Share

Benci yang Ber-akar

Nana sudah sampai di panti beberapa menit yang lalu, Danang yang mengantar. Semua penghuni panti kaget saat Nana datang dengan rok yang kotor. Ada banyak pertanyaan di kepala mereka termasuk bunda.

            Menunggu anak-anak kembali bermain setelah keterkejutannya, bunda baru menghampiri Nana yang sedang mengeluarkan jahitan.

            “Na.” Bunda duduk di samping Nana. “Nggak sekali dua kali kamu pulang dengan kondisi kayak gini. Dulu tongkat kamu patah, lengan kamu tergores, sekarang rok kamu kotor. Bunda tau itu bukan ulah kamu sendiri.”

            Cepat atau lambar Nana tau bunda akan menanyakan ini. Dia sudah mempersiapkan jawaban, semoga saja bunda percaya.

            “Bunda nggak usah khawatir ya, emang Nana aja yang ceroboh.”

            “Tapi kamu orang yang sangat berhati-hati Na. Bunda sendiri tau kamu sedari kamu kecil. Semenjak kamu kuliah, semuanya berbeda.”

            “Bun ….”

            “Ada yang ngusilin kamu di kampus?”

            Nana cepat menggeleng. “Nggak ada kok Bun.”

            “Oke kalau kamu belum mau bilang ke Bunda.”

            “Bunda, Nana nggak maksud bohong.” Baju yang ada di tangan, Nana letakkan. Dia menyamping untuk menghadap bunda.

            “Selama masih ada Danang di samping kamu, Bunda yakin kamu baik-baik aja.”

            “Tuh Bunda ujung-ujungnya gitu pasti.”

            “Danang itu baik lho Na.”

            “Dia baiknya ke semua orang Bun.”

            “Iya memang, tapi kalau sama kamu baiknya tambah dikit.”

            Pipi Nana bersemu merah, ia malu.

            “Bunda izinin kok kalau kamu sama Danang. Udah baik, ganteng, tulus lagi.”

            “Danang itu temen aku Bunda.”

            “Sekarang temen, tapi satu tahun lagi atau dua tahun lagi kita nggak tau kan?”

            Nana menggeleng tak percaya, selalu saja bunda menjodohkannya dengan Danang. Padahal Nana sendiri tau, Danang memang baik ke semua orang. Awalnya Nana kira Danang kasihan, tapi Danang memang tulus.

            “Bunda masak dulu ya buat makan malam. Kamu di sini aja nata baju.”

            “Oke Bunda sayang.”

            Bunda dan panti ini adalah dunia Nana. Sebenarnya Nana juga punya dunia lain, di pikirannya sendiri. Bagi Nana, menyenangkan membangun dunia yang hanya ia sendiri yang tahu.

            Dulu dunia luar sangat baik kepada Nana, tetapi semenjak insiden itu, semua seolah ditarik paksa. Butuh waktu hingga Nana bisa sampai ke tahap yang sekarang. Proses yang tak mudah dan menguras air mata.

            “Kak.”

            “Iya Sandra?”

            “Maaf ya tadi Sandra nggak pulang. Sandra balik lagi pas di sana udah ada Kak Danang. Sandra juga lihat Kak Sandra diganggu sama cowok.”

            “Tolong jangan kasih tau Bunda ya. Kakak cuma sekali aja kok diganggu sama cowok itu.”

            “Oke Sandra nggak akan bilang. Tapi kalau Sandra tau dia ganggu Kakak lagi, Sandra bilang ke Bunda.”

            “Deal.”

            Untunglah, Nana hampir khawatir kalau Sandra tak mau diajak kompromi. Sekarang tugas Nana menjauhi Sendanu sebisa mungkin kalau tidak mau terpegok lagi oleh orang panti.

            Nana juga tak ingin Danang dan Sendanu sampai bermusuhan karena dirinya sendiri. Kalau memang Sendanu ingin Nana tak betah di kampus, jangan sampai Danang juga terperangkap.

