Berhari hari Kylee harus menahan umpatan demi umpatan pada pria menyebalkan didepannya itu. Ia sungguh mengusik hari-hari Kylee dengan hal konyolnya. Kadang mengusiknya dengan melempar sesuatu ke jendela Kylee pada pagi hari. Kadang membuntutinya. Menyebalkan sangat. Tapi tidak untuk hari ini pria itu bahkan tak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Jujur saja Kylee jadi kesepian, tak ada celotehan gila dari pria itu. Tapi tetap saja menyebalkan.
Kylee kini menjemur pakaian dengan sesekali menegok kerumah disebrang sana. Pria menyebalkan itu adalah tetangga dekatnya. Bahkan adiknya Gee malah sangat luluh dengannya.
"Tumben sekali dia tak mengusikku? Dia bosan apa sibuk? Aish entahlah." gumam Kylee sambari menenteng embernya.
Ia mengehentikan langkahnya ketika menangkap siluet pria yang kini keluar dari rumah dengan menaiki sepeda. Dengan cepat ia membuang ember dan langsung meneriaki namanya.
"HEI!!! Kau ingin kemana?!" tanya Kylee kini berlari kearahnya. Pria itu mengerutkan keningnya namun akhirnya menghela nafas beratnya melihat gadis yang kini tengah cengingiran tak jelas.
"Kenapa? Aku ingin belanja ke pasar. Jangan sekarang aku sedang malas berdebat denganmu." ujarnya malas kini kakinya siap akan menggayuh sepedanya namun dengan segera Kylee mencegahnya dengan merentangkan kedua tangannya didepan pria itu. Bermaksud menghalangi jalannya.
"Aku ikut." putus Kylee naik sepedanya begitu saja. Ia berdiri sambari memegang bahunya. Jalas pria itu ingin protes namun sepertinya sia sia alhasil ia hanya menghela nafas beratnya.
"Ck.. Pegangan." perintahnya.
"Iya iya, Let’s go.. Brian " serunya bersemangat. Pria bernama Brian hanya menggeleng malas, namun tak sadar sudut bibirnya tertarik keatas membuat lengkungan pada wajah tampannya. Ia menggayuh sepedanya menyusuri jalan dengan kecepatan sedang, Raut wajah Kylee sangatlah bahagia. Ia sangat menyukai hal kecil seperti ini. Hatinya benar benar senang.
“Brian kayuhlah yang lebih cepat!" protes Kylee. Bibir Brian mencebik, "Kau cerewet sekali! Kau berat tahu!"
Kylee memukul pundak Brian cukup keras, "Ck kau saja yang payah!" Brian mendelik tak suka, benar benar wanita dibelakangnya itu membuat darahnya naik.
"Enak saja. Kau yang berat." ujarnya kini malah mengolengkan sepedanya, ia menggoda Kylee dengan cara mengolengkan sepedanya ke sana kemari.
"Kyaaa. Hati hati bodoh?!!!" sang empu malah tertawa lepas. Begitu juga Kylee yang tertawa karena tingkah usil Brian . Hanya bahagia yang menghampirinya.
Kini mereka berdua sampai di pasar tradisional, memilih sayuran ini dan itu. Mata Kylee berbinar melihat berbagai sayuran didepannya. Ia baru pertama kali mendatangi pasar tradisional dengan terpampang harga lumayan murah. Saat ia menjadi dirinya ia memilih untuk ke supermarket yang terbilang praktis. Juga kualitasnya.
"Wuahhhh.. Sayur sayur itu apa sama kualitasnya dengan disupermarket?" tanya Kylee dengan polosnya. Baiklah Brian kini berpikir sejak kapan wanita disampingnya itu peduli dengan sayuran? Namun ia tak ambil pusing.
"Hmm.. Kau bisa menawar walaupun harganya sudah terbilang murah." jawabnya kini sampai di salah satu tempat sayur. Ia memilah milih tomat.
"Benarkah?" tanya Kylee kini ikut memilih yang ada didaftar belanjaan Brian. Lagi-lagi kening Brian berkerut.
"Kau suka masak?" tanya Brian. Kylee tentu mengangguk antusias.
Apa hilang ingatan juga merubah hobi juga kemampuan seseorang? Padahal dia hanya bisa membuat kopi. Masak saja gosong?
"Sejak kapan? Bibi bungkus ini dua ya." kata Brian menyerahkan dua buket bayam. "Ah ya.. Aku tambah satu. Kalian pengantin baru ya?" tanya Bibi itu dengan semburat wajah bahagia. Brian dan Kylee hanya tersenyum kikuk.
