Share

Chapter 3 : Kerajaan Vainea

Aku memeluk Helena sebelum keberangkatanku ke Vainea. Anak itu sudah tak sedih lagi dan aku sudah meminta maaf padanya karena membuatnya ketakutan. Saat ini ia justru mengkhawatirkanku dan bertanya kapan aku pulang sebanyak mungkin. Aku hanya tersenyum karena aku tahu dia pasti akan merindukanku.

Aku menaiki kereta setelah melambaikan tangan pada Helena yang mengantarku sampai ke depan gerbang, sementara Ayah dan Ibu hanya memandangiku hingga kereta berangkat. Tatapan mereka juga terlihat cemas meskipun tetap dengan ekspresi wibawa mereka.

Kereta kuda melaju, sementara aku hanya terdiam sambil menatap ke luar jendela. Sesekali aku menatap cincin Blue Saphire yang tak pernah kulepas dari jemariku, berkilau di bawah cahaya siang yang membuatnya terlihat indah dengan nuansa laut yang biru.

Perjalanan kali ini, aku membawa sedikit pengawal. Meskipun sebelum ini sempat berdebat dengan Ayah, tapi pada akhirnya Ayah mengalah dan berkata 'Terserah'. Itu adalah hal yang membuatku lega karena aku memang tak suka dipaksa, apalagi jika harus mengambil resiko terhadap banyak nyawa.

Perjalanan panjang nan bosan membuatku sedikit mengantuk hingga akhirnya aku perlahan terlelap. Hembusan angin dingin menerpa wajahku, memberi kenyamanan dan aku mulai tak sadarkan diri.

Namun aku merasakan belaian lembut pada rambutku, entah siapa. Aku mulai merasa risih, tapi itu semua tak mengusik kantukku sama sekali.

"Yang Mulia, sebentar lagi kita akan sampai di perbatasan Vainea."

Aku terbangun setelah mendengar salah satu pengawalku berkata. Aku kembali membuka tirai dan kulihat langit senja di ujung sana. Aku tak menyangka akan tertidur pulas dalam waktu yang lama di perjalanan.

Kulihat sebuah kota besar dan ramai di sebuah lembah. Di sana ada salah satu bangunan yang tampak megah dengan beberapa bendera Vainea di sekitarnya. Aku bisa melihat jelas kota itu dari atas bukit dan jarak kami sudah tak terlalu jauh. Tak kusangka Vainea memiliki panorama alam yang indah dengan hamparan laut yang membentang bagai tak bertepi, sangat berbeda dengan Axylon yang dikelilingi banyak hutan dan bukit.

Sebuah sorakan dan tepuk tangan bergema ketika kami memasuki perbatasan kota, bahkan sebagian dari mereka ada yang terpaku melihat kedatangan kami. Aku jadi berpikir, apakah dulu Raja Herrian dengan Putra Mahkota juga mendapat sambutan seperti ini?

Tak lama, keretaku mulai memasuki gerbang istana dan di sana sudah ada beberapa pengawal berbaris rapi dan mengiringiku. Aku menuruni kereta lalu menatap bangunan megah di hadapanku, kemudian seorang pria paruh baya menyambutku dan membimbingku masuk kedalam.

"Yang Mulia Raja sudah menungggu anda, Yang Mulia," ujarnya sambil menunduk hormat padaku.

Aku tak menyahut, tapi aku mengikuti langkahnya dan kini tiba lah kami di sebuah aula besar yang dipenuhi banyak orang dengan pakaian kebesaran mereka. Di sana aku juga melihat Tuan Fredy tersenyum dan mengangguk padaku.

Di kursi singgasana sudah ada pria berambut pirang dengan jubah kebesaran seorang Raja. Dia raja Raddith, ia berdiri atas kedatanganku sementara aku bertekuk lutut sejenak untuk memberi hormat, kemudian kembali berdiri.

"Salam hormat saya untuk anda, Yang Mulia," ujarku sopan. "Perkenalkan nama saya Selena, putri dari Axylon. Saya datang memenuhi undangan anda."

"Selamat datang di Vainea, Putri," sahutnya ramah. Ia tersenyum dengan wajah senang. "Nanti malam kami akan mengadakan pesta penyambutanmu sekaligus memperkenalkan Pangeran Azura padamu."