♥♥♥♥♥

Mahasiswa mana memang yang tidak tau seorang Sendanu? Anak donatur terbesar di kampus sekaligus anak dekan dengan wajah rupawan yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta sekali tatap. Namun, sikap Sendanu dengan tampangnya sangat berkebalikan.

Semua mahasiswa memang mengagumi dia, tapi tidak dengan kelakuannya. Akhlak Sendanu sudah bobrok, hal itu juga yang membuat mahasiswi di sini berpikir dua kali untuk mendekati Sendanu. Takut terjebak dan tak bisa lepas.

Selain itu, rumor bahwa Sendanu belum bisa move on dari sang mantan juga menjadi hantu bagi cewek-cewek di kampus. Rumornya, Sendanu dulu punya pacar dan entah kemana pacarnya itu. Yang jelas Sendanu belum bisa move on dari mantannya.

Saat dia berjalan dari parkiran menuju gedung A tempat Fakultas Seni, Sendanu menjadi pusat perhatian. Kali ini mereka memperhatikan luka lebam yang ada di pipi Sendanu.

“Lo pingin kayak gue juga?” Sendanu berhenti di depan salah satu mahasiswa dan mencengkeram kerahnya.

“Engga ... engga Nu. Maaf.” Mahasiswa itu ketakutan.

“Nggak ada maaf dalam hidup gue.” Hari ini Sendanu malas berkelahi, dia hanya mendorong mahasiswa tadi sampai terjatuh.

Semua orang menyingkir dan tak mau cari gara-gara. Mereka tak ingin pagi yang cerah ini dipenuhi dengan makian Sendanu.

Namun keberuntungan pagi ini mungkin tak berpihak pada Nana. Dia yang baru keluar dari lobi menabrak Sendanu. Padahal biasanya Nana selalu hati-hati.

“Mata lo buta hah!” Sendanu menarik dagu Nana. “Ah, gue lupa. Lo emang nggak bisa lihat.”

“Maaf Nu, aku gak sengaja.”

“Apa lo pernah denger gue menerima kata maaf?” Sendanu mendekatkan bibirnya ke telinga Nana. “Nggak pernah kan? Berlaku buat lo juga.”

“Tapi kan aku nggak sengaja,” bela Nana.

Mood gue rusak gara-gara lo. Sekarang ikut gue.” Tubuh Nana ditarik paksa untuk berdiri. Untunglah Nana masih sempat membawa tongkatnya.

Entah ke mana Sendanu membawa Nana, gadis itu tak bisa berpikir secepat Sendanu menariknya.

Sendanu berhenti saat Nana merasakan sekitarnya sudah sepi. Hidung Nana menjadi gatal. Itu karena tempat yang sekarang mereka kunjungi sangat penuh dengan debu.

“Kamu bawa aku ke mana Nu?”

“Diem! Gue belum nyuruh lo bicara.”

Nana menurut, ia juga tak ingin Sendanu bertambah marah.

“Dengerin gue Naziwa Tandika. Lo itu pembawa sial. Setiap ada lo, apa pun yang gue lakukan jadi berantakan. Jadi gue minta sama lo, jangan muncul lagi di depan gue atau lo akan rasakan akibatnya.”

Sungguh rasanya hati Nana sakit saat Sendanu mengucapkan kalimat itu. Ini pertama kalinya untuk Nana disebut pembawa sial.

“Tapi aku kuliah di sini juga Nu. Setiap hari kita pasti ketemu.”

“Ya lo pakai lah akal lo itu. Jangan sampai gue ngelihat lo. Tau kan caranya? Kalau nggak tau gue kasih tau sekarang.”

“Gimana Nu supaya aku nggak muncul lagi di depan kamu?”

Langkah Sendanu yang semakin mendekat membuat Nana mundur hingga terpojok dinding. “Keluar dari kampus ini.”

“Nggak bisa. Aku masuk sini dapat beasiswa dan itu susah Nu. Aku nggak bisa keluar dari kampus ini.”

“Kalau gitu jangan harap gue akan berhenti ganggu lo. Selama lo masih ada di sini, jangan harap hidup lo tenang.” Sendanu menendang tongkat Nana lalu pergi dari Gudang.

