Share

Selingkuh dengan Jin_3

Selingkuh dengan Jin

Part_3

Ragu, aku mencoba menyapa pria yang semakin mendekat itu. Jantungku berdegup kencang.

"Mas?"

Hening.

Dia tidak menjawab, hanya melangkah semakin mendekat. Aku menelan salivaku. Terasa sangat sulit. Entah mengapa ketakutan mulai menggerayangiku. Aku bangun dan beringsut mundur, duduk menempel pada kepala ranjang. Menekuk, memeluk kedua lutut dengan tangan. Keringat dingin terasa mulai membasahi dahiku. Pria itu semakin dekat dan tanpa kusadari ia telah berada di hadapanku.

"Jangan takut, Rita! Aku tidak akan menyakitimu," ucapnya seraya membelai lembut rambutku. Ada rasa aneh yang ditimbulkan oleh perlakuannya. Rasa nyaman campur ketakutan.

"Tolong, jangan ganggu aku!" Kuucapkan kalimat itu dengan suara yang bergetar. Air mataku luruh membasahi pipi.

"Aku datang karena permintaanmu, Sayang."

"Ti — tidak! Aku tidak memintamu datang. Aku tidak pernah memintamu dataaang!" Aku semakin menekuk lututku dan menutup kedua telinga serta memejamkan mataku rapat.

"Bukankah kamu yang memintanya kemarin?" tanyanya seolah mengintimidasi.

"Tidak! Pergi ... pergii!" Aku berteriak. Lalu menarik selimut untuk menutupi diri. Menghindar dari sosok yang menyerupai suamiku.

Lantas, kurasakan seseorang mengguncang tubuhku. Ketika membuka mata, Mas Satya tampak di hadapanku. Memandangku dengan sangat cemas.

"Kamu kenapa, Rita?" tanyanya.

"Ng — nggak papa, kok, Mas." Aku berbohong.

"Tapi saat tidur tadi kamu teriak-teriak. Kan udah Mas bilang, jangan tidur dulu, Rita! Ini mau maghrib, pamali!" Mas Satya tampak menasihatiku dengan serius.

"Tapi, aku gak tidur kok, Mas," kilahku.

"Nggak tidur gimana? Pas Mas dateng kamu lagi teriak-teriak gitu, kok," jelas Mas Satya.

Bagaimana mungkin? Sepertinya tadi aku tak jadi tertidur karena kedatangan pria yang mengaku jin itu. Apakah aku bermimpi?

Adzan Maghrib berkumandang, Mas Satya mengajakku untuk salat berjamaah. Namun, aku menolak dengan alasan kepala yang masih terlalu berat. Entah kenapa juga akhir-akhir ini aku jarang melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim. Saat hendak menunaikannya seperti ada rasa malas melanda secara tiba-tiba.

"Ya udah, kamu istriahat aja. Mas ke masjid dulu kalau gitu." Mas Satya berlalu, meninggalkanku sendirian lagi di rumah yang entah mengapa menjadi terasa menyeramkan.

Rasa haus yang hebat tiba-tiba saja datang. Membuatku harus beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Rumah tampak lengang, hal yang biasa karena memang kami belum memiliki anak. Ah, anak. Entah kapan kami dipercayakan untuk memilikinya.

Setelah minum, kuputuskan untuk menyalakan televisi. Mencoba mengusir rasa bosan karena Mas Satya yang belum juga pulang. Satu demi satu saluran kuganti karena bosan. Tak ada satu pun acara yang menarik untuk ditonton. Tak lama, terdengar salam dari Mas Satya. Segera saja aku membukakan pintu setelah menjawab salamnya.

***

"Kamu udah enakan belum, Dek?" tanya Mas Satya usai makan malam. Kami memang terbiasa makan sebelum pukul tujuh malam. Selain alasan kesehatan, juga agar Mas Satya tidak terlalu keburu mengejar waktu berangkat kerja.

"Lumayan, Mas. Kenapa?" tanyaku sambil membereskan piring kotor bekas kami makan.

