Share

Tanpa Belas Kasih

“Kak Nana yakin mau ambil jahitan sendirian?”

“Iya, kamu ke panti aja ya. Bilang sama Bunda kalau Kakak langsung pulang abis ambil jahitan.”

“Hati-hati ya Kak,”

“Iya Sandra.”

Anak kecil yang merupakan salah satu penghuni Panti Cahaya Kasih itu langsung berlari menerobos hujan bermodalkan payung berwarna kuning.

Awan gelap beberapa menit lalu adalah pertanda datangnya hujan yang saat ini membuat Nana terjebak di sebuah toko kelontong.

Hanya satu payung yang Nana bawa bersama anak kecil bernama Sandra tadi. Nana tak mungkin membiarkan Sandra basah, jadi ia mengalah dan menunggu hujan reda lalu mengambil jahitan di tempat langganan.

Panti baru saja mendapat donasi dari orang berhati lapang di luar sana. Dan bunda berniat membuatkan baju baru untuk anak-anak di panti.

Sebenarnya jika disebut anak-anak rasanya usia Nana sudah melampaui itu. Namun ia masih mendapat jatah dari bunda.

Dingin membuat Nana mendekap tubuhnya lebih erat. Ia hanya memakai baju dan celana dengan kardigan tipis. Tentu masih membuat tubuhnya kedinginan.

Bibir mungil Nana sedikit bergetar. Jari kakinya yang terkena cipratan air hujan juga bergetar.

“Nana!”

Nana menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara.

“Maaf ya aku tadi panggil kamu di seberang. Aku di depan kamu sekarang.”

“Ah iya, gak apa kok. Kamu Danang kan?”

Danang terkejut. “Kamu bisa tau aku dari mana?”

“Dari suara kamu. Gak tau kenapa aku lebih peka sama suara daripada cahaya.” Nana tertawa kecil seolah menertawakan dirinya sendiri.

“Mau pinjem jaket nggak? Aku lihat kamu kedinginan.”

“Nggak kok, aku nggak kedinginan.” Nana melepaskan tagannya yang semula mendekap tubuhnya. “Pakai kamu aja.”

“Gak apa ya aku maksa dikit.” Danang memakaikan jaket yang sempat Nana tolak. Danang yakin Nana sudah sangat kedinginan. Bibirnya mulai pucat.

“Ya udah deh kalau kamu maksa. Makasih banyak ya. Eh, tapi kok bisa kamu ke sini?”

“Tadi kebetulan lewat sini. Habis dari kampus soalnya, ngurusin acara organisasi.”

Nana mengangguk mengerti. Tak ada percakapan setelahnya. Nana dan Danang diam karena tak tau pembicaraan apa yang bisa mereka mulai.

“Nang, boleh tau hujannya udah berhenti atau belum?”

“Masih gerimis kecil Na. Kenapa emangnya?”

“Itu mau ambil jahitan panti.”

“Di mana tempatnya? Mau aku antar Na?”

“Eh nggak usah. Aku cuma tanya hujannya udah berhenti atau belum, gitu aja. Aku bisa ambil sendiri.” Senyuman Nana membuat dunia Danang berhenti seketika.

“Tapi kalau kamu jalan nanti tetap basah kena gerimis.”

“Gak papa aku kebasahan. Makasih ya jaket kamu udah bantu aku.”

“Pakai aja dulu. Masih ada lagi di rumah.”

“Oke deh. Aku duluan ya Nang. Kamu hati-hati di jalan.” Dengan bantuan tongkatnya Nana berjalan menerjang gerimis.

“Hati-hati Na.”

Sesuatu yang Danang tau dari seorang Naziwa Tandika adalah sifat keras kepalanya. Kalau Nana punya kemauan, ia pasti akan berusaha menggapainya.

Nana tidak tau, di balik punggungnya ada seseorang yang tersenyum senang karena berhasil membuka orbolan.

Sepanjang jalan menuju tempat jahitan, tak jarang orang-orang memandang Nana dengan tatapan yang aneh.

