“Kapan kamu ada waktu ke Niskala? Udah berbulan-bulan kita enggak ketemu. Aku kangen sama kamu,” kata Arumi, pacar Raesaka, melalui pesan di ponselnya.
Di dalam pikirannya, wajah Arumi dan ibunya saling berbenturan. Semakin lama, sosok ibunya terpampang semakin jelas, seperti lembaran-lembaran memori yang beterbangan. Saat itu, ia sedang menyapu lantai rumah ibunya, ditemani musik yang mengalun melalui mp3 player, yang ia taruh di meja ruang televisi.
“Sekarang aku lagi sibuk, Rum. Nanti sore aku hubungi lagi, ya,” balas Raesaka, mendengar bunyi bel pintu. Bunyinya membuatnya terpukau selama beberapa saat—sudah berapa lama ia tidak mendengar iramanya? Sambil membetulkan letak maskernya yang melorot di hidung, ia berjalan menyeberangi ruangan dan membuka pintu.
“Hai,” sapa Ivan sambil melepas topinya. Matanya yang sipit menyerupai dua garis hitam ketika ia nyengir seperti itu. Sinar matahari menyengat pipinya yang putih kekuningan sampai memerah. Ia memakai seragam coklat berbahan kaos, celana panjang hitam dan sepatu boots. Di belakang bahunya ada Purangga, yang tidak berpakaian dinas, tersenyum canggung. “Aku sedang enggak ada kegiatan,” lanjut Ivan, “jadi aku ikut Purangga ke sini. Sorry, aku enggak sengaja dengar obrolan kamu dan Purangga sehabis simulasi kemarin, jadi...”
“Aku dapat cuti dua hari,” sahut Purangga, berusaha menutupi rasa cemas dan ketidakinginannya berada di sini.
Raesaka dapat memahami alasan kenapa Purangga diizinkan libur, tetapi Ivan, bagaimana ia menjelaskannya kepada Nawasena jika pimpinannya memergokinya?
“Ya, sudah,” ujar Raesaka. “Buka sepatu kalian dan simpan di situ,” lanjutnya sambil menunjuk rak kayu, lalu berbalik. “Ibuku enggak suka kalau ada orang yang injak-injak lantainya pake sandal atau sepatu.”
Merasa aneh, Ivan dan Purangga saling berpandangan, tetapi mereka tetap menurut. Begitu masuk mengikuti Raesaka, keduanya menghirup aroma khas rumah yang asing, dan melihat-lihat sekitar.
“Mana foto keluarga kamu, Re?” tanya Ivan. “Ini lukisan siapa? Marsh?”
Raesaka mengacungkan jari, memberi tanda supaya tidak ribut. Sambil memaksa bibirnya tersenyum, ia pun menjawab, “Foto keluargaku semuanya ada di Niskala. Kalian pernah ke Niskala? Dan itu, lukisan buatan ibuku, jadi, stop bertanya-tanya, ya.”
Ivan dan Purangga membantu Raesaka menyapu, mengepel, menyikat kamar mandi, dan lainnya. Hanya kamar ibunya yang sengaja Raesaka lewatkan, dan itu lagi-lagi meninggalkan kesan aneh bagi Ivan dan Purangga, tapi mereka ingat, Raesaka tidak suka ditanya-tanya.
Jam hampir menunjukkan pukul dua belas siang, saat Ivan dan Purangga menggulung beberapa karpet yang rencananya akan dibawa ke binatu nanti sore, sementara Raesaka membenahi perpustakaan. Setiap kali masuk ke ruang perpustakaan, segala sesuatu yang berada di luar terasa menjauh, seakan ia berada di dalam kotak putih raksasa yang terpisah dari realita, tapi, ia tidak lagi begitu peduli. Setelah semuanya selesai, Raesaka mematikan musik pada mp3 player-nya, dan memperhatikan sekeliling.
Sosok-sosok absurd itu kembali bermunculan. Tidak seperti sosok tempo hari, mereka berbentuk siluet-siluet kelabu tipis, berkeliaran dan berbisik-bisik di setiap sudut ruangan. Kadang-kadang menyerupai kepala, wajah, atau hanya tubuhnya saja. Salah satu sosok itu menembus tubuh Ivan dan Purangga seperti asap yang tidak mereka sadari. Di hari-hari pertama, Raesaka tidak terbiasa dengan kehadiran mereka, tapi sekarang, ia sudah bisa menyesuaikan diri.