"Terima kasih banyak atas sambutan hangat anda, Yang Mulia."

"Kau tak perlu sungkan." Kini wanita yang duduk dengan pakaian khas Ratu yang bersuara. Rambutnya yang berwarna coklat gelap membuat wajahnya tampak cerah, informasi yang kudapat beliau bernama Erisca. Ia berdiri dan mendekatiku, kemudian merangkulku dan membuatku merasa-kikuk. "Perjalanan dari Axylon ke Vainea pasti membuatmu lelah. Kau sudah melewati perjalanan jauh, sebaiknya kau segera istirahat."

"Terima kasih, Yang Mulia Ratu." Aku menunduk santun.

Tak lama seorang wanita paruh baya datang dan memintaku untuk mengikutinya. Kami berjalan menyusuri lorong temaram dengan aroma kayu manis yang sedap. Mataku tak sengaja menangkap sosok gadis kecil sedang duduk di bawah pohon dengan buku tebalnya. Ia menatapku tajam dan aku segera memalingkan pandanganku. Aku melihat ada yang aneh dengan gadis kecil itu, lebih tepatnya ia memiliki warna bola mata yang berbeda antara mata kiri dan kanannya. Saat aku kembali menoleh ke arahnya lagi, gadis itu sudah tak ada di tempat.

"Ini adalah kamar yang sudah disiapkan untuk anda, Yang Mulia."

Aku memasuki ruangan yang terasa sejuk, seperti kamar yang sudah lama kosong, tapi tetap terjaga. Pandanganku menyapu seluruh perabotan ruangan yang sederhana yang elegan.

"Silahkan beristirahat, saya akan membawakan beberapa kudapan dan teh untuk anda."

"Terima kasih banyak." Aku mengangguk tersenyum.

Aku menghampiri jendela dan membukanya setelah pelayan itu menghilang di balik pintu. Sebuah hamparan biru yang lepas landas membuat mataku terpesona oleh keindahannya.

Laut adalah pemandangan yang tak bisa kulihat di Axylon. Kini aku bisa menatapnya dengan bebas disertai embusan angin yang sejuk dan sedikit hangat. Di ujung sana, terlihat langit kemerahan dengan bola oranye yang hendak terbenam.

Mataku kembali menoleh ketika pintu kamar terbuka dan menampakkan sosok gadis kecil. Ekspresinya begitu dingin saat memasuki kamarku.

"Hai," sapaku masih terpaku.

"Apa tujuanmu sebenarnya?" tanyanya dingin.

Keningku berkerut bingung. "Maksudmu?"

"Seorang Tuan Putri menyimpan senjata di balik pakaiannya. Apa kau pikir perjanjian damai ini hanya main-main?" tandasnya. "Jika kau ingin menolak pernikahan, sebaiknya tolak saja. Kau tak perlu menjadi mata-mata yang akan membahayakan kami semua."

Aku masih terdiam dengan wajah membeku. Bagaimana mungkin anak ini tahu semua? Ia bahkan tahu di balik pakaianku ada senjata. Entah kenapa, aku sedikit takut dengan matanya yang berbeda warna satu sama lain, seolah-olah ia dapat melihat semuanya dengan mata itu.

Gadis itu duduk di tepi ranjang dan memangku bantal yang ada di sana, tapi tak melepas tatapannya dariku.

"Aku membawa senjata untuk melindungi diri," jawabku. "Ditambah Vainea memiliki hubungan yang kurang baik dengan Axylon. Aku hanya perlu bejaga-jaga jika kalian bermacam-macam denganku."

Kulihat ekspresinya berubah seketika saat aku mengatakannya. "Seorang Tuan Putri memiliki senjata? Apa di Axylon diperbolehkan seperti itu? Lalu untuk apa kau memiliki pengawal jika kau juga harus bersenjata?"

"Seharusnya...tidak boleh. Tapi Ayahku mengijinkanku memiliki apa yang kumau. Di Axylon tidak ada orang yang tahu kalau aku bisa bermain pedang selain Yang Mulia Raja dan Ratu sendiri. Bahkan adikku sendiri juga tidak tahu."

