DISKUSI singkat Anna dan Vlad berakhir ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, tanda jam baru akan dimulai. Vlad bisa bergabung dengan teman sekelasnya lagi. Anna memandangi punggung Vlad yang menjauh sambil tersenyum. Semoga otak Vlad kali ini melancarkan aliran ide. Anna masih bertugas di meja piket.
Dan hari itu berjalan tanpa ada kejadian lain. Lepas waktu pelajaran terakhir, Anna melaporkan hasil pembicarannya pada Bu Ros yang dibalas dengan anggukan mantap dan senyum lega.
Jika kemarin panas begitu menyengat, kali ini langit begitu pekat penuh awan hujan. Anna menengadah ke langit melihat potensi hujan. Ini akan hujan, tapi kapan? Sekolah telah usai, waktunya pulang, dengan langit segelap itu, semua terburu pulang, berharap tak bertemu hujan di jalan.
Anna pun sama. Belum ada titik gerimis sama sekali, dia memilih berkendara tanpa jas hujan. Tapi sialnya, di tengah jalan hujan turun. Semua pemotor menepi. Anna pun. Bermaksud memakai jas hujan, di
TERNYATA aku butuh waktu lebih banyak untuk menenangkan diri. Bahkan aku berpikir tidur di sofa saja alih-alih ke kamar dan melihat Bhaga. Mengingat rumah ini hanya mempunyai satu kamar, membuatku semakin ingin segera merenovasi rumah. Dan itu membuatku kembali teringat percakapan yang membuat leherku menggelembung maksimal seperti katak.Tentu Bhaga sudah mendengkur ketika aku masuk kamar. Menarik napas panjang, aku merasa sangat-sangat jengah. Aku duduk di tepi ranjang, lalu merebahkan tubuh membelakangi Bhaga. Mungkin merasa ranjang bergerak, tidurnya terusik. Dari cermin meja rias di hadapanku, kulihat Bhaga bergerak memunggungiku. Aku semakin merasa jemu. Bukan libur seperti ini yang aku mau habiskan berdua dengannya. Tidak ada dalam rencana liburku untuk tidur saling memunggungi.Kutunggu dia untuk menghangatkan ranjang kami dan memulai proyek perkembangbiakan generatif tapi beginilah yang kudapat.Ting.Bunyi notifikasi ponsel di nakas mengganggu l
SETELAH membersihkan diri, Vlad membanting tubuhnya ke ranjang. Kekesalannya selalu meluap jika melihat ibu sambungnya berkumpul dengan teman-temannya. Dia tahu, ibu kandungnya bukan sosok ibu yang sempurna, tapi jika perempuan itu tak datang, tentu keluarganya mash utuh. Vlad masih kecil waktu itu. Umurnya masih sepuluh tahun. Yang dia lihat dan dengar memang kedua orangtuanya sering ribut. Tapi dia tidak mengerti apa yang mereka ributkan. Keduanya orang yang sibuk. Papanya pengusaha sukses dan mamanya merintis karir di law firm terkenal. Vlad heran, keduanya jarang bertemu tapi ketika berada dalam satu ruang yang sama, ada saja yang mereka ributkan. Sampai akhirnya sang ibu pergi, yang dia tahu ke luar negeri melanjutkan sekolah. Hanya berbilang bulan, perempuan itu datang dan menjadi ratu di rumahnya. Papanya menyuruh dia memanggil Bunda. Tapi Vlad jarang memanggil ibu sambungnya. Ketika dia terpaksa berinteraksi, Vlad sering dengan tidak sopannya berkamu
VLAD menjemputku di rumah. Aku yang sudah menunggu di ruang tamu melihatnya datang dari jendela. Wajahnya berseri ketika turun dari mobil. Tanpa menunggu dia mengetuk pintu, aku langsung keluar. Tapi ketika dia melihatku, ekspresinya langsung berubah. Senyumnya hilang dan wajahnya berubah datar. Aku tanpa dibantu langsung naik dan memutup pintu mobil. Vlad pun sama. Sejurus dia terdiam lalu langsung memutar kemudi. Dia tetap diam sepanjang jalan. Aku pun diam tidak bertanya tujuan. Seakan pasrah saja dibawa Vlad ke mana pun. Sesekali kudengar dia menarik napas panjang atau mengembus kasar. Kurasa dia terlalu diam dan lebih cocok disebut melamun. “Kita mau ke mana?” tanyaku tiba-tiba setelah menyadari Vlad semakin jauh dalam lautan lamunannya. “Hah?” “Kita sudah lewat jalan ini tadi,” jelasku sambil menunjuk sebuag gedung. Dia menyugar rambutnya sambil menarik napas kasar. Aku mendiamkan saja sambil tetap menoleh ke arahnya. Ada yang merisaukan
“VLAD, jujur aja ya, gue nggak yakin sama rencana lu.” Arif, kasie acara berkata setelah Vlad menjelaskan idenya. “Kenapa?” Vlad bertanya sampai alisnya bertemu di tengah dahi. “Lu tinggal milih mau acara yang mana.” Dia serius mempraktekkan ajaran Anna. “Gua pasti share ke yang lain. Kami akan diskusi. Tapi gue sudah bisa nebak isi kepala yang lain seperti apa.” “Apa?” “Vlad, gue tim acara, kalau gue gagal berarti acara gagal, dan gue nggak mau kerja gue gagal cuma gara-gara lu gagal.” “Loh, kenapa gue yang gagal? Gue kerja aja belum.” “Nah itu dia, gue nggak yakin sama hasil kerja lu. Tim gue juga sama.” “Sh*t!” Vlad memaki. Tapi lebih untuk dirinya sendiri. Kelakuannya membuat orang sulit percaya pada dirinya. “Gini deh, Bro. Gue tetap akan diskusi sama tim. Lu tetap jalanin rencana lu. Kalau lu berhasil, kita bisa jalanin rencana lu buat acara itu.” “Jadi maksud lu acara gue jadi cadangan?”
