Share

Selingkuh dengan Jin
Selingkuh dengan Jin
Penulis: Cha Raney Alfian

Selingkuh dengan Jin_1

Selingkuh dengan Jin

Part_1

Kecewa pada suamiku — Mas Satya, aku akhirnya bangkit meninggalkannya yang masih duduk di sofa ruang televisi. Sengaja kubanting pintu, agar Mas Satya tahu bagaimana perasaanku saat ini. Tak kupedulikan perasaan Mas Satya. Entah, ia peka atau tidak dengan kekecewaan yang kurasaa saat ini. Setelah berkali-kali ia menolak ajakanku. Aku tak pernah meminta lebih. Apa salah jika aku menuntut hakku akan nafkah biologis yang sudah menjadi kewajiban Mas Satya untuk memenuhinya juga? Sampai aku merasa diriku sangat hina. Meminta sesuatu yang seharusnya Mas Satya berikan tanpa menunggu aku meminta sampai mengemis bagai wanita murahan.

"Mas lelah, Rita. Besok sajalah, ya! Mas janji." Jawaban yang selalu Mas Satya lontarkan sebagai alasan setiap kali ia menolak ajakanku.

Aku paham dengan pekerjaan Mas Satya sebagai buruh pabrik yang bertugas di malam hari. Sungguh menguras tenaga. Namun tak adakah sedikit waktu untuk memenuhi kebutuhan yang seharusnya wajib bagi pasangan halal?

"Alasan kamu, Mas! Sudah berapa kali kamu selalu menolakku?" protesku pada Mas Satya.

"Aku malu, Mas! Aku merasa diriku hina!" imbuhku sambil menjerit. Menatap nyalang Mas Satya.

Emosiku semakin menjadi ketika Mas Satya berusaha memelukku. Mungkin ia bermaksud menenangkanku.

"Maaf." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Mas Satya.

"Apakah kamu sudah bosan denganku, Mas? Apakah kamu sudah tak membutuhkan hal itu lagi?" tanyaku. Aku merendahkan nada bicaraku. Rasanya aku sudah lelah berdebat dengan Mas Satya karena masalah itu-itu saja.

Tak kudapatkan jawaban yang logis dari diri Mas Satya. Mas Satya malah terdiam dan sibuk menyiapkan kebutuhannya yang hendak ia bawa kerja malam ini.

Sepertinya sudah setengah jam berlalu. Aku masih menangis sendiri meratapi nasibku. Mas Satya rupanya tak ada inisiatifnya sama sekali bagaimana cara untuk membuatku tak kecewa lagi.

Tak terdengar lagi suara televisi yang tadi masih menyala. Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Biasanya Mas Satya sudah berangkat ke pabrik tempatnya bekerja. Artinya Mas Satya pergi meninggalkanku begitu saja tanpa rasa bersalah.

Betapa teganya Mas Satya padaku. Terbesit keinginan untuk selingkuh. Namun segera kutepis pemikiran itu. Meski aku kecewa, namun sebisa mungkin aku tetap berpikir waras.

Air mata yang mulai mengering kini terasa membasahi pipiku kembali. Bagaimana tidak? Kenangan indah dengan Mas Satya tiba-tiba terlintas dalam bayanganku. Aku sampai bingung tak tahu harus bagaimana cara melepaskan keinginanku yang telah lama terpendam.

Tiba-tiba Mas Satya sudah berdiri di hadapanku. Sejak kapan suamiku itu datang dan menyusulku ke kamar, aku tak tahu. Karena tak kudengar sedikit pun derit pintu yang terbuka.

Aku masih tetap duduk di tepi ranjang, sekilas menatap dirinya. Tak lama aku memalingkan wajah saat Mas Satya hendak menyentuh pipiku. Tak kuasa aku menahan air mataku. Lalu, pertahananku runtuh juga. Air mata yang kutahan sedari tadi kembali jatuh membasahi pipiku.

"Rita, maafin Mas, ya!" Mas Satya duduk di sisiku. Tangannya berusaha menghapus bulir bening yang berlomba jatuh di pipiku. Tanpa kusadari bibirku dan bibir Mas Satya telah berpagut mesra.

Malam itu, aku benar-benar seperti mendapatkan kembali keindahan surga dunia. Mungkin bisa dibilang lebih indah. Puncak kenikmatan yang jarang kudapati, seolah menjadi sesuatu yang terus ingin kudapatkan. Rasanya membuatku melayang serta membuatku bahagia.

"Makasih, ya, Mas." Kukecup bibir Mas Satya sekali lagi. Setelah itu Mas Satya segera bangkit dari peraduan kami dan bersiap untuk kembali ke tempat kerjanya. Malam ini kulalui dengan hati yang sangat bahagia.

***

Keesokan paginya, seperti biasa Mas Satya pulang kerja di waktu yang sama. Tak ada yang aneh sampai suamiku itu kembali berangkat kerja lagi di malam harinya. Namun, tiga puluh menit setelah keberangkatannya, ia kembali lagi ke rumah dan berkata bahwa ia hendak memberikan hakku.

"Loh, Mas nggak berangkat?" Mas Satya diam sejenak. Ia hanya melempar senyuman yang tak seperti biasanya.

"Nggak, Rita. Mas minta libur dulu. Mas ingin ...." Mas Satya menggantung ucapannya.

