Share

Selena (Shirea book 2)
Selena (Shirea book 2)
Author: Indah Riera

Chapter 1 : Perjanjian Damai

"Erick awas!!"

Sebuah cahaya melesat menghantam wanita yang mendorong tubuh pria di hadapannnya dan-lagi-lagi aku terbangun dengan tubuh berkeringat setelah itu. Aku tahu itu hanya mimpi, tapi aku tidak tahu kenapa mimpi itu selalu mendatangiku. Mimpi tentang wanita itu--Putri Mahkota, yang selalu kukagumi.

Aku menjuntaikan kaki ke lantai dengan rambut acak-acakan untuk meneguk segelas air. Cahaya malam menembus jendela hingga ruanganku begitu temaram. Di sudut ruangan kutatap sebuah papan besar yang ditutup kain, kemudian perlahan kubuka penutup itu.

Jemariku mulai menyusuri wajah wanita yang berdiri anggun di dalam sana dengan pakaian kebesaran khas Putri Mahkota Axylon. Wajah yang begitu natural dengan riasan yang paling sederhana untuk seukuran Putri agung sepertinya.

"Tuan Putri," gumamku pada lukisan di hadapanku. "Akhir-akhir ini aku selalu memimpikanmu. Aku tidak mengerti kenapa bisa seperti itu. Apa karena aku selalu mengagumimu dan mengidolakanmu?"

Aku menyentuh lukisan itu dan mataku mengerjap saat sesuatu berkilau dari jemariku. Aku menatap cincin Blue Saphire yang melingkar di sana dan menatapnya lama. "Apa kau marah karena aku memakai cincin pemberian Putra Mahkota? Maaf jika aku lancang, aku sendiri juga tidak mengerti kenapa Ibu memberikan cincinmu padaku."

Mataku menatap Blue Saphire yang perlahan berpendar, entah karena pantulan cahaya atau karena memang bersinar, yang jelas setelah itu sebuah cahaya melesat masuk dalam kepalaku, menciptakan ilusi yang aku sendiri tidak tahu bagaimana situasinya.

Dalam sekejap kamarku berubah menjadi ruangan lain dan aku masih berdiri di tempatku. Aku menatap sekitar dengan kebingungan karena saat ini aku berada di aula istana. Ada banyak orang memakai gaun pesta dan berdansa. Aku menatap orang-orang di sekitarku yang sepertinya tidak melihat kehadiranku, seolah-olah aku hanya lah roh yang tersesat dalam pesta dansa.

"Kau tidak berdansa, Nona?"

Sejenak mataku teralihkan oleh pemilik suara itu, kemudian aku memperhatikannya lebih. Pemuda itu mirip sekali dengan lukisan Putra Mahkota yang kusimpan di kamar.

"Yang Mulia?" Kini mataku tertuju pada gadis yang disapanya. Ia begitu syok dengan kehadiran pemuda itu dan menjatuhkan gelas di tangannya.

"Putri Mahkota," gumamku tanpa sadar.

Aku kembali menatap sekitarku sambil meremas rambutku. Pening di kepalaku mulai bergelayut, tapi keadaan di sekitarku belum berubah.

Pemuda itu mengulurkan tangannya untuk mengajak berdansa ketika aku kembali memperhatikan mereka. "Kau belum menjawabku, Nona."

"Maaf Yang Mulia, saya tidak bisa berdansa."

"Kalau begitu, untuk apa kau di sini?"

"Saya hanya memenuhi undangan. Sekali lagi saya minta maaf, Yang Mulia."

Pemuda itu meraih tangan gadis di hadapannya lalu menariknya ke tengah aula. Aku segera menyusul mereka karena penasaran, wajah mereka benar-benar tak asing di mataku. Peningku kembali kambuh dan sekelebat bayangan lukisan di kamarku muncul bagaikan kilat.

"Putra dan Putri Mahkota," racauku sambil meremas rambutku lagi.

"Yang Mulia, saya sudah katakan kalau saya tidak bisa berdansa atau saya akan mempermalukan anda." Gadis itu terdengar seperti menolak, tapi terasa seperti tak enak hati atau karena hal lain.

"Injak kakiku dan ikuti gerakanku."

"Ba-bagaimana mungkin saya menginjak kaki anda--"

"Ikuti saja!"

Mataku kembali menatap dua sejoli itu yang masih tampak berdebat. Namun tak lama, gadis itu menurut dan melepas sepatunya. Ia mulai bergerak mengikuti irama dan pemuda itu membimbingnya berdansa dengan sangat baik.

