Share

Tentang Suami?

"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!"

Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur.

Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?

"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!"

"Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan.

Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali.

"Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"

Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja.

"Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan.

Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku rasakan kali ini. Kami diam sejenak beberapa menit, Reyza sudah berpengalaman sekali kalau aku sedang marah, aku butuh diam.

"Kamu kenapa diam?" tanyaku pelan, kondisiku sudah mulai membaik, tidak terlalu buruk seperti tadi.

"Nungguin kamu selesai ngatur emosi. Udah? Nih, minum dulu." Reyza menyodorkan gelas ke aku.

"Makasih banyak, Rey."

Dia tidak berubah. Dia sama seperti kami pacaran dulu. Kami memang dua tahun pacaran. Sudah banyak sekali kisah yang kita lewati berdua. Sampai akhirnya terpisahkan.

Ah, itu memang menyebalkan, tetapi aku juga tidak menyesalinya sekarang. Semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Aku menghela napas pelan, kembali menatap Reyza yang juga menatapku serius.

"Aku boleh tau cerita tentang keluargamu, Din? Tenang, semuanya aman di tangan aku. Anggap aku sebagai sahabat kamu, aku gak bakalan kasih tau siapa pun. Aku masih sama kayak dulu, Din, aku tetap pendengar yang baik untuk kamu."

Sungguh, aku terdiam mendengar perkataan Reyza. Dia pria yang sangat baik. Kenapa dia bahkan belum menikah?

"Percaya sama aku. Siapa tau beban kamu berkurang dengan bercerita sama aku."

Baiklah. Aku akhirnya menganggukkan kepala. Aku mulai bercerita, dari awal pernikahanku dengan Mas Guntur, sampai dengan hari ini. Semuanya, bahkan aku yang juga menutupi identitasku. Aku memberitahukannya pada Reyza.

Setelah hampir setengah jam bercerita, aku menghela napas lega. Aku menatap Reyza yang tersenyum sambil menganggukkan kepala, dia tidak memotong ceritaku sedikit pun tadi.

Reyza menjadi pendengar yang baik. Bebanku setidaknya sedikit berkurang sekarang. Aku menghela napas lega, Memang benar, obat terbaik adalah bercerita.

"Makasih banget, Rey. Makasih udah jadi tempat cerita. Seenggaknya aku udah sedikit lega sekarang."

"Aku seneng bisa bantu ngurangin beban kamu, Din. Maaf banget kita baru ketemu sekarang, padahal kamu harusnya udah butuh aku dari dulu. Harusnya aku dari dulu datang, Din."

Aku menggelengkan kepala. Aku tidak akan bisa berjalan sendirian kalau Reyza kembali datang ke duniaku.

"Sekarang aku boleh tanya sesuatu sama kamu?" tanyaku pelan.

Reyza menganggukkan kepala. "Tentu aja boleh, masa aku gak ngebolehin kamu nanya."

Mendengar itu, aku tersenyum. Ini pertanyaan yang sejak tadi bersarang di kepalaku, terngiang-ngiang bahkan ketika bercerita. Aku menatap Reyza serius, aku membutuhkan jawaban darinya.

"Kenapa kamu belum menikah, Rey? Gara-gara Mama kamu gak ngasih setuju sama perempuan yang kamu bawa ke rumah? Atau apa?"

Reyza menggelengkan kepala. Dia tersenyum tipis, menghela napas pelan. Ada beban yang berat di sana. Apa yang terjadi sebenarnya, sungguh aku penasaran sekali.

"Bukan, Din. Bukan karena Mama."

"Lalu?" tanyaku lagi.

"Nanti kamu bakalan tau sendiri."

Ah, baiklah. Aku tidak mungkin memaksakan Reyza untuk menjawab pertanyaanku barusan.

"Makasih udah mau cerita. Aku gak nyangka kamu masih mau percaya sama aku."

Mendengar itu, aku tersenyum. Aku menghela napas pelan, lega sekali rasanya. Ah, aku teringat satu hal.