"Kau punya adik?" tanyanya penasaran.

"Ya, tapi dia lebih kecil darimu," sahutku. "Dan...mengenai senjata, kuharap kau merahasiakan hal ini dari dari siapa pun."

"Tergantung apa tujuanmu. Jika kau bermaksud untuk membahayakan kami, aku tidak akan segan-segan memberitahukan hal ini pada semua orang dan memerintahkan mereka untuk menangkapmu."

Aku berpikir sejenak bahwa anak ini terlalu berbahaya untuk melancarkan aksiku. Kurasa mata itu bukan sembarang mata, aku yakin dia bisa melihat semuanya dengan mata itu.

"Putri Erina!" Seorang pelayan masuk dan tampak terkejut dengan kehadiran gadis kecil di hadapanku. Ia meletakan sepiring kue dan secangkir teh di atas meja, kemudian bertanya, "Putri, sedang apa anda di sini?"

"Kudengar ada wanita yang mau menikah dengan Kakak. Aku hanya ingin melihatnya," jawab gadis itu dan ekspresinya sudah berubah total menjadi gadis polos yang lugu.

Aku terdiam sejenak dan mengerti, ternyata gadis kecil ini adik Azura. Wajahnya imut saat ia tersenyum, tapi keimutan itu berubah menjadi menegangkan jika ekspresinya berubah dingin. Ia juga memiliki warna rambut yang sama seperti Ratu Erisca.

"Putri Erina sebaiknya kembali, Putri Selena butuh istirahat karena perjalanan jauh."

"Biarkan saja, Bi," sahutku tersenyum. "Biarkan kami saling mengenal lebih dekat."

Erina terdiam, ia memasang wajah cemberut yang imut untuk memohon pada pelayan agar diijinkan tinggal tinggal di kamarku.

"Baiklah, kalau begitu saya akan membawakan teh lagi untuk anda."

Aku dan Erina kompak mengangguk dan merasa lega saat pelayan itu kembali menghilang di balik pintu. Kini gadis itu kembali menatapku serius, tapi tatapan dinginnya sedikit runtuh, tidak seperti pertama kali kulihat.

"Erina. Jadi itu namamu?"

Gadis itu mengangguk. "Jadi namamu Selena?"

"Ya, namaku Selena," sahutku tersenyum dan ekspresinya sedikit berubah perlahan.

Aku memiringkan kepala atas perubahan ekspresinya yang membuatku bingung. Tatapannya lebih lembut, tapi ia seperti memikirkan sesuatu.

"Bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanyaku hati-hati.

"Kau pasti ingin menanyakan kenapa warna mataku beda, kan?"

"Sialan, bocah ini tahu apa yang kupikirkan," umpatku dalam hati, tapi aku hanya mengangguk.

"Aku sudah menduganya, ketika orang lain pertama kali melihatku pasti yang mereka tanyakan adalah kenapa mataku berbeda warna. Ternyata kau juga sama."

"Tentu saja, memiliki warna mata yang berbeda adalah sesuatu yang langka, itu sangat wajar jika mereka bertanya."

"Aku sudah bosan menjawabnya. Sudah ratusan kali aku memberikan jawaban pada orang-orang itu dan aku juga bosan dengan pertanyaan seperti itu."

Aku masih terdiam sambil mencerna jawabannya. Jadi...kesimpulannya ia tak mau menjawab pertanyaanku?

"Baiklah kalau kau tak mau menjawab. Aku tak akan memaksa." Aku memiikirkan cara untuk mengalihkan pembicaraan. "Berapa usiamu?"

"Tujuh tahun," jawabnya singkat sebelum ia terdiam lagi. Namun tak lama, ia berkata sambil menatapku serius lagi. "Sebenarnya ada dua hal yang kulihat darimu."

Aku memiringkan kepala lagi dan bersiap untuk mendengarkan kalimat berikutnya.

"Sebenarnya...kau ini Iblis atau Malaikat?"

Keningku berkerut mendengar pertanyaan tak masuk akal itu. "Tentu saja aku Manusia."