"Ini adalah pertama kalinya saya berdansa dengan Putra Mahkota. Bagaimana saya bisa santai? Saya tidak ingin mempermalukan anda dengan dansaku yang buruk, Yang Mulia."

Pemuda itu melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu dan mereka melanjutkan dansa, sementara aku masih kebingungan kenapa aku masih ada di sini.

"Jika ini hanya mimpi, siapa pun tolong bangunkan aku," pintaku dalam hati.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi pemuda itu sudah membopong gadis yang menjadi pasangan dansanya. Gadis itu terlihat tak senang dan meronta. Penasaran mulai menghantuiku dan terpaksa, aku mengikuti mereka.

"Periksa dia!" titah pemuda itu setelah menurunkan si gadis dari gendongannya.

Beberapa pelayan meraba seluruh tubuh gadis itu dengan sigap, kemudian mereka berkata, "Yang Mulia, kami tidak menemukan senjata satu pun di tubuhnya. Kemungkinan besar dia memang bukan Assassin atau mata-mata dari Vainea."

Keningku berkerut setelah mendengar kata Assassin dan semakin penasaran. Gadis itu kembali mengelak dan mencari pembenaran dirinya bahwa ia bukan Assassin atau pun mata-mata dan pemuda itu akhirnya berhenti mengintimidasinya.

Tak lama seorang pengawal datang memberi sebuah laporan yang sepertinya tidak menyenangkan untuk pemuda itu. Namun ia meminta gadis itu untuk ikut dengannya ke penjara bawah tanah. Leherku meremang seketika dan mendapat firasat tak enak, tapi aku tetap mengikuti mereka dengan rasa penasaran dan juga gugup.

Mereka mulai menginterogasi tahanan yang bungkam dengan teguh meskipun cambukan dan sayatan menderanya. Aku hanya berjingkat ngeri saat melihat adegan itu.

"Baiklah, sepertinya aku perlu mengupas kulitmu."

Aku menatap pemuda itu dengan nanar, tidak menyangka bahwa ia adalah pemuda bengis dan kejam. Ditambah, gadis itu dipaksa untuk melihat semua kekejamannya dengan dipegangi kepalanya.

"Tidak! Tidak mungkin iblis itu adalah Putra Mahkota. Tidak mungkin!" racauku dalam hati saat menyaksikan kengerian yang terpampang jelas di depan mataku

Tubuhku sudah ambruk ke lantai dengan kesadaran yang semakin menipis. Napasku terasa sesak dengan peluh yang sudah membanjiri dahiku. Telingaku berdengung mendengar erangan tahanan itu dan pendengaranku mulai samar-samar. Aku tidak tahu lagi bagaimana situasinya saat pandanganku mulai buram. Namun ada kalimat yang kudengar terakhir kali sebelum kesadaranku lenyap.

"Jika nanti kita bertemu lagi, mungkin aku tidak akan melepaskanmu."

Entah berapa lama, kesadaranku akhirnya kembali walau hanya beberapa persen saja. Aku bisa merasakan lantai halus di mana aku terkapar yang berarti aku ada di kamarku. Tubuhku terlalu lelah sampai-sampai lantai yang keras pun terasa begitu nyaman untukku terbaring.

Ketenangan perlahan mengalir ketika tiupan angin berhembus menerpa wajahku, begitu sejuk dan lembut hingga aku enggan membuka mata. Aku merasakan sepasang tangan kokoh mengangkat tubuhku dan membaringkanku di tempat tidur.

"Ayah," gumamku, karena awalnya kupikir yang membopong tubuhku adalah Yang Mulia Raja. Namun dugaanku salah ketika mataku terbuka sedikit dalam keadaan setengah sadar.

Ekspresiku langsung membeku ketika melihat sosok pemuda kejam yang sebelumnya kulihat di penjara bawah tanah, tapi kali ini ia tersenyum padaku dengan wajah yang terlihat sejuk. Tidak ada ekspresi bengis yang terukir di sana melainkan hanya kelembutan ketika menatapku.

"Putra Mahkota," gumamku membatin.

Tangannya membelai rambutku berulang-ulang hingga kantuk melandaku bertubi-tubi dan terpaksa dengan segala menyamanannya, mataku terpejam. Hal terakhir yang bisa kurasakan adalah sebuah kecupan di keningku.

"Tidurlah dengan tenang, Selena."

