Share

Selingkuh dengan Jin_2

Selingkuh dengan Jin

Part_2

Aku sangat terkejut, secepatnya menatap Mas Satya.

"Maksud kamu, Mas?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakan oleh Mas Satya tadi.

Pria itu kembali mengangkat daguku agar mata kami kembali beradu. Debaran kencang kembali terjadi di dalam dadaku.

"Apakah kamu tetap akan memintaku datang kalau aku bukan manusia?" Mas Satya menatap mataku menyelidik.

Meski Mas Satya mengucapkannya dengan suara pelan, namun kata-katanya bagai belati yang menusuk ke jantungku.

Degup jantungku menjadi tak beraturan. Aku mundur beberapa langkah, sedikit menjauh dari Mas Satya.

Aku menggeleng dan kembali air mataku menetes. "Apa maksud dari ucapanmu, Mas? Aku nggak ngerti."

Pria dengan fisik dan segalanya yang menyerupai Mas Satya itu berbalik. Tanpa menjawab pertanyaanku, ia berlalu. Sempat menoleh sejenak kepadaku. Lalu ia berkata dengan suara yang bukan milik Mas Satya. "Aku adalah jin yang menyerupainya Satya — suamimu. Aku akan selalu datang jika kamu memang menginginkannya." Setelah itu ia menghilang di balik pintu.

Lemas rasanya lututku setelah mendengar penuturannya. Bulu kuduk juga terasa berdiri. Antara percaya dan tidak. Namun ini kenyataan yang kualami.

Jin? Jadi, selama ini yang lebih sering bersetu*uh denganku, Jin?

Tidak. Tidak mungkin! Ini tidak mungkin!

Astaghfirullah ....

Aku sangat frustasi dan syok. Terlebih lagi setelah mengetahui semuanya. Aku masih terpaku, berdiri sendiri di kamarku. Sambil menatap bagian belakang pintu yang menjadi tempat menghilangnya jin yang menyerupai Mas Satya.

Setelah cukup lama aku berdiam diri, segera kuputuskan untuk mandi. Membersihkan diri dari sisa-sisa dosa yang telah kulakukan. Memang aku dalam keadaan sadar saat melakukannya, namun aku tak peka bahwa yang bersamaku bukan Mas Satya asli. Aku telah melakukan dosa besar. Apalagi aku melakukannya dengan sesosok jin.

Di bawah guyuran air, aku menangis, menyesali semua yang telah kuperbuat. Aku malu pada diri sendiri. Jika Mas Satya tahu, entah apa yang kan terjadi. Sebodoh inikah aku, hingga dengan mudahnya masuk dalam perangkap setan. Bagaimana bisa aku kecolongan seperti ini?

"Mas Satya, maafkan aku!" ucapku lirih penuh penyesalan.

Setelah mandi, aku mencoba untuk beristirahat. Mencari ketenangan untuk diriku sendiri. Jangankan untuk bisa terlelap, memejamkan mata pun rasanya aku tak mampu. Ingatanku selalu saja melayang memikirkan apa yang sedang terjadi pada rumah tanggaku. Ucapan jin yang menyerupai Mas Satya masih terdengar jelas di telingaku. Bayangan kemesraan di ranjang juga selalu menghantuiku. Aku resah, gelisah. Aku benar-benar takut.

Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi aku belum juga bisa terlelap. Mataku memang terpejam, tapi otakku masih berkeliaran kemana-mana. Aku harus apa?

Kuraih ponselku dari atas meja kecil di samping ranjang. Berselancar di dunia maya, mungkin lebih baik menurutku. Nyatanya, sudah dua jam aku bermain media sosial, kantuk belum juga kurasa. Yang ada aku makin terjaga.

Baru ketika menjelang Subuh dan terdengar suara tarkhim, aku mulai merasakan kantuk yang menyerangku.

Entah berapa lama aku tertidur. Ketika bangun, terlihat Mas Satya sudah berada di sampingku. Duduk di tepi ranjang sambil menatapku. Senyum manis Mas Satya terukir di wajahnya ketika melihatku membuka mata.

