Share

Chapter 8 : Pecahan Masa

Aku berjalan menyusuri lorong bersama Gretta menuju ruang kerja Ayah. Ini pertama kalinya aku merasa takut untuk berhadapan dengannya meskipun aku sudah siap dihukum. Napasku tercekat saat pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok pria yang masih sibuk dengan penanya.

Tanganku berkeringat ketika aku melangkah masuk. Aku tak berani bersuara sampai ia menyelesaikan tulisannya. Tak lama, pintu kembali ditutup dan kini hanya kami berdua di ruangan. Ayah melirikku sekilas, kemudian melanjutkan tulisannya lagi.

Kami terdiam hampir setengah jam dan suasana begitu hening. Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya agar rasa gugupku berkurang. Tak kusangka Ayah yang setahuku sok tampan, narsis dan menyebalkan, kini menjelma menjadi sosok Raja yang menakutkan.

"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"

Aku lega, akhirnya Ayah memulai percakapan. "Ayah, maafkan aku."

Ya, untuk sementara aku hanya bisa mengatakan itu.

"Tidakkah kau ingin menjelaskan soal semalam?"

"Itu—" Aku memutar otak untuk memulai percakapannya. "Aku—" Sial, kenapa rasanya sulit sekali mengatakannya. "Ayah, aku...semalam...anu—"

Aku tersentak saat Ayah meletakkan penanya dengan kasar, bahkan bisa dibilang menggebrak meja. Ia berdiri dan mendekatiku perlahan. Kepalaku menunduk saat ia duduk di sudut meja yang posisinya hampir berhadapan denganku.

"Kenapa kau menunduk seperti itu? Biasanya kau selalu menatapku lantang ketika berbicara."

"Aku bersalah dan aku tidak berani menatapmu," jawabku, masih menunduk.

Kudengar ia mendesah pelan dan kami kembali hening beberapa menit.

"Bagaimana dengan keputusanmu?"

"Aku...akan menikah dengannya."

"Beri aku alasannya."

"Sepertinya aku...menyukainya. Dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Selain itu...sepertinya dia juga menyukaiku."

"Apa itu berarti kau menganggap dia lebih tampan dari Ayah?"

Keningku berkerut seketika mendengar pertanyaannya yang sedikit narsis. Kudongakkan wajahku perlahan untuk membaca ekspresinya, apakah ia sedang bercanda?

Ayah menghela napas sebelum berkata, "Ya, ada pepatah yang mengatakan kalau seorang Ayah adalah cinta pertama bagi putrinya. Itu lah kenapa, kebanyakan seorang Ayah selalu menilai pasangan putrinya dengan kritis dan detail, apa dia cocok dengan putrinya atau tidak. Untuk pertama kalinya aku merasa patah hati sebagai seorang Ayah. Kau sudah dewasa, tapi aku malah tidak siap dengan kalimatmu kalau kau menyukai pria itu."

Aku masih terdiam untuk mencerna kalimatnya dan—yah, memang benar. Ayah adalah satu-satunya pria yang kukenal dan yang paling dekat denganku dan juga—paling memahamiku. Tak bisa kupungkiri bahwa Ayah memang cinta pertamaku, bahkan sosoknya takan tergantikan meskipun aku sudah bersanding dengan pria lain.

"Tapi...apa kau yakin dengan perasaanmu?"

Aku mengangguk pelan.

"Ah benar juga." Ayah bedecak sebal. "Kalau kau tidak yakin dengan perasaanmu, mana mungkin kau mau berciuman dengannya?" lanjutnya menggerutu.

Aku menunduk lagi dengan wajah tersipu. Ayah melihatnya, bagaimana ini?

"Untuk kejadian semalam, aku benar-benar minta maaf, Ayah."

"Apa dia yang memulai duluan?"

Aku mengangguk pelan tanpa menjawab.

"Ah, kenapa selalu pria yang memulai duluan?" keluhnya.

Aku mendongakkan wajah lagi dengan alis terangkat. "Kalau aku yang memulainya lebih dulu, bukankah Ayah akan semakin marah?"