* * *

Aku menyeruput secangkir teh dengan tenang keesokan harinya. Pikiranku tak lepas sedikit pun dari peristiwa semalam yang menurutku itu hanya mimpi belaka. Udara lembut berhasil menenangkan hatiku. Sejenak kemudian, aku menatap cincin Blue Saphire yang masih melekat di jariku.

"Nona, kudengar hari ini kita kedatangan tamu dari Vainea." Seorang pelayan pribadiku datang, dia adalah Gretta. Usianya lebih muda dariku, mungkin sekitar dua puluh satu tahun.

Aku menaruh cangkirku seketika lalu berdiri. "Mau apa mereka?"

"Saya dengar mereka ingin bertemu Yang Mulia Raja. Katanya ingin menawarkan perjanjian damai dengan Axylon," jawabnya mengecilkan suara. "Nona tidak ingin menyamar untuk mendengar pembicaraan mereka?"

Aku berpikir sejenak kemudian berbisik, "Siapkan seragam pengawal beserta perlengkapannya. Tapi ingat, jangan sampai ada yang tahu."

Gretta terlihat antusias dan segera memenuhi tugasnya, sementara aku masih berpikir keras atas kedatangan tamu terhormat tak diundang itu. Aku jadi ingat salah satu cerita tentang peristiwa di era Putri Mahkota, katanya dulu juga Vainea sempat menawarkan perjanjian damai dengan mengundang Raja dan Putra Mahkota untuk datang ke Vainea, tapi yang terjadi justru peperangan dan mereka semua dijebak. Tidak! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.

Setelah menunggu lama, akhirnya Gretta datang dengan membawa kotak besar berisi pakaian dan juga sebilah tombak dengan identitas pengawal. Aku langsung memakai pakaian itu dan untung saja ukurannya sangat pas. Kemudian, Gretta membantu menggelung rambutku sebelum memakai pelindung kepala.

"Berhati-hatilah, Nona."

Aku mengangguk sebelum meraih tombak dan pergi keluar dengan sigap. Awalnya aku mengendap-endap sampai akhirnya ada barisan para pengawal yang melewatiku, kemudian aku langsung berbaur dengan mereka di barisan paling belakang.

Tak lama, aku bersama pengawal lain sudah berdiri mengelilingi aula dengan posisi sigap dan berdiri tegak. Dalam keadaan seperti ini, mungkin resiko dari penyamaranku adalah leherku akan terasa pegal, kepalaku harus diam sampai pengawal dibubarkan, tapi untung saja mataku masih bebas melirik ke arah mana pun.

Ayah datang! Ia berjalan ke aula singgasana dengan jubah kebesarannya dan di sampingnya sudah ada Ibu dengan gaun elegan khas Ratu, kemudian duduk di kursi agung mereka. Aku masih terdiam seperti pengawal lain, berharap tidak ada yang menyadari keberadaanku.

Mataku menyipit ketika seorang pria paruh baya memasuki aula dengan jubah kebangsawanan Vainea dan kulihat di sana terdapat sebuah lencana Adipati. Mataku masih menunggu sosok lain yang akan muncul, tapi sayangnya ternyata Tuan Adipati hanya datang seorang diri dan ini sangat mengganggu sekali.

Tidak disangka bahwa bangsawan sekelas Adipati datang ke wilayah musuh sendirian dan hanya di temani dua pengawal kereta kudanya.

"Salam hormat saya pada Yang Mulia Raja Zealda dan Ratu Liz." Tuan Adipati membungkuk memberi hormat sementara Ayah hanya mengangguk. "Saya kagum pada Axylon yang benar-benar makmur dengan perekonomian yang berkembang pesat."

"Terima kasih. Silahkan sampaikan tujuanmu kemari," sahut ayah dengan nada penuh wibawa.

"Kedatangan saya kemari sebagai utusan Raja Radith dari Vainea untuk menawarkan perjanjian damai dan juga kerjasama dengan Axylon. Bagi kami, seharusnya sudah saatnya kita mengakhiri permusuhan ini dan membangun hubungan yang baik. Yang Mulia Raja Radith benar-benar sangat berharap tidak ada lagi peperangan di antara kita, apalagi status beliau adalah Raja baru, sama seperti anda dan kami mengajukan dua persyaratan yang perlu anda setujui."

