Morgan diam mengamati sosok yang tak lain adalah Anggy. Samar-samar dia mendengar suara tangis wanita itu di pinggir kolam.
Morgan bangkit dari tempatnya duduk. Menghisap sisa rokok dalam-dalam dan membuangnya. Wanita itu sama sekali tidak menyadari adanya tatapan mata buas yang menelanjangi keseksian tubuhnya.
“Ngapain mama seksi nangis di situ?” Morgan bergumam. Dia mengusap bawah hidungnya. Alih-alih menghampiri Anggy. Dia justru melangkah ke dalam.
Benar saja. Dia melihat Michael yang sedang berkutat di meja kerjanya. Terlalu sibuk sampai mengabaikan Anggy. Mama montok itu ternyata kurang belain, begitu gumam Morgan.
Sebelum beranjak dari sana, dia mendengar Michael mengangkat telefon. Telinganya menangkap jelas percakapan Michael dengan orang asing di seberang sana.
“Sekarang, di mana posisi kamu?” Michael to the point. Nada bicaranya serius.
“Bagus. Lebih baik kamu di sana sampai beberapa waktu ke depan. Setidaknya aman dari kejaran polisi.”
Morgan tercenung saat Michael menyebutkan tentang polisi. Sepertinya, dia telah melakukan kejahatan terselubung. Dia segera merogoh ponsel untuk merekam percakapan berikutnya.
“Kamu enggak usah khawatir. Jatahmu adalah Ceo di perusahaan saya. Berkat kamu, Nyonya peot itu mati dan aku berhasil mendapatkan semua kekayaan Hartanto.”
Mata Morgan melebar. Seringai muncul di wajahnya. Seperti yang dia duga bahwa Michael adalah dalang dari kematian Nyonya Damara. Dan orang di seberang sana adalah pelaku yang dia minta untuk menabrak mobil Nyonya Damara.
Sekarang Morgan memegang kartu As Michael, tapi yang menjadi pertanyaan siapa buronan yang bekerja sama dengan Michael.
Morgan selesai merekam, setelah Michael menutup ponselnya. Sambil meletakan ponsel ke sakunya, dia beringsut dari sana. Namun langkahnya tertahan saat melihat pintu kamar yang berjejer di lantai dua itu.
Entah kenapa, dia ingin mencari tahu perihal Sarah. Maka, dia langsung memeriksa kamar itu satu persatu.
Kamar yang pertama adalah kamar Michael dan istrinya. Morgan bisa mencium aroma semerbak parfum feminim berbalut dengan sabun. Pastinya ini aroma Mama montok yang sudah siap mengajak suaminya bersenggama, tapi bodohnya Michael malah mengacuhkannya.
Morgan beralih ke ruang tengah. Kosong. Tidak salah lagi, kamar Sarah pasti yang paling ujung.
Begitu Morgan membukanya. Dia dibuat takjub dengan nuansa kamar Sarah. Dominan putih dan hitam. Ornamen minimalis. Jauh dari nuansa girly.
Melangkah semakin dalam, Morgan melihat poster yang terpasang di dinding. Berisi kata-kata mutiara, music dan club sepak bola. Terlebih saat dia menemukan pigura kecil di atas nakas.
Foto Sarah yang sedang berpose menggunakan jaket denim di atas motor trail.Morgan takjub dibuatnya. Kepribadian cewek yang tidak biasa. Suka berpetualang. Mencari tantangan. Klop dengan Morgan. Sepertinya seru melakukannya bersama cewek itu.
Rasa penasarannya membuatnya berlama-lama di kamar itu. Menyelami kepribadian dari Sarah. Hingga tidak sengaja dia mendapati album foto di bawah laci bawah.
“Foto keluarga.” Morgan bergumam. Dia membukanya. Terpampang foto-foto masa kecil Sarah. Dari balita sampai menginjak remaja. Rupanya sedari kecil Sarah memang tomboy, terlihat dari cara dia berpakaian. Dia tampak bahagia sekali bersama dengan Tuan Hartanto dan Nyonya Damara.