"Bagaimana kabar Mama kamu?" tanyaku membuat Reyza terdiam sejenak.

Beberapa detik, Reyza tersenyum. "Mama baik-baik aja, cuma sekarang lumpuh. Kena struk, untung saja Mama masih bisa bicara dan respon walaupun dikit-dikit."

"Udah lama?"

"Iya, dua tahun yang lalu."

"Kenapa kamu gak menikah aja? Harusnya kamu udah bisa ngasih Mama kamu cucu biar senang."

Dia menggelengkan kepala. Aku tidak bisa memaksanya untuk memberikan alasan. Ah, sudah cukup malam. Aku harus pulang sejenak untuk mengganti pakaian.

"Aku pulang dulu mungkin ya. Besok kalau ada kesempatan kita cerita-cerita lagi."

Tampak wajah sedih Reyza. Yah, mau bagaimana lagi? Aku juga hanya menganggapnya sebagai teman cerita tadi, tidak lebih.

"Boleh aku minta nomor dan alamat rumah kamu?" tanyanya dengan tatapan memohon, membuatku mengernyitkan dahi.

Untuk apa nomor dan alamat rumahku? Aku menatapnya heran.

"Buat apa?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya barusan.

"Untuk kabar-kabaran aja. Kamu ilang banget, gak bisa ditelusuri sama sekali. Aku berusaha cari kamu terus menerus."

Eh? Dia mencariku? Kenapa Reyza mencariku?

"Boleh gak?" tanyanya kembali membuatku sedikit terkejut. Aku akhirnya menganggukkan kepala, membuat Reyza tersenyum, memberikan ponselnya padaku.

Aku mengetik nomor ponsel dan juga memberikan alamat rumah. Alamat rumah yang aku berikan adalah alamat rumah Mama dan Papa agar dia tidak datang ke rumahku yang ada Mas Gunturnya.

"Makasih banyak ya, Din. Semoga kita bisa ngobrol lagi kayak gini."

"Iya. Aku pulang dulu ya."

Cukup lega hari ini. Aku berharap segera agar semuanya selesai, agar hidupku dan juga Putra tidak terganggu lagi dan pastinya aku bisa memberikan pelajaran kepada Mas Guntur.

"Kamu lihat saja, Mas! Aku akan memberikanmu pelajaran! Lebih sakit dari pada yang aku rasakan!"

***

"Kamu ini dari mana aja? Di rumah gak ada makanan apa-apa, gimana sih jadi istri, hah?! Gak becus!"

Aku meletakkan tas ke atas meja, tidak peduli dengan Mas Guntur yang mengoceh marah-marah tidak jelas.

"Istri apa kamu ini? Berani banget ngelawan suami? Salah pilih istri kamu ini, Guntur."

Wow. Ternyata ada mamanya Mas Guntur di sini. Aku menggelengkan kepala, sudah panas sekali hari ini. Lihatlah, masih ada saja yang membela Mas Guntur yang seperti ini.

Ah ya jelas dibela. Anaknya sendiri, yang memberikannya uang besar bahkan lebih besar daripada dia memberikan nafkah pada istri. Suami yang sangat bagus. Gak kaget lagi sih.

"Harusnya kamu itu pilih istri yang bener dikit. Lihat istri kamu ini, dekil banget, gak mau masakin, bahkan lihat, dapur aja kosong banget gitu gak ada bahan makanan sama sekali."

Hebat sekali keluarga ini. Hampir saja aku tepuk tangan melihatnya. Aku tersenyum tipis, indah sekali tinggal bersama dengan mereka.

"Lain kali kayaknya aku harus mencuri di pasar. Biar uang sepuluh ribu setiap hari itu bisa cukup untuk beli bahan makanan yang banyak di rumah ini. Terus juga siapa sih yang betah sama sepuluh ribu sehari, itu nafkah loh! Wow." Aku tertawa pelan.

Mas Guntur langsung terdiam, tetapi Mamanya yang terlihat marah sekali. Aku sih biasa saja menanggapinya.

