang tenda. Aku seolah bisa membaca apa yang ada di dalam pikirannya, berharap ia tidak akan pergi dari perkemahan tanpa berpikir panjang.
“Semalam kau tidak tidur Zam. Jika mau, kau bisa istirahat sambil lalu menunggu” Aku mencoba memberikan saran. Mungkin saja ia mau menuruti ucapanku.
“Seperti yang kau lihat. Aku tidak bisa diam dengan tenang. Aku ingin pergi mencari mereka tapi aku tidak bisa meninggalkan kalian.” Ia menjelaskan. Itu pasti sulit untuknya, dia bahkan lebih dilema dariku.
“Kau menyuruhku tenang, dan kini aku duduk dengan tenang. Kini aku yang menyuruhmu untuk tenang, aku harap kamu akan melakukan hal yang sama” Aku mencoba memberikan jawaban terbaik untuknya.
“Kau duduk setelah Faleya memintamu” Rizam terlihat jengkel. Aku berpikir sejenak dan tertawa pelan menyadari apa yang aku lakukan. Dira tersenyum dengan ucapan Rizam.
“Kalau begitu. Tenanglah Zam! Mereka akan segera kembali” Faleya membalas ucapan Rizam.
“Keroyokan?” Ia mengangkat sebelah alisnya. Kali ini kami tertawa seketika , namun tak mengurangi sedikitpun rasa khawatir yang menyelimuti hati kami. Hanya dengan tawa ini kami terlihat baik-baik saja, meskipun hati kami tak senada dengan wajah kami.
***
Di sudut hutan lain Kay kaget melihat luka Azlan. Ia memeriksa luka di tangan kiri Azlan. Azlan tersenyum sedikit melihat darah di tangan kirinya.
“Kapten!” Kay berseru, Azlan mengisyaratkan telunjuk kanannya agar Kay memelankan suaranya.
“Lukamu sangat dalam.” Kay melanjutkan ucapannya sedikit lebih pelan. Ia menatap sekitar ia mencari daun herbal yang bisa digunakan.
“Hanya sedikit dalam. Jangan terlalu khawatir” Azlan menenangkan. Ia mengeluarkan daun herbal yang biasa digunakan untuk menyembuhkan luka. Kebetulan tumbuhan ini adalah tumbuhan yang sedang diteliti oleh Sena dan Rizam.
“Bantu aku menghaluskan daun ini” Ia mengulurkan lima belas daun itu.
“Tentu kapten, tapi bagaimana kamu mendapatkan ini. Sepanjang perjalanan tadi aku tidak melihat ini” Kay menghaluskan daun itu dengan batu yang sudah bersih karena air hujan. Ia tak perlu repot-repot mencari air, hujan yang deras membantu banyak untuk menghaluskan daun itu.
“Saat aku lari dari penelitian, aku mencabut daun-daun ini sembarangan.” Azlan meringis saat daun itu menyentuh lukanya yang cukup dalam. Sekitar 5 mm kedalam, dengan panjang 4 cm.
“Lukamu perlu di perban” Kay bergumam membantu membalutkan daun herbal itu.
“Hanya sedikit Kay” Azlan menjawab singkat. Kay menggeleng tidak setuju .
“Setelah sampai di perkemahan luka ini harus di perban” Kay melanjutkan. Azlan mengangguk agar Kay berhenti mengkhawatirkannya.
Ia baru tersadar dan menatap sekitar setelah daun itu sepenuhnya membalut luka Azlan. Azlan menggenggam tangan kirinya agar hujan deras tidak mengenai lukanya dan menyapu daun herbal yang membungkus kulit tangan kirinya. Hujan masih terus turun dengan derasnya. Ia memperhatikan jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 13.30 mereka belum menunaikan shalat duhur.
Kay memperhatikan burung-burung itu, mereka sudah pergi. Dan membiarkan jas hujan itu tergeletak di atas semak-semak. Mereka pergi dengan suara khas mereka. Suara kepakan burung itu bahkan sudah terdengar samar dan cukup jauh.
Mereka keluar dari persembunyian sesaat setelah burung itu benar-benar hilang dalam pandangan. Jas mereka sudah basah kuyup, rambut Azlan sudah basah. Tetesan air di rambutnya membasahi wajahnya. Kay pun tak kalah basah, rambut coklat tuanya sudah basah tak tertata.