Namun, belum sempat dia melihat semuanya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Morgan menepuk jidat karena lupa menutup pintu. Dia pun menyimpan album itu kembali dan segera bersembunyi di balik tirai.
Terdengar seseorang masuk dan menutup pintu dengan cepat. Melangkah menuju ranjang. Dari suara tangisnya, Morgan langsung mengenai siapa itu.
“Kenapa menangis?”
Morgan menyibak tirainya. Anggy terkesiap.
“Kamu ngapain di kamar ini?”
Morgan tak lekas menjawab. Pria itu mendekat dengan tenang dan naik ke atas ranjang di samping Anggy.
Anggy seperti terkunci. Pandangannya tidak lekat melihat perawakan gempal berotot penuh tattoo. Suara Morgan terdengar agak serak. Khas Husky voice. Menambah keseksian pria itu.
“Nyonya, kenapa menangis? Sini cerita sama aku.”
Anggy merasakan tangan kasar itu menyentuh pipinya. Menghapus airmata yang menggenang. Batinnya memberontak, tapi tidak dengan tubuhnya. Insting kewanitaannya merasa nyaman mendapatkan sentuhan dari pria matang .
Bahkan, Anggy pasrah saja saat didekap oleh Morgan. Kala Anggy melepas tangisnya, diam-diam Morgan melucuti pakaian transparan itu. Tersisa kemolekan tubuh Anggy yang menggiurkan.
“Kenapa Tuan Michael mengabaikan Nyonya yang sudah cantik begini?”
Anggy memerah mendengar bisikan Morgan, sampai dia tersentak saat genggaman tangan besar meremas bulatan indahnya.
“Susunya sudah kencang begini? Pasti sudah pengen sekali ya,” Refleks Anggy mengangguk.
Tanpa basa-basi, Morgan mendorong pelan kemolekan tubuh itu. Mulai bergerilya. Sampai dia dibuat terkejut tatkala Anggy mendorongnya. Mengganti posisinya di atas. Morgan hanya menyeringai. Dengan posisi telentang santai. Menumpu kepala dengan tangannya. Membiarkan wanita itu mencumbu area depan tubuhnya.
Anggy terhenti di gundukan besar di balik celana pendek.
“Kenapa diam Nyonya? Buka saja.”
Anggy diam. Namun terlihat jelas dia menggigit bibir sensual. Morgan dengan sabar menunggu Anggy melepas celananya. Meski, dia sudah tidak sabar merasakan lembutnya mulut Anggy.
Anggy masih tertahan. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Mungkin, dia masih ragu mengkhianati Michael yang jelas-jelas sudah mengabaikannya. Morgan tak kehabisan akal.
“Saya tahu penyebab Tuan mengabaikan Nyonya.”
“Maksud kamu?”
“Coba Nyonya ambilkan ponsel saya di saku.”
Tangan Anggy memang posisi sedang memegang kedua sisi celana Morgan. Sebenernya dia sudah tidak sabar untuk melahap sesuatu yang tersembunyi di antara kedua paha kekar berotot khas pemain sepak bola itu.
Anggy mengulurkan ponsel itu dengan hati berdebar. Morgan terlihat mengotak-atik ponselnya sebentar dan menunjukan sesuatu kepada Anggy.