"Waktu itu Vainea juga menawarkan kerjasama dengan Axylon dan memberi undangan secara khusus pada mendiang Raja Herrian dan ternyata itu adalah jebakan kalian. Saat Raja Herrian memenuhi undangan dengan membawa setengah pasukannya, kalian justru mengirim banyak pasukan kemari saat istana kosong. Anda pasti tahu apa yang kami alami waktu itu, di mana pasukan kalian menyerang saat pertahanan kami melemah." Ayah menyeringai sejenak. "Tapi untung saja, Raja Herrian bukan Raja sah Axylon. Tapi akibat dari peperangan itu, Putra dan Putri Mahkota kami tewas. Meskipun mereka bukan pewaris sah, tapi jasa mereka terlalu besar dan orang Vainea seperti kalian takan bisa menebusnya."

"Tapi Yang Mulia, Putra Mahkota kami juga tewas pada saat itu." Kini Tuan Adipati berbicara dengan nada tak suka. "Dan parahnya, Putra mahkota kami adalah pewaris sah dari tahta Vainea. Betapa beruntungnya Axylon, setidaknya yang tewas bukan lah pewaris sah."

Ayah tersenyum miring setelah mendengar perubahan nada bicara dari Tuan Adipati, sementara aku hanya menghela sambil membatin, "Ayah cukup berbakat membuat orang lain kesal."

"Katakan, apa dua syarat yang akan kau ajukan?" Ayah tak membahas lagi masalah peperangan waktu itu. Ia juga terlihat tak mempedulikan berita tewasnya pewaris sah Vainea.

"Syarat pertama, Axylon dan Vainea akan bertukar wilayah di perbatasan. Wilayah perairan Vainea beserta kekayaan alamnya akan kami serahkan pada Axylon, lalu Axylon harus menyerahkan wilayah daratan Axylon beserta sumber daya yang ada di sana untuk Vainea. Bagiamana, Yang Mulia?"

Aku melirik singgasana dan kulihat Ayah tampak seperti mempertimbangkannya.

"Saya akan menjamin keutuhan kekayaan alam di perairan Vainea masih bagus atau bahkan anda bisa datang ke sana untuk melihatnya langsung. Begitu pun dengan anda yang juga harus menjamin sumber daya anda di wilayah yang akan diserahkan pada kami."

"Lalu apa syarat keduanya?"

"Syarat kedua adalah Yang Mulia Raja Radith meminta anda menikahkan putri sulung anda dengan Putra Mahkota baru kami, Pangeran Azura."

Aku termangu dengan apa yang baru saja ia katakan, kemudian mataku tertuju pada Ayah yang tampak tak suka dengan persyaratan kedua. Aku menggenggam tombak dengan erat agar tak terlepas dari tanganku akibat syok.

"Tidak adakah syarat lain selain pernikahan?"

"Yang Mulia, pernikahan ini sangat penting sebagai ikatan resmi atas terjalinnya perdamaian Axylon dan Vainea. Seperti yang saya katakan, Pangeran Azura adalah Putra Mahkota, bukankah ini sangat menguntungkan untuk posisi putri anda?"

"Kalau begitu, aku juga akan meminta pendapat putriku. Pernikahannya adalah hak hidupnya."

"Tapi Yang Mulia, anda adalah seorang Raja. Tidak bisakah anda memutuskannya sendiri? Saya yakin putri anda akan mengerti dengan keputusan anda."

"Aku memang seorang seorang Raja. Tapi aku bukan seorang Ayah yang akan menikahkan putrinya hanya demi politik," sahut ayah tegas.

"Yang Mulia, pernikahan politik adalah hal yang wajar untuk keluarga kerajaan dan--"

"Pelayan, tolong panggilkan Putri Selena kemari," potong ayah cepat.

Mataku melebar ketika Ayah meminta pelayan memanggilku. Apa yang harus kulakukan? Gretta pasti akan bilang kalau aku tidak ada di tempat. Namun di situasi seperti ini, pasti Ayah akan meminta pengawalnya untuk mencariku di luar. Perlukah aku bergerak dan membongkar penyamaranku?

Tak lama pelayan datang bersama Gretta. Ia menunduk memberi hormat sebelum berkata, "Maaf Yang Mulia, Tuan Putri sedang pergi keluar."

"Kemana dia?"

Gretta menggeleng cepat. "Saya tidak tahu, Yang Mulia. Tuan Putri tidak memberikan pesan apa pun."

Ayah menghela dengan sabar lalu bergumam. "Anak itu benar-benar!"