Raesaka tidak pernah tahu, kenapa hanya dirinya saja yang melihat mereka? Dia pernah membahas ini dengan ibunya, tapi reaksi ibunya malah membuatnya merasa seperti orang idiot.
“Semua itu hanya ada di kepala kamu aja, Re,” kata ibunya sambil tertawa.
Raesaka memasak sop ayam untuk makan siang. Ia duduk di kursi yang biasa ia duduki. Dulu, ibunya selalu duduk di seberang meja, tepat di depannya, membelakangi jendela dapur. Dan di sampingnya ada Ni Champa, asisten rumah tangga yang cukup loyal pada ibunya. Dia ingat sekali, bagaimana ibunya berbincang bersama Ni Champa, seakan-akan wanita tua itu sahabat satu-satunya. Sementara di sisi lain meja, neneknya Raesaka memandang Ni Champa sebagaimana “semut pekerja”, yang tidak layak duduk sejajar bersamanya.
“Sebagai penegak hukum, apa kamu memahami hal yang paling esensial dari hukum, Re?” Ibunya menoleh kepada Raesaka, dan menopangkan dagu.
Raesaka batuk satu kali. Sesuatu seperti cairan melompat dari mulutnya, mengotori sisa kuah sop ayamnya. Ketika ia menengok ke piringnya, sesuatu itu sudah tidak ada di sana. Ia menyentuh area bibirnya, dan baik-baik saja. Jemarinya pun bersih. Raesaka mengangkat wajahnya, menyadari Ivan masih di sini, duduk di kursi ibunya, sedangkan Purangga duduk di kursi yang pernah ditempati Ni Champa. Keduanya sedang mengobrol.
“Sop bikinan kamu enak, Re,” puji Ivan, melihat Raesaka berdeham dan meneguk air. “Enggak terlalu kerasa ladanya, tapi aku suka sop yang kayak begini.”
“Kalau suka habiskan dong,” kata Raesaka.
“Ngomong-ngomong,” kata Ivan lagi, “rumahmu besar juga, ya. Sepi dan nyaman ditinggali. Ketika aku melewati gerbang depan, rasanya pikiranku jadi tenang.”
“Tapi, ini rumah ibuku, Van.”
Ivan melipat bibirnya sebentar, berpikir mungkin ada ucapannya yang salah, tapi setelah melihat ekspresi Raesaka yang biasa, ia melahap lagi nasinya.
“Aku tahu,” Ivan mengangguk, “gaji kita memang terlalu kecil untuk punya rumah seperti ini. Aku cuma mengkhayal bisa tinggal di sini sama istriku.”
“Istri?” ucap Raesaka dan Purangga berbarengan.
“Maksudnya calon. Mau lihat?” Ivan mengambil ponsel dan menggulir layarnya, lalu memperlihatkan foto seorang perempuan kurus berkulit coklat. Rambutnya panjang bergelombang sampai ke pinggang, dan ia berpose sambil memegang gitar akustik. “Namanya Marissa. Dia penyanyi musik indie yang suka manggung di cafe-cafe,” jelas Ivan. Seluruh wajahnya agak memerah saat bercerita di mana ia dan Marissa bertemu.
Usai makan siang, mereka pergi ke gudang di halaman belakang, memakai sepatu boot karet dan topi koboy yang dulu pernah dipakai Duri si tukang kebun. Sayang sekali, mesin pemotong rumputnya tidak berfungsi, jadi mereka terpaksa menggunakan arit. Walaupun tidak sepenuhnya kembali seperti sedia kala, Raesaka cukup puas. Ia pun memotret rumah dan sekitarnya (tanpa Ivan dan Purangga) menggunakan ponsel, lalu hasilnya dikirim kepada Nawasena.
“Saya ada di rumah ibu saya, Pak. Rumahnya kotor, jadi saya bersihkan. Halaman dan kebunnya juga sudah saya rapikan,” ketik Raesaka. Foto-foto itu juga ia kirimkan kepada neneknya di Niskala, tetapi tidak mendapat tanggapan.