Anggy mengulurkan ponsel itu dengan hati berdebar. Morgan terlihat mengotak-atik ponselnya sebentar dan menunjukan sesuatu kepada Anggy.“Nyonya lihat sendiri kan. Ini kelakukan Tuan Michael yang sering keluar kota, tapi tidak lupa membawa wanita cantik.” Morgan menunjukan foto-foto Michael menggandeng wanita yang berbeda-beda di setiap hotel yang pernah dia kunjungi.“Ini tidak mungkin. Dari mana kamu mendapatkan semua foto ini?” sanggah Anggy.Morgan terkekeh.”Nyonya Anggy lupa, kalau Black Cobra mempunyai usaha hotel. Di mana relasinya sampai tersebar di seluruh pulau. Jadi sebenernya bukan skandal Tuan Michael saja yang kami tahu, tapi hampir semua orang penting, artis, pejabat, dan pengusaha besar lainnya. Mafia seperti kami selalu mempunyai celah untuk memeras orang.”Morgan memaparkan. Hari-hari sebelum dia menjadi bodyguard keluarga ini. Terlebih dahulu, dia meminta anak buahnya untuk memata-matai Michael. Menca
Morgan melangkah dengan santai di lantai dua. Terdengar suaranya bersiul-siul. Di depan pintu kamar Michael, dia berhenti. Melihat sosok pria sepantaran Jacob itu tampak mengenakan baju tidur dengan wajah kuyu. Agaknya, dia baru menyadari kalau istrinya tidak ada di sampingnya. “Selamat pagi, Tuan Michael.” Morgan menyapa sopan. “Ngapain kamu pagi-pagi sampai lantai dua?” “Saya sedang melihat situasi penjuru rumah saja, Tuan. Tugas saya kan memang menjaga situasi tetap aman.” Michael memicingkan mata. Melihat Morgan dari atas sampai bawah. Tak langsung percaya dengn anggota gangster ini apalagi wajahnya yang bengis, seperti perampok yang tidak segan menghabisi korbannya. Seolah bisa membaca pikiran Michael, Morgan menyeringai. Tahu bahwa Michael curiga dengan gerak-geriknya yang seperti mau merampok. Memang itu tujuan Morgan. Merampas habis semua kekayaan Hartanto internasional untuk kemudian mengintervensi perusahaan Jacob, kalau perl
Morgan masuk ke mobil setelah Anggy. Morgan tersenyum saat wanita itu memilih duduk di kursi depan dibandingkan di belakang. Bukankah biasanya majikan lebih memilih menjaga jarak dengan bawahannya? “Kok senyum-senyum? Memangnya ada yang lucu?” Masih dengan sikap judesnya walau berdua. Morgan berdecak. Apa Anggy lupa dengan rasanya semalam. “Enggak, aku kasihan saja melihat Maya yang dibentak sama Nyonya tadi.” Morgan berkata sambil menjalankan mobil. “Oh, kamu suka kalau dekat-dekat dengan wanita gatel itu?” “Memangnya kenapa? Nyonya cemburu?” Anggy bungkam. Wajahnya memerah. Surga semalam menjadikan Anggy begitu ingin memiliki Morgan. Makanya dia sangat keras membentak Maya tadi. “Karena suamiku sudah membayar mahal ke Bos kamu untuk menyewa kamu. Bersamaku sepanjang waktu.” Morgan tersenyum kecil. Wanita konglomerat ini ternyata masih bertahan akan gengsinya. Morgan tidak buru-buru memaksanya menyerah. Pelan-pelan saja. Morga
Sosok itu membalikan badan. Berjalan dengan sangat cepat. Seandainya, Morgan berada di lantai dasar, pasti sosok itu berhasil dikejar. Namun sayang, dia hanya bisa memantau dari atas.Morgan tidak kehilangan akal. Langsung menelfon anak buahnya. Memintanya untuk bergerak di daerah Thamrin. Mencari sosok misterius itu. Dia menduga sosok itu sedang merencanakan sesuatu. Yang pasti sangat membahayakan bagi Anggy. Well, selama rencananya belum berhasil, dia harus memastikan keselamatan Anggy. Jam makan siang, Anggy kembali masuk ke ruangannya. Mendapati Morgan tertidur dengan posisi menyandarkan diri di sofa. Samar-samar terdengar suara dengkuran halus.Anggy mengulum bibir. Melihat posisi kedua paha besar Morgan yang terbuka.Ingin sekali dia menaikinya. Menempelkan susu besarnya ke bongkahan dada bidang Morgan. Menggesek sesuatu yang menjulang dengan perkasanya. Menyatukan kuluman panas bibir tebal Morgan yang berbau rokok. Memikirkannya membuat dara