Tangannya menggendong tubuhku secara tiba-tiba. Membuatku terkejut dan meronta. Mas Satya setelahnya membawaku masuk ke kamar kami dan merebahkanku perlahan di atas ranjang yang menjadi tempat kami memadu kasih.

Setelah dirinya selesai memberikan hakku, Mas Satya turut merebahkan dirinya di sampingku. Kubiarkan saja, mungkin ia sangat lelah dan butuh istirahat. 

Tiga malam kemarin memang luar biasa. Belum pernah Mas Satya sehebat itu selama tiga tahun pernikahan kami.

"Mas minta maaf, ya, Sayang," ucapnya sambil mengusap peluh yang membasahi dahinya.

"Aku udah maafin, kok, Mas," kataku sambil membelai pelan dada bidang suamiku itu.

Malam itu, Mas Satya memperlakukan aku sangat lembut. Namun ada yang berbeda dari biasanya. Cara bermain Mas Satya tak sehebat tiga malam lalu. Kali ini Mas Satya lebih santai dan datar seperti biasanya ia memperlakukanku.

"Harusnya, malam itu Mas nggak nolak ajakan kamu, Rita. Mas nyesel. Mas benar-benar minta maaf, karena baru bisa memberikan hakmu malam ini." Aku sangat terkejut dengan penuturan Mas Satya.

"Baru bisa memberikan?" batinku.

Lama aku terdiam. Berpikir dan mengingat akan kejadian tiga malam lalu. Jika bukan Mas Satya, siapa yang membawaku seperti terbang melayang menikmati keindahan surga dunia itu? 

Aku benar-benar tidak mengerti. Meski mencoba mengingat semua yang terjadi, namun aku yakin bahwa yang bersamaku adalah Mas Satya — suamiku. Apakah aku telah berselingkuh? Tetapi dengan siapa,, mengapa wajah dan seluruh fisiknya sama seperti Mas Satya?

Malam-malam berikutnya, Mas Satya mulai kembali bersikap manis padaku. Kebutuhan biologisku tak pernah ia tunda lagi. Jika aku menginginkannya sekarang, maka dengan senang hati Mas Satya akan memberikannya. Meski begitu tetap saja ada sesuatu yang berbeda kurasa. Aku merindukan sosok Mas Satya yang lain, yang lebih agresif saat menenuhi kewajibannya kepadaku.

"Mas, aku menginginkannya," ucapku malam itu.

"Besok, ya, Sayang," balas Mas Satya. Ketika aku sedang merayu untuk meminta hakku.

"Udah seminggu lebih, loh, Mas." Kupeluk tubuhnya dari belakang. Akan tetapi Mas Satya mulai menolakku lagi. Perlahan tangannya melepaskan pelukanku. Padahal keinginanku sudah menjalar ke ubun-ubun. Tak bisa lagi aku menahan. Mas Satya kembali acuh dan pergi meninggalkanku begitu saja.

Sakit itu kembali terasa begitu perih. Penolakan-penolakan yang dilakukan Mas Satya kembali menggores hatiku yang pernah terluka sebulan terakhir kemarin dan juga karena sikapnya. Untuk meredam rasa sakit aku berinisiatif untuk menghubungi Ibu.

Kuraih ponselku yang terletak di atas meja. Mengetik angka yang sudah sangat kuhafal. Tak butuh waktu lama sambungan telepon akhirnya terjawab. Aku bercerita banyak hal pada Ibu. Akan tetapi tak sedikitpun aku bercerita tentang rumah tanggaku. Terlebih yang menyangkut masalah intim. Aku tidak akan pernah berbagi cerita itu dengan siapapun.

Setelah berbincang dengan Ibu, ada sedikit kelegaan dalam hatiku. Sebenarnya aku merasa bersalah pada Ibu. Aku menghubunginya hanya sebagai pelarian atas sakit hatiku yang kurasa. "Maafkan Rita, Bu," ucapku lirih.

Baru saja hendak merebahkan diri di ranjang, terdengar ketukan di pintu rumah. Segera aku bangkit dan sedikit berlari menghampiri pintu masuk. Setelah pintu terbuka sosok Mas Satya menyeruak masuk ke dalam rumah. Mas Satya melempar senyum dan langsung saja menghujamiku dengan ciumannya. Malam itu kembali Mas Satya membawaku terbang melayang menikmati sesuatu yang telah lama kuinginkan. Ah ... Mas, aku memang sudah sangat rindu.

"Mas kembali kerja dulu, ya, Sayang," ucap Mas Satya setelah kembali berpakaian.

"Aku sudah tau, Mas." Aku melangkah mendekati pria yang berdiri di dekat pintu itu. Lalu, ia menoleh ke arahku sejenak. Setelah aku tepat berdiri di belakangnya, kupeluk erat tubuhnya. Menyandarkan kepalaku di punggungnya.

"Aku tahu kamu bukan Mas Satya. Bukan suamiku yang sebenarnya. Tapi ... kumohon, tetaplah seperti ini, Mas. Aku butuh perlakuanmu yang tak biasa ini, Mas. Aku selalu merindukan perlakuanmu yang bisa membuatku terbuai." Aku memohon sambil terisak. Kembali bulir bening membasahi pipiku.

Pria itu berbalik. Tangannya mengusap air mataku. Lalu mengangkat daguku hingga pandangan kami beradu, membuat jantungku berdetak lebih kencang.

"Meski aku bukan manusia?"

Next ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status