"Pantas saja kalian serasi. Ini." ujar Bibi itu menyerahkan sayurnya. Begitu juga Brian yang membayar. "Terima kasih Bibi." ujar Kylee. Kini mereka melanjutkan membeli ke tempat ikan.
"Sejak kapan kau suka memasak?" tanya Brian lagi. Kylee berfikir keras. Ah sepertinya ia melakukan kesalahan.
"Hanyaa.. Suka tapi tak pernah enak. Iyakan? Itu dirikukan? Kau bisa masak?" Brian menhembuskan nafas sedikit lega. Lega? Aneh sekali.
"Yah kau benar-benar lupa diriku?! Aku bahkan tampil diacara tv. Kau tak tahu aku pemilik restoran Blue Rose. Wahhh setidaknya jika kau lupa diriku kau harusnya mengenalku ditelevisi. Wahh.."
Mata Kylee sukses melebar, "Benarkah? Kau pemilik restoran itu? Jadi... Kau chef Brian yang terkenal itu. WOW!"
Brian terkekeh pelan, "Kau mengakui diriku terkenal? Hanya saja ada yang kurang..." Kylee mengrenyitkan dahinya menunggu pria didepannya itu kembali berucap."..kau kurang memujiku tampan heheh."
Kylee memutar bola matanya malas. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri. Tapi ada rasa bahagia yang hinggap dihatinya. Jika dirinya Jean pasti dia akan berkenalan, mengajaknya bekerja sama. Dan lainnya tapi bertemu seperti ini membuat ia lebih senang. Ia bisa merasakan masakan chef ternama itu dengan langsung. Ahh cita-citanya terkabul juga.
"Nanti masakkan aku ya?" pinta Kylee kemudian.
"Tidak gratis."
"Tidak masalah."
"Mencuci piring, deal?"
"Deal."
Brian menoleh sebentar namun ia lagi lagi hanya tersenyum. Sifat dingin Jean entah mengapa menjadi sedikit lebih hangat. Padahal jika diingat Jean sangatlah susah untuk diajak komunikasi, apalagi untuk didekati.
---
Manik mata Jean tak lepas dari keadaan sekitar yang membuat dirinya sukses mengaga. Apartemen Gavin. Sungguh lumayan luas namun mewah, Jean yakin Gavin pasti seorang kaya raya. Apartemennya tertata sangat rapi. Dan membuat ia sepertinya akan nyaman disini. Setelah puas melihat lihat kini Jean memasuki kamarnya. Jean rasa pemilik tubuhnya itu sering menginap disini,tak heran kamarnya terdapat beberapa foto dan parfum juga make up bermerk sama yang tertinggal dimeja riasnya. Sebenarnya dia masih bingung dengan hubungan Gavin. Walaupun sepasang kekasih tentunya tak sedekat seperti ini atau lebih dari sepasang kekasih?
"Kau sudah selesai menata baju?" tanya Gavin mengagetkan lamunan Jean. Ia berdiri diambang pintu sambari bersedekap. Jean mengangguk cepat.
"Ayo makan jika sudah." ujar Gavin kemudian. Jean menyusul Gavin ke ruang makan, sudah tersedia banyak makanan disana. Gavin yang memasak ini?
"Kau yang memasak ini?" tanya Jean memposisikan dirinya duduk.
Gavin terkekeh pelan, "Tidak. Aku memesan." Jean ber-oh ria saja.
Mana mungkin Gavin memasak sebanyak itu dalam waktu singkat."Enak?" tanya Gavin. Ia membawa tanganya untuk menghapus makanan yang tertinggal di sudut bibir Jean. Jean mengangguk.
"Tapi lebih enak masakanmu. Aku merindukan masakanmu." Seketika Jean berhenti mengunyah. Ia menatap Gavin tengah tersenyum, "Aku bisa memasak?" tanya Jean hati-hati. Lagi-lagi Gavin tersenyum lebar.
"Eum. Kau kan chef di restoran Lets Eat!. Kau juga lupa? Cara memasak juga?" Jean meneguk salivanya kasar. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung.
Gavin mengacak rambut Jean, "Wahhh kau benar-benar lupa. Jangan bilang kau juga lupa diriku siapa?" Masih bungkam, namun sesuatu terlintas dipikiranya. Mata Jean sukses melebar,
"Kau.. Gavin pemilik perusahan terkenal itukan? GO Corp! Benarkah?"
Oh ayolah bukan itu yang ingin Gavin tau. Gavin ingin Jean ingat bahwa sebenarnya Gavin adalah...Ah sudahlah.