Ia tertawa mendengar jawabanku yang mungkin-terkesan polos. Aku hanya tersenyum masam dan sepertinya aku menangkap sesuatu yang tersirat dari pertanyaannya.

"Tuan Putri, aku melihat dua hal tentangmu." Ia kembali berbicara dengan serius. "Aku melihatmu sebagai orang yang baik, tapi aku juga melihatmu bisa menjadi orang jahat. Yah, meskipun setiap diri Manusia memiliki dua sisi itu, tapi orang baik adalah orang yang kebaikannya lebih mendominasi begitu pun juga sebaliknya. Tapi begitu melihatmu, aku kebingungan. Aku tidak tahu kau orang baik atau jahat, karena kau mendominasi keduanya. Ditambah, aku melihatmu sebagai sosok yang kuat, tapi juga rapuh."

Aku menghela sejenak. "Kalimatmu terlalu berat untuk seorang anak umur tujuh tahun, Putri. Kenapa kau harus memikirkan kepribadian orang lain sampai serumit itu?"

"Karena kau adalah calon istri Kak Azura. Itu berarti kau juga akan jadi Kakakku. Aku harus mengetahui hal tentangmu."

"Apa kau melihatku sebagai sosok yang jahat karena aku membawa senjata?" tanyaku memastikan.

"Aku tahu kau datang kemari berniat untuk menjadi mata-mata."

Aku menarik napas dan menatap gadis di hadapanku. Sepertinya...gadis ini memang bukan gadis biasa. Ia dianugerahi kemampuan khusus dari matanya yang berbeda untuk menilai kepribadian orang-orang di sekitarnya. Parahnya, dia mengetahui niatku.

"Putri Erina, jawabanmu tepat sekali. Aku emang datang kemari untuk menjadi mata-mata," ujarku jujur. Namun yang membuatku heran ia justru tersenyum saat aku mengatakannya, bukannya takut. "Axylon, memiliki trauma terhadap Vainea."

"Aku tahu, pasti karena insiden penjebakan Raja yang dulu bersama Putra Mahkota bukan?"

Aku menatapnya heran. "Kau juga tahu hal itu?"

Erina menganggguk. "Aku pernah mendengar ceritanya, itu peristiwa paling ramai dibicarakan di Vainea selama beberapa tahun. Bahkan Ayahku sendiri menjadi saksi atas peristiwa itu. Meskipun pada saat itu aku juga belum lahir, tapi peristiwa itu tercatat dalam sejarah di Vainea bahkan sudah dibukukan. Kalau tidak salah judulnya KEMUNDURAN VAINEA ATAS AXYLON. Aku sering membacanya dan jujur saja, menurutku itu kekalahan Vainea yang paling memalukan sepanjang sejarah, tapi untungnya Vainea bukan di bawah kepemimpinan Ayahku waktu itu."

Erina menatap pakaianku tepat di mana senjataku berada. "Jadi...karena itu juga kau menjadi waspada pada kami? Kau takut kami menjebakmu dan karena itu juga alasan kenapa kau menolak Ayahmu ikut bersamamu, kan?"

Aku terdiam sambil membaca ekspresinya dan mengangguk. "Berhubung kau sudah tahu, sepertinya aku tak akan menjelaskannya lagi."

"Putri, sebenarnya aku sedikit takut denganmu, tapi ternyata kau memiliki ketakutan yang sama terhadap kami. Terima kasih sudah mengatakannya dengan jujur, jadi aku tak perlu khawatir lagi." Erina tersenyum dengan wajah hangat. "Tapi Putri, untuk kali ini Ayahku benar-benar ingin mendamaikan Vainea dengan Axylon, sungguh! Ayahku benar-benar berharap dengan tulus bahwa perjanjian damai ini akan membawa kehidupan kita ke masa yang lebih baik. Di bawah kepemimpinan Ayahku, Vainea benar-benar ingin membangun hubungan dan kerjasama yang baik tanpa adanya perang."

Aku termangu mendengarnya. Jadi...kali ini Vainea memang bersungguh-sungguh?

Pintu kembali terbuka dan seorang pelayan datang membawa kudapan dan teh yang sama.

"Silahkan Putri," ujar pelayan pada Erina, sementara gadis itu sudah mengambil satu biskuit dan memakannya.