“MENGENALMU,” dia menoleh menatapku, “aku harus menyesal atau bersyukur?” Pertanyaan retoris yang menggantung mengisi ruang senyap di antara kami. Berdua, kami masih diam berdiri saling menatap. Tatapannya sulit kuartikan. Cahayanya redup, seperti bersedih. Ada juga kilas rindu yang memujaku. Ya Tuhan… Siapa menyangka, remaja yang dulu sangat kekanakan bisa tumbuh sedewasa ini. Dia terlihat sangat matang. Garis wajahnya keras. Tulang rahangnya tegas. Tegap terbiasa tertempa kerasnya hidup. Tapi apa anak seperti Vlad merasakan kerasnya hidup? “Kamu capek, Savannah?” tanyanya mendadak. Mungkin dia melihatku menarik napas panjang. Tanpa menunggu jawabanku, dia mengarahkanku ke sebuah pintu. “Ini kamarmu. Feel free.” Dia membuka handle lalu mundur mempersilakan aku masuk. Dan aku terdiam begitu melihat isi kamar. Ini kamar wanita dengan design interior sesuai seleraku. Jelas dia membuatnya untukku apalagi ada pigura besar berisi fotoku. F
DAN dimulailah era pendampingan itu. Chat-chat panjang yang sering berujung pembicaraan absurd, meeting bersama tim yang Vlad bentuk. Dan diskusi yang sering berarti hanya berdua dengan Vlad. Anna mengerti, berorganisasi adalah hal baru bagi Vlad. Dia memang berteman tapi bermain dengan teman berbeda dengan berorganisasi. Berkali-kali Anna mengingatkan Vlad agar tidak terlalu mendikte yang terkesan egois. Bertoleransi seperti menjadi pelajaran ekstra untuk Vlad saat ini. Dia yang selalu membantah kali ini harus siap dibantah. Termasuk urusan jadwal menyebar proposal untuk mendulang dana. Tim ini berjumlah sepuluh orang, jabatan yang tertulis di proposal hanya pemanis saja. Pada dasarnya mereka bekerja serabutan, Benar-benar membuat Anna pusing. Ketika Anna melaporkan soal itu ke mentornya, Bu Ros hanya terkekeh ringan sambil menepuk bahunya. “Karena itu makanya kamu ada di sana, Anna. Untuk membuat mereka tetap di jalurnya. Biarin aja mereka begitu. Ini proyek no
SEBENARNYA aku berniat menunggu Bhaga, tapi sampai jauh malam dia tak pulang sampai akhirnya aku jatuh tertidur. Ketika aku bangun menjelang subuh, dia sudah ada di sampingku. Seperti biasa, tidur telentang dengan dengkur lembut. Entah kenapa kali ini aku malas menatap wajah tidurnya. Biasanya aku akan menatap wajah itu lalu menciumi sampai dia bangun. Mungkin aku masih jengkel karena urusan pindah kerja dan dia pergi seharian kemarin. Tapi aku kan juga pergi. Tak mau terlarut lebih dalam lagi, aku bergegas ke luar dan beraktivitas normal. Ketika Bhaga bersikap biasa saja, aku pun berusaha mengikuti alurnya. Memang tak baik terlalu lama merajuk. Dia duduk di meja counter dan mencoba nasi goreng langsung dari wadahnya. Terlalu banyak untuk disebut mencicipi. Langsung kusodorkan piring kosong yang cepat dia ambil. “Thanks.” “You’re welcome,” balasku. “Kamu pulang jam berapa semalam?” tanyaku sebagai basa–basi pagi. “Sorry ya,
AKHIRNYA rapat-rapat itu harus diimplementasikan sesegera mungkin. Guru lagi-lagi terbelah. Waktu-waktu krusial yang seharusnya diisi lebih fokus untuk pengayaan mereka pakai berkeliling mencari donatur. Tapi satu sisi mereka tahu, tim ini berisi anak yang … belajar tidak belajar hasilnya tidak akan beda jauh. Setelah pertimbangan yang matang, akhirnya tim guru memutuskan untuk membagi mereka menjadi lima kelompok. Tiap kelompok didampingi satu guru atau murid lain yang lebih berpengalaman berhubungan dengan cara formal. Tapi untuk permulaan, Anna membagi dua kelompok yang akan dia dan Vlad dampingi dengan harapan setelah dua kali pendampingan Vlad bisa berjalan sendiri sambil dia melatih temannya yang lain. Dengan cara ini Anna berharap tidak terlalu banyak mengambil waktu guru dan murid lain. Hari pertama misi, Vlad muncul dengan pakaian rapi. Baju dimasukkan ke celana, dengan ikat pinggang, sepatu convers hitam dengan sol utuh, dasi biru, dan rambut tercukur pende