Share

Chapter 2 : Wanita Tahanan

Aku melangkah di lorong temaram menuju ruang baca. Ini adalah hari ketiga setelah Tuan Fredy datang dan aku tak menyangka jika Raja Vainea akan mengirim surat secepat ini, seolah-olah perdamaian ini tak ingin ditunda.

Namun disisi lain aku masih kebingungan dengan persiapanku mengingat aku diminta berkunjung sesegera mungkin. Aku menggelengkan kepala untuk menyingkirkan beberapa pikiran yang bergelayut di kepala dan jujur saja ini membuatku sedikit frustrasi.

Langkahku terhenti ketika mataku tak sengaja melihat sosok wanita berjalan cepat dengan gelagat mencurigakan. Aku mengernyitkan dahi ketika aku memfokuskan pandanganku dan sepertinya—aku mengenali sosok itu.

Tanpa pikir panjang, aku segera mengendap-endap untuk mengikutinya. Ya, tidak salah lagi itu adalah Ibu. Aku bisa melihat matanya menyusuri sekeliling seolah-olah mengawasi sesuatu dengan waspada, sementara aku terus bersembunyi perlahan-lahan.

Tak lama, ia berhenti di depan lemari hias. Tangannya menyusuri deretan benda yang terpajang manis di sana, kemudian menggenggam sebuah cangkir dan memutarnya. Lemari mulai bergerak dan membentuk sebuah pintu rahasia yang sepertinya gelap sekali di dalam sana. Aku melihat Ibu masuk ke ruang gelap itu dan tak lama, pintu kembali tertutup dan bergerak menjadi lemari hias yang utuh.

Aku mendekati lemari itu dan terdiam sejenak. Rasa penasaranku bangkit dan tanganku memutar cangkir antik yang tadi Ibu sentuh, kemudian lemari kembali bergerak dan pintu terbuka. Aku menelan ludah dengan rasa cemas dan juga ingin tahu, hingga akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam.

Pintu tertutup otomatis ketika aku sudah berada di dalam dan ruangan ini ternyata begitu temaram dengan penerang di setiap dinding sepanjang jalan. Aku melangkahkan kaki dengan takut, tapi tekadku untuk mengikuti Ibu membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan beliau lakukan.

"Seorang Ratu mengunjungi tempat ini, pasti ada sesuatu di dalamnya," pikirku seketika untuk mengurangi ketegangan yang membuat tanganku sedikit berkeringat.

Jalan yang kulalui ternyata membawaku menuruni tangga spiral ke bawah. Aku masih enggan untuk menghentikan langkah, padahal batinku mulai meronta untuk segera kembali ke atas.

"Sudah kubilang, aku bukan Lavina!" Suara Ibu terdengar ketika aku semakin mendekati posisinya. "Jika saja aku bisa mematahkan sihir itu, mungkin detik ini juga aku bisa membunuhmu."

Lalu terdengar suara tawa wanita yang tampak lemah. "Kemana penyihir sialan itu? Panggil dia!"

"Dia sudah tidak ada lagi. Jadi kau akan tetap hidup dengan penderitaanmu. Sihir itu takan melepaskanmu begitu saja, setidaknya itu yang Lavina ucapkan padaku untuk terakhir kalinya."

Terdengar suara tawa getir yang membalas kalimat Ibu dan aku semakin penasaran dengan percakapan mereka. Batinku mulai bertanya-tanya siapa wanita itu? Kenapa dia di penjara di tempat mengerikan seperti ini?

"Sarah, sebenarnya aku lelah sekali harus menyiksamu di tempat ini terus menerus. Bisakah kau mengakhiri hidupmu sendiri?" Ibu melempar pedang kecil pada wanita tahanan itu. "Sihir itu memang mencegahmu mati selama siksaanmu berlangsung, tapi dengan bunuh diri, mungkin sihir itu akan lepas darimu. Hanya itu yang dapat mengakhiri penderitaanmu untuk saat ini. Kuharap ketika aku datang lagi, kau sudah tidur selamanya dengan tenang."

"Aku tidak akan tenang selama belum mendapatkan Velian."

"Velianmu sudah mati!" sergah Ibu tegas. "Jika kau ingin menyusulnya, harusnya kau tidak keberatan dengan tawaranku bukan? Mungkin dengan kematian, kau bisa bertemu dengannya."

Untuk pertama kalinya aku melihat wajah lembut Ibu berubah menjadi seringai jahat.

"Tidak! Velianku belum mati. Aku pasti akan menemukannya!"

Ibu tersenyum miring di bawah cahaya obor di sekitarnya. "Teruslah bermimpi kapan pun yang kau mau, tapi Lavina takan mengijinkanmu keluar dengan selamat dari tempat ini. Sihir itu sudah mengutukmu untuk terus berada di tempat ini."