Keduanya berdiri dan mencari jalan pulang. Mereka melihat sekeliling, banyak sekali pohon tinggi di depannya. Mereka belum sadar posisi mereka. Azlan menatap lurus ke depan, ia sedikit terkejut melihat pemandangan halaman luas tanpa rumput. Tanah kosong seluas setengah ukuran lapangan sepak bola itu tampak tak asing di pandangannya. Tak sempat berpikir lebih panjang dengan apa yang ia lihat, ada sesuatu yang menarik pandangannya.
Ada sebuah tempat khusus di tengah tanah seluas lapangan bola itu. Seolah menjadi titik pusat dari tanah seluas lapangan bola itu. Bentuknya bulat dan tingginya sekitar 150 sentimeter . Di sampingnya ada tiga baris kursi panjang yang tertata rapi.
Ia melihat seorang wanita keluar dari balik pohon-pohon yang menjadi pembatas tanah itu. Ia membawa air dengan kendi besar di tangannya. Lalu menuangkan semua air dalam kendi itu pada sebuah benda berukuran satu setengah meter itu.
Setelah air itu habis, hujan seketika berhenti. Kemudian awan kelabu itu berganti menjadi putih. Terik matahari seketika terpancar di balik awan-awan itu.
Kay menatap Azlan berusaha mencari penjelasan. Dari sirat matanya seolah banyak sekali pertanyaan di benaknya. Ia melangkah sedikit lebih dekat ke pembatas pepohonan. Tak hanya cuaca di sini yang aneh karena yang tadinya hujan deras berubah menjadi terik. Namun, cuaca di desa sebelah juga tak kalah aneh yang awalnya terik berubah menjadi hujan deras seketika seperti hujan sebelumnya di daerah desa damai. Meskipun sebelumnya di sana terik panas matahari dan tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Tapi setelah air di dalam kendi itu di tuang pada titik pusat itu, semuanya berbalik seketika. Banyak pertanyaan pula di benak Azlan dengan semua hal yang yang ia lihat sejak tadi. Tidak hanya aneh, ini seolah sihir baginya. Ia pun tidak yakin hujan ini merata di desa damai sebagaimana hujan pada umumnya. “Kapten, ini sulit dijelaskan. Banyak sekali pertanyaan di benakku” Kay masih terus menatap apa yang ada di depannya. Setelah wanita itu menyiram air, ada se
Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik. “Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda. “Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru. “Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya “Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan. “Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku. “Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel. “Kapten kel
Mereka tiba sebelum matahari terbenam. Azlan tiba saat yang lainnya baru saja tiba di perkemahan. Matahari sudah berwarna jingga pekat. “Kita akan bersiap menunaikan shalat Maghrib sebelum memulai penjelasanku” Azlan memerintahkan semuanya untuk bersiap sesaat setelah menyimpan kayu dan bahan makanan di tempat khusus. Semuanya bersemangat melihat raut wajah Azlan yang terlihat begitu ceria saat mengucapkan kalimat itu. Tanda baik sedang ia tampakkan meskipun nyatanya tidak demikian. Ia mencoba membuat teman-temannya sedikit merasa lebih baik. “Kau bisa membersihkan diri dan bersiap untuk misi besok dan seterusnya. Kita tidak punya waktu bersantai.” Azlan berbisik di telinga Sena. Sena terdiam datar tanpa anggukan atau jawaban. Setelah kalimat itu selesai Azlan menjauh meninggalkan tenda menuju danau untuk membersihkan diri. Gelap sudah menyelimuti langit di atas sana. Sena, Dira dan Faleya bersiap mengenakan mukenah di dalam tenda. Mereka menunggu Maghrib di
Malam telah berlalu. Pagi telah datang memancarkan cahayanya sebagaimana biasa. Tugas susul-menyusul menungguku. Diariku telah mencapai lembar ke delapan, sebagaimana aku mengisinya dengan catatan-catatan singkat tentang kesanku menjalani hari-hari. Aku menyimpan diari, dan kembali berkutat dengan ponselku yang sepi tanpa bunyi notifikasi. Semuanya beraktivitas sebagaimana seharusnya. Tidak ada hujan yang melanda, tidak ada mendung yang menyelimuti langit perkemahan. Udara lebih sejuk dari sebelumnya, seolah terapi bagi otakku yang akhir-akhir ini sering pusing dan sering melihat sekilas memori lama dalam hidupku. Perkemahan ini adalah rumah kedua kami beberapa hari terakhir. Dira menjemur pakaian kotor di belakang tenda. Ah iya, kehidupan kami di sini persis sama seperti kehidupan di rumah. Memasak, mencuci, menyapu dan kegiatan lainnya yang juga tak kalah merepotkan di samping bertugas. Tapi kami melakukannya bersama-sama lagi pula teman-teman lainn