Sebenarnya Sendanu  tak ada niat untuk mengganggu Nana hari ini, tapi karena Nana sudah melakukan kesalahan, sekalian saja Sendanu membuat ancaman.

Tubuh Nana melemas, ia merosot ke lantai. Dia begitu sial hingga bertemu Sendanu dan membuat masalah lagi. Meski Nana tau ini akan jadi hal yang berat, ia tetap harus bertahan di kampus. Tak ada yang bisa membuatnya berhenti meski itu Sendanu.

Nana meraba sekitarnya dan menemukan tongkat miliknya. Ia tak bisa melihat seberapa berantakan penampilannya saat ini. Nana hanya mencoba percaya diri berjalan menuju kelasnya pagi ini.

Desas-desus mulai terdengar, tapi itu bukan menjadi masalah untuk Nana. Dia sudah terbiasa menerima perlakuan tidak adil dari lingkungan sekitar. Hanya beberapa orang yang benar-benar tulus yang mau berteman dengan dirinya, dan itu bisa dihitung dengan jari.

♥♥♥♥♥

“Na lo beneran nggak papa kan?”

“Iya Monic, aku baik-baik aja.”

“Tapi tadi masuk kelas rambut lo kotor tau.”

“Oh itu, aku bersih-bersih tadi sebelum ke kampus. Mungkin aja kotorannya ngikut.” Nana mencoba tersenyum agar Monic tidak curiga.

“Gue khawatir aja sih lo digangguin lagi sama Sendanu. Dia kan seneng kalau lo kenapa-kenapa. Kadang heran gue sama dia. Apa sih masalahnya sampai dia segitu bencinya sama lo?”

“Kalau aku tau juga udah minta maaf dari dulu Mon.”

“Atau jangan-jangan dia suka sama lo Na? Ah iya pasti itu tuh alasannya!” Sungguh suara Monic keras sekali, sekelas sampai menoleh kaget.

“Hust, mana ada kayak gitu.”

“Ya siapa tau gitu. Biasanya cowok kalau suka sama cewek sukanya jahil. Sendanu juga gitu ke lo.”

“Beda, Sendanu itu benci bukan jahil. Bencinya Sendanu sama aku tuh berakar. Susah dicabutnya.”

“Jangan pesimis dong. Gue cuma nebak kok.”

“Mustahil banget Mon, rasa benci Sendanu udah sebesar gunung. Kalau pun tebakan kamu bener, kemungkinannya satu banding seribu.”

“Kok gue yakin banget ya lo masuk satu dari seribu itu.”

“Monic!”

“Hehe peace.”

Nana memaklumi Monic, satu-satunya orang selain Danang yang baik di kampus.

“Eh Na, tadi gue dipesenin sama Danang kalau dia nunggu di depan kelas.”

“Kapan? Kenapa nggak nunggu di parkiran aja kayak biasa?”

Monic mengangkat bahu. “Gak tau sih, dia cuma bilang gitu.”

“Oke deh, makasih Mon.”

“Ke mana sih sebenernya kalian setiap hari Kamis gini? Gue lihat-lihat dari semester dua sampai semester empat ini lo selalu jalan sama Danang kalau Kamis.”

“Jangan mikir yang aneh-aneh ya Mon. Sebenernya aku sama Danang ke suatu tempat buat menggalang dana.”

“Buat apa? Bukannya panti udah ada donaturnya?”

“Bukan untuk panti, tapi untuk orang-orang penyandang disabilitas yang membutuhkan. Banyak banget di Jakarta orang kayak aku gini tapi mereka harus hidup di jalan. Kesusahan cari makan karena keterbatasan kami.”

Monic terkagum-kagum dengan niat tulus Nana. Dia merasa sangat beruntung berteman dengan Nana. Ibaratnya Nana itu bidadari yang tersesat di kampus ini.

“Sumpah gue bangga banget punya sahabat kayak lo Na. Mau dong sekali-kali gue ikutan.”

“Yakin mau ikut?”

“Yakin serratus persen. Caranya gimana?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status