"Aksa ...."
Suara cempreng Sara terdengar seperti godaan di telingaku ketika protes kubawa kembali ke kasur setelah dengan mengangkat pinggangnya tinggi-tinggi hingga tetap berada di pangkuan saat duduk bersama.
"Berhenti mainin anu gue!" Kikikan Sara justru menggoda jemariku menguak lipatan di balik handuk yang melingkupinya.
"Anu yang mana?" Aku turut menertawakan sambil meniup lengkungan di sepanjang leher jenjang Sara.
"Udah, Aksa!"
Enggak. Aku belum bisa berhenti sampai rasakan gerakan tanganku di bawah sana membuatnya tersentak, lemas. Kehangatan yang mengalir kental jelas bukan milikku.
"Meleleh gue, Sa."
Pengakuannya kubalas dengan kecupan di sudut bahu ketika Sara memilih bersandar padaku dalam rengkuhan.
Lenganku berpindah melingkari pinggangnya lebih erat. "Lo bisa cerita sama gue kalau eman
"Garini! Garini Sarasidya?" Suara yang mengiringi ketukan di luar kamar sontak membangunkanku. "Papa gue,Njir." Sara yang sepertinya merasa terpanggil, tampak memungut satu per satu pakaian yang menggeletak asal di permukaan lantai. Kusandarkan punggung ke dinding dan mengambil kain renda terdekat. Warna ungu samar berbentuk segitiga itu kunaikkan ke udara dan langsung Sara rebut. "Ngapain sembunyi?" tanyaku tanpa mau repot-repot berpindah posisi. Lemparan celana pendek dari Sara ke pangkuanku lebih seperti perintah. "Harus dipakai?" "Bantuin, kek!" Gerutuannya terdengar lebih seperti bisikan. Mungkin takut ketahuan, terbaca dari rautnya yang khawatir. "Eng—gak mau." Kulebarkan mata saat menolak, biarkan bibir menahan tawa yang bisa saja pecah. "Aksa!" Gerakan Sara mengenakan pakaian dalamnya terhenti. "Biarin
"Sa ..., ampe kapan lo nyuekin gue?" Jam istirahat pun kayaknya enggak cukup buat si cewek rese. Suara menyakitkan Sara yang terdengar dari belakangku sukses menghentikan langkah. Tuhan! Kugelengkan kepala sebelum menutup kedua telinga dan lanjutkan langkah menuju kiblat seantero siswa setiap kelaparan di sekolah. Kantin. "Aksa ...." Lenganku terasa ditarik bersamaan dengan melekatnya Sara di sisi. Sepertinya dia belum menyerah merapat padaku meski langkah yang kuambil selebar mungkin. "Sekarang kok cuek, sih?" Bisa kulihat cemberut manjanya yang sesekali mengambil perhatian di depan wajahku. Maunya apa? Pamer kalau aku sama dia jadian? Oke, salahku yang diam aja ngikutin skenarionya dia. Salahku mengambil jalan pintas dengan memulai interaksi fisik dengannya. Salahku ... aku terjebak dalam permainanku
"Gue mau lo sekarang," pinta Sara. Gila! Aku kira cuma aku doang yang nyandu sama sentuhannya. Namun, tarikannya membawaku merapatkannya ke dinding. Sudut matanya mengisyaratkan perhatianku pada papan toilet cowok. "Ra, ini sekolah," sanggahku, berusaha memenangkan ego yang masih angkuh tidak meminta lebih dulu darinya. "Atau gue perlu buka di sini?" Sara melonggarkan dasi sekolah dan meloloskan dua kancing teratas seragamnya. Aku ... susah payah menelan saliva dalam kerongkongan. Belahan mulus yang tampak di sana sangat mengundang. Sulit menahan jemari untuk bergerak membelai permukaannya. Sara tersenyum lebar ketika aku menggapai belakang kepalanya, mendaratkan sentuhan bergairah pada bibir lembutnya. Enggak. Aku tidak bisa menahan ini lebih lama. Apalagi dia sangat menyadari kerasnya diriku di bawah sana ketika saling ber
Kuputar batang tembakau di antara jemari, menjaganya tetap utuh sebelum singgah dalam jepitan bibir. Belum kubakar. Hanya memperhatikan para wanita gila yang terus berteriak karena aksi Nabas bermain truth or dare di tengah ruangan, tepatnya, dia berdiri di pertengahan meja dalam keadaan menari setengah telanjang bersama salah satu klien tanpa musik. "Mas Lingga mau dibakarin enggak rokoknya?" Aku menoleh, mendapati salah seorang yang kuketahui sebagai istri pengusaha konstruksi terkenal melekat pada lenganku. Tangannya pun bergerak membelai lutut hingga pinggangku. Spontan rambut halus di sepanjang lengan meremang. Geli. "Eng ... enggak." Aku bergeser, memberi jarak yang bisa ditempati seorang lagi sebelum membakar ujung benda di bibirku. Manis. Asapnya memenuhi rongga mulutku sebelum diembuskan ke udara. "Minum aja, yok!" Datang lagi seora