"Tentu saja. Aku akan benar-benar menghukummu tanpa ampun kalau kau yang memulai duluan. Ingat, gadis yang baik harus bersikap terhormat, jadi jangan pernah memulai duluan."

Aku hanya tersenyum masam. "Kalau begitu, kenapa kau mengeluh?!" cecarku dalam hati.

"Kau yakin ingin menikah?" tanya Ayah setelah hening beberapa detik.

Aku mengangguk lagi. "Ayah...tidak menghukumku karena kejadian semalam?"

Ayah mendesah pelan sebelum menjawab, "Seharusnya aku menghukummu dengan berat, tapi mau bagaimana lagi? Aku sendiri juga pernah berciuman dengan Ratu sebelum menikah dan aku juga tidak menghukum diriku sendiri. Yah, anggap saja itu masalah kecil asal kau tidak lepas kendali dengannya. Masih banyak masalah yang lebih besar dibanding ciumanmu dengan si Penculik itu."

Aku termangu mendengar jawaban panjangnya. Raja macam apa yang bicara seperti itu tanpa beban? Namun aku sedikit merasa lega dengan reaksinya.

"Apa itu berarti...Ayah mengijinkanku menikah dengannya?"

"Jika itu pilihamu dan membuatmu bahagia, apa yang bisa Ayah lakukan lagi selain memberimu restu?"

Aku langsung memeluknya erat dan ia membalasku dengan hangat. Tak kusangka, berbicara dengan Ayah lebih mudah dibandingkan Ibu.

"Tapi kalau suatu saat nanti dia menyakitimu atau membuatmu menangis, jangan salahkan Ayah jika nanti Ayah melakukan serangan dan memulai perang besar dengan Vainea."

"Terima kasih, Ayah. Aku pastikan itu tidak akan terjadi."

* * *

Aku terduduk di tepi ranjang dan melepas ikatan rambutku. Kini kuterbaring tenang dengan perasaan lega, kudengar Ayah akan segera mengirim surat persetujuan persyaratan ke dua pada Vainea. Dengan begitu, Azura tak akan macam-macam lagi denganku.

Tunggu, tapi kalau aku menikah dengannya bukankah itu berarti aku akan tinggal bersamanya di Vainea? Sial, kenapa aku baru menyadarinya!

Aku berguling-guling lalu membenamkan wajahku ke bantal. Sungguh, aku benar-benar tak berpikir sejauh itu. Yang kupikirkan selama ini hanya lah bagaimana caraku lepas dari pangeran sialan itu dan menyelesaikan masalah soal perdamaian ini.

"Kau benar-benar bodoh, Selenaaa!!" jeritku di bawah bantal.

Bayangan saat kami berciuman kembali berkelebat dalam kepalaku, membuat wajahku memanas dengan rona yang memalukan.

Sepanjang malam aku terus memikirkan nasibku di Vainea setelah menikah. Ayah sudah menyetujuinya, tapi—apa aku akan baik-baik saja setelahnya?

Semakin lama, aku mulai mengantuk dan lelah. Mataku terpejam perlahan. Aku merasakan Blue Saphire di jemariku bergetar lembut, tapi kuabaikan. Entah berapa lama setelahnya, aku merasa terseret dan masuk ke dalam lorong gelap.

Aku membuka mata lagi dan pemandangan di sekitarku sudah berubah. Masih di istana Axylon, tapi kali ini suasananya sangat menegangkan. Kini aku berdiri di sebuah lorong gelap. Dari kejauhan, aku melihat dua sosok berjalan beriringan.

Mataku melebar setelah melihat dua sosok itu. Wajah mereka—mirip sekali dengan Ayah dan Ibu, tapi tanpa jubah kebesaran mereka. Lebih tepatnya, mereka terlihat seperti sepasang Assassin lengkap dengan senjatanya.

Aku terpaku ketika mereka melewatiku begitu saja, seolah-olah tidak melihatku sama sekali. Aku bergegas mengikuti langkah mereka dan tak lama kami sampai di sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu sudah ada Putri Mahkota dan—tunggu, siapa pemuda yang satu ini?

