Share

Chapter 7 : Di Bawah Ancaman

Perjalanan masih berlanjut hingga hari menjelang sore. Derap kaki kuda memecah keheningan dan juga—dengkuran lirih Azura. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di leherku. Sejujurnya salah satu pundakku mulai pegal menahan kepalanya, tapi aku tak ingin mengusiknya.

Semakin lama, kini gantian aku yang dilanda kantuk. Pegal di pundak membuatku merasa lelah. Untungnya, Azura terbangun tak lama setelah itu. Ia menguap sejenak dan merenggangkan tubuhnya.

"Pantas saja perjalanan kita masih lumayan jauh, ternyata kau mengendarai kuda dengan lambat seperti ini?" celetuknya masih menguap.

Aku yang mendengarnya sedikit sebal, pasalnya aku tidak ingin tidurnya terusik, tapi dia malah protes.

"Bagus lah kalau kau sudah bangun." Aku membuat kudaku berlari kencang setelah mendapat komentarnya.

"Kau langsung kesal hanya karena itu? Ck, sensitif sekali."

"Berisik!" desisku, pasalnya aku juga mulai mengantuk. "Sekarang giliranmu. Aku butuh tidur."

Kini tali kekang sudah berpindah tangan dan aku mulai bersandar di dada bidangnya. Kuda yang tadinya melaju kencang, perlahan mengurangi kecepatannya. Kepalaku yang terasa berat dan pening membuatku mudah sekali terlelap dalam sekejap.

Aku tak tahu berapa lama terlelap hingga guncangan lembut di bahuku dan juga suara yang memanggil namaku membuatku sedikit terusik. Mataku masih enggan membuka dan aku hanya mengeluh lirih lalu melanjutkan tidurku.

"Selena, kita sudah sampai." Kalimat itu terasa seperti mimpi bagiku dan aku masih enggan membuka mata.

"Aw!" erangku saat sebuah benda menabrak kepalaku. Rasa sebalku meningkat satu level sambil memegangi pelipisku.

Satu benda lagi kembali menabrak kepalaku dan kesabaranku mulai habis. "Berhenti Sialan!" makiku sambil menoleh ke sumber lemparan.

Aku bungkam saat melihat Ayah sudah berdiri sambil memainkan Apel di tangannya. Kulihat sudah ada dua apel yang sepertinya—habis dilempar dan tergeletak di tanah.

"Coba katakan sekali lagi. Kau akan dapat bonus Apel satu lagi," ujarnya dingin.

Aku hanya meringis malu sementara Azura turun dari kudanya. Aku pun menuruni kuda dengan tubuh masih sedikit lemas. Kami berdua memberi hormat padanya sejenak, tapi kami merasa tegang seketika saat Ayah menatap kami dingin. Ia menatap Azura begitu lama, kemudian memutariku dengan pandangan menyelidik.

"Di mana perhiasanmu yang lain?" tanyanya, masih memutariku.

"Ada di kantung."

Ayah kembali terdiam, tapi kini mengendus-endus rambutku dan membuatku merasa kaku.

"Apa kau pangeran Vainea yang bernama Azura?" Kini Ayah bertanya pada Azura yang masih mematung.

"Benar, Yang Mulia," jawab Azura santun.

"Jadi begini kah kelakukan Putra Mahkota Vainea? Membawa pergi putri orang lain tanpa meminta ijin orang tuanya?" Ayah menggenggam sebuah lencana Putra Mahkota dan menatapnya. "Sebagai Putra Mahkota, kau benar-benar tak beretika!"

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya mengaku salah."

"Apa yang kau lakukan pada putriku? Aku tahu kalian tidur bersama semalam."

Aku dan Azura saling pandang sejenak dengan mata sedikit melebar.

"Jangan tanya kenapa aku bisa tahu," ujar Ayah lagi. "Selena, untuk pertama kalinya aku mencium bau pria di tubuhmu. Meskipun kau sudah mandi, tapi aromanya masih terasa sedikit."

Aku tak menyangka kalau Ayah memiliki penciuman yang tajam seperti Anjing. "Kami tidak melakukan apa pun," sahutku—setengah berdusta.

Ayah kembali menatapku dengan mata menyelidik lalu menyentil dahiku. "Baru saja pergi dengan pria seharian kau sudah mulai belajar berbohong?"

Aku hanya mengerang lirih sambil mengusap dahiku. "Ayah," gumamku merajuk.