Kepalaku masih berat meski hanya untuk beranjak turun dari taksi yang kutumpangi. Entah efek alkohol atau .... Ah, aku enggak pengin ngebayangin. Bawaannya mau muntah. Oleng. "Aksa dari mana?" Kurasakan seseorang menopang lenganku. Tingginya hampir menyamaiku dengan perawakan lebih kurus. "Ra?" Aku berharap tidak sedang berhalusinasi seperti semalam. Berkali-kali kuucapkan namanya setiap mencapai pelepasan. Gila! Apa yang terjadi denganku? Aku masih bisa berjalan, hanya belum fokus. Sampai tiba di kamar, Sara membantuku berbaring. Dia juga melepaskan sepatu yang kukenakan dan menekan-nekan pelipisku dengan jemari lentiknya. "Sa?" Kubalas dengan gumaman. Mataku berat, meminta lekat begitu kepala menyentuh bantal. "Lo kerja lagi?" "Gue capek, Ra." Ingin kukatakan ya, tetapi ini bak
Aksa!" Aku terkejut mendapati teriakan Sara yang telah berhasil membuka pintu. Kayaknya dia masih megang kunci cadangan, terlihat dari gantungan dalam genggamannya setelah menutup pintu. "Apa lagi?" Aku kembali berkutat pada tampilan layar ponsel yang menunjukkan sederet angka mengisi saldo rekeningku sementara jemari Sara menyelip di antara lenganku dan bertemu di depan perut. "Ikut ibadah?" tanya Sara sambil menyandarkan dagunya di bahu kananku. "Sara ...." Aku menoleh dan langsung dihadiahi ciuman, lagi. Kekehan mengiringi setelahnya. "Demi gue." Tatapan lebarnya yang memohon ternyata melemahkanku. Demi dia? Sejauh ini, aku melakukan segala hal demi dana yang masuk dalam rekeningku. Kuembuskan napas dengan kasar, sadari bakal berhadapan lagi dengan simbol ketuhanan setelah sekian lama menghindar hanya untuk menemani tuan putri.
Di lain waktu, Sara mengajakku berkunjung ke rumah pamannya. Iya, paman yang menjadi imam di paroki yang kami kunjungi saat ibadah. Aku mengendus 'niat baik' yang berbahaya. Apa mungkin dia punya niat mengembalikanku ke 'jalan yang benar'? "Wah, kirain Sara datang bareng Mbak Indar." Sapaan itu terdengar dari tempatku memarkir motor, hanya sekitar dua meter dari pintu rumah yang baru kuketahui merupakan fasilitas yang diberikan pihak gereja pada para pelayan Tuhan. Dia menyebutkan nama yang bisa kukorelasikan. Mamanya Sara. "Mama keluar kota, Paman." Benar? Aku menertawakan sendiri tebakan yang memenuhi kepala. Enggak biasa aku bisa mengingat para manusia selain orang tertentu yang sering dijumpai. "Tugas kantor?" "Iya." Sambil menggantungkan kedua helm di samping jok, aku menyimak pembicaraan mereka.
"Kak Aksa ...." Kebiasaanku melanglang ke seantero sekolah ternyata bisa menjadi jebakan. Saat mencari kesunyian di antara bangunan belum jadi setelah istirahat selesai, suara lemah menggoda itu mampir. Bukan Sara, aku mengenalinya. Cewek rese lain yang pernah kupermalukan. Abai, aku memilih mengisap bakaran dalam selipan jemariku seraya melihat langit yang semakin menggelap. Punggungku bersandar pada bagian dinding yang belum diplester, kasar oleh batu-bata dan semen. Namun, tarikan di bagian depan celana kelabuku mengejutkan. "Apa maksudnya ini?" Aku bergeser selangkah menjauh, berusaha menepis tangannya dan menjatuhkan sisa batang bara di tangan. "Masa enggak tahu?" Gadis itu, yang pernah memergokiku 'kerja' berjongkok di depan ritsleting dan membuka sisanya. "Apa gue perlu bayar kayak Sara biar enggak penasaran?" "Gue enggak tau." Aku bergeser