Ada juga anak-anak yang sengaja mengolok-olok keadaan Nana dengan menirukan gayanya berjalan di samping gadis itu.

Suara-suara anak kecil yang saling bersahutan, dengan Nana sebagai bahan candaan tak membuatnya membenci mereka. Nana mengerti mereka masih anak-anak, belum mengerti sejauh itu kondisi Nana saat ini.

Rok yang Nana kenakan mendadak basah. Genangan air hujan di jalan aspal yang berlubang berhamburan mengenai rok Nana.

Pelakunya sekarang masih di atas sepeda motor dan berhenti di depan Nana. Sudah sangat sering Nana menghadapi yang seperti ini.

Seberapa keras dia berusaha membuat Nana menyerah, ia tak akan bisa. Kadang dia heran, Nana selalu tersenyum saat ia perlakukan semena-mena.

“Orang buta masih hidup aja.”

Nana melipat tongkatnya agar kejadian perebutan tongkat itu tidak terjadi lagi seperti beberapa waktu yang lalu. “Tuhan baik banget sama aku, makanya aku masih hidup dan bahagia.”

“Naif banget lo. Senyum lo itu palsu, gue tau.”

Bahkan kalau seribu kali orang bilang senyum yang Nana pasang di wajah manisnya itu hanya palsu, Nana tak akan berhenti tersenyum ke semua orang yang ia ajak bicara. Orang tidak tau apa saja yang telah Nana lewati sampai ia bisa setegar ini.

“Senyum itu ibadah, kamu bisa dapat pahala Sendanu.”

Sendanu agak kaget karena Nana tau kalau yang sedang berbicara dirinya. “Gue masih penasaran lo buta beneran atau cuma pura-pura.” Hal itu membuat Sendanu turun dari motor dan mengibaskan tangannya di depan wajah Nana.

Jari telunjuk Sendanu bahkan diarahkan ke bola mata Nana tetapi tak ada respon apa-apa dari mata yang menatap kosong milik Nana. Sudah jelas Nana memang tak bisa melihat.

“Kamu mau membuktikan lagi?”

Sendanu tertangkap basah, ia menurunkan tangannya. “Ya.” Dia merebut tongkat Nana dan melemparnya.

“Jangan dilempar Danu.”

“Gue belum puas, buktiin dulu kalau lo memang buta.”

Nana mengela napas, ia harus melakukan itu agar Sendanu cepat pergi dan ia bisa segera mengambil jahitan. Bunda pasti sudah menunggu Nana di panti.

Nana berjongkok dan mulai meraba-raba tanah di sekitarnya. Rok yang Nana kenakan sudah kotor karena tak ada pilihan lain lagi. Tangan Nana juga kotor. Namun tongkat itu belum juga Nana temukan.

“Danu, boleh nggak kasih tau aku di mana tongkatnya?”

“Walaupun gue kasih tau, lo nggak bakal ngerti kan?”

“Iya aku tau itu, kamu bisa arahin aku  aja kok.”

“Kalau gue nggak mau?”

“Ya udah, aku cari sendiri aja.”

“Bagus, akhirnya lo ngerti juga.”

Nana akhirnya berdiri dan melangkah hati-hati ke depan lalu berjongkok lagi. Tak ada tanda-tanda tongkat itu. Nana bangun lagi dan melakukan hal yang sama beberapa kali.

Bagi Sendanu menyenangkan bisa melihat Nana menderita. Tak ada belas kasihan sama sekali. Justru yang ada semakin Nana tertekan, semakin Sendanu senang.

“Lo bener-bener kelewatan.” Danang datang dan mengambil tongkat itu. Nana bersyukur ada yang membantu. “Ini Na tongkatnya.”

Sebenarnya sedari tadi Danang mengikuti Nana dan ia baru bertindak saat Sendanu sudah kelewatan.

Rahang Danang mengetat begitu juga kepalan tangannya. “Jadi cowok cuma bisa nyakitin cewek buat apa hidup?”