Morgan membalikan badan. Di hadapannya, ada Liana. Wanita bertubuh pendek dengan body yang cukup sekal. Sangat mantap digendong dari depan. Saling berhadapan.Liana terperangah. Tas yang dibawanya sampai jatuh. Isinya berserakan di luar.Morgan memicingkan mata. Dia merapikan celananya ala kadarnya untuk berjalan mengambil isi dari dompet itu. Liana justru berdebar-debar. Menganggap Morgan akan melakukan itu di toilet ini.“M-morgan,” Liana mendesis sambil mencegah Morgan untuk jongkok. Tapi, dengan kasar Morgan menepis tangan Liana dan mengambil dompet yang menjadi perhatiannya itu.Morgan memegang dompet itu. Melihat foto yang terpampang jelas di sana. Itu foto Gilang sahabat yang mengkhianatinya dulu.“Itu Gilang anakku, kamu kenal dengan dia?”Morgan menoleh cepat. Pantas saja, dia agak familiar dengan wajah Liana yang mirip dengan seseorang. Iya, memang mirip sekali denga
Anggy meminta untuk di antarkan ke butik, karena ada beberapa pejabat penting yang datang melakukan fitting baju pengantin. Kehadirannya di sana akan sangat lama, Morgan memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi ke Markas.“Tuan, saya sudah mendapatkan informasi mengenai sosok asing yang Tuan maksud. Dia tinggal tidak jauh dari daerah Thamrin.” Hadyan melapor saat Morgan duduk di singgasananya. Dia tampak melepas beberapa kancing bajunya karena merasa kegerahan padahal ruangan full Ac.“Kira-kira siapa orang itu? Dan apa motifnya mengintai butik milik Anggy?”“Saya kurang tahu, Tuan. Mungkin saja dia adalah musuh Michael yang berniat mencelakai Anggy.”Morgan tercenung. Mungkin itulah alasan kenapa Michael menyewa bodyguard untuk melindungi Anggy sepanjang waktu.“Apa perlu saya suruh anggota kita untuk menculiknya?”“Tidak perlu. Cukup berikan alamatnya kepada saya. Biar saya yang ak
Morgan tersenyum. Suka sekali dengan kinerja anggota gangsternya. Bergerak tanpa diperintah terlebih dahulu.Morgan mematikan ponselnya. Dengan tidak enak hati berpamitan dengan Anto.“Pak, saya izin pergi duu ya.”“Lho, memangnya mau kemana lagi. Bang?”“Saudara saya yang di condet masuk rumah sakit, Pak. Saya mau menjenguknya.” Morgan beralibi.Anto diam sejenak, “Tuan Michael pasti marah kalau Bang Morgan pergi.”“Habis bagaimana lagi, Pak. Lagian saya enggak masalah kalau seandainya dipecat. Karena saudara saya memang benar-benar kritis di rumah sakit.”“Ya udah Bang Morgan pergi saja. Biar nanti saya yang bicara dengan Tuan Michael.”“Makasih Pak.”*Morgan melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Sudah tidak sabar ingin melihat siapa orang yang membakar butik itu. Orang yang mungkin mempunyai dendam yang begitu besar k
Morgan salah sangka. Ternyata tujuan Sarah tidak hanya sekedar membakar butik. Memberikan efek jera, tetapi lebih dari itu, di mana Sarah mengincar nyawa dari Anggy. Separah itukah dampak dari perbuatan Michael dan Anggy sampai-sampai anak konglomerat itu begitu benci sama mereka?“Terus kamu puas melakukan semua itu? Bagaimana kalau polisi sampai menangkapmu.”“I’m totally don’t care. Bagi saya, dua bedebah itu tidak layak hidup, setelah apa yang mereka lakukan terhadap keluargaku.”Morgan tidak sanggup berkata lagi. Getar dendam itu bisa Morgan rasakan. Sama seperti dendamnya kepada Jacob, Angeline, Andres dan teman-teman gangnya yang belum terbalaskan. Hanya saja Morgan masih punya nurani untuk tidak melenyapkan nyawa mereka, meski sangat bisa dia melakukan itu mengingat dia adalah pemimpin gangster besar. Berapapun nyawa bisa hilang dalam semalam saja.Namun yang dia tidak habis pikir adalah wanita di hadapannya ini