"Kau masuk!" Ayah memberi perintah dengan menggerakan dagunya.

"Baik," sahutku berlalu pergi, meninggalkan Azura yang sepertinya—bakal jadi bulan-bulanan Ayah.

Aku tak peduli dan segera masuk ke kamar untuk mandi. Gretta dengan sigapnya langsung menyiapkan kebutuhanku termasuk pakaianku.

"Nona, mau aroma Mawar atau Lily?" tanyanya sambil menunjukkan cairan putih yang nantinya akan kugunakan untuk mandi.

"Mawar," jawabku setelah menimbang-nimbang aromanya.

Aku menanggalkan pakaian dan mulai berendam dengan tenang. Selama aku pergi, rasanya aku kurang beristirahat dengan baik terutama saat mengingat malam itu.

Aku mulai mengusap-usap tubuhku lembut dengan aroma yang menenangkan. Ya, bagiku mandi adalah saat-saat yang paling menyenangkan untuk menyetabilkan diri.

Aku tak mengerti kenapa pikiranku dipenuhi oleh Azura dan ancamannya. Apa yang akan Ayah lakukan padanya? Bagaimana aku harus memberi keputusan? Ayah bukan orang yang bodoh, pasti ia akan langsung menanyaiku banyak hal.

Ya, setidaknya itu sangat memenuhi pikiranku saat ini. Aku harus memutar otak untuk mencari penjelasan yang masuk akal.

"Selena."

Aku menoleh saat Ibu sudah masuk ke ruangan tempatku berendam. Ia membawa gulungan handuk dan beberapa pakaian tipis, kemudian meletakkannya di atas meja kecil. Rambutku disisiri dengan jemarinya yang lentik dan kepalaku sedikit dipijat, membuatku rileks.

"Ibu tidak perlu repot-repot melakukannya. Aku bisa meminta Gretta yang melakukannya. Lagipula, nanti pakaianmu basah."

"Haihh...semakin dewasa kau lebih suka disentuh orang lain dibanding Ibumu sendiri?" protesnya lembut. "Baiklah, kalau kau lebih mengkhawatirkan pakaianku."

Ibu menyudahi pijatannya dan mataku melebar ketika ia mulai membuka pakaiannya. Aku segera melengoskan wajahku untuk tidak melihatnya. Tak lama, ia masuk ke dalam air dan berendam bersamaku.

Untung saja bak mandiku lumayan besar untuk menampung dua orang. Rambutnya yang tergerai membuatnya terlihat cantik dalam versi dewasa dan sedikit sensual.

"Ibu tahu kau pergi bersama pemuda itu. Apa terjadi sesuatu padamu saat kalian pergi bersama?" tanyanya, membuka pembicaraan.

Aku sudah menebak. Jika dia memilih untuk menemaniku berendam, berarti ada hal-hal tertentu yang ingin ia bicarakan. "Tidak ada," jawabku setelah menghela napas.

"Kau memang pembohong yang buruk," sahutnya sambil menggosok bahu, tapi matanya menatapku sedikit tajam.

"Dalam masalah ini, Ayah dan Ibu memang sulit dibohongi. Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa kompak seperti itu," pikirku mulai risau.

"Ibu melihat sepertinya...putriku hampir kehilangan kegadisannya."

Aku hanya menggeleng sungkan. Ayah tadi bilang kalau tubuhku bau pria dan sekarang Ibu langsung mengatakan kalau aku hampir kehilangan kegadisanku. Kenapa mereka bisa sepeka itu? Tidak mungkin mereka mengirim mata-mata atau memiliki kemampuan melihat dimensi ruang bukan?

"Kau itu putri kami, kami lebih tahu perubahan yang terjadi padamu."

"Baiklah, sekarang apa yang Ibu lihat dariku?"

Ibu menatapku sejenak. "Pertama, kau memilih pergi dengan pemuda itu dan meninggalkan pengawalmu. Tuan Putri pada umumnya, pasti akan menolak dan tetap ingin kembali ke rumah. Kedua, Ibu melihat perubahan sikap setelah kau kembali. Lebih tepatnya...kau lebih banyak melamun dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Lalu yang ketiga—" Ibu memiringkan kepalanya sedikit. "Itu...ada tanda merah di lehermu, tepatnya di bawah rahang."

