LOGINEleanor sudah menjadi sedikit lebih baik hari ini.
Entahlah, kata-kata dan pelukan Adrian kemarin seolah memberikan semangat baru baginya. Setidaknya dia masih punya seseorang yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah. Eleanor berjalan dengan senyum hangat seperti biasa. Menyapa para pelayan yang wajahnya masih tampak asing, dan berjalan menuju taman bunga yang selama beberapa hari ini hanya bisa dia lihat dari atas balkon. Saat kakinya melangkah memasuki kawasan taman bunga yang luas itu, matanya terpana. Bunga-bunga di sini tumbuh subur. Meski mulai masuk musim gugur, bunga-bunga di taman ini sedang cantik-cantiknya.Tak hanya itu, warna dedaunan dari beberapa pohon yang mulai berubah kuning kemerahan membuat pemandangan di sana tampak begitu indah.Eleanor menyentuh mawar merah yang baru mekar. Wanita itu mendekat, menghirup aroma harum yang menenangkan hingga membuat bibirnya tersen“Kenapa dia melakukan semua ini padaku, Adrian? Apa salahku?” Eleanor terus saja bicara dengan suara bergetar. Tatapan mata berwarna biru itu menyiratkan kepedihan yang mendalam. Adrian melepas pelukannya, kemudian menangkup wajah Eleanor dengan kedua tangannya. “Kau tidak melakukan kesalahan apa pun?” bisik Adrian. Pria itu menyatukan kening mereka—saling menempel seolah mencoba menyalurkan kekuatan yang dia miliki agar Eleanor merasa tak sendirian lagi. “Aku ingin pergi dari tempat ini, Adrian.” “Kau tak akan ke mana pun.” “Aku tak punya siapa pun lagi di sini.” Eleanor menunduk, merasa tak percaya diri. “Aku sendiri di sini. Di sini bukan tempatku karena aku tak pernah diterima selama ini.” Adrian menggeleng pelan. Masih dengan posisi yang sama. “Tempatmu di sini, Lea. Ada aku di sini. Rumahmu di sini.” Eleanor menjauhkan wajahnya, dan menurunkan tangan Adrian yang menempel di pipinya. Mata biru itu menatap Adrian dengan berkaca-kaca. “Kau menerimaku karena m
Satu jam sebelumnya. Adrian berusaha mengejar Eleanor, tetapi sungguh wanita itu kali ini berlari begitu cepat seolah tak ingin ditemui siapa pun. Setelah mendengar semua perkataan Olivia, Adrian bisa mengira bagaimana perasaan Eleanor sekarang. Adrian berteriak begitu dia memasuki rumah. Pria itu memanggil Lucas dengan suara yang menggelegar. “Panggil teknisi cepat!” teriak Adrian begitu dia melihat Lucas yang berlari menghampirinya. “Anda ingin melakukan apa, Tuan?” “Jangan banyak bicara lagi, Lucas. Segera lakukan perintahku!” Setelah sepuluh menit menunggu, Lucas kembali dengan teknisi yang Adrian minta. Setelah itu, Adrian segera mengajak Lucas, dan beberapa orang lagi termasuk Mary untuk naik ke atas kamarnya. Pikiran Adrian tak tenang ketika lift yang membawanya naik terasa begitu lamban. Waktu terasa berjalan sangat pelan, ketika pada akhirnya lift terbuka dan Adrian langsung berlari menghampiri kamar Eleanor. “Cepat buka pintunya dengan paksa!” peri
Eleanor langsung pergi begitu saja, tanpa memedulikan lagi apa yang Olivia katakan. Dia tak mau mendengar semua yang wanita bicarakan. Semua perkataan Olivia benar-benar membuat perutnya mual, ketika membayangkan semua perlakuan Nathan padanya. Bahkan, Eleanor mengabaikan seruan Adrian yang terus memanggilnya di belakang. Wanita bertubuh kecil itu terus berlari sekuat tenaga. Dia tak mau menemui siapa pun. Dia tak mau orang-orang melihat sehancur apa dirinya sekarang. Eleanor masuk ke dalam kamar dan langsung mengunci pintunya. Wanita itu masuk ke dalam ruang wardrobe, membuka semua lemari tempat di mana pakaian, tas, sepatu yang dibawa Mary dari rumah Nathan—barang-barang yang diberikan Nathan. Eleanor berteriak, membuang semua pakaian itu, menumpahkan semuanya ke atas lantai. Sepatu, tas semuanya dia keluarkan, dengan dada bergem