Ivan memanjat pohon asam yang ada di sudut halaman belakang, sedangkan Purangga berada di bawahnya, mendongak memperhatikan rekannya. Tawa riang mereka terbawa semilir angin sore, bercampur dengan nuansa yang selalu Raesaka rindukan. Ini benar-benar seperti kembali ke pangkuan ibunya, sehingga ia membayangkan tubuhnya menciut, sedangkan ibunya meninggi menutupi sebagian langit. Sambil tersenyum damai, kedua tangan ibunya menyentuh pipi Raesaka yang tembam dan mungil.
“Jangan ragu-ragu,” kata ibunya dengan lembut. “Jangan dengarkan apa pun selain hati kamu sendiri. Kamu harus yakin, bahwa kamu bisa melewati apa pun yang ada di hadapan kamu.”
Walaupun Raesaka kecil belum memahami apa yang diucapkan ibunya, kalimat itu membuat hatinya dipenuhi kegembiraan, perasaan terlindungi, dan rasa sayang yang terus merambah. Setelah agak besar, dia tidak pernah memahami apa yang membuat ibunya pergi selama belasan tahun, meninggalkan ruang-ruang kosong di hatinya. Padahal, ibunya pernah berpesan supaya ia selalu berbahagia, sedangkan saat itu, satu-satunya hal yang membuatnya bahagia adalah kehadiran ibunya.
Sampai akhirnya ia menerimanya kembali, dan terjadilah peristiwa itu...
“Re.” Ivan memanggil namanya berkali-kali. Telapak tangannya bergerak naik turun di hadapan Raesaka. “Rae. Re!”
Raesaka mengerjap, kemudian menatap lurus kepada Ivan yang sudah berdiri di dekatnya. Keningnya mengerut dan bingung selama beberapa saat.
“Aku lihat kamu sering melamun. Ada apa sih?” tanya Ivan.
“Enggak,” jawab Raesaka, melihat Purangga sedang duduk di teras dapur, meneguk air mineral. Kemudian, Raesaka berjalan memunggungi Ivan dan katanya, “Kalau mau mandi, silakan pakai kamar mandinya.”
Usai melewati perjalanan panjang, Raesaka tiba di Sadajiwa.Keheningan dan gemuruh dari kejauhan menyambutnya di bawah naungan langit petang. Dia mengetuk pintu rumah Arabela, menengok ke dalam melalui jendela yang suram, dan tidak terdengar bunyi langkah mau pun sahutan. Ia baru ingat, Damian baru saja meninggal dan pasti Arabela masih berduka. Raesaka berlari kecil ke belakang rumah.Langkahnya bergema ketika Raesaka berjalan menyeberangi jalan setapak di atas kolam ikan, menuju ke rumah kecil ibunya. Ia berhenti di dekat makam palsu Sindukala yang kini dikelilingi semak-semak kering yang tidak terawat. Nafasnya sedikit memburu saat ia memutuskan mencari cangkul yang tidak ada di mana pun, selain di gudang.Gudang itu digembok, jadi ia meraih glock yang bukan miliknya, yang menggantung di panggulnya. Seraya menjaga jarak dan berhati-hati supaya tidak terkena serpihan yang bisa melukainya, Raesaka mengarahkan pucuknya ke gembok gudang dan melepaskan peluru beberapa kali—suaranya mene
“Boleh aku minta waktu buat mikir, Re?” suara Prisha mengakhiri keheningan. “Nanti aku kabari lagi.”“Iya, Kak. Boleh.” Raesaka menghela nafas dan mengangguk.Bunyi lembut deru motor yang dikendarainya menemaninya pulang melewati gemerlap malam. Hatinya membuncah karena kebahagiaan dan kelegaan usai mengungkapkan rasa cintanya kepada Prisha. Wajah dan senyuman teduh Prisha memenuhi pikirannya, bahkan saat berhenti di lampu merah pun, jiwanya seakan kembali ke rumah Prisha yang beraroma teh dan lavender. Kini ia bergantung pada harapan akan jawaban positif dari Prisha.Raesaka kembali ke rumah dan memarkir motornya di garasi. Begitu mau menutup pintu garasi, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Ia rogoh ponselnya dari saku celana jeans-nya, dan melihat ada pesan dari Arabela. Matanya melebar membaca isinya.“Rae, apa kamu ada di rumah? Hari ini Tante sedang berduka. Oom Damian meninggal usai minum kopi kemarin sore. Tante merasa ada seseorang yang meracuninya. Bisa kita ketemu da