Aku segera bersembunyi ketika Ibu membalikkan badan dan melangkah keluar. Kemudian aku memberanikan diri untuk keluar dari persembunyianku setelah memastikan bahwa Ibu takan kembali ke sini.

kudekati tahanan itu untuk melihatnya. Aku penasaran kenapa wanita itu ditahan. Wanita itu mendongakkan kepalanya saat merasakan kedatanganku dan tak lama, ia tampak terkejut dengan kehadiranku, begitu pun denganku yang juga terkejut karena melihat keadaannya yang sangat buruk rupa dengan rambut lusuh dan tubuh kumal serta dipenuhi banyak luka.

"Kau?" gumamnya, membuatku terpaku . Namun tak lama ia tertawa dengan tatapan mengejek. "Mata itu...milik Valen tapi—" Ia tertawa lagi hingga terbahak-bahak. "Kau mirip sekali dengan Erick hahaha."

Aku mengerutkan kening, tak paham dengan apa yang ia katakan. "Apa maksudmu?"

"Kau pikir siapa orang tuamu hah? Hahaha." Ia masih tertawa sambil menunjukku. "Dari wajahmu saja aku bisa tahu kalau kau putri Valen bersama Erick, bukan Velian."

Jujur, aku semakin tak mengerti. Putri Valen bersama Erick? Tunggu, sepertinya nama Erick tak asing di telingaku. Siapa dia? Aku seperti pernah mendengarnya.

"Maaf, tapi sepertinya kau salah paham. Aku tidak kenal dengan dua orang yang kau sebutkan tadi," ujarku menepis meskipun sebenarnya aku juga penasaran.

"Ah, kau tahu putra dan putri mahkota Axylon sebelum kepemimpinan Zealda? Kalau kau tidak tahu, coba saja kau tanyakan saja pada Zealda siapa mereka." Ia tertawa puas melihat reaksiku yang kebingungan. "Asal kau tahu bocah, Putra dan Putri Mahkota yang dulu adalah orang tuamu dan mereka bukan tewas karena berperang, melainkan dibunuh hahaha. Aku tahu semuanya!"

Aku masih bungkam sambil berpikir sepertinya wanita ini—tidak waras, tapi kenapa Ibu memenjarakan orang gila seperti ini?

"Sepertinya aku harus memberitahumu sedikit. Sebenarnya kau itu anak yang tidak pernah diinginkan hahaha. Kau akan berterima kasih padaku karena berhasil membuatmu hadir di dunia ini. Kau tahu?" Suaranya mulai berbisik. "Aku yang memberi obat pada Ibumu melalui tangan Ayahmu."

PLAKK!!

Ya, aku terkejut ketika menyadari tanganku sudah melayang dan mendarat di pipinya. Emosi macam apa yang lewat barusan? Aku seperti dilanda kemarahan yang sangat besar dalam waktu singkat lalu amarah itu hilang dalam sekejap.

Wanita itu memegangi pipinya yang memar akibat tamparanku, tapi dia justru tertawa. "Ternyata Erick lebih mendominasi pada dirimu," gumamya lagi sambil menyeringai.

"Sepertinya kau sudah salah paham wanita tua! Zealda adalah Ayahku dan Liz adalah Ibuku. Terima kasih atas karangan ceritamu yang sangat menakjubkan. Tapi sayangnya, aku bukan bocah kecil lagi yang bisa kau dongengi dengan cerita murahan seperti itu," ujarku tegas dan sedikit kesal dengan kalimatnya yang sepertinya terlalu memaksa. "Dan satu lagi, cepatlah mati dan pergilah ke neraka," lanjutku, menyetujui ucapan Ibu sebelumnya.

Aku segera beranjak pergi, tapi di tengah langkahku ia meracau, "Aku yakin suatu saat kau akan datang mencariku untuk mencari kebenaran dirimu. Di saat itu tiba, kau tidak akan bisa mengingkarinya." Wanita itu kembali tertawa. "Sampai bertemu lagi, putri Erick."

Aku menggelengkan kepala dan berusaha tak menghiraukannya sambil berlalu pergi. "Dasar gila!" umpatku masih kesal.

Namun kalimat-kalimat dari wanita itu berhasil mengusik benakku dan menciptakan banyak pertanyaan di sana. Apa benar yang diucapkannya?

* * *

"Kakak."

Aku menoleh pada gadis kecil yang sudah duduk di sebelahku. Aku menatap sekitar dengan bingung, Helena yang tadi duduk di kursi khusus di sebelah Ibu, kini kursinya sudah berpindah tepat di sebelahku, sementara Ayah dan Ibu sudah menatapku penasaran.

"Apa...Kakak sakit?" Helena berusaha meraih pipiku sementara aku sudah memeganginya agar tidak jatuh. "Kakak harus makan yang banyak seperti Helena."