"Kau takan bisa menyentuhnya jika Putra Mahkota yang asli masih hidup, Velian," ujarnya, mengejutkanku.

Keningku berkerut seketika. "Velian?"

Sejenak aku teringat pada tahanan wanita di bawah tanah yang terus menyebut nama Velian saat berbicara dengan Ibu.

"Zealda? Bagaimana kau bisa ada di sini?"

Pemuda itu memanggilnya Zealda yang berarti tidak salah lagi, dia benar-benar Ayahku. Berarti wanita di sebelahnya memang Ibu.

"Sial, aku bermimpi lagi." Aku meremas rambutku dan berharap ada seseorang yang mengeluarkanku dari mimpi ini. "Tapi...kenapa mimpiku kali ini melibatkan Ayah dan Ibu?"

"Tunggu!" sergah Velian. "Kau tidak boleh menyentuhnya. Ditambah kau bukan garis keturunan Raja Victor. Kau akan mati begitu kau menyentuhnya."

"Benarkah?" sahut Ayah, terdengar menantang.

Semua yang ada di ruangan ini terpaku ketika Ayah menyentuh mahkota itu. Aku yakin sekali itu—mahkota yang di pakai Ayah setiap kali ada pertemuan besar yang bersifat resmi.

Mahkota itu bercahaya dan tak lama, cahaya itu pecah menjadi serpihan kilau seperti kunang-kunang. Perlahan pecahan cahaya itu membentuk sebuah mahkluk besar.

"Akhirnya sang pewaris tiba dengan selamat. Selamat datang wahai penerus tahta. Kerajaanmu dan seisinya kini adalah milikmu. Terimalah takdirmu sebagai Raja Axylon yang baru." Makhluk itu berkata.

Ayah bertekuk lutut ketika makluk itu memasangkan mahkota berharga itu di kepalanya. "Aku bersedia untuk disumpah."

Aku berpikir sejenak untuk memahami kejadian ini. Jadi—sebelum Ayah menjadi Raja, dia seorang Assassin?

"Jadi...kau Putra Mahkota Axylon?" tanya Velian yang terlihat syok.

Ayah melepas sebagian bajunya dan memperlihatkan bahu kirinya yang bersih. Ibu mulai mengusap bahu Ayah dengan cairan di tangannya dan tak lama, sebuah corak muncul di bahunya.

"Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal bahwa kau Putra Mahkota?" Velian bangkit dari duduknya.

"Kau sendiri juga tidak memberitahu identitasmu dari awal bukan?" sahut Ayah. "Velian, sebagai seorang Pangeran yang diburu, aku juga sama takutnya seperti dirimu. Sama halnya kau yang menyembunyikan identitasmu dari orang lain bahkan dari orang-orang terdekatmu sekali pun. Sebagai Putra Mahkota, aku lebih takut darimu ditambah ketika mereka berhasil membunuh Shirea-ku. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana takutnya aku menjadi orang yang paling utama diburu dan tak memiliki pelindung. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah memalsukan kematianku dan membiarkan mereka percaya bahwa aku telah mati."

Aku tertegun dengan kalimat panjangnya. Pangeran yang diburu? Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi sebelum Ayah menjadi Raja? Lalu apa kaitannya denganku? Kenapa mimpiku menunjukkan kejadian seperti ini? Apa—karena di sini ada mendiang Putri Mahkota? Tapi anehnya, di sini aku tak melihat mendiang Putra Mahkota, justru adanya pemuda yang bernama Velian ini.

"Kau beruntung masih memiliki Shirea untuk melindungimu, tapi tidak denganku, Velian. Aku berusaha keras melindungi diriku sendiri bahkan aku harus menyamarkan tanda ini di tubuhku. Meskipun kita telah bersama dalam waktu yang lama, tapi kita tidak pernah membuka diri masing-masing dalam hal ini. Yang membuatku kesal, aku baru mengetahui kau Pangeran ke empat setelah aku memutuskan pergi darimu. Lavina tahu, Valen tahu dan mungkin Aleea juga tahu, tapi kenapa aku tidak?"