Aku menyentuh bagian yang ditunjuk Ibu dengan kening berkerut. Pikiranku kembali melayang untuk mengingat. Aku yakin sekali pada waktu itu kami hanya berciuman, tidak lebih dari itu. Bahkan aku tak ingat Azura menyentuh leherku sama sekali.

"Dia tidak melakukan apa pun padaku, mungkin ini hanya gigitan serangga karena tempat yang kami kunjungi adalah desa terpencil," jelasku yakin.

"Sungguh?" Mata Ibu sedikit menyipit.

"Sungguh!"

"Bagaimana kau bisa yakin?"

"Karena aku yang mengalaminya. Aku tahu apa yang terjadi, jadi tolong jangan khawatir secara berlebihan."

Ibu bergeser dan mendekatiku perlahan, lalu mengangkat daguku dan mengusap-usap leherku dengan pandangan mengamati.

"Ibu memang tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi yang jelas ini bukan gigitan serangga. Apa kau pernah tak sadarkan diri saat bersamanya? Seperti...pingsan atau semacamnya?"

Lagi-lagi aku teringat saat pesta, aku memang sempat tak sadarkan diri hanya karena seteguk Anggur.

"Tidak," jawabku dusta.

"Sungguh?"

Aku tidak mengerti kenapa Ibu berubah posesif dengan interogasinya yang mengerikan. Untuk pertama kalinya aku mengalami investigasi wanita secara khusus. "Kenapa Ibu tidak percaya padaku?"

"Karena Ibu tahu kau sedang berbohong. Kau tahu? Meskipun sedikit tersamarkan aroma Bunga dan mulai pudar, tapi aku mencium aroma Anggur." Ibu mendesah pelan seperti sedang menahan dirinya. "Kau itu tidak pernah minum Anggur, sekalinya minum kau akan mabuk berat walau hanya sedikit."

Aku bungkam seketika. Bukan hanya Ayah, tapi Ibu juga memiliki penciuman yang tajam. Aku tak mengerti kenapa mereka berdua bisa seperti itu. Apa karena memang bakat khusus? Atau karena sudah terlatih dengan penciuman mereka dalam mengenali aroma yang tipis?

"Kau tidak pernah seperti ini, Selena." Wajahnya semakin khawatir saat menatapku yang hanya terdiam. "Kau seorang Putri. Kami tak mengajarkanmu seperti itu dan juga tidak mengijinkan orang lain mengajarimu seperti itu."

Ini adalah teguran yang panjang dari Ibu seumur hidupku. Ia tak pernah memberiku nasihat hingga seserius ini dan aku mulai sedikit—takut.

"Baiklah, sepertinya ucapanku benar. Sekarang ceritakan apa yang terjadi sampai ada tanda merah itu. Ibu berjanji tidak akan memberitahukannya pada Yang Mulia Raja. Ibu yakin sekali kau minum Anggur. Benar, kan?"

Aku hanya mengagguk pelan, masih dilanda rasa takut dan bersalah. Rasanya seperti pencuri yang ketahuan mencuri dan diinterogasi untuk dihukum gantung.

"Sekarang ceritakan!" titahnya dengan nada sedikit dingin.

"Aku...memang minum Anggur. Ada acara pesta rakyat di desa itu dan mereka memberi kami Anggur. Awalnya aku tak mau, tapi karena tak enak hati dengan masyarakat di sana, akhirnya...aku meminumnya," jelasku kaku. "Dan...yah, seperti dugaan Ibu, aku mabuk dan tak sadarkan diri."

"Saat kau bangun bagaimana keadaanmu? Apa...kau bangun tanpa busana?" tanyanya, sedikit berbisik.

Aku terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Ya."

Tentu saja, jawabanku berhasil mengubah ekspresinya. Ia begitu syok. Aku berusaha menjelaskan situasinya agar Ibu tak berpikir macam-macam.

"Sungguh, dia bilang tidak melakukan apa pun padaku," imbuhku setelah menjelaskan.

"Dan kau percaya begitu saja?"

"Dia seorang Putra Mahkota, tidak akan mungkin berdusta. Ya...aku berpikir karena Putra Mahkota itu calon Raja, ia pasti akan memegang teguh perkataanya. Bukankah calon penerus tahta memang dididik seperti itu?"

Ibu mendesah cemas. "Itu memang benar, tidak salahnya jika kau berpikir seperti itu. Tapi tidak semua Putra Mahkota seperti yang kau pikirkan," ujarnya lembut. "Lalu...apa lagi?"