Aku tersenyum ketika tangan mungil itu menjepit pipiku. "Kakak tidak sakit." Aku memotong rotiku dan menyuapi Helena. "Kakak hanya perlu makan sedikit karena Kakak sudah besar."

Satu makanan berhasil masuk kemulutnya dan membuat pipinya mengembung imut. "Sisanya untuk Kakak saja, Helena sudah kenyang," ujarnya setelah mengunyah.

Ibu segera menggendong Helena setelah memberinya minum. Aku mengedarkan pandangan di meja dan ternyata tinggal makananku sendiri yang masih banyak.

"Selena, Ibu tidak tahu apa yang membuatmu melamun sepanjang hari. Tapi kau harus tetap menjaga kesehatanmu." Ibu menusuk sepotong roti daging dan menyodorkannya ke mulutku, sementara tangan satunya masih menggendong Helena.

Aku mengunyah roti dari suapan Ibu dan Helena tertawa mengejek dengan berteriak, "Ayah lihat! Kakak seperti anak kecil!"

"Dia memang masih kecil, sama sepertimu Helena," sahut Ayah mendukung.

"Sudah kubilang aku bukan anak kecil, Ayah!" sergahku gemas sementara Ayah hanya tersenyum miring.

"Kau masih memikirkan pernikahanmu?"

Pertanyaan Ibu kembali membuatku tersadar bahwa ada masalah lain yang harus kuhadapi selain ucapan orang gila kemarin malam.

"Sedikit," jawabku lemas.

"Selena, jangan paksakan dirimu jika kau memang tidak mau. Ayahmu juga tidak memaksamu jika kau menolak." Ibu membelaiku lembut dan mengusap-usap punggungku.

"Aku tahu, hanya saja—" Kalimatku menggantung sejenak, perlukah aku bertanya apa aku putri mereka atau bukan? "Aku...sedang memikirkan hal lain."

"Apa itu?" Ayah menatapku lekat.

Aku menatap mereka satu persatu dengan serius, kemudian menelan ludah dengan gugup. "Aku...boleh menanyakan sesuatu pada kalian?"

"Katakan saja."

Otakku berpikir dengan cepat untuk memilah pertanyaan terbaik. "Apa kalian mengetahui sesuatu tentang Putra dan Putri mahkota sebelum kepemimpinan Ayah?"

Ayah dan Ibu saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya mereka menatapku lagi.

"Aha, Helena tahu! Helena tahu!" Helena mengangkat tangannya dan memecahkan suasana tegang kami. "Kakak sering menceritakan mereka pada Helena. Helena tahu Kakak menyukai mereka, bahkan ada lukisan mereka di kamar Kakak."

"Kau punya lukisan mereka?!" Suara ayah begitu kencang dan membuat kami bertiga kaget dengan nadanya.

"Helena," bisikku kecewa karena rahasia terbesarku terbongkar oleh kalimat polosnya, sementara gadis itu segera menunduk dengan wajah bersalah.

"Maaf, Kak," balasnya sedih.

"Bibi, tolong bawa Helena ke kamar dan bantu ganti pakaiannya."

Seorang pelayan yang bertugas membantu Ibu merawat Helena akhirnya datang dan menggendong Helena, kemudian membawa Helena pergi dari situasi mencekam saat ini.

"Bibi, Kakak marah. Helena harus bagaimana?" racau gadis itu parau dan parahnya kalimat itu terdengar oleh telingaku. "Nanti Kakak tidak mau mengajak Helena jalan-jalan lagi," lanjutnya sambil menahan tangis.

"Dapat lukisan dari mana?" tanya ayah dingin.

"Dari...wanita yang menjaga perpustakaan kota," jawabku jujur kemudian menatap mereka yang sudah saling berpandangan. "Katanya lukisan itu tidak boleh di publikasikan, karena itu aku menyimpannya."

"Jadi kau sudah tahu wajah asli Putra dan Putri Mahkota?" tanya ibu masih dengan nada lembut.

Aku mengangguk. "Wajah mendiang Putri Mahkota...mirip sekali dengan Nona Valen Emery. Karena itu juga, aku meminta Nona Valen berdandan seperti Putri Mahkota waktu itu dan rasanya aku seperti benar-benar bertemu dengan beliau."

Aku menatap Ayah dan Ibu yang bungkam seketika, kemudian melanjutkan kalimatku, "Seseorang memberitahuku kalau mendiang Putri Mahkota juga bernama Valen. Benarkah itu?"

Ayah memiringkan kepala dan menyipitkan mata padaku. Sebelum mereka menjawab aku segera melanjutkan dengan gugup, "Dia bilang aku harus bertanya pada kalian perihal mendiang Putra dan Putri Mahkota, katanya kalian pasti tahu tentang mereka."