Aku mendengar Ayah masih terus berbicara dan aku mulai mencerna. Satu hal yang berhasil kusimpulkan, Velian adalah Pangeran ke empat Axylon dan Ayah adalah Putra Mahkota yang sah. Lalu—siapa mendiang Putra Mahkota pernah kukagumi itu?

"Setelah kupikir-pikir, takdir kita memang kejam. Kita tidak pernah dipertemukan sejak kita lahir, tapi setelah bertemu, aku hanya mengenalmu sebagai kawan begitu juga sebaliknya. Kita kakak beradik, tapi kita saling menyembunyikan identitas masing-masing sampai kita tidak mengenal satu sama lain. Bahkan kita tidak diberi kesempatan untuk bertengkar demi berebut baju atau mainan sewaktu kecil," lanjut Ayah, kali ini dengan wajah sedih.

Ya, sesuai dengan kesimpulanku, Velian dan Ayah adalah kakak beradik. Aku tak tahu harus senang atau tidak, tapi aku tak menyangka kalau Ayah memiliki adik yang juga—tampan seperti dirinya.

Tak lama, mereka berpelukan dengan suasana haru, aku pun turut terharu dengan pertemuan kakak beradik yang sepertinya—tidak bertemu dalam waktu yang lama. Aku tak menyangka jika ada kejadian seperti ini di Axylon, tapi—apa kaitannya denganku?

Aku menatap mendiang Putri Mahkota yang juga tampak terharu, sebenarnya posisi wanita ini sebagai apa?

Setelah kuperhatikan lebih dekat, ternyata tidak diragukan lagi kalau dia—mirip Nona Valen Emery. Tidak, bahkan bisa di bilang wanita ini adalah dia, tapi—itu tidak mungkin! Nona Valen seumuran denganku. Jika wanita ini adalah orang yang sama, harusnya dia juga sudah berusia paruh baya, sama seperti Ayah dan Ibu saat ini.

"Jadi...kau sudah benar-benar ingin menjadikan Valen pendampingmu?" tanya Ayah pada Velian.

Sial, aku tertinggal beberapa dialog gara-gara melamun.

"Tidak masalah, meskipun Valen seorang janda sekali pun."

"Janda?" Keningku berkerut seketika. Berarti—mendiang Putra Mahkota sudah tewas lebih dulu?

"Bagaimana denganmu, Valen?"

"Aku...aku masih mencintainya, tapi...aku merasa aku tidak pantas. Akan sangat tabu jika seorang Pangeran menikahi janda sepertiku. Itu akan merusak nama baiknya."

"Putri Mahkota sudah dianggap mati terhormat di medan perang oleh masyarakat. Aku bisa mengumumkan bahwa kau adalah orang yang berbeda meskipun kau tetap Valen yang sama," ujar Velian.

Aku mundur beberapa langkah karena syok dengan percakapan mereka. Jadi—pada saat kejadian itu mendiang Putri Mahkota sebenarnya masih hidup? Berarti Putra Mahkota tewas sendirian dan Velian mengumumkan kalau mereka mati bersama. Entah kenapa ada bagian hatiku yang merasa sakit ketika mengetahui kenyataan ini.

"Kalau begitu, aku akan menyiapkan tempat untuk kalian agar bisa mencintai dengan bebas," ujar Ayah.

Aku masih terdiam untuk terus mengikuti peristiwa ini karena semakin penasaran. Namun sesuatu tak terduga terjadi begitu saja. Ibu menikam Putri Mahkota dengan belatinya. Aku menatap wajah Ibu yang sepertinya—terasa asing. Aku bahkan tak pernah mendengar Ibu berbicara dengan blak-blakan, seolah-olah mereka orang yang berbeda.

"Lavina! Apa yang kau lakukan?!"

"Lavina?" keningku berkerut untuk kesekian kalinya.

'Sudah kubilang aku bukan Lavina.'

Sejenak aku teringat kalimat itu ketika Ibu menemui tawanan di bawah tanah itu. Aku terdiam tak mengerti.

