Share

Bab 6 Gardenia

“Jadi gimana nih?” tanya Arumi melalui telepon. “Kapan ada rencana ke Niskala? Aku kangen pengen ketemu kamu.”  

Ivan dan Purangga sudah pulang satu jam yang lalu.

Bayangan Arumi di kepala Raesaka, dibuyarkan oleh langkah kaki ibunya yang telanjang, menapaki tanah dan rerumputan. Meskipun pincang, Marsala masih mampu memanjat pohon kersen yang tingginya tidak seberapa. Di hari ke tiga setelah kedatangan Raesaka dari Niskala,  ibunya berdiri di salah satu batang pohon kersen, bersandar pada batang yang lain, memetik banyak kersen dan melahapnya sambil menikmati cerahnya langit.

Kersen-kersen itu menggelincir di telapak tangan ibunya, berjatuhan tepat di wajah Raesaka. Di bawah, ia melihat ibunya yang riang, terbingkai ranting dan dedaunan.  Itu adalah keceriaan ibunya yang pertama kali dilihatnya setelah lima belas tahun mereka hidup berpisah. Dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu, ibunya mengunjungi Raesaka di Niskala.  Itu pun jarang, bahkan ia pernah tidak datang selama beberapa bulan tanpa memberi alasan.

Di Niskala, ibunya selalu murung dan sedikit berbicara. Jika tidak ditanya, ia akan bungkam terus-menerus. Ketika tiba acara berkumpul bersama keluarga besar (di Hari Raya atau pun Tahun Baru), ibunya selalu tampak seperti anak kucing yang pemalu, canggung dan kikuk. Ia gemar menyendiri di suatu tempat dengan pandangan menerawang—seakan-akan ia ingin melarikan diri ke tempat lain, atau duduk di sudut ruangan, menikmati kudapan sambil memperhatikan saudara-saudaranya yang lain.  Hanya satu yang tidak pernah berubah, yaitu senyuman dan pandangan damainya.

“Reeeeeee!” panggil Arumi—tidak sabar, memecah lamunan Raesaka yang sedang duduk bersandar di bawah pohon kersen, di belakang rumah ibunya. Pohon itu kini sedang tidak berbuah.

“Tadi kamu ngomong apa?” tanya Raesaka sambil menggaruk keningnya, dan mengerut saat seberkas cahaya matahari sore menyorotnya dari balik awan.

“Kalau kamu lagi sibuk, kita udahan aja kalau gitu.”

“Hah? Udahan, maksudnya?”

Arumi tertawa dan katanya, “Kamu pasti mikir itu maksudnya putus ‘kan?”

“Hmm,” gumam Raesaka, bingung.

“Enggaklah, Re. Maksudnya udahan telponannya. Siapa tahu kamu masih sibuk. Iya ‘kan?”

Raesaka menghela nafas. “Enggak kok,” katanya, tanpa mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah ibunya.

“Terus, gimana soal Niskala? Ada rencana, enggak?”

“Aku belum tahu, Rum. Tapi, kalau ada waktu, pasti aku atur.”

Keduanya diam. Raesaka menunduk, mengamati jemarinya yang sedang memainkan rumput kering di bawahnya.  Kalau pun ada waktu, sebetulnya ia enggan pergi ke Niskala. Ada sesuatu yang mengusik hatinya secara perlahan—entah apa.

“Kamu.. masih mikirin Ibu kamu, ya?” tanya Arumi, cukup mengejutkan Raesaka.

“Ya iyalah. Namanya juga Ibu sendiri,” jawab Raesaka, agak canggung. “Memangnya kamu enggak pernah mikirin orang tua kamu?” Sebenarnya ia merasa tertohok dengan pertanyaan pacarnya.  

“Oh,” bisik Arumi, seakan-akan ada yang ingin diutarakannya, tapi urung. “Kalau memang kita belum bisa ketemu di Niskala, aku enggak apa-apa sih. Mungkin belum saatnya aja ya. Apalagi kamu sibuk banget.”

Raesaka segera menjauhkan punggungnya dari batang pohon, dan katanya, “Maaf, Rum. Aku enggak bermaksud bikin kamu kecewa, tapi..”

“Padahal, udah bertahun-tahun kita menjalani hubungan jarak jauh kayak gini, tapi aku kepikiran kamu terus. Apa pun kegiatan yang aku lakukan, pasti ingat kamu. Rasanya enggak sabar nungguin waktu itu tiba.”

“Waktu apa, Rum?”

