“WAKTU dia dapat kabar kamu nikah, dia kayak gini.”
Satu kalimat yang membuatku terhenyak.
“Anna, tolong maafkan kami. Kami meminta terlalu banyak.” Wanita cantik itu jelas menampakkan aura gelisah. Aku diam, tak tahu harus berkata apa.
“Tolong temani Vlad dulu sementara kami menyiapkan mentalnya.”
Aku tak bisa berkata-kata, bibirku bergerak membuka dan menutup tapi tak mengeluarkan suara.
“Tapi Vlad yang saya kenal tidak selemah itu.” Akhirnya aku bisa bersuara.
“Ini nggak melulu cuma soal kamu, Anna. Kamu nggak di sana waktu Vlad terpuruk. Dia merasa semua hal di hidupnya terjungkal. Semua yang dia yakini salah. Bukan cuma kamu yang dia sayang yang dia pikir mengkhianati dia. Dan semua terjadi bersamaan. Termasuk bersamaan dia juga harus menerima bahwa saya tidak seperti yang selama ini dia pikir.”
“Saya nggak ngerti, Ibu….” Aku putus asa dengan masalah yang harus membelitku.
“Maafkan saya, Anna. Ini semua salah saya.
Kalimat Vlad yang terakhir. Serem nggak sih diposesefi gitu? Di satu sisi Bhaga yang full percaya sama Anna, ngebebasin banget. Lalu muncul Vlad yang dominan semua mau dia urus. Hayulu, Anna… mau pilih yang mana? Ngeluh-ngeluh Bhaga jarang telepon, sekalinya dikasih Vlad dia dikekang gitu. Happy reading ya. Thx.
“SEDEKAT apa kamu sama Mama?” Vlad tidak bisa langsung menjawab. Anna menunggu jawaban sambil memperhatikan ekspresi berpikir Vlad. Pertanyaan itu seharusnya dijawab tanpa berpikir kan? “Bisa nggak sih kita nggak bahas yang dulu-dulu?” “Loh, itu kan Mama kandung kamu. Kok dulu? Ya sekarang gimana kan bisa jadi jawabannya.” “Siapa bilang? Bisa aja dulu dekat sekarang jauh kan? Atau sebaliknya, dulu jauh sekarang dekat. Semua bisa berubah.” Anna mengedikkan bahu, membenarkan ucapan Vlad. “Iya sih, manusia bisa berubah. Bisa aja kamu dulu dekat sama mama kamu, tapi karena mereka bercerai kamu jadi nggak dekat. Apalagi secara fisik kalian memang tinggal berjauhan banget.” “Kedekatan itu nggak harus berasosiasi dengan fisik kan, Bu. Banyak orang tanpa sentuhan fisik bisa merasa dekat. Berjauhan tapi tetap merasa dekat. Istilahnya jauh di mata dekat di hati. Tapi ada juga yang tiap hari ketemu malah nggak merasa dekat. Nggak
“AKU mau tau siapa orang yang ambil kamu dari aku.” Aku mendesah. “Anna, aku nggak akan lupa ucapan kamu waktu kita habis antar Bowo ke Lido,” lanjut Vlad lagi. Aku makin pasrah. “Kamu nggak mau LDR-an.” “Kamu lupa bab compromising.” “Jadi kalian berpisah seperti ini artinya berkompromi?” “Iya.” “Lalu apa hasil kompromi kalian sekarang?” “Ya kami tetap LDR.” “Kompromi kalian harus diperbaharui karena kamu sekarang nggak mau LDR sementara Bhaga nggak mau pindah kerja dan kamu nggak mau ke sana.” “Sok tau.” “Loh, itu kan yang kamu minta yang Bhaga nggak bisa kasih? Kanu lupa dulu bilang apa di mal?” Bahuku melorot. Tentu saja Vlad ingat. Dan sejak dulu dia menghubungkan ceritaku tentang Bhaga dengan keinginanku dulu. “Dulu pilihannya banyak. Aku seleksi sampai sisa Singapura dan Australia. Akhirnya aku pilih Singapura karena itu paling dekat dan Singapura lebih enak untuk mu
TERNYATA Anna pun mengantuk. Ranjang empuk, hawa dingin khas pegunungan, selimut lembut, bantal harum pewangi, kamar nyaman, dan lain sebagainya membuatnya langsung lelap tak lama setelah merebahkan tubuh. Di kamar sebelah justru Vlad yang tadi menguap berkali-kali malah sekarang tidak bisa tidur. Terlentang dengan lengan bersilang di bawah kepala, matanya terbuka lebar menatap plafond kamar. Membayangan Anna di kamar sebelah membuatnya ingin menyusul ke sana lalu tidur di dekatnya. Sampai akhirnya dia keluar, meminta segelas minuman hangat, lalu mengendap mengintip ke kamar sebelah. Anna tidur lelap sekali. Tidur miring meringkuk memeluk guling tenggelam di selimut. Tanpa sadar, tak bisa menahan dirinya sendiri, perlahan Vlad melangkah masuk. Setelah memastikan jendela tertutup tapi masih ada udara masuk dari ventilasi, dia menonton Anna. Kali ini dari jarak dekat dan bukan hanya mengintip. Berlutut dengan sebelah kaki sedepa di depan Anna, tanpa dia sadari di