"Tidak ada lagi," jawabku menunduk. Aku tak mungkin memberi tahu Ibu bahwa kami berciuman bukan?

"Lalu sekarang bagaimana dengan keputusanmu nanti?"

Aku terdiam sejenak. "Aku...mungkin akan menikah dengannya."

Ekspresi ibu kembali berubah dan kali ini membuatku sedikit tidak tenang. "Ibu tidak percaya dia tidak melakukan apa pun padamu. Apa dia mengancammu? Atau memang sudah terjadi sesuatu di antara kalian?"

"Tidak ada yang terjadi, sungguh!"

"Kau bilang tidak ingin menikah dan kau berubah pikiran setelah pergi bersamanya? Seseorang pasti akan berpikir yang bukan-bukan kalau situasinya memang seperti yang kau ceritakan!"

"Aku menyukai Azura!" sergahku sebelum ibu berbicara lebih panjang. "Awalnya aku memang tidak ingin menikah, tapi setelah bertemu Azura aku...mulai menyukainya dan dia juga menyukaiku. Itulah alasannya kenapa kami pergi bersama, karena ia ingin memberitahuku bahwa dia menyukai dunia luar."

Ya, pada akhirnya aku mengatakan hal itu, kalimat yang diinginkan Azura. "Maaf kalau aku membuatmu khawatir. Tapi sungguh, kami tidak melakukan hal-hal yang Ibu pikirkan."

"Apa kau sungguh-sungguh menyukai Azura? Pasalnya, kau itu bukan gadis yang mudah jatuh cinta begitu saja."

"Tapi kali ini berbeda. Apa salahnya jika aku menjadi gadis yang berbeda dari biasanya saat menyukai seseorang?"

Ibu terdiam dan menghela napas. "Ya, tidak ada salahnya. Cinta itu...memang bisa mengubah seseorang."

"Ibu—" Aku menyentuh bahunya perlahan. "Percayalah! Tidak ada hal buruk yang terjadi padaku," ujarku mencoba meyakinkan, meskipun kenyataannya aku berada di bawah ancaman Pangeran sialan itu. "Aku bersumpah kalau aku masih gadis."

* * *

Aku menuruni tangga setelah Gretta menyampaikan waktu makan malam. Seperti biasa, aku lah yang paling datang terakhir. Di meja makan sudah ada Ayah, Ibu dan juga Helena dengan kursi khususnya. Namun kali ini meja makan bertambah satu orang, ia tersenyum melihat kedatanganku dan mengangguk.

Ya, meskipun hanya formalitas, tapi tak bisa dipungkiri bahwa itu membuatnya terlihat sedikit menawan dan berkelas.

"Saya kira anda sudah kembali ke Vainea," sahutku sopan meskipun hatiku ingin berkata dengan kalimat frontal.

"Yang Mulia Raja mengijinkanku untuk bermalam karena hari sudah gelap. Mohon maaf jika kehadiran saya sedikit mengusik Putri," jawabnya, masih dengan wibawa khas Pangerannya.

"Saya justru merasa senang dan terhormat bisa makan malam bersama anda. Silahkan menikmati hidangannya, Yang Mulia."

Aku duduk di kursiku dan bersiap untuk memulai makan malam. Kedua tanganku sudah memegang pisau dan garpu. Saat aku mulai memotong daging di hadapanku, Helena berkata, "Aku ingin duduk di samping Kakak."

Aku kembali meletakkan dua benda di tanganku lalu menarik kursi Helena yang dirancang lebih tinggi agar bisa mencapai meja. "Kau harus makan yang banyak," ujarku sambil menarik buah-buahan yang sudah dipotong.

"Aku ingin menjadi seperti Kakak," ujarnya polos sambil mengunyah sepotong daging. "Supaya bisa menikah dengan Putra Mahkota seperti Pangeran Azura."

Aku yang sudah mengunyah makananku hampir saja tersedak, sementara Helena sudah meringis tanpa dosa.

"Kau lucu sekali. Siapa namamu, Putri?" tanya Azura yang juga tersenyum ramah.

"Nama saya Helena, Yang Mulia," jawab Helena.

Azura manggut-manggut. "Selena...Helena, nama yang cocok."

"Yang Mulia, menurut anda apa Kak Selena cantik?"

Aku langsung melengos ke arah Helena yang masih memasang wajah polosnya dan—yah, tentu saja Azura sempat terdiam beberapa saat dengan sikap sedikit kaku.