"Istri gak bener ini! Kamu ini gimana sih milih istri? Mama kan udah pernah bilang, jangan nikahi dia. Kan jadi pembangkang gini."

"Ya hitung aja, masih untung bisa makan. Kalau enggak? Makan tuh batu di luar rumah. Mana semua kebutuhan pakai uang sepuluh ribu itu. Memangnya dikira ngasih satu juta per hari."

Aku langsung melangkah ke kamar setelah mengatakan hal itu. Biarkan saja mereka sakit hati mendengarnya.

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku mengambil beberapa potong pakaian milik Putra untuk mengganti pakaian tidur anakku itu. Kasihan kalau pakaiannya tidak diganti.

"Mau kemana lagi kamu itu? Keluyuran terus. Bukannya nemenin suami di rumah. Harusnya kamu itu jadi istri yang baik setelah durhaka, bukannya malah bangkang terus!"

Apa lagi sih? Apakah dia tidak sadar kalau anaknya sedang masuk rumah sakit? Udah gila kali ya ini orang.

Ponsel Mas Guntur berdering. Aku meliriknya, kemudian kembali fokus memasukkan pakaian milik Putra ke dalam tas. Suamiku itu melangkah keluar kamar.

Hmm, siapa yang meneleponnya barusan? Tumben sekali, biasanya dia jarang menjauh dariku ketika mengangkat telepon.

Buru-buru aku mengikuti Mas Guntur, kemudian bersembunyi di balik pintu. Mas Guntur sekarang ada di taman belakang. Nanti sajalah menyusun pakaian lagi. Ada yang harus diurus.

"Iya, Sayang. Nanti kita ketemu, nunggu si dekil itu pergi dulu, dia mau jaga anak yang gak ada gunanya itu di rumah sakit."

Wow. Sayang? Aku tersenyum tipis. Kejutan apa lagi yang aku terima ini?

"Nanti kita belanja yang banyak ya, uang aku masih banyak kok, kamu tenang aja. Kita pesta, Sayang."

Kamu kira kamu akan bertahan dengan semua ini, Mas? Kita lihat saja nanti. Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang!

***

"Ini tehnya." Aku meletakkan teh ke atas meja.

"Akhirnya, tapi ini manis kan? Bukan anyep kayak biasanya? Aku gak suka teh anyep."

Pikir sendiri sih, harusnya dia berpikir kalau tidak ada uang untuk membeli gula, tetapi aku sedang baik hari ini. Aku menganggukkan kepala, tadi aku memang sengaja membeli gula untuk minuman itu.

"Wah, enak nih."

Kebetulan juga aku membuat dua. Aku menganggukkan kepala ke Mama Mas Guntur yang langsung mengambil minuman tanpa permisi. Baiklah, terserah saja. Memang mereka tidak ada adabnya.

"Aku beres-beres sebentar, abis itu mungkin langsung pergi ke rumah sakit."

"Iya. Anak itu nyusahin banget. Udah buang-buang uang, malah pake acara masuk rumah sakit segala lagi. Bisa habis semua uangnya."

Bodo amat.

Memangnya dia pikir, dia yang membayar uang rumah sakitnya sampai bisa bilang begitu, hah?! Dasar tidak tau diri. Aku tidak menanggapi perkataannya sama sekali, langsung melangkah ke kamar.

Beberapa menit, Mas Guntur dan Mamanya akhirnya bolak balik kamar mandi, aku tertawa pelan. Aku hendak ke rumah sakit sekarang.

"Kamu gak mau ngurusin suami kamu dulu hah?! Ini lagi sakit perut."

"Memangnya aku peduli?" gumamku sambil tertawa pelan.

Sepanjang perjalanan, aku mentertawakan Mas Guntur dan Mamanya yang tidak berhenti bolak balik ke kamar mandi lewat CCTV. Lucu sekali mereka ini.

Memangnya mereka kira, aku ini sebodoh itu? Kalian rasakan saja apa yang kalian bilang hari ini. Aku menghela napas pelan, kembali fokus pada kemudi.