"Mas udah pulang kerja?" tanyaku.

"Sudah, Rita. Kamu lapar? Mas ambilkan makan, ya?" Mas Satya berlalu ketika kujawab tanyanya dengan anggukan.

Bersusah payah aku mencoba untuk duduk. Lalu, aku tercengang ketika melihat sebuah handuk kecil jatuh dari pelipisku. Bersamaan Mas Satya kembali ke kamar. Di tangannya, ia membawa nampan berisi segelas susu dan semangkuk makanan yang isinya aku belum tahu. Setelah kulihat ternyata mangkuk itu berisi bubur ayam kesukaanku.

"Aku kenapa, Mas? Kok, dikompres?" tanyaku penasaran.

Mas Satya tak menjawab. Ia masih sibuk dengan nampan di tangannya. Lalu, diletakkannya nampan berisi mangkuk bubur dan susu hangat itu ke atas meja. Kemudian mengambil posisi duduk di sampingku. Tangannya merangkul tubuhku dalam pelukan.

"Kamu ... sudah seharian tidak sadarkan diri, Rita." Jawaban yang membuatku kaget.

"Mas minta maaf, ya, Sayang," lanjutnya.

Aku sedikit mendongak, menatap wajah suamiku yang telah basah dengan air mata itu.

"Minta maaf buat apa, Mas?" tanyaku penasaran. Sambil berusaha meraih wajah Mas Satya dan menghapus air matanya.

"Maaf karena sering mengecewakanmu." Mas Satya memejamkan matanya. Seperti ada yang mengganggu pikirannya.

"Nggak papa, Mas. Rita udah maafin Mas kok," jawabku. Kini Mas Satya memelukku masih terisak.

***

Setelah makan disuapi Mas Satya, aku kembali berbaring. Kepalaku rasanya berat sekali.

"Aku ngantuk, Mas." Berharap Mas Satya mengizinkanku untuk melanjutkan tidurku. 

Ternyata aku salah, Mas Satya malah melarangku karena sebentar lagi akan masuk waktu magrib. Mas Satya menyarankan padaku agar aku tidur selepas magrib saja. Mau tak mau akhirnya aku menanggapinya dengan anggukan.

Lalu, Mas Satya izin kepadaku. Ia hendak keluar sebentar dan berjanji akan kembali secepatnya.

"Mas keluar sebentar, ya, Dek. Sebelum Maghrib Mas udah balik. Kamu jangan tidur dulu!" Setelah itu Mas Satya beranjak, hendak pergi.

Entah kenapa, perasaanku mulai tak enak. Ada rasa takut sendirian di rumah. Padahal biasanya aku tak begini.

"Mau kemana, Mas?" tanyaku cepat. Mas Satya menghentikan langkahnya. Ia berputar, kembali memandangku.

"Beli makanan buat makan malam," jawabnya.

"Aku ikut, ya, Mas?" pintaku ragu. Aku memandang Mas Satya dengan tatapan memohon. Namun Mas Satya tetap pada pendiriannya bahwa aku harus lebih banyak istirahat.

Setelah Mas Satya pergi, sakit di kepalaku semakin menjadi. Sampai aku tak kuasa menahan rasa sakitnya. Mataku pun berat, kantuk melanda. Kucoba untuk tetap menahan rasa kantukku, namun aku benar-benar tak tahan lagi. Godaan saat akan memasuki waktu magrib, benar-benar tak bisa kulawan.

Baru aku akan memejamkan mata, Mas Satya masuk kamar secara tiba-tiba. Aku terkejut. Namun ada sedikit kelegaan di hati karena Mas Satya kembali secepat ini.

"Loh, Mas gak jadi pergi?" Membuatku mengurungkan niat untuk mengistirahatkan mata dan tubuhku barang sebentar.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Mas Satya malah menyeringai kepadaku. Membuatku merasakan ketakutan lagi. Aku jadi ragu, sebenarnya dia ... Mas Satya atau jin yang menyerupainya?

Next ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status