Ia melirikku sejenak sebelum menjawab, "Putri Selena sangat manis, sama sepertimu."

"Kalau begitu apa Yang Mulia menyukai Kakakku?"

"Helena, tolong jangan usik makan malam Yang Mulia. Jika ingin bertanya, nanti saja," kataku sedikit canggung.

Azura tersenyum manis sembari mengunyah, sementara aku hanya menggelengkan kepala atas sikap Helena.

"Kuharap kau tidak terlalu terganggu dengan sikap kedua putriku, terutama Helena," ujar ayah. "Dia terobsesi dengan Kakaknya, jadi wajar jika dia sedikit mengikuti perilaku Selena."

Tanganku terhenti sejenak dari aktivitasnya lalu menatap Ayah dengan tatapan heran, sementara orang yang kutatap hanya tersenyum miring sambil menyeruput supnya. Kulihat Azura sedang menahan tawa sejenak sebelum berkata, "Sama sekali tidak mengganggu, Yang Mulia."

* * *

Malam semakin larut dan aku masih terjaga, takut jika mimpi itu datang lagi. Mimpi yang membuatku mulai ragu dengan identitasku. Selain itu, mataku juga tak sengaja menangkap siluet pemuda di ruangan lain dari jendelaku.

Kamar itu tampak bercahaya dengan penerangan yang benderang dan di sana kulihat bayangan pemuda yang sedang duduk dengan menyangga dagunya.

Aku bergegas keluar kamar dan ternyata lorong sudah sangat sepi. Kulangkahkan kaki tanpa ragu dan entah kenapa aku ingin sekali menemuinya. Pikiranku sempat berteriak agar sebaiknya kembali, tapi kakiku enggan berhenti. Ada perasaan aneh yang mendorongku untuk menemuinya.

Aku mengetuk pintu dan tak lama sosok jangkung muncul dengan ekspresi terkejut atas kehadiranku. "Putri?" ujarnya sambil melebarkan pintu. "Apa yang membuatmu kemari?"

"Ada yang ingin kutanyakan padamu." Aku melangkah masuk dan terdiam sejenak. Pasalnya—aku sendiri tidak tahu kenapa datang. Otakku berputar cepat untuk memikirkan pertanyaan yang dianggap penting karena sudah terlanjur mendatanginya tanpa maksud yang jelas.

"Saat aku tak sadarkan diri, apa kau benar-benar tidak melakukan sesuatu padaku?" Sialnya, kenapa pertanyaan itu yang keluar? Padahal aku tak ingin membahasnya lagi.

"Kau datang hanya untuk menanyakan hal itu?" Ia mendengus tertawa. "Apa jawabanku waktu itu tidak bisa membuatmu yakin?"

"Kalau begitu bisakah kau menjelaskan ini?" Aku menunjukkan tanda merah di leherku yang sempat membuat Ibu uring-uringan.

Sungguh, aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa aku harus mempermasalahkan hal ini?

Azura menatap leherku sejenak dan terdiam beberapa detik. "Cukup manis," jawabnya.

"Yang Mulia!" Kali ini aku menegaskan suaraku.

"Ya, aku yang melakukannya."

Aku terdiam seketika, benar-benar jawaban yang tak terduga. Aku menarik kerahnya dan menabrakkan punggungnya ke dinding, sementara dia terkejut dengan tingkahku.

"Oh, aku baru tahu kau bisa memojokkan orang ke dinding dengan kasar."

"Kau tahu? Gara-gara kau Yang Mulia Ratu menginterogasiku tanpa ampun!" Aku semakin erat mencengkeram kerahnya.

"Itu juga bagian dari caraku untuk membuatmu tunduk padaku," sahutnya tanpa dosa. "Lebih tepatnya...untuk berjaga-jaga kalau kau macam-macam dengan kesepakatan kita."

"Aku sudah memberimu jaminan bahwa pernikahan kita akan berhasil, kenapa kau harus menggunakan banyak cara hanya untuk ini? Kau benar-benar pria tak masuk akal yang pernah kukenal."

"Ya, hanya denganmu aku menjadi tak masuk akal. Aku juga sebenarnya tidak ingin bertingkah abnormal seperti ini, apa lagi dengan seorang Putri sepertimu. Lihat!" Ia menatapku sambil menatap tanganku yang mencengkeram kerahnya. "Apa tindakanmu ini masih dibilang masuk akal juga?"