Ayah kembali menatap tamu di hadapannya. "Maaf Tuan, berhubung putriku sedang tidak ada, aku akan mengirim pengawal untuk mencarinya. Aku yakin dia tidak pergi terlalu jauh, jadi mohon tunggu lah sebentar di ruang perjamuan. Kami sudah menyiapkan hidangan untuk anda sembari menunggu putriku kembali."

"Terima kasih atas kebaikan anda, Yang Mulia."

Tak lama Tuan Adipati dari Vainea pergi ke ruang perjamuan didampingi para pelayan, sementara Ayah dan Ibu segera menyusul. Begitu pun dengan pengawal yang segera membubarkan diri dan di situ lah aku mencari kesempatan untuk kembali ke kamar.

Aku berlari dengan terburu-buru menyusuri tangga kemudian melepas penutup kepalaku dan meletakkan tombak. Gretta langsung masuk ke ruangan begitu aku sampai dan segera membantu menyiapkan pakaianku.

"Nona, yang tadi itu hampir saja."

"Kupikir aku harus membuka penyamaranku di hadapan semua orang. Ayah benar-benar bijaksana."

Aku segera berganti pakaian, kemudian Gretta membantu menata rambutku dengan cekatan. Tak lama, akhirnya dandananku selesai dengan riasan sederhana serta gaun biru cerah yang membuat tampilanku cukup baik.

Aku menuruni tangga dan berjalan menuju ruang perjamuan di mana tamu Ayah sudah ada di sana. Sepanjang lorong aku berpikir, aku sudah pasti akan menolak, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menolaknya tanpa memancing kemurkaan pihak Vainea.

"Yang Mulia, Tuan Putri sudah datang."

"Salam hormat, Ayah." Aku membungkuk memberi hormat, biasanya seperti itu untuk keadaan resmi seperti sekarang ini.

"Kemarilah, Nak."

Gretta sudah menarik kursi untukku sementara Tuan Adipati yang duduk di hadapan kami berdiri sejenak untuk memberiku hormat. Aku hanya mengangguk untuk membalasnya sambil tersenyum. Tunggu, aku tidak melihat Ibu bersama mereka. Ah, mungkin dia memilih ijin tidak ikut untuk mengurus Helena.

"Putri anda benar-benar cantik dan anggun, Yang Mulia," ujar Tuan Adipati memujiku.

"Selena, perkenalkan ini Tuan Fredy, Adipati utusan dari Vainea."

"Terima kasih sudah datang berkunjung, Tuan." Aku berbicara selembut mungkin meskipun sebenarnya aku ingin berteriak, "Cepat pergilah dari hadapanku!"

"Selena ada hal yang ingin kami bicarakan padamu. Pihak Vainea menawarkan perjanjian damai dan kerjasama, tapi salah satu dari penawaran itu adalah menikahkanmu dengan Putra Mahkota Vainea."

"Bagaimana dengan keputusan Ayah?" tanyaku sok polos padahal aku sudah tahu jawabannya.

"Ayah minta kau juga membuat keputusan."

"Yang Mulia--"

Ayah mengangkat tangannya untuk memotong kalimat Tuan Fredy. "Kurasa kalimatku tadi cukup jelas, Tuan."

Aku terdiam sejenak sambil memutar otak. "Ayah, aku--" Sialan, bagaimana cara mengatakannya? "Aku...aku belum ingin menikah." Akhirnya kalimat itu keluar juga. "Apa...ayah keberatan dengan jawabanku?"

"Kau dengar sendiri, Tuan? Putriku belum ingin menikah, itu berarti perjanjian damai belum bisa kusetujui. Kecuali jika persyaratan kedua diubah, aku bisa mempertimbangkannya."

Dalam sekejap Tuan Fredy merasa risau. "Baiklah Yang Mulia, saya akan sampaikan hal ini pada Yang Mulia Raja Radith. Tapi Tuan Putri--" Kali ini ia menatapku. "Mohon pertimbangkan lagi karena ini sangat penting bagi kedua negara. Atau...anda bisa mengunjungi Vainea dan bertemu dengan Pangeran Azura secara langsung, dengan begitu anda bisa menilai dan memutuskannya setelah itu."

Aku berpikir sekali lagi, tentu saja aku takut ini adalah jebakan kedua dan parahnya kali ini melibatkan masa depanku, tapi sepertinya aku bisa memanfaatkan situasi ini untuk memata-matai Vainea. Aku bisa mendapatkan informasi lebih dan bisa membaca gerak-gerik rencana mereka secara langsung. Tentu saja aku harus membawa senjata dan menyerang mereka jika situasinya mendesak. Mungkin dengan begitu aku bisa mendapat petunjuk berupa kelemahan Vainea jika mereka kembali macam-macam.

