"Siapa laki-laki itu? Apa Kangmas mengenalnya?" tanya Sekar saat melihat suaminya berkali-kali menoleh ke belakang.
"Bukan siapa-siapa. Sepertinya laki-laki itu pengemis atau rakyat yang tinggal di pelosok. Pakaiannya kumal sekali," jawab Wijaya sembari berusaha tenang.
Setelah ini, Wijaya akan memanggil orang suruhannya dan meminta mereka memastikan jasad Kamandanu yang dihanyutkan di sungai. Jangan sampai laki-laki itu masih hidup dan ingin membalas dendam. Dia yakin bahwa itu adalah sang panglima, hanya fisiknya mengalami banyak perubahan.
"Kalau begitu kenapa Kangmas gelisah? Apa ada yang salah? Atau dia merasa tersinggung karena diberikan makanan sisa?" tanya Sekar lagi. Dia sendiri sama sekali tak menyadari bahwa itu adalah Kamandanu.
"Bukan begitu."
"Lalu?"
"Diamlah! Jangan banyak bertanya!" bentaknya.
Kata-kata suaminya membuat Sekar terkejut dan terdiam karena tidak suka jika diperlakukan seperti itu. Wanita
Roda kereta yang Kamandanu tumpangi bersama Handaru berderak saat melindas bebatuan. Mereka menatap jalanan dengan pandangan hampa. Berat rasanya meninggalkan pondok dengan kondisi Anung yang sakit-sakitan, juga tiga orang perempuan yang lemah.Sebelum berangkat, mereka menebang beberapa pohon dan membuat pagar kayu untuk mengelilingi pondok demi keamanan.Kamandanu memetik daun apa saja yang bisa dimakan dan memancing ikan. Dia membelah ikan-ikan itu, membersihkannya kemudian menjemur agar awet dan bisa dimakan Anung sekeluarga selama mereka tidak ada."Apa yang akan kita lakukan di kota, Panglima?" tanya Handaru."Mungkin kamu bisa menjadi pelayan rumah makan. Aku sendiri belum tahu. Kaki yang pincang ini, entah ada yang menerima atau tidak," jawab Kamandanu.Mereka bertukar cerita hingga tak terasa akhirnya tiba di kota. Jarak yang cukup jauh dan memakan waktu membuat keduanya lelah. Ke
Kamandanu memasuki keraton dengan gugup. Tangannya berkeringat dingin. Selama di perjalanan tadi, dia memegang tali kekang dengan kuat sehingga telapak tangannya memerah. Untungnya, sebagian wajah laki-laki itu tertutupi oleh rambut yang semakin memanjang, sehingga tak satupun penjaga yang mengenali ketika melewati gerbang keraton."Siapa yang kalian bawa?" tanya salah seorang penjaga ketika mereka hendak lewat."Seseorang yang membantu kami menaklukan si liar," jawab si pengawal sembari menunjuk kuda hitam yang lepas tadi.Para penjaga saling berpandangan, lalu mengangguk dan mempersilakan mereka masuk.Kamandanu menarik napas lega karena penyamarannya aman. Padahal hampir semua dari para prajurit dan pengawal itu dulunya berada di bawah pimpinannya."Baiknya paman membersihkan diri sebelum bertemu dengan Kanjeng Gusti. Beliau tidak suka mencium bau-bauan yang kurang sedap," usul salah seorang prajurit.Kamandanu tersadar bahwa
Kamandanu bergegas memasuki penginapan setelah mengembalikan kuda. Laki-laki itu bukannya tidak tahu jika sejak keluar dari keraton tadi, dia diikuti oleh beberapa orang. Napasnya memburu ketika tiba di depan pintu, lalu mengetuknya pelan. "Panglima!" teriak Handaru karena terkejut dengan kedatangan Kamandanu yang tiba-tiba. Tanpa berucap, Kamandanu bergegas masuk dan langsung menutup pintu. Tubuhnya seketika luruh ke lantai karena rasa lelah yang teramat sangat. "Ada yang mengikutiku. Baiknya kamu bersembunyi," saran Kamandanu ketika Handaru mengambilkannya segelas air. "Siapa?" "Prajurit keraton. Mereka mencurigaiku," jelas Kamandanu sembari meneguk air dengan cepat. Napasnya naik turun, sementara peluh tak berhenti menetes hingga seluruh bajunya basah. "Kenapa bisa?" "Mereka curiga karena aku mahir berkuda. Sementara statusku hanya rakyat biasa." Handaru menarik napas panjang, lalu duduk di sebelah Kamandanu untuk me
Dua pengawal istana itu menatap Kamandanu dan Handaru dengan lekat. Itu membuat jantung mereka berdetak lebih kencang. Penyamaran tak boleh terbongkar, karena hanya itu satu-satunya cara.Kamandanu bahkan melatih Handaru untuk memanggilnya dengan sebutan kangmas. Dia juga mengatakan apa yang menjadi makanan kesukaan, juga kebiasaan tertentu. Mereka sudah sepakat tentang banyak hal, agar tak menimbulkan kecurigaan. Sehingga jika suatu hari ada yang bertanya, jawabannya akan sama."Apa benar ini adikmu? Mengapa wajah kalian berbeda?" tanya pengawal dengan penuh selidik.Kamandanu berbadan tegap dengan otot-otot yang tercetak jelas. Kulit tubuhnya gelap dengan ranbut panjang tak terurus. Luka sayatan di pipi membuat wajah lelaki itu terlihat menyeramkan. Ditambah dengan suara serak yang sengaja diucapkan agar tak ada yang mengenali.Sementara itu, Handaru memiliki postur yang lebih