Amarah Sendanu muncul, ia maju mendekati Danang dan hendak memukul. Namun Nana tiba-tiba berdiri dan pukulan itu jatuh ke pipi Nana.

“Brengsek lo!” Danang membalas Sendanu dengan meninju wajahnya.

Rasanya pipi Nana berdenyut-denyut, sangat sakit. Nana tak sampai jatuh karena Danang menangkapnya. “Udah Nang, udah. Jangan diladenin.”

“Tapi lo dipukul sama dia Na. Dia udah kelewatan.”

“Salah si buta tiba-tiba berdiri.”

Danang mengarahkan Nana ke belakang tubuhnya lalu ia kembali melemparkan tinju, kali ini ke perut Sendanu.

“Hati lo ke mana hah! Masih sempet nyalahin Nana padahal lo yang jelas-jelas salah.”

Meski sudah mendapat dua pukulan, Sendanu tetap bisa berdiri tegak. Ia bahkan menatap Nana dengan pandangan meremehkan. “Dia bayar lo berapa?”

Cukup sudah, Nana tak ingin Danang dan Sendanu bertengkar lagi karena dirinya. “Danang nggak bayar aku. Lebih baik kalian pergi sebelum aku teriak ke warga kalau ada keributan di sini.”

Danang hendak maju lagi tapi Nana menahan lengannya. “Udah Nang. Kamu juga pulang.”

Semenjak Danang memutuskan untuk membantu Nana, sejak itu pula kebencian Sendanu juga bertambah. Bagi Sendanu, siapa pun yang membantu Nana akan menjadi musuhnya juga.

Sendanu pergi dengan motornya, meninggalkan Nana dengan Danang. Sungguh Danang sangat khawatir dengan pipi Nana yang memerah. Dia menyentuhnya, ringisan Nana keluar. “Pasti sakit banget.”

“Nggak kok, udah kebal.” Nana tertawa kecil.

“Aku obatin ya, tapi nyari toko bentar. Beli es batu dulu buat ngompres luka kamu.”

“Jangan, nanti Bunda kelamaan nunggu. Aku mau ambil jahitan aja Nang.”

“Rok kamu kotor banget Na, tangan kamu juga.”

“Duh iya ya. Tapi aku takut Bunda khawatir.”

“Nanti aku yang bilang ke Bunda. Sekarang kita kompres luka kamu dulu ya.”

“Iya, makasih ya Nang.”

“Sama-sama Na.”

Danang membantu Nana naik ke motornya. “Hati-hati, pegang jaket aku aja kalau kamu nggak nyaman.”

“Iya Nang.”

♥♥♥♥♥

“Kenapa kamu baik banget sama aku Nang?”

Danang tertegun dan menghentikan tangannya yang memegang es batu di pipi Nana. “Berbuat baik nggak perlu alasan Na.”

“Kamu bener Nang.”

Danang menatap mata Nana, andai gadis itu bisa melihat ekspresi Danang, mungkin Nana tau kalau Danang sedang berbohong.

“Kamu belum tau kenapa Sendanu kayak gitu ke kamu Na?”

“Belum,  aku nggak mau tanya ke dia. Nggak akan ngaku.”

“Aneh kalau alasan dia cuma iseng.”

“Mungkin Danu emang nggak suka sama aku aja Nang. Orang kayak aku gini banyak yang benci.”

“Siapa bilang?”

“Aku sendiri, barusan.”

Danang telah selesai mengompres memar di pipi Nana. Ia menatap Nana sendu. Meskipun Nana mencoba kuat, matanya tak bisa berbohong. “Yuk pulang, aku antar. Bajunya biar aku taruh di depan aja.”

“Emang bisa?”

“Apa sih yang Danang nggak bisa Na?”

“Nggak bisa naklukin hati cewek makanya masih jomlo sampai sekarang.”

Nana dan Danang tergelak. Dalam hatinya Danang tersenyum kecut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status