"Kenapa kau malah mengingat itu?" kesal Gavin. Jean tersenyum lebar.
"Memangnya kenapa? Memang dirimu terkenal.. Wah keren, aku bisa bertemu orang sekeren dirimu." Puji Jean tanpa sadar.
Gavin menoleh, sejak kapan..
"Sejak kapan kau memujiku keren? Kau menyadarinya jika aku keren? Wah sungguh tak ku percaya." kegirangan Jean berhenti tatkala mendengar Gavin berkata seperti itu.
"Memangnya aku tak pernah memujimu? Tak pernah?"
Gavin mengaga tak percaya, hilang ingatannya merubah sifat gadis didepannya itu total. "Kau bercanda? Kau bahkan tak pernah memujiku sedikitpun. Yang kau puji hanyalah chef itu. Tak ada bandingannya denganku. Ck."
Jean melipat bibirnya kedalam, "Benarkah? Memangnya siapa dia?"
"Wahhh... Aku harap kau benar-benar lupa dan tak mengingat chef sialan itu. Aku tak ingin memberitahumu."
"Jangan mengatainya sembarangan. Aku yakin dia pasti lebih tampan darimu. Hingga kau mengatainya."
Gavin melotot tak percaya, “Hei jangan sembarangan. Aku lebih tampan dan keren darinya. Heran saja. Banyak wanita yang tergila gila denganku. Tentunya lebih kaya."
Jean mencebikkan bibirnya, mengendikan bahunya, "Tak percaya. Eumm.. Aku rasa aku tahu orangnya."
"Hei jangan diingat. Aku tidak suka." jawab Gavin kesal. Padahal Jean sedang mengerjainya. Salah siapa Gavin suka menggodanya. Sekarang giliran Jean.
Balas dendam
"Bukanya chef... Eum ..ahhhh... Brian bukan?"
"HEIII!" Bentak Gavin membuat Jean bungkam.
Namun bukan malah takut Jean kini sedang menahan tawanya. Melihat wajah Gavin yang marah seperti anak kecil membuat Jean gemas. Padahal ia hanya menebak. Membawa nama tetangganya. Ah iya bagaimana kabar tetangga rewelnya itu? Gavin mendengus sebal , lantas Gavin kemudian meninggalkan Jean, ia memilih pergi kekamarnya. Merajuk ruapanya.
"Gavin? Kau marah? Benarkah?" tanya Jean yang tak diubris oleh Gavin. Dan sekarang Jean merasa bersalah ketika Gavin menutup pintu lumayan keras.
"Hah.. Dia marah." Jean dengan lahapnya kini menyantap makanannya. Ia mencuci piring setelah itu ia memberanikan diri untuk menghampiri kamar Gavin. Tak enak jika marahan dengan orang serumah.
Tok tok tok
Kini Jean mengetuk pintu tapi tak ada jawaban dari dalam. Ia meraih gagang pintu lalu membuka pintu perlahan. Tak dikunci.
"Gavin.. Kau didalam." Jean menyembulkan kepalannya dari balik pintu.
Matanya melihat sekeliling, menangkap sosok yang kini tengah bergelung diselimut. Jean menghela nafas antara lega dan bingung, Gavin tadi hanya mengintip sekilas dan kini wajah dan tubuhnya tertutup selimut sepenuhnya.
Mau tak mau Jean kini meyakatinya, naik kesisi ranjang kosong. Ia mencoba membuka selimut Gavin namun pria itu menahannya cukup erat.
"Kau masih marah? Gavin... Jangan marah.. Tidak enak jika seperti ini. Maaf ya? ya? Ayolahhh Gavin.. Aku bingung jika kau marah."
Dibalik selimut Gavin tersenyum lebar mendengar rengekan Jean. Tapi ia mencoba menahan semuanya. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Jean selanjutnya. Salah sendiri dia membuat dirinya kesal.
"Hei ayolah. Maafkan aku... Jika kau mendiamiku seperti ini aku merasa buruk. Begini saja aku akan melakukan apapun terserah yang penting kau memaafkanku." Dengan cepat Gavin menyibakkan selimutnya dengan senyum lebarnya. Ah! Senyum jahilnyanya. "Apapun?" Jean mengangguk tanpa ragu.
"Tapi jangan macam-macam." Baru saja Gavin ingin meminta, Jean sudah melarangnya. Melarang apa? Gavin hanya ingin meminta....
Ehem!
"Memangnya aku sudah mengatakan. Ingin apa? Ya sudah aku tak akan memaafkanmu."
"Memang apa yang kau minta Gavin? Kau jangan aneh-aneh."