Aku melepas kerahnya dan mulai mengatur napas agar tenang perlahan, kemudian terduduk di sudut ranjang. "Selain itu, apa lagi yang kau lakukan saat aku tak sadarkan diri?"

"Tidak ada," jawabnya.

"Sungguh?"

"Yah, aku minta maaf untuk tanda merah di lehermu. Hebatnya, kau berhasil menutupinya saat makan malam tadi. Tapi sungguh, selain itu aku tak melakukan apa pun."

Aku menatapnya ragu untuk ke sekian kalinya. Ia pernah mengatakan hal itu sebelumnya, tapi ternyata tidak sesuai kalimatnya. Apakah kali ini ucapannya bisa dipercaya?

"Jika nanti aku mengetahui bahwa kau sudah bertindak macam-macam denganku, aku tidak bisa menjamin hidupmu akan tenang selamanya," ancamku dingin, kemudian melengos pergi.

"Tunggu!" cegahnya sambil menarik lenganku. Kini giliran aku yang dibuatnya terpenjara di dinding dengan lengannya.

"Apa lagi yang kau mau?"

"Besok aku akan kembali ke Vainea."

"Lalu?"

"Jika dalam beberapa hari ke depan kami tidak mendengar kabar baik dari Axylon, aku tidak bisa menjamin hidupmu akan tenang selamanya."

Aku memiringkan kepala dan menatapnya sedikit sebal. Itu adalah kalimatku dan ia mengembalikannya untuk mengancamku. "Kau bahkan berani mengancamku dengan kalimat yang sama."

"Kenapa tidak?" Azura mengangkat daguku dan kami saling menatap tajam, tapi sejenak ia tersenyum miring. "Berhubung kau datang kemari, aku juga ingin kembali mengingatkanmu pada kesepakatan kita."

Azura mengecup bibirku lembut dan aku sempat terkesima sejenak. Tak kusangka ia berani melakukan hal itu di tempat tinggalku.

"Apa kau suka melakukan hal seperti ini untuk mengancam wanita?"

Ia menatapku lama sebelum menjawab, "Tidak juga."

Azura membelai pipiku dengan ujung jemarinya sambil berkata, "Seharusnya kau tidak perlu kesal karena kau sudah menjadi milikku."

"Selama belum ada ikatan resmi, jangan harap kau bisa sepenuhnya mengendalikanku."

"Aku tidak peduli kau bisa dikendalikan atau tidak, tapi yang jelas kau harus mengingat kesepakatan kita dan aku ingin semua berjalan sesuai rencana dan semua itu hanya kau yang bisa melakukannya."

"Kau tidak perlu cemaskan hal itu, Yang Mulia."

"Kalau begitu, aku butuh kepastianmu untuk terakhir kalinya."

Aku kembali terdiam saat ia menciumku lagi. Ya, aku sedikit risih dengan sikap kurang ajarnya, tapi ciumannya berhasil menggodaku dan selalu begitu hingga aku tak tahan untuk membalasnya. Untuk beberapa saat kami kembali terhanyut dan tak dipungkiri bahwa aku—mulai menyukainya meski hanya sedikit.

Kami tersentak ketika pintu terbuka dan menampakkan sosok kekar dengan rambut sedikit berantakan. Raut wajahnya terlihat murka saat menatap kami dengan tatapan menusuk. Kami melepaskan diri dengan gugup kemudian aku hanya menunduk, tak berani menatap mata dingin itu.

"Aku tak pernah mengajarimu bersikap seperti ini, Selena. Kau bahkan menyelinap masuk ke kamar pria di tengah malam begini?"

"Ma-maaf Ayah, aku—"

"Yang Mulia, mohon hukum saya. Putri tidak bersalah, semua ini karena saya—"

"Cukup!" bentaknya tegas.

"Selena, bersiaplah untuk hukumanmu besok dan kau—" Kini Ayah menatap Azura. "Melihatmu seperti ini, aku tidak yakin dengan keputusanku untuk menyetujui persyaratan ke dua."

Kami bungkam seketika saat kalimat itu terlontar, layaknya penghakiman yang tak bisa diganggu gugat.

"Kembali ke kamar!" titahnya padaku. Untuk pertama kalinya aku merasa takut padanya.

Aku hanya menurut dan berjalan cepat menuju ke kamar. Pikiran dan perasaanku menjadi carut marut seketika.

"Tamat sudah riwayatku."

_______To be Continued_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status