Sebuah citra merasuk ke dalam kalbunya dan membentuk mimpi. Di sana, Raesaka melihat ibunya yang kembali muda, dibalut gaun pendek berwarna merah marun, berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalanan panjang dan sepi. Cahaya matahari yang lembut menyorot dari sela-sela pepohohan akasia dan mahoni yang menaunginya. Raesaka menghampirinya, dan ibunya menoleh padanya, memandangnya.Raesaka membalas pandangan ibunya, mengusap lembut wajah dan rambut ibunya sembari berkata, “Rae sayang sama Ibu.” Ia peluk tubuh mungil ibunya, lalu menikmati kecupan ringan ibunya di pipi. Setelah melepas pelukan Raesaka, bibir ibunya merekah, meninggalkan jejak-jejak kedamaian dan keindahan di hati Raesaka yang menangis. Ia berjalan mundur, berbalik dan kembali melangkah menjauhi Raesaka, entah ke mana.* * *Raesaka sudah berseragam dan wangi ketika memandangi makam ibunya di samping makam Sindukala, dan menaruh dupa di sana. Mungkin, mungkin saja, inilah kepergian dan pelepasan yang selama ini yang dii
Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan jingga merambat mewarnai langit. Perlahan-lahan, tanah bergerak, bergelombang dan berputar, menarik Marsala jauh ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya, cakrawala gelap dan matahari raksasa yang bulat kemerahan.Pemandangan yang sedang dilihatnya kini berubah menjadi wajah seseorang yang selama ini dicintainya. Wajah yang kecoklatan, berhidung mancung, dan bermata sendu. Rambutnya yang pendek bergelombang, mengalir dipermainkan angin. Orang itu menoleh, memutar tubuhnya menghadap Marsala, dan melemparkan senyuman yang selalu dirindukan Marsala.Sindukala.Kedua mata Marsala berbinar memantulkan cahaya. Dadanya bergejolak akan kerinduan dan cinta yang tiada henti. Aroma khas suaminya meliputi dirinya saat mereka berpelukan dan saling berpandangan. Lalu, Sindukala membenamkan bibirnya pada bibir Marsala. * * *Bunyi kerangkeng besi yang ditutup dan digembok menggema keras di sepanjang loro
Musik yang diputar Marsala memenuhi ruangan dapur, menciptakan nuansa ceria dan hangat di pagi hari.Raesaka menyendok nasi goreng kencur dan telur mata sapi di piring, memperhatikan ibunya yang mondar-mandir, menaruh beberapa makanan ringan di atas meja, dan menyeduh secangkir teh kembang sepatu untuk dirinya sendiri. Sinar matahari menembus dari jendela, menyorot sosok mungilnya. Rambut ibunya diikat sedemikian rupa, dan beberapa helai rambut turun ke bahu dan punggungnya, membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya, walaupun dia hanya memakai daster pendek bercorak bunga-bunga.“Hari ini kamu ada dinas, Sayang?” tanya ibunya sembari menarik kursi dan duduk di seberang Raesaka.Raesaka menelan suapan nasi gorengnya sebelum ia menggeleng dan menjawab, “Oh, Rae dinas setelah maghrib, Bu. Sayang sekali, sebenarnya Rae ingin pergi ke Niskala, mau ikut doa tujuh hari kepergian Nenek. Ibu juga akan berangkat, bukan?”Marsala menyesap teh kembang sepatunya dan menggeleng. “Ibu batal be