Faleya membawa segelas teh hangat dari luar tenda dan mengulurkannya pada Sena. Sena menerimanya dan menegaknya sekali. Kay masuk ke dalam tenda menghampiri keduanya setelah membereskan urusannya di luar. “Kau sudah baikan?” Tanyanya membawa buah yang di simpan di atas piring datar berbentuk persegi. “Cukup baik. Terima kasih” Aku menerima uluran piring itu dan berterima kasih. “Kau akan segera sembuh. Aku akan keluar untuk mengawasi penombak itu.” Kay tersenyum padaku dan Faleya. Kay tersenyum mengangguk ke arah Faleya. “Hati-hati” Faleya tersenyum membalasnya. Kay duduk di samping perapian sambil memanggang ubi singkong yang kemarin ia dapat dengan Faleya di dalam hutan. Ia membolak-balikkan ubi singkong itu dan menyantapnya sambil lalu mengawasi sekitar. Ia menuangkan segelas teh hangat dari samping perapian yang ia sisihkan setelah mendidih tadi. Ia menegak teh hangat itu dengan rasa dahaga yang begitu besar di tenggorokannya sehin
Sore telah tiba semuanya berdiri mendirikan sholat ashar, matahari telah berubah warna di kaki langit sana. Suara air danau yang mengalir, menentramkan sholat yang terlaksana dengan irama syahdu menenangkan jiwa-jiwa yang resah. Saat pikiran terlalu sesak dengan masalah, juga hati yang terasa berat dengan tekanan situasi semuanya kembali lagi pada sang Ilahi. Penombak itu memperhatikan kami yang mendirikan sholat berjamaah, ia merasa aneh untuk pertama kalinya melihat hal ini dalam hidupnya. Ia memperhatikan dengan seksama dan teliti bahkan ia sempat mengabaikan tali yang melingkar di pergelangan tangan dan kakinya dengan erat. Seolah ia bebas dari semua itu, ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah semuanya selesai, aku mempersiapkan makanan untuk makan malam. Faleya dan Dira membantu banyak, keduanya cekatan memotong sayur dan bergerak gesit memasukkan sayur-sayur itu pada panci yang sudah penuh dengan air yang mendidih. Aku meletakkan masakan yang sudah matan
“Aku butuh minum nyonya” Ujar penombak itu membuat Sena menoleh saat mengambil air minum untuk ia minum. Berpikir sejenak, akhirnya Sena menuangkan air pada gelas kayu yang lain untuk di berikan kepada penombak itu. “Terima kasih” Ujar penombak itu lagi setelah Sena menuangkan air itu ke mulutnya. Tanpa jawaban Sena pergi meninggalkannya. Di samping itu suara burung beterbangan di langit-langit perkemahan. Seperti ada yang menganggu ketenangan mereka. Sena berbalik menatap penombak itu, ia masih di ikat dengan tali pengikatnya. Sebuah tombak mendarat lagi tiga puluh sentimeter di depannya. Untuk kedua kalinya ia benar-benar merasa trauma. Ia melihat ke arah tombak itu di lemparkan. Banyak sekali penombak bertopeng yang mengelilingi perkemahan. Jaring otomatis itu belum tertutup sempurna. Sena menarik tali kontrolnya dan seketika jaring tertutup otomatis. Aku yakin jaring ini tidak akan membantu banyak dalam hal perlindungan. Tapi setidaknya me
Azlan mengepalkan tangannya dengan erat atas apa yang ia dengar. Di hatinya sudah tidak ada lagi benci terhadap penombak itu. Ia fokus untuk menyembuhkan luka itu terlebih dahulu. “Kau harus bertahan” Seru Azlan gusar sambil terus menghentikan darah yang keluar. Penombak itu sangat pucat. “Sen, kau punya daun herbal bukan. Bisakah kau membantuku?” Tanya Azlan pada Sena. “Tentu. Aku akan membuatnya segera”. Sena gesit meracik daun herbal yang belum di awetkan. Ia menghaluskan dan membuatnya menjadi pasta, serta menyaring sari-sari daun herbal itu agar membantu mempercepat pemulihan. “Ini.” Sena menyodorkan obat herbal. Azlan menerimanya dengan cepat dengan cekatan mengoleskan pada luka penombak itu. “Kau akan sembuh. Aku akan menceritakan semuanya nanti” Ujar Azlan. Penombak itu menggeleng tidak setuju. “Aku ingin mendengarnya, aku akan sembuh dengan cepat” Jawab penombak itu, wajahnya semakin pucat. Azlan tidak punya pilihan lain ia ha