Gavin memanyunkan bibirnya, "Aku ingin kiss me.."
TAK
"Aww sakit Kylee! Kenapa kau memukul kepalaku!" Gavin memegangi kepala bekas pukulan Jean.
"Salah sendiri kau tak tahu malu mengatakannya. Tidakkah terlalu vulgar?" Gavin menampakkan smirknya, membuat Jean bergidik ngeri. Apa dia salah bicara?
"Jadi kau ingin aku mengkode dirimu? Begitu? Kau ingin aku diam-diam meminta itu darimu,'kan?" Benar saja Jean salah bicara. Pria didepannya itu sungguh tak jauh dari kata mesum. Posisinya sekarang juga tak mengenakkan. Yakin sekali Gavin adalah pria termesum dari awal. Sungguh bodoh Jean.
"Tid-ak.. B. Bukan seperti itu hmpp.."
Ucapan Jean terpotong begitu saja ketika Gavin langsung menyambar bibir Jean. Ia menarik tengkuk Jean agar semakin dalam. Berbeda dengan Jean yang matanya melebar sempurna bahkan ia menahan nafas beberapa detik tubuhnya menegang.
Awalnya Gavin hanya menempelkan , namun perlahan ia melumat, menghisap kecil, tak kunjung merespon kini Gavin menggigit bibir bawah Jean hingga ia membuka mulutnya memberikan akses untuk masuk. Mengabsen seluruh giginya. Jantung Jean seperti ingin meledak, perlahan semburat merah terpatri pada wajah cantiknya. Dan itu terlalu memabukkan bahkan ia perlahan menikmatinya. Ia bahkan mengalungkan tangannya keleher Gavin.
Ciuman yang diberikan Gavin sungguh memabukkan lembut dan tidak menuntut, seperti ada kupu-kupu terbang diperutnya. Darahnya berdesir, dan itu adalah ciuman pertamanya. Merasa pasokan oksigen telah habis. Jean memukul dada Gavin. Begitu Gavin langsung melepaskan tautan keduanya. Nafas mereka tersengal sengal, dengan rakus baik Jean maupun Gavin menghirup oksigen sebanyak banyaknya.
"Aku rindu dirimu." bisik Gavin yang kini tengah menariknya, membawanya ikut berbaring. Ia memeluk tubuh Jean yang masih mematung, memeluknya posesif. Perlahan sorot mata Jean melunak. Menatap lekat pria yang tengah memejamkan matanya itu. Ada rasa bersalah dalam dirinya.
Mengingat bahwa dia bukanlah Kylee melainkan Jean
-To Be Continued-
Author'sTok tok tokKetukan pintu itu membuyarkan seorang gadis yang tengah larut dalam pikirannya. Berbagai pertanyaan berkecamuk saling bercamur menjadi satu.Gadis itu menepuk nepuk pipinya singkat,menyadarkan dirinya , lalu membuat sebuah kurva senyum sebelum seseorang itu masuk ke dalam kamarnya."Masuk Ray!" serunya dari dalam./cklek/Presensi pria berwajah manis itu kini menyebulkan kepalanya sebelum akhirnya menampakkan seluruh tubuhnya. Kylee tersenyum begitu pula Ray yang kini masuk menghampiri adik kesayangannya."Aku menganggumu hm?" tanya Ray kini duduk di tepi ranjang.Kylee menggeleng cepat,"Tidak kok, memang ada perlu apa?""Tidak ada, hanya sedikit khawatir denganmu. Kenapa tidak keluar kamar setelah jalan jalan dengan Jessi? Kau sakit?"Ray memang khawatir dengan Kylee. Semenjak kecelakaan itu dan perpisahan orang tuanya membua
Kylee atau Jean, gadis itu kini tengah mangut mangut mengerti mendengarkan celotehan Jessi. Semenjak jalan tadi mereka saling mengobrol ringan dan bercerita tentang banyak hal. Sesekali bernostalgia tentang masa lalu, tentu dengan cerita versi Jessi. Hingga kini mereka mengistirahatkan tubuh mereka di sebuah cafe dengan memesan beberapa makanan."Kami itu bersahabat baik, awalnya aku hanya murid pindahan di kelasmu. Sedangkan Hans dan Gavin di kelas yang sama. Bahkan kau yang mengajakku berteman dulu."Kylee mengangguk, sepintas ingatan tentang foto yang terpasang di meja kerja Gavin itu memungkinkan bahwa Hans yang memotretnya dan benar mereka sahabat baik. Hanya saja ada yang menggangg