Eleanor meremas pakaiannya dengan tangan berkeringat. Di ruangan yang entah mengapa terasa begitu sempit baginya, dia benar-benar merasa sendirian. Tak ada keluarga yang bisa membelanya. Tak ada seseorang pun yang bisa membantunya ketika dia dipojokkan. “Kedatangan saya kemari hanya untuk menyampaikan surat yang ditulis Tuan Nathan. Jauh sebelum kecelakaan ini terjadi, Tuan Nathan sudah pernah menemui saya dan meminta saya mengamankan aset-aset yang dia miliki.” Nyonya Carter dan Tuan Carter tampak menganggukkan kepalanya berkali-kali. Begitu juga dengan Olivia yang entah mengapa juga ikut duduk bersama mereka. Seharusnya Olivia tak ada di sana. Seharusnya hanya Eleanor yang berhak ada di sini. Hanya Eleanor istri yang Nathan miliki, dan Olivia hanyalah orang asing jika tak ada Noah di antara mereka. “Ini surat yang ditulis oleh Tuan Nathan sendiri.” Pria muda dengan pakaian rapi itu menyerahkan map berwarna cokelat kepada Tuan Carter. “Di sana tertulis jika seluruh aset
Eleanor mengabaikan tatapan mata Adrian yang terasa berbeda. Mata berwarna cokelat itu menatapnya begitu dalam, sampai Eleanor merasa itu bukan tatapan yang biasa. “Aku akan pergi lebih dulu.” Eleanor segera bangkit. Wanita itu mengambil handuk untuk menutupi pakaiannya yang basah. “Kita pergi bersama-sama,” ucap Adrian. Pria itu segera keluar dari dalam air, dan mengambil handuk kecil untuk mengusap rambutnya yang basah. “Aku merasa tidak enak kalau ada yang melihat kita masuk ke rumah bersama, apalagi dalam keadaan basah seperti ini.” “Abaikan saja!” Eleanor ingin membantah lagi, tetapi lagi-lagi Adrian menggenggam tangannya dan langsung membawa wanita itu berjalan meninggalkan sungai. Eleanor sama sekali tak berani melepaskan genggaman tangan Adrian. Meski harus terseok-seok karena mengikuti langkah Adrian yang lebar, Eleanor sama sekali tak mengeluh. Tatapan mata wanita itu masih terpaku pada tangan kecilnya yang berada dalam genggaman tangan Adrian. Lagi-lagi
Setelah itu mereka berenang bersama. Sesaat sebelumnya, Adrian menghubungi Mary, meminta wanita paruh baya itu mengantarkan pakaian renang milik Eleanor, dan mengambil celana pendek untuk dirinya. Sekarang Eleanor benar-benar melakukan apa yang Adrian katakan. Dia juga sangat berterima kasih karena Adrian meminta Mary untuk membawakannya bikini, sehingga tak kesusahan lagi berenang. Sungai buatan itu tak terlalu besar, tetapi juga tak terlalu kecil. Cukup luas, dan memang cocok untuk olahraga renang seperti yang dilakukan Adrian dengan Eleanor sekarang. Seperti perkataan Adrian sebelumnya, di sini hanya ada mereka berdua. Lucas dan beberapa penjaga lain berjaga di depan pintu masuk taman, yang jaraknya begitu jauh. “Bagaimana rasanya?” tanya Adrian setelah mereka menepi. Pria itu membantu Eleanor untuk naik dan duduk di dekat pohon, yang ada di seberang sungai, sementara Adrian masih berada di dalam air. Pria itu masih berdiri tepat di hadapan Eleanor yang tampak teren