"Lalu?" Nada dingin Ayah membuatku semakin gugup dan tanganku berkeringat, tapi kurasa ini lah saatku berbicara.

"Dan...Erick itu siapa? Apa itu juga nama mendiang Putra Mahkota?"

"Siapa yang memberitahumu semua itu?" Bukan hanya Ayah, nada bicara Ibu pun berubah sama dinginnya walau masih sedikit halus.

Aku kembali menelan ludah dengan dahi berkeringat. "Tahanan wanita yang Ibu penjarakan."

"Selena, jangan percaya pada ucapannya—"

"Liz," potong Ayah cepat.

"Zealda dia—"

"Liz!"

Ibu bungkam seketika. Aku tidak mengerti kenapa Ibu tampak panik dengan hal ini. Memangnya kenapa dengan wanita itu?

"Sebaiknya kau kembali. Biar aku yang berbicara padanya."

Ibu menatapku khawatir sebelum akhirnya ia pergi dengan patuh. Kini hanya aku dan Ayah yang masih bergeming di meja makan.

"Habiskan makananmu!"

Aku kembali memotong rotiku dan memakannya dengan cepat. Pikiranku yang terus berputar membuatku lupa bahwa aku benar-benar kelaparan.

"Ayah tolong katakan padaku yang sebenarnya," ujarku disela makan.

"Erick memang nama dari mendiang Putra Mahkota."

"Jika Ayah tahu, kenapa selama ini kalian berpura-pura seperti tidak mengetahui apa pun?"

"Karena mereka sudah tiada. Tidak baik membicarakan orang-orang yang jiwanya sudah tenang. Karena itu Ayah tak pernah mengungkitnya. Jasa mereka memang sangat besar, tapi Ayah tak ingin mereka terusik karena sering disebut-sebut." Ayah berdiri dan berganti posisi duduk di sebelahku. "Apa lagi yang wanita itu katakan padamu?"

"Ayah." Aku menelan makananku dengan gugup ketika aku hendak mengatakannya. "Wanita itu...bilang kalau aku adalah putri Erick dan Valen. Benarkah itu? Apa aku bukan anak Ayah?"

Ayah memiringkan kepala dengan kening berkerut dan menatapku serius. "Selena, sebaiknya kau jangan terlalu mendengarkan omongannya. Bahkan dia dengan lancang mengatakan hal itu padamu. Dengar Selena, kau itu anak kami."

"Sungguh?" tanyaku tak yakin.

Ayah mengangguk yakin. "Karena aku melihat secara langsung bagaimana kau lahir dari perut Yang Mulia Ratu."

Aku menghela napas dan tersenyum lega. Ternyata ketakutanku benar-benar tak beralasan. Sekarang, aku tak akan meragukan orang tuaku lagi.

"Terima kasih, Ayah." Aku menabrakkan diri dan memeluk Ayah senang. "Terimabkasih sudah menghilangkan keraguanku."

Ayah membalas pelukanku dan ia menjitakku beberapa saat. "Berani-berainya kau mengelap mulutmu dengan bajuku!"

Aku meringis sejenak saat menyadarinya, kemudian menepuk-nepuk sisa noda yang tertinggal di bajunya. "Anggap saja itu balasan dariku karena sudah menghabiskan makananku waktu itu," ejekku sambil duduk kembali di kursiku.

"Yang Mulia, Tuan Putri, maaf mengganggu. Ada kiriman surat dari Vainea."

Aku menatap seorang pengawal datang dengan menyodorkan gulungan yang tampak elegan. Ayah menerimanya, kemudian meminta pengawal itu kembali. Kutatap selebaran perkamen yang sedang Ayah baca dalam diam sambil mengamati ekspresi wajahnya.

"Selena, sepertinya pihak Vainea bersedia menyambut kedatanganmu. Ini kedua kalinya Vainea mengirim surat dalam waktu dekat. Mereka memintamu untuk datang sesegera mungkin ke Vainea."

"Kalau begitu, aku akan segera bersiap-siap untuk berangkat ke sana."

"Kau tidak mau Ayah menemanimu?"

"Jangan!" sergahku cepat. Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi, aku takut jika ternyata perjanjian damai ini juga jebakan lagi ketika aku dan Ayah datang kesana. "Kali ini biar aku saja, Ayah. Aku takut Ayah akan kecewa kalau ternyata Pangeran Azura bukan pemuda tampan seperti Ayah," imbuhku dusta.

Tawa Ayah meledak seketika dan aku ikut tertawa. "Kau ini pandai sekali merayu, ya. Siapa yang mengajarimu begitu?"

Aku mengendikkan bahu. "Aku hanya belajar dari seorang Raja narsis yang kadang menyebalkan."

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status