"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Ini uang sepuluh ribu buat belanja hari ini. Pokoknya harus cukup, jangan minta ke aku lagi. Oh iya, aku request makanan yang ada dagingnya kayak ayam, bukan tahu tempe terus yang kamu kasih ke aku."Aku diam saja mendengar perkataan Mas Guntur yang meletakkan uang di atas meja dengan kesal. Dia sepertinya sudah kesal tiap hari aku beri makan tahu tempe. "Kamu dengar gak, Dina?!" Dia kembali membentakku, bukanlah hal yang aneh lagi, aku sudah bosan mendengarnya. "Enggak." Aku menjawab pendek. Bodo amat dengan semua ini, aku sudah muak. "Istri kurang ajar kamu ya! Bukannya nurut sama suami, malah bantah terus. Jangan-jangan cita-cita kamu ini jadi istri durhaka, hah?!"Bodo amat. Aku mengangkat bahu, kembali menyelesaikan mencuci piring. Anggap saja angin lalu. Dia pikir, dia bisa menghidupi semua ini dengan uang segitu, hah?! Lucu. "Ma, Pa! Aku harus bayar uang sekolah, kalau enggak, gak bisa ikut ujian nanti. Kenapa yang sekolahku belum dibayar? Temen-temen yang lain udah semua.
"Suami Mbak yang pelit itu masih ngasih uang sepuluh ribu setiap hari?""Iya. Ngapain Mbak ngasih makan tahu tempe kalau uang belanja yang dia kasih lebih dari itu?"Adikku itu langsung nyengir. Aku menatap keluar jendela mobil. Beberapa detik terdiam, ponselku berdering, aku langsung mengambilnya di dalam saku celana, ah teman lama. "Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil berusaha mengintip siapa yang menelepon. "Teman lama." Aku menjawab singkat sambil menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga. "Halo, Nada." Aku lebih dulu menyapa orang yang meneleponku ini, membuatnya terkekeh pelan. "Halo, Dina. Sahabatku yang sangat sabar ini, sepertinya kamu sedang di perjalanan ya? Bagaimana kehidupanmu sebagai istri dari Guntur yang terhormat?" Nada langsung tertawa mendengar perkataannya sendiri. "Jangan basa-basi. Apa mau kamu?" tanyaku cepat. "Santai, Din. Aku di sini sebagai sahabat yang baik buat kamu. Jangan kayak musuh gitu dong, kamu bilang ketus-ketus."Ak
"Gue penasaran banget sama istri Lo yang katanya pemalas itu. Nanti bolehlah main ke rumah lo.""Boleh. Lo liat sendiri aja gimana kelakuan istri gue."Aku menganggukkan kepala, kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi. Ini benar-benar menarik. Aku mendapatkan bahan lagi untuk melakukan apa yang harus aku lakukan untuk membalaskan semuanya. "Mbak lama banget." "Abis denger suara Mas Guntur tadi." Aku membalas perkataan Rumi yang langsung melebarkan matanya mendengar perkataanku barusan. "Hah?! Terus gimana, Mbak? Mbak ketahuan?"Mendengar itu, aku langsung tertawa. Jangankan ketauan, pasti Mas Guntur tidak akan mengenali siapa aku sebenarnya. Aku memang tidak pernah memakai make up di rumah. Itu sudah biasa. "Sebentar lagi kita masuk ke acara inti. Kamu mau ikut Mbak naik ke atas panggung?""Gak usah, Mbak." Rumi langsung menggelengkan kepalanya. Ah, baiklah. Rumi memang tidak mau, apa lagi kalau ketauan, itu semua akan merusak rencanaku, tapi tenang saja, aku akan mai