Sampai di rumah sakit yang sudah lumayan sepi, aku teringat kembali pada Reyza. Kenapa ya dia belum mau menikah sampai sekarang? Padahal dia tidak punya celah sama sekali. Dia hampir mendekati sempurna untuk pria. Berbeda jauh dari Mas Guntur.

"Bengong aja, Dek."

"Eh?!" Aku langsung menoleh kaget ke samping.

Bang Fino langsung nyengir melihatku kaget. Menyebalkan sekali. Aku menatapnya kesal, kenapa dia muncul tiba-tiba banget sih? Kan jadi kaget.

"Kamu lama banget sih pulang ganti baju doang, sampai hampir tengah malam lho." Bang Fino langsung mengikutiku dari belakang.

"Ada urusan sebentar tadi, Bang. Juga di rumah ada Mamanya Mas Guntur, jadinya aku ada beres-beres dan melakukan sedikit aksi." Aku tersenyum tipis menjawab pertanyaan Bang Fino barusan.

Abangku itu menggelengkan kepala. "Memangnya urusan apaan?"

Aku tidak akan memberitahukannya pada Bang Fino, aku menggelengkan kepala. Itu rahasia.

"Eh, Din. Udah balik lagi?"

Mendengar ada yang menyapa, aku langsung menoleh. Aku menatap Reyza sejenak, kemudian tersenyum tipis. Aduh, gak enak ada Bang Fino.

"Iya. Kamu belum pulang?" tanyaku sambil menatapnya.

Ya sudahlah, sudah ketauan juga. Lagian kenapa Bang Fino malah keluyuran di lorong rumah sakit sih? Kan aku jadi ketauan kalau kenal sama salah satu dokternya.

"Ada urusan bentar tadi, tapi ini baru mau pulang. Aku juga tadi ngecek kondisi anak kamu. Mungkin obat biusnya baru lepas besok. Kalau udah siuman kabarin aja ke perawat ya, biar diperiksa lagi kondisinya, takut kurang stabil. Ah iya, atau kamu bisa telepon aku. Aman kok."

"Ngerepotin dong kalau nelepon kamu sementara kamunya udah di rumah."

Dia tertawa pelan mendengar perkataanku.

"Ini siapa? Kita belum kenalan." Akhirnya pandangan Reyza ke Bang Fino. Sebenarnya pas Reyza sudah bisa menebak siapa Bang Fino, tapi dia tetap bertanya agar sopan.

"Fino, sepupunya Dina, tapi udah kayak Abang kandungnya sendiri."

Reyza tersenyum, menjabat tangan Bang Fino. "Saya Reyza, salah satu dokter disini, yang menangani Putra juga."

Bang Fino menganggukkan kepala. Wajahnya justru bertambah penasaran. Aduh, bagaimana kalau dia malah bertanya yang aneh-aneh nantinya? Ini benar-benar menyebalkan.

"Yaudah, aku pamit pulang dulu ya, Din, Bang Fino. Masih ada urusan lain juga. Lain kali mungkin bisa ngobrol panjang lagi."

Kami menganggukkan kepala. Reyza melanjutkan langkah, aku menghela napas pelan, ikut melanjutkan langkah ke ruangan Putra.

"Siapa pria tadi, Din? Abang yakin banget, dia pasti bukan sekadar dokter di rumah sakit ini."

"Ya ampun, apa sih, Bang? Dia itu cuma dokter."

"Enggak, kamu pasti bohong."

Saat aku hendak menjawab lagi, ponselku berdering. Haduh, siapa sih yang meneleponku jam segini?

Dari Nada ternyata. Ah iya, aku lupa ada janji untuk bertemu dengan dia hari ini, tetapi kenapa dia baru menghubungiku sekarang?

"Halo, Nad? Aku minta maaf banget gak bisa ketemu kamu hari ini tadi, ada yang buat aku gak bisa ketemu kamu."

"Aman, Din, tapi kita harus segera ketemu, aku mau bahas suatu hal yang penting banget untuk kamu."

"Tentang apa?" tanyaku pelan.

"Tentang suami kamu."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status