"Baiklah, Tuan. Aku akan mengambil keputusan setelah bertemu langsung dengan Pangeran Azura. Sampaikan pada Yang Mulia Raja Vainea bahwa aku akan datang ke sana dan tinggal beberapa hari di sana."

"Selena, kau yakin?" Ayah tampak khawatir dengan keputusanku.

"Ya, akan kucoba," jawabku yakin.

"Anda benar-benar sangat bijaksana, Tuan Putri." Tuan Fredy tampak senang dengan persetujuanku dengan wajah yang sedikit lega. "Setelah kembali dari Axylon, saya akan segera menyampaikan berita penting ini pada Yang Mulia Raja kami."

Setelah selesai dengan pembahasan kali ini, mereka menghabiskan hidangan di piring masing-masing kemudian pergi. Kembalinya utusan dari Vainea membuat perasaanku sedikit lega.

Kini tinggal aku dan Ayah yang masih berada di meja makan ditemani beberapa pelayan yang siaga. Namun Ayah juga meminta mereka untuk pergi hingga akhirnya benar-benar hanya tinggal kami berdua.

Ayah bangun dari kursinya kemudian menjitak kepalaku sambil berkata, "Kali ini apa lagi rencanamu, bocah?"

"Sudah kubilang aku bukan bocah lagi!" gerutuku.

"Di mataku kau itu tetap seorang bocah," timpal Ayah dengan nada menyebalkan. "Ah, umurmu sudah hampir dua puluh enam tahun, kenapa masih sempat menolak pernikahanmu?"

"Aku benar-benar belum ingin menikah, sungguh!" Aku menarik tangan Ayah dan bersandar dengan manja. "Aku belum mau berpisah dengan Ayah menyebalkan sepertimu."

Ayah mendengus tertawa sambil menarik kursi di sebelahku kemudian duduk. "Lalu apa maksudmu menyetujui tawaran Tuan Adipati untuk mengunjungi Vainea? Apa kau penasaran seperti apa rupa calon suamimu? Kalau Putra Mahkota Vainea ternyata pemuda tampan seperti Ayah, apa kau akan langsung menerimanya begitu saja?"

Aku mengerutkan kening sejenak dan meralat pendengaranku. Dia bilang apa barusan? "Pemuda tampan seperti Ayah," cibirku.

Ah, aku lupa kalau Ayah sedikit narsis jika sedang mengejekku. "Tentu saja tidak! Aku memang punya rencana," lanjutku sebal.

"Katakan, rencana gila apa yang bersarang di otakmu?" Ayah menusukkan garpu ke daging yang tersisa di piringku, kemudian memakannya.

"Ayah, aku ingin menjadi mata-mata di Vainea."

"Hmm...cita-cita yang unik untuk seorang Tuan Putri sepertimu," sahutnya sambil mengunyah.

"Ck, Ayah! Ini bukan bukan cita-cita, tapi sebuah rencana besar."

"Lalu?" Ayah kembali menusuk potongan daging terakhir di piringku.

Melihat hal itu aku langsung menahan daging itu dengan pisau. "Ayah, ini dagingku."

"Selena ada laba-laba di rambutmu!"

Aku langsung menjerit dan mengacak-acak rambut, tapi sejenak aku melihat ayah tersenyum menang dan aku sadar bahwa potongan daging terakhirku sudah di kunyahnya. Aku kembali duduk dan meraih Apel di hadapanku, kemudian mengunyahnya dengan sebal.

"Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan, jalankan rencanamu jika itu baik bagimu," ujarnya sambil mengacak-acak rambutku yang sudah berantakan.

"Ayah tidak menyanyakan apa rencanaku lebih dalam?" tanyaku heran.

"Tanpa perlu kau beritahu, Ayah pasti akan mengetahuinya." Kali ini Ayah berbicara dengan lembut dengan wajah santun. "Jika ingin lanjut bermain di luar, mainlah! Ajak Helena jalan-jalan juga," ujarnya setelah meneguk minuman, kemudian pergi meninggalkanku begitu saja.

Sialnya, aku baru sadar bahwa minuman yang dia teguk adalah minumanku. "Ayah!!" jeritku gemas.

_______To be Continued_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status