Sekar berjalan dengan cepat menuju istal karena merasa rindu dengan ayahnya. Semenjak menjadi selir, wanita itu jarang bertemu dengan keluarga. Selain belajar, melayani Wijaya adalah tugasnya sehari-hari. Sekar mulai bosan. Apalagi tak kunjung ada janin yang tumbuh dari rahimnya, sekalipun mereka sudah berusaha sekuat tenaga. Sehingga rasa rindu kepada ayah dan ibunya kerap muncul di malamnya saat terjaga. Sayangnya, dia tak diizinkan pulang karena Wijaya terlalu mengekang. Lelaki itu terlalu mencintai selirnya sehingga menjadi posesif. Rasa cemburu Wijayaa begitu kuat, bahkan kepada orang tua Sekar sekalipun. Namun, wanita itu tak bisa melawan dan hanya mampu menuruti keinginan suaminya. "Pelan-pelan saja, Ndoro," ucap salah satu dayang yang mengikutinya dari belakang. Sekar menoleh lalu, meraih jemari dayang itu dan kembali berjalan dengan cepat. Waktunya tak banyak sehingga mereka memang harus terburu-buru. "Raden ndak tau
Sekar membuka pintu kamar dengan perlahan, dan merasa lega saat mendapati ruangan itu kosong. Wanita itu hendak menuju bilik tempat berganti pakaian, saat tiba-tiba saja sebuah tangan merengkuhnya dari belakang."Dari mana saja, Diajeng?"Sekar menoleh dan mendapati Wijaya sedang menatapnya dengan tajam. Wanita itu membuang pandangan untuk menutupi rasa gugup. Dia mengulum senyum terpaksa dan mengusap pipi suaminya agar lelaki itu tak marah."Aku mandi di danau," jawabnya meyakinkan.Wijaya menatap istrinya dengan kecewa. Mereka sudah kenal sejak lama dan baru kali inilah dia mendapati Sekar berbohong. Lelaki itu bukannya tidak tahu jika selirnya itu menyelinap ke istal untuk bertemu seseorang."Apa kau senang mandi di danau?" pancingnya."Tentu saja. Airnya begitu segar sehingga aku betah berlama-lama di sana," jawab Sekar lagi.Wijaya tersenyum pahit dan meraih tubuh mungil itu agar semakin merapat kepadanya. Hal itu membuat dada Se
Hari ini raja membuat perjamuan makan dengan mengundang semua penghuni keraton. Kerajaan sebelah baru saja mengirimkan upeti sebagai hadiah. Tak hanya uang, hasil panen dan hewan ternak ikut serta. Juga beberapa gadis yang akan dijadikan selir baru.Kamandanu memberikan kode agar Handaru mendekat. Mereka sudah lama tidak bertemu sehingga banyak informasi yang harus disampaikan. Sejak tadi banyak pasang mata yang menatapnya dan membuat lelaki itu merasa tidak leluasa.Sebagai orang baru di keraton, tentu saja mereka menjadi perbincangan. Apalagi setelah berita tentang kehebatannya menaklukkan kuda liar menyebar di mana-mana. Kamandanu kini menjadi pusat perhatian."Kakang!"Handaru memeluk Kamandanu dengan erat. Lalu, keduanya saling menepuk bahu dan menanyakan kabar. Mereka bersandiwara seperti dua saudara yang saling merindukan. Padahal diam-diam, ada gulungungan kertas yang diselipkan di saku pakaian."Kau tampak kurus, Ad
Sudah tiga hari Wijaya sakit dan banyak yang datang menjenguknya, kecuali Sekar. Dia masih berdiam diri di kamar dan tak mau keluar sama sekali. Sikap suaminya yang kasar memabuat wanuta itu kecewa.Sekar tahu jika Prameswari yang merawat Wijaya selama sakit. Dia sama sekali tidak keberatan, justeru malah senang karena bisa sedikit bebas. Lagipula wanita itu juga memiliki hak karena merupakan istri pertama.Mereka memang jarang bertemu. Jikapun bersua, Prameswari akan membuang pandangan seolah-olah membencinya. Sekar mengerti perasaan wanita itu. Istri manapun tak akan rela jika cintanya dibagi. Apalagi waktu itu Wijaya baru menikah dan langsung mengambilnya sebagai selir."Nyuwun pangapunten, Ndoro," ucap dayang yang melayani Sekar saat masuk ke kamarnya."Ada apa?" tanya wanita itu malas."Ndoro Ajeng diminta membesuk Raden Wijaya. Beliau merindukan Ndoro," ucap dayang.Sekar terdiam dan tak mau menjawab. Dia