Aku menyeruput teh dan mengambil posisi duduk berhadapan dengannya, sementara pelayan itu sudah pergi meninggalkankan kami berdua.

"Putri, aku tidak sengaja mendengar kabar kalau kau menolak pernikahanmu dengan Kakakku. Aku tahu kedatanganmu kemari bukan karena ingin melihat Kakak. Jika kau tidak menginginkan pernikahan ini, sebaiknya cepat-cepat beri keputusan." Erina menyeruput tehnya lalu menatapku. "Karena...Kak Azura sendiri juga menolak pernikahannya."

* * *

Aku terdiam, menatap diriku di depan cermin dengan balutan gaun berwarna ungu gelap yang elegan. Tidak hanya satu pelayan yang mendandaniku, melainkan tiga sekaligus. Mereka sangat bawel hingga aku tersiksa oleh penampilanku sendiri yang menawan.

Untuk pertama kalinya rambutku digelung hingga leherku terasa dingin. Sebuah pita dengan pilinan yang rumit mempercantik tampilannya, tapi meskipun begitu aku ingin mengeluh dengan beban kepala yang membuat leherku tak bisa menoleh.

"Sepertinya pita yang sederhana lebih cocok," kritikku saat mereka mendandaniku.

"Yang Mulia, rambut anda ini sangat bagus. Sangat disayangkan jika hanya dihias dengan riasan sederhana," ujar salah satu pelayan yang tampak puas dengan karyanya.

"Ditambah, penampilan anda saat ini sangat sempurna. Saya yakin Putra Mahkota akan jatuh hati saat melihat anda," imbuh yang lain.

Aku hanya tersenyum masam sambil berserapah dalam hati, "Persetan dengan semua itu. Kepalaku berat sekali sialan!"

Rambutku diolesi banyak minyak agar mudah diatur seperti yang mereka mau, baunya memang harum hanya saja...rambutku seperti menjerit.

Setelah dandananku selesai, aku segera meminta mereka untuk meninggalkanku sebentar. Ya, tentu saja dengan alasan bahwa aku butuh menenangkan diri karena gugup dan untung saja mereka menurutinya.

Begitu mereka pergi, aku segera beraksi mengubah hasil karya mereka yang membuatku mati kaku. Aku segera melepas pita-pita sialan itu lalu mengelap rambutku dengan kain basah. Dengan terpaksa, aku melepas cincinku karena jemariku mulai licin. Kemudian aku menghapus riasan mereka di wajahku yang super tebal dan menyebalkan.

Aku mulai menggulung rambut sesuai selera, setidaknya aku biasa menyisakan ujungnya agar tetap terurai untuk mengurangi rasa dingin di leherku. Kemudian aku membuka kotak aksesoris dan memilahnya sesuka hati. Lalu, mataku menatap satu pita Mawar berwarna senada dengan gaunku. Tanpa pikir panjang aku segera menyelipkannya pada gelunganku.

Setelah itu, aku segera meraih beberapa bedak dan mulai berkreasi dengan dandananku sendiri. Aku tidak peduli dengan komentar mereka nanti, yang penting aku harus membuat diriku senyaman mungkin.

Aku segera membuka lemari dan mencari gaun dengan warna yang sama, tapi lebih sederhana dan...ya, aku menemukannya. Jujur saja, aku tidak menyukai gaun yang memiliki banyak renda, karena bisa membuat kulitku terasa gatal. Setelah menemukan gaun yang pas, aku segera berganti pakaian.

"Tuan Putri, Yang Mulia Raja sudah memanggil."

Aku segera menoleh ke arah pintu dan untung saja pintu itu sudah kukunci sebelumnya.

"Baiklah, aku akan segera keluar." Aku menatap diriku di cermin sekali lagi dan meyakinkan diri bahwa penampilanku sudah lebih baik.

Sesuai dugaanku, para pelayan yang tadi mendandaniku hanya terpaku melihat perubahan tampilanku. Aku bisa melihat ekspresi mereka yang ingin berkomentar. Aku memakai kembali cincin Blue Saphire milikku meskipun warnanya tak senada dengan pakaianku, aku tidak peduli.