“Ya, waktu di mana kita bisa hidup bareng-bareng. Tadinya aku pikir, mungkin aku berhenti kuliah aja ya, terus cari kerja di Narwastu. Hehe.”

“Aku juga maunya kayak gitu sih, tapi menurutku, kamu enggak usah berhenti kuliah cuma demi bareng aku. Cari kerja juga enggak gampang. Takutnya kamu kecewa, orang tua kecewa, dan lain sebagainya.”

“Kok aku yang kecewa? Ya enggak dong. Selama ada kamu—”

“Kita enggak tahu apa yang akan terjadi di depan, Rum, jadi mungkin untuk saat ini, zona aman adalah yang terbaik.”

Arumi diam.

“Maaf. Bukan berarti aku enggak mendukung apa yang kamu pikirin.”

“Sebenernya, aku khawatir sama kamu, Re. Sejak peristiwa itu, aku jadi takut kamu kenapa-kenapa di sana.”

“Aku baik-baik aja kok, tapi begini,” kata Raesaka sambil menarik nafas, “kepolisian memang lagi sibuk ngurus kasus—kamu tahu ‘kan kasus apa? Aku belum tahu kapan misi itu dilaksanakan, soalnya kasusnya masih dalam penelusuran, jadi,..”

“Jadi itu artinya, kita enggak bisa ketemu,” sambung Arumi, yang kemudian tertawa pelan. “Enggak apa-apa, Re. Aku ngerti.”

“Tenang aja. Di sini juga aku enggak ngapa-ngapain selain kerja. Aku janji—”

“Kamu enggak usah janji apa-apa, Re,” sela Arumi. “Mau jauh atau dekat, kesetiaan itu paling susah dipegang. Simpan aja janji itu di hati kamu, oke?”

Beberapa menit setelah telepon diputus, Arumi mengirimkan fotonya disertai teks bertuliskan, “Hari ini ada jadwal latihan paduan suara di kampus.” Sambil tersenyum, Raesaka mengamati wajah pacarnya yang manis dan kekuningan, berambut bob pendek hitam kecoklatan (mirip Dora The Explorer, kata Raesaka), dan pipinya yang membulat saat tersenyum. Raesaka hanya membalasnya dengan emoji hati.

Setelah mandi dan berpakaian rapi, Raesaka mengunci pintu rumah dan gerbang. Dengan motornya, ia pergi ke Galeri Gardenia, toko stationery milik ibunya di Lindubumi. Tidak hanya menjual perlengkapan sekolah dan kantor, ibunya juga menyediakan alat-alat lukis, serta lukisan cat air karyanya sendiri (baik cetak mau pun orisinil). Tidak jarang ia juga menerima pesanan lukisan melalui website. Sependek pengetahuan Raesaka, ibunya tidak pernah mengikuti pameran resmi di mana pun, dan ia pernah membuka kelas melukis di sini, tapi karena kurangnya peminat dan banyak yang berhenti di tengah jalan, kelas melukis itu ditutup.

Ketika menengok ke dalam toko melalui jendela besar, dan melihat mesin fotocopy di sana, Raesaka ingat bagaimana Aditya, salah satu pegawai di toko, mencetak lukisan yang dipesan pembeli.  Cetakan lukisan itu dimasukkan ke dalam amplop coklat beraroma bunga, dilengkapi cap dan/atau tanda tangan Marsala. Tidak lupa menyelipkan bonus seperti gantungan kunci, sticker, buku tulis kecil, atau pembatas buku—tergantung pilihan Aditya.

“Ibu kamu bilang, lukisannya itu cuma sebatas pajangan belaka,” kata Aditya kepada Raesaka saat itu, “jadi, pelayanannya harus maksimal, supaya pembeli enggak menyesal membelanjakan uangnya di sini.”

Galeri Gardenia kini sudah kosong dan muram. Teras kayunya memucat, dipenuhi debu dan dedaunan kamboja yang mengering. Pasokan barang sudah dihentikan, dan pegawai-pegawainya terpaksa mengundurkan diri. Tapi, ada beberapa lukisan ibunya yang masih terpajang di etalase dalam, dan Raesaka berniat mengambilnya. Sayang sekali, ia tidak memegang kuncinya. Ia bahkan tidak tahu di mana keberadaannya.

Saat Raesaka berpikir mungkin kuncinya ada di kamar ibunya, muncul seorang perempuan berambut pixy cut, berdiri di gerbang masuk Galeri Gardenia.  Ia memakai kaos putih bercorak, dan celana jeans yang bagian lututnya robek-robek.

“Re,” kata perempuan itu.  Matanya melebar, seakan tidak percaya.

“Kak Nay?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status