VLAD DWangsa : Kamu sudah makan? Aku mendesah. Matahari baru saja hilang. Mungkin dia belum sampai di rumahnya, tapi sudah menanyakan soal makan. Savannah Gayatri : Kamu sudah sampai? Sudah makan? Dia hanya membalas pesanku dengan emoticon senyum. Mengingat Vlad, aku pun teringat Bhaga juga. Sedang apa dia sekarang? Ini hari Minggu, seharusnya dia masih ada di rumah. Ini hari keempat dia tidak berkabar. Savannah Gayatri : Bhaga, kamu di mana? Kutunggu beberapa saat, tapi tanda ceklist hanya ada satu. Terkirim tapi tak sampai. Sampai selesai aku makan ransum dari Vlad, tanda itu tidak berubah. Artinya dia tidak pulang ke rumah akhir pekan ini. Kutelepon saja dia. Dering pertama dan langsung terangkat. “Ya, Na?” sapanya tapi diikuti suara musik dari speaker rumahan. Tidak berdentam, hanya keras saja. Suara musik ditingka
ANNA melambai sambil tersenyum lebar bahkan tertawa kecil pada Vlad ketika dia mengantar Vlad pulang. Vlad mengantar Anna pulang sampai ‘menyerahkannya’ kembali kepada ibu. Membiarkan ibu Anna memastikan anak gadisnya masih utuh dan baik-baik saja setelah hampir 24 jam pergi, baru dia berpamit pulang. Ketika mobil Vlad menghilang dari hadapannya, Anna berbalik masuk. Begitu melewati pintu, Anna seperti kembali ke dunia nyata. Setelah berlibur hampir sehari penuh dia harus kembali ke realita bahwa tugasnya belum selesai. Bahunya melorot ketika masuk rumah. Melirik jam, dia makin mendesah malas. Sudah jam sepuluh. Kali ini dia benar-benar bisa tidak tidur sampai pagi. Tidak ada tapi, tanpa bisa menawar lagi, dia harus menghadapi kenyataan ini. Dua belas jam ke depan dia harus berangkat ke kampus menyerahkan tugasnya. Malam itu Anna berakhir di meja dengan laptop menyala dan segelas besar kopi hitam. *** Sampai di rumah, Vla
VLAD memang tidak pernah memaksa bertemu lagi. Tapi pesan teks dan teleponnya setiap hari pasti ada. Dia hanya menanyakan hal remeh temeh yang jika sudah kujawab maka pesan atau telepon selesai. Menanyakan sudah makan atau belum adalah yang paling sering. Seakan jadwal makanku sudah masuk di agenda kerjanya. Sering dia mengirimkan makan siang ke sekolah. Atau hanya kudapan saja. Kadang hanya minuman atau jus yang sangat segar di tengah hari. Sampai aku merasa absennya yang seperti jadwal minum obat menjadi rutinitas harian yang jika dia terlambat bisa membuatku menunggu. Sudah sebulan begitu saja kelakuannya. Hanya sesekali dia menelepon cukup lama. Biasanya jika dia merasa jenuh atau lelah. Seperti saat ini. Saat ini ponsel kami tersambung dengan video call. Dia minta ditemani menyelesaikan pekerjaannya yang besok sudah harus selesai. Memang belum terlalu malam, belum jam sembilan. Tapi dia masih berkutat dengan berkas di kantor. Ada yang sedang aku
MASIH jam sepuluh ketika Anna pergi ke kampus. Dia memilih naik kendaraan umum lalu tidur sepanjang jalan. Waktu sisa sebelum bertemu dosen dia gunakan untuk makan siang dan shalat. Setelah segar dengan perut terisi, dia merasa siap bertemu dosen. Setelah hampir dua jam berdiskusi dengan dosen baru dia bisa keluar ruangan. Dengan kepala terisi segala jenis revisi, dia kembali merasa lelah dan butuh sedikit kudapan. Bosan dengan menu di kantin, dia melihat ke seberang jalan. Ada café kecil dengan kursi yang nyaman di sana. Anna memutuskan menyeberang. Sampai di sana dia langsung memilih sofa ternyaman untuk dia duduki. Dia sampai melenguh nyaman untuk sofa empuk yang benar-benar bisa membuat tubuhnya relaks. Setelah memesan milk shake dan french fries, dia membuka-buka catatannya. Punggung dan kepalanya bersandar utuh di sandaran sampai kakinya pun terjulur ke bawah meja. Wadah french fries dia letakkan di sofa di sampingnya. Membuat tangann
SEPERTI biasa di tengah semester aku sibuk dengan urusan rapot bayangan. Tapi sesibuk-sibuknya aku, aku masih bisa membalas pesan atau menerima telepon Bhaga. Tapi hanya seminggu Bhaga rutin berkirim kabar setiap hari. Setelahnya, frekuensinya menjadi berselang seling lalu kembali ke jadwal semula—terserah dia kapan. Awalnya aku berusaha kembali mengambil inisiatif. Namun akhirnya aku jengah sendiri. Bosan selalu memulai seakan hanya aku yang butuh atau terasa aku begitu membutuhkan dirinya. Akhirnya aku membiarkan saja Bhaga dengan maunya. Terserah. *** Bhagavad Antares : Na. Itu pesan yang terbaca. Aku sedang piket jadi aku bisa memegang ponsel. Meski terkejut dan merasa mendapat kejutan, segera saja kubalas. Savannah Gayatri : Ya, Ga. Savannah Gayatri : Lagi di mana? Savannah Gayatri : Hari kerja tumben bisa internetan.