Tak lama, aku sampai di sebuah pintu dan para penjaga mulai membukanya. Aku hanya tersenyum ketika banyak mata yang menatapku. Mereka semua terdiam melihat kehadiranku termasuk Raja Raddith dan Ratu Erisca yang sepertinya...lebih terfokus pada penampilanku.

Aku segera bertekuk lutut memberi hormat dengan santun dan sejenak aula berubah menjadi sebuah bisikan dari lisan-lisan yang bergema.

"Dia...lumayan cantik, tapi aku tak menyangka Putri Axylon memakai pakaian sesederhana itu di acara pesta." Telingaku tak sengaja mendengar bisikan yang paling dekat denganku. "Untung saja dia memiliki tubuh yang bagus, jadi...tidak terlalu mengecewakan," lanjutnya lagi.

"Urus saja penampilanmu sendiri bocah!" jeritku dalam hati saat melihat ternyata yang berbisik-bisik itu sekumpulan gadis remaja yang penampilannya sangat ramai dengan pernak-pernik yang berkilauan di bawah cahaya.

Aku tak sengaja melihat mata Ratu Erisca menatap tajam ke arah pelayan yang tadi mendandaniku. "Ehm...bagaimana dengan penampilanku, Yang Mulia?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya.

"Maafkan pelayan kami yang tidak bisa mendandanimu, Putri."

"Tidak, tidak. Mereka sudah mendandaniku dengan baik hanya saja, saya lebih merasa nyaman dengan penampilanku sendiri. Tolong jangan salahkan mereka."

Ia hanya tersenyum dengan kalimatku, tapi tak ada tatapan menyalahkan darinya. "Kalau begitu mari kita mulai."

"Para hadirin sekalian, perkenalkan dia Putri Selena dari Axylon."

"Salam hormat kami, Putri," ucap mereka serempak sambil menunduk memberi hormat.

"Terima kasih banyak," sahutku mengangguk.

Ratu Erisca tiba-tiba meningkat pergelangan tanganku dengan pita. "Nah Putri Selena, kau harus menemukan pasangan dansamu." Ia menunjukkan barisan sepuluh pria yang mengenakan topeng. "Salah satu dari mereka adalah Pangeran Azura. Kau harus menebaknya. Ikatkan ujung tali ini di pergelangan tangannya jika kau sudah bisa menebaknya."

Aku menatap Ratu Erisca tak percaya, sementara Raja Raddith sudah tersenyum menahan tawa. Semua tamu undangan bersorak memberiku semangat dengan antusias. Aku mulai berjalan menuju ke barisan pemuda-pemuda bertopeng itu dengan gugup. Untuk pertama kalinya, aku bermain seperti ini.

Aku menatap mereka satu persatu dengan bingung, pasalnya aku belum pernah melihat Azura sekali pun. Otakku mulai berpikir keras dengan mengerahkan segala logika yang ada. Aku menatap Raja Raddith dan Ratu Erisca untuk mengamati warna rambut mereka, seharusnya buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Kulihat ada empat pemuda berambut coklat, tiga berambut pirang dan tiga lagi berwarna hitam. Nah, ini masalah baru untukku, aku tidak tahu warna rambutnya. Untuk sementara, aku hanya berfokus pada yang rambut pirang dan coklat gelap.

Aku mundur sejenak dan merasa risau, jika aku salah menebak bagaimana?

Perlahan kakiku melangkah. Tunggu, tubuhku--bergerak sendiri, sungguh! Aku tidak bisa mengendalikannya. Ada apa ini? Atau ada seorang penyihir yang sedang mengerjaiku?

Aku mendekati pemuda berambut coklat dengan topeng hitam, ia juga memiliki iris mata yang juga coklat gelap. Tanganku bergerak dan mengikatkan ujung tali ke pergelangan tangannya. Mataku menatap cincinku seperti--bercahaya. Aku menarik pemuda itu hingga ia melangkah maju satu langkah.

Aku masih menatap cincinku dan tak lama pendaran cahaya itu mulai menghilang dan tubuhku bisa kukendalikan lagi. Mataku menyipit bingung dengan rasa tak percaya, sepertinya...ada sesuatu pada cincin ini dan aku harus menyelidikinya.