Jean's (real Kylee pov) Flashback Sedihku sedikit terobati dengan kedatangan Hans yang pulang dari Belanda. Hans adalah sahabatku sewaktu masa SMA. Dia mengajakku jalan jalan seharian ini, sebenarnya aku malas namun mengingat bosan dirumah maka aku mengiyakan saja tawarannya toh sambari melepas rindu 4 tahun tak bertemu. Mobil kami sudah sampai di depan rumahku, aku terdiam sebentar. Rasanya malas saja harus memasuki rumah. Kulihat juga mobil Ayah dan Ibu terparkir di halaman rumah. Hingga tepukan dipundakku menyadarkanku dari lamunanku. Aku tersenyum mendapati dia juga tersenyum kearahku. "Masuklah." Aku menghela nafas kasar, "Apa kau tidak ingin mampir dulu?" kulihat dia mengrenyit samar. "Boleh?" Aku mengangguk cepat. "Baiklah, sekalian menyapa orang tuamu." ucapnya yang pada akhirnya kami keluar bersama menuju rumahku. Belum sampai dalam rumah aku mendengar samar-samar suara laki-laki dan wanita t
Ting tong"Ya sebentar." Ucap Jean dari dalam. Sebenarnya tadi ia sempat ragu jika akan membukakan pintu untuk tamu mengingat akhir-akhir ini baik kakaknya ataupun Gavin sangat overprotective dengannya. Terlebih sudah diwanti-wanti agar menjaga jarak dengan pria bernama Hans. Memang mencurigakan tapi ia tak ambil pusing, semakin ia diam semakin banyak hal yang tidak akan ia ketahui termasuk alasan mengapa jiwanya ada di Kylee. Jean bergegas membukakan pintu untuk tamu yang mengunjungi rumahnya. Walaupun sedikit bertanya-tanya, apa itu tamu kakaknya, tapi kenapa kakaknya tak berpesan padanya./cklek/Dilihatnya presensi seorang wanita cantik kira-kira seusia nya itu tengah tersenyum manis ke arahnya. Jean terdiam berfikir menatap lekat wanita di depannya itu, ia sungguh tak tahu siapa gerangan yang berdiri di depannya itu bersama laki-laki di belakangnya yang juga tengah tersenyum ke arahnya.“Kylee?” panggil wanita t
Lama tak berjumpa Kylee. Tangan Gavin meremas kuat gelas yang ia pegang. Pertemuan dengan seorang tak terduga itu tak pelak membuat kepalanya berdenyut hebat. Semalaman dia tak bisa tidur hanya memikirkan hal itu. Gavin menuang kembali wine yang sedari tadi entah berapa kali ia teguk, ia bahkan tak ingat rasanya. Sungguh sial, umpat Gavin. Ia menarik rambutnya frustrasi. Belum juga masalah satu kelar kini bertambah rumit. Satu tegukan terakhir, akhirnya dia berhenti. Tubuhnya beringsut berdiri, dengan gontai ia berjalan menuju ruang kerjanya. Ia dudukkan dirinya ke kursi kerja yang sering ia pakai, tangannya terulur meraih bingkai foto yang terakhir kali Kylee tanyakan. Kilas balik tentang masa lalu membuat hatinya berdenyut. Masa lalu yang membuat semua menjadi runyam saat ini, masa lalu yang membuat ia menyesal. Andai ia tak bertemu wanita dan pria sialan itu. Andai saja. "Gavin!! Gavin.,. Tunggu aku bisa jelaskan." ucap
Kylee sedari tadi memberengut kesal, ia mengecutkan bibirnya sembari wajahnya di tekuk kesal. Menatap pria di depannya itu yang sibuk mengolah bahan-bahan mentah di yang berjajar rapi. Setelah berhasil mengacau di depan alhasil ia bisa bertemu pemuda yang kini tak memperdulikannya, tidak pelak membuat dirinya geram setengah mati. Berbagai penawaran yang ia berikan tak ada yang mempan untuk pemuda keras kepala ini. "Kau masih tak percaya iya, ‘kan?" tanya Kylee kesekian kalinya. Pemuda itu melirik sekilas, ia menghela nafas berat. Pada akhirnya pemuda itu memilih mengalah dengan wanita kelewat sinting itu. "Tunggu di ruanganku. Setelah aku membereskan kekacauan mu aku akan menyusul." Ucap Brian yang dibalas dengusan keras dari Jean. Di ruang kerja Brian, Kylee mendengus beberapa kali. Mungkin jika terhitung ia sudah mengelilingi ruangan ini lima kali. Pemuda itu sungguh lama hingga Kylee dilanda kebosanan. Kini tungkai kakinya pun melangkah pada bangku kebesar