"Ka-Kak?"

Kini mataku melebar ketika melihat Velian sudah tersungkur di lantai dan bersimbah darah. Ya, aku tak percaya saat melihat Ayah sudah memegang sebilah pedang dan menusuknya ke tubuh adiknya sendiri.

"Apa-apaan ini? Mereka baru saja bertemu, kenapa jadi seperti ini?" racauku mulai frustrasi.

"Lavina, kita mulai ritualnya," titah Ayah. "Aku tidak tahu mereka akan bertemu di usia berapa nanti, tapi kuharap tidak ada kata terlambat untuk jatuh cinta karena kenangan mereka juga akan terhapus."

Tak lama ruangan ini di selimuti oleh sihir yang begitu kuat. Aku baru tahu kalau wanita yang kuanggap sebagai Ibuku selama ini ternyata—seorang penyihir.

Angin berembus kencang layaknya badai, aku refleks merunduk agar tak terbawa arus. Kekuatannya begitu kuat dan pastinya membutuhkan energi yang besar. Tak lama, mataku menangkap sosok Velian melayang di udara, lebih tepatnya—itu jiwanya. Sosok itu terombang-ambing di pusaran angin, kemudian hilang.

"Aku tidak mengerti kenapa aku tidak bisa memindahkan jiwa Valen." Ibu berkata.

"Apa mungkin ada masalah dengannya?" tanya Ayah.

"Aku akan mencari tahu."

Angin di sekitarku semakin kencang hingga aku terpaksa tiarap sampai dahiku menyentuh lantai.

"Katakan padaku, apa yang membuatku tidak bisa memindahkan jiwanya?" tanya Ibu entah pada siapa.

"Itu karena orang yang jiwanya ingin kau pindah sedang dalam keadaan mengandung. Jika kau terus memaksa, kau akan menerima hukuman atas sihirmu sendiri karena telah memisahkan ikatan jiwa seorang anak dengan Ibunya." Sebuah suara menjawab, tapi nadanya terdengar kesal.

Aku langsung mengangkat wajahku untuk melihat apa yang terjadi, tapi aku tak melihat apa pun selain pendaran cahaya yang menyilaukan. Aku bisa mendengar Ayah dan Ibu begitu syok atas jawaban dari suara asing itu.

"Baiklah, katakan padaku apa hukumannya?" tanya Ibu lagi pada suara itu.

"Kau takan bisa memiliki anak sendiri sampai kau mempertemukan anak itu dengan Ibunya," jawab suara itu.

"Kalau begitu aku siap menerima hukumannya."

"Lalu bagaimana caramu mempertemukan mereka?" tanya Ayah gelisah.

"Setelah ini bantu aku memindahkan janinnya ke rahimku. Aku yang akan membesarkannya. Kau tidak keberatan, kan?"

Ayah terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menjawab, "Baiklah. Anak itu adalah tanggung jawab kita bersama."

Angin kembali berhmbus kencang dan membuatku terpaksa menundukkan kepala lagi. Semakin lama, angin ribut di sekitarku mulai mereda dan perlahan menghilang.

"Sepertinya...anak ini nantinya akan terlahir perempuan," ucap Ibu sambil memegangi perut mendiang Putri Mahkota yang sudah tak bernyawa. Aku bisa melihat sedikit pendaran cahaya di tangannya.

"Ah, aku langsung mendapat ide nama yang cocok untuknya."

"Siapa?"

"Selena," jawab ibu tersenyum. "Kau setuju, Zealda?"

Mataku melebar mendengar percakapan itu. Apakah—Selena yang dimaksud adalah aku?

"Selena—nama yang bagus."

"Baiklah, kita harus segera memindahkannya ke perutku sebelum terlambat."

Tangisanku pecah tanpa suara. Aku terisak di antara debu yang masih sedikit bertebaran.

_______To be Continued_______

Comments (1)
goodnovel comment avatar
donalwilys
thor, numpang iklan di ulasan cerita penulis hebat lain di peringkat bulanan, biar makin rame,
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status