"Maaf jika tebakanku salah." Aku menunduk seketika.

"Nah, anak muda, tunjukkan wajah aslimu," titah Ratu Erisca.

Pemuda itu membuka topengnya dengan patuh sementara aku masih menunduk, bersiap menanggung malu. Tak lama semua tamu bersorak takjub dan tak percaya. Aku yang mendengar keramaian itu langsung menatap pemuda yang sudah membuka topengnya.

"Wah, tebakannya benar. Hebat sekali!"

Aku mendengar salah satu dari mereka berbicara, tapi aku masih terdiam dengan syok. Jadi...tebakanku benar? Aku melirik cincinku lagi dan semakin merasa aneh.

"Kau...Putra Mahkota Azura?" tanyaku memastikan.

Ia melirik ke arahku tanpa menjawab, tapi ia sudah mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan itu sejenak sebelum meraihnya. Musik sudah mengalun dan kami mulai berdansa, diikuti oleh tamu yang lain.

"Jujur saja, baru kali ini aku melihat seorang Tuan Putri dengan selera penampilan tak berkelas seperti ini," bisiknya di tengah tarian.

"Lalu apa masalahmu?" tanyaku sedikit tak terima dengan kritikannya.

"Kau menjadi pasangan dansaku dengan penampilan seperti itu, tentu saja masalah."

"Kalau begitu sebaiknya kita akhiri saja."

Aku memutuskan untuk mundur satu langkah dengan berputar agar tak ada yang curiga bahwa aku ingin segera pergi dari situasi ini, tapi ia menahan pinggangku dan kami bergerak memutar sesuai irama.

Aku baru sadar bahwa tangan kami masih terikat pita dan ia menarik ujung pita itu hingga tangan kami tak berjarak, kemudian mengikat pergelangan kami agar tanganku tak bisa lepas darinya.

"Kau pikir bisa kabur semudah itu?" ujarnya dingin.

"Aku tak berniat untuk kabur, jika kau merasa terganggu dengan penampilanku sebaiknya aku kembali."

"Pesta ini diadakan untuk menyambutmu. Kau bahkan ingin segera kembali? Sangat tidak sopan."

Aku menghela napas dengan sabar. "Lalu apa maumu, Yang Mulia?"

Ia terdiam sejenak sebelum ia menarikku ke luar ruangan. "Ikut aku!"

Tanganku yang terikat membuatku terpaksa menurut. Tak lama, ia melepaskan tali pita yang mengikat tangan kami.

"Naik!"

Aku terdiam sejenak dan menatap kuda di hadapanku. "Kau mau apa?"

"Cepat naik!"

Aku segera menaiki kuda sesuai permintaannya, kemudian ia juga ikut naik, duduk di belakangku sambil memegang tali kekang.

"Kau baru saja mengataiku tidak sopan saat aku ingin meninggalkan pesta, tapi sekarang kau malah membawaku pergi?" protesku.

"Diam!"

"Kau pikir aku akan diam saja?" Aku berusaha memberontak dan memaksa turun ketika kuda melaju. "Kau sebenarnya mau membawaku kemana?"

Tanganku dipelintir ke belakang dan dilingkarkan di lehernya hingga aku bisa merasakan napasnya di telingaku, kemudian ia mengikatnya. Bukan hanya itu, ia juga mengikat pinggangku dengan tali agar aku tidak nekat turun.

"Baru kali ini aku melihat Putri yang sangat berisik dan pemberontak sepertimu."

Aku menyeringai sebal, "Memangnya kenapa? Apa di Vainea tidak ada Tuan Putri sepertiku? Kasihan sekali."

"Aku justru kasihan dengan Axylon yang memiliki Putri tak bisa diam seperti ini, bahkan bersikap anggun pun tidak bisa."

Aku berusaha melepas tali di tanganku dengan sekuat tenaga, tapi tak bisa.

"Coba saja jika ingin melepaskan diri dariku." Ia tersenyum miring.

"Sebenarnya apa maumu?!"

"Diam dan kau akan tahu," jawabnya tersenyum miring, sementara aku semakin was-was karena tak membawa senjata untuk melindungi diri.

_______To be Continued_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status