"Boleh nggak Mas berangkat kerja malam ini? Nggak enak kemarin udah nggak kerja, masa sekarang mau libur lagi." Mas Satya meminta persetujuanku.

Sebenarnya aku ingin mencegah, tapi alasan apa yang akan kubuat? Tak mungkin aku jujur padanya, bahwa aku takut pria yang mengaku jin itu datang lagi. Akhirnya kuizinkan walau terpaksa.

"Ya udah, nggak papa, kok, Mas kerja aja," jawabku akhirnya.

Selepas Mas Satya berangkat kerja, aku kembali sendiri. Ada rasa cemas yang mulai merayapi. Aku takut kalau pria itu kembali datang. Entah dalam mimpi atau nyata. Sungguh aku merasa tidak nyaman.

Tepat ketika pukul sembilan malam, terdengar ketukan di pintu. Aku tidak berani membukanya. Takut kalau pria itu yang ada di balik pintu. Setelah tiga ketukan berulang, tak lagi terdengar bunyinya. Syukurlah. Akhirnya aku merasa lega.

Rasa kantuk yang sempat hilang, kembali muncul. Aku pun memilih untuk tidur. Berharap segera pulih dari rasa tak nyaman ini. Syukurlah, tak butuh waktu lama untuk terlelap.

Dalam keadaan setengah sadar, kurasakan sebuah tangan mengusap lembut wajahku. Beberapa kecupan berulang pada tempat yang sama — tengkuk — menimbulkan sensasi aneh yang memaksaku untuk segera membuka mata.

"Sudah bangun, Sayang?" tanya seseorang. Tanpa menoleh, aku sudah tahu siapa itu. Pria dengan fisik menyerupai Mas Satya.

Aku berpaling. Takut. Ingin aku berteriak, namun tak mampu kulakukan.

Tangannya meraih tubuhku yang mencoba menjauh. Bagai tersihir, aku membalikkan badan. Mengikuti gerak tangannya agar kami berhadapan. Kini aku dan sosok itu saling beradu pandang.

"Aku datang, Sayang," ucapnya lembut. Tangannya kembali mengelus pipiku. Entah bagaimana, ada rasa nyaman saat hal itu dilakukannya. Aku takut, tapi merasa sangat nyaman.

"To-tolong, jangan ganggu aku! Jangan sakiti aku" Aku berusaha memalingkan wajah, tapi lagi-lagi kembali menatapnya saat ia kembali meraih daguku.

"Aku tidak akan menyakitimu, Sayang. Percayalah!" ucapnya meyakinkanku.

Dia memang tidak menyakiti, tapi tetap saja ada rasa takut terhadapnya setelah malam itu. Malam pengakuannya yang membuatku syok.

"Bukankah selama ini kamu bahagia di dekatku?" tanyanya. Membuatku sedikit terperanjat.

Kuakui, aku memang merasa bahagia saat bersamanya. Namun, itu dulu. Sebelum pengakuannya.

"Aku mencintaimu, Rita. Aku akan memberikan apa pun yang kamu butuhkan dan inginkan. Jangan takut," lanjutnya.

Kata-kata itu terasa sangat tulus.

"Tapi ...."

"Tapi apa? Karena aku jin, kamu takut kepadaku?" Aku mengangguk. Dugaannya akan ketakutanku kepadanya sangat tepat.

"Tenanglah, aku tidak akan menampakkan wujud asliku padamu, Sayang. Aku hanya akan datang seperti ini. Dalam wujud ini." Ia berjanji. Janji yang entah harus kupercayai atau tidak. Yang jelas, rasa takut itu perlahan memudar.

Beberapa kali ia mencoba untuk kembali menjelajahi malam bersamaku, tapi aku masih menolak. Canggung. Bingung. Juga masih ada sedikit rasa takut. Walau rasa yang bergejolak itu juga menuntut untuk terpuaskan.

"Baiklah, kalau kamu belum bisa menerima keadaan ini. Aku mengerti. Aku akan datang kembali saat kamu benar-benar telah siap," katanya sebelum pergi.Aku hanya diam mendengar kalimat itu.

"Jangan lupa cara memanggilku, Sayang," lanjutnya.

Next ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status