Kicauan burung membangunkan Marsala di sore hari, dan ia membaca pesan dari Raesaka yang isinya, “Bu, malam ini Rae sedang tidak ada dinas, dan Rae mau pergi ke restoran sama Kak Prisha, jadi jaga diri Ibu baik-baik, ya. Rae tidak akan lama.”Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan kemerah-merahan merambat mewarnai langit. Marsala bangun dan duduk di sisi ranjangnya, memandangi jendela, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Pemandangan seperti ini selalu mengingatkannya pada suaminya dan segala hal tentang dirinya, bertumpuk bersama kenangan-kenangan. Kemudian, Marsala berdiri, menghampiri meja kerjanya.Marsala menunduk, mengamati potret-potret kecil wajah Sindukala yang ia lukis selama beberapa minggu terakhir. Tidak semua lukisannya selesai, ada yang setengah jadi, dan ada pula yang hanya berupa lukisan lingkaran mata Sindukala. Hanya ditemani bunyi nafasnya sendiri, jemari Marsala menelusuri permukaan dan sisi lukisan
“Mars benci Mamah, dan keluarga Mamah. Sampai Tuhan pun enggak sabar ingin segera menjebloskanku ke neraka, saking bencinya aku sama Mamah,” tutur Marsala. Tatapannya lebih rileks selama memandangi ibunya; suaranya rendah dan pelan, hampir tanpa emosi, seakan-akan dirinya semacam benda kosong yang tidak berjiwa. “Perasaan ini sudah mengerak sangat lama di hati Marsala, dan inilah saatnya Mamah mendengar semuanya.”Abhinanda menelan ludah, menahan godaan menghindari tatapan Marsala, dan keinginan untuk membantah, tapi mimik wajah putri sulungnya mengintimidasinya, menuntutnya supaya menuruti keinginannya.“Sadar enggak sadar, Mamah mengecewakan Mars berkali-kali. Mamah mengambil lagi kehidupan Mars yang telah Mamah berikan dengan cara Mamah sendiri. Betapa lembutnya tutur kata Mamah setiap kali memaksakan segala kehendak Mamah, membuatku enggak berani melawan. Mamah enggak pernah bersyukur punya anak seperti aku, dan oleh sebab itu, Mamah dan Papah menaruh harapan di luar kapasitas Mar
“Nay pikir si Rae bohong, ternyata benar, Ibu pulang,” seru Nayyala di teras depan, tertawa di antara air matanya. “Gimana kabarnya, Bu? Kita semua kangen sama Ibu.”Raesaka menengok dari balik dinding, melihat Nayyala berjalan masuk ke ruangan sambil menjinjing dua tote bag. Ia tidak datang bersama Aditya, melainkan Prisha. Mata Raesaka melebar dan jantungnya berdebar, memperhatikan Prisha yang sedang memeluk ibunya, dalam keadaan baik-baik saja. Setelah mematikan musik, Raesaka berjalan melewati ruangan televisi, menyambut kedua perempuan itu.“Kamu mau langsung berangkat?” tanya Marsala kepada Raesaka.“Oh, enggak, Bu. Masih ada waktu kok,” jawab Raesaka, mengusap matanya yang terasa kering usai tadi menangis, dan ia menjadi salah tingkah.“Kalau gitu, bisa kamu bikinin minuman buat mereka?”“Jangan, Bu,” sahut Nayyala langsung beranjak dari kursi. “Biar aku aja yang bikin. Kebetulan kita bawa banyak teh kesukaan Ibu. Ada jasmine, kembang sepatu, kembang telang, chamomile, green t
Raesaka membuka mata, mengakhiri mimpi tentang masa kecilnya.Sayup-sayup terdengar musik dari arah dapur. Atmosfer di dalam dan di luar rumahnya menjadi lebih familiar dan hangat semenjak ibunya di sini, seakan-akan situasinya sangat normal; tidak ada masa lalu mau pun masa depan, dan tidak ada yang perlu dicemaskan, apalagi ditakutkan. Pula, tidak ada lagi seliweran bayangan-bayangan, sosok aneh, dan juga Tia di sekitar rumahnya.Raesaka merosot dari ranjangnya, berjalan menghampiri jendela dan menyingkap tirainya sedikit. Di balik kaca yang berembun, ia melihat ibunya duduk bersimpuh di samping makam Sindukala, yang dinaungi langit kelabu kebiru-biruan. Asap-asap dupa yang dibakar, beterbangan mengelilingi tubuhnya yang terbalut baju dan kerudung panjang berwarna merah. Cukup lama ibunya berdiam diri di sana, lalu menumpahkan air dan menaburi bunga-bungaan. Hampir setiap pagi ibunya melakukan itu, sesekali di tengah malam hari. Hari-hari berikutnya, Raesaka membantu ibunya men