“Re, apa kabar?” sapa Prisha.Hawa panas memenuhi ruang mobil tahanan, saat Raesaka mengamati enam punggung terdakwa pelaku terorisme, yang dijadwalkan akan menjalani persidangan hari ini. Satu rekannya yang lain, berjaga di dekat pintu keluar. Ia teringat ibunya pernah membicarakan soal asas praduga tidak bersalah. Ibunya tahu betul tentang itu, dan menjelaskannya berkali-kali sampai terdengar membosankan, seakan itu pengingat supaya Raesaka tidak bertingkah main hakim sendiri.“Ibu semestinya masuk sekolah hukum,” kata Raesaka waktu itu. “Ibu pintar dan berwawasan luas.”Ucapan itu membuat ibunya diam cukup lama, lalu tertawa seperti sedang mendengar humor yang tidak lucu. Demi milyaran menit yang telah berlalu, Raesaka belum pernah menyaksikan ibunya tertawa seperti itu—langit-langit mulutnya yang kemerahan, mengkilat dan basah, dan anak tekaknya sampai terlihat. Bahu ibunya sampai bergetar, dan tangannya menepuk-nepuk meja sambil cegukan. Dengan canggung, Raesaka ikut tertaw
Prisha duduk di lantai koridor pengadilan, bahunya bersandar pada pilar, mengamati area pengadilan yang diramaikan oleh kehadiran para wartawan yang akan meliput persidangan terdakwa terorisme. Sama seperti dua minggu yang lalu, ia mengenakan celana gading pegawai negeri sipil dan kaos putih bercorak, tetapi tanpa kemeja almamaternya. Sesekali, ia melirik ke ruang sidang yang terbuka, di mana suaminya sedang menunggu giliran sidang.Di samping Prisha, ada wanita berusia empat puluhan bersetelan resmi hitam-hitam, yang kemudian berdiri menghampiri Wandra, dan mengobrol. Itu adalah ibu Padma, tetangga yang tinggal di dekat rumahnya Wandra. Kedua tangannya mendekap dua map berisi berkas-berkas. Ada sebentuk logo dan nama universitas pada permukaan map yang dibawanya.“Ibu dipanggil jadi saksi,” kata wanita berambut pendek itu, berdiri membelakangi Prisha. Sesekali ia mengusap kemejanya, menyingkirkan debu yang sebetulnya tidak ada di sana. “Padahal, hari ini ada jadwal ngajar di kampus.
“Gimana kalau kita cari si bangsat ini?” tanya Purangga melalui telepon.“Siapa maksud kamu?” Raesaka bertanya balik, keningnya mengerut.“Maruk,” jawab Purangga, menyebut nama penjahat yang menjadi target pencarian oleh kepolisian. Walaupun suaranya rendah dan terkesan kosong, terselip kebencian yang gelap dari nadanya. “Kita hajar dia sampai mati, atau kalau perlu kita seret dan kita permalukan dia di depan publik.” Mendengar itu, Raesaka menjadi merinding. Ia tidak pernah mengira Purangga yang pemalu, melontarkan kata-kata seperti itu. Tapi, Raesaka paham, mau sebanyak apa pun cuti yang dia ambil, tidak akan meredam kekalutannya, apalagi menyelesaikan situasi yang dialaminya. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa Purangga tidak benar-benar ingin menangkap Maruk. Purangga hanya ingin segera menyelamatkan kakaknya.“Enggak mungkin kita bertindak di luar prosedur, Pur. Kamu tahu itu, bukan?” ujar Raesaka.“Si Maruk sendiri bertindak di luar aturan!” geram Purangga. “Mereka bahk
“Rae.” Gaduhnya pintu yang dibuka, langkah-langkah kaki yang sibuk, dan keriuhan orang-orang, menumpuk suara Purangga.Kaget, Raesaka membuka matanya dan menoleh cepat, mendapati dirinya sedang berbaring di kursi, dan Purangga yang berlutut di sampingnya, menatapnya tanpa senyuman. Di belakang Purangga, dua kepala rekannya yang kelabu, bergerak-gerak menertawakannya. Bingung, Raesaka mengangkat kepala dan bahunya ketika Bu Dhatri muncul dari balik pintu.“Orang pingsan jangan diketawain,” tegur Bu Dhatri sambil membungkuk, menaruh semangkuk bubur asin yang hanya ditaburi bawang goreng dan irisan telur, disertai teh manis hangat di meja. Kemudian, ia menoleh kepada Raesaka, memintanya supaya segera makan sebelum wanita setengah baya itu meninggalkan ruangan.“Kenapa aku ada di sini?” bisik Raesaka.“Kamu pingsan pas apel,” jawab salah satu rekannya. “Kita semua yang gotong kamu ke sini.”“Apel?” Raesaka melihat topi baret miliknya di meja, lalu mengamati seragamnya selama beberapa s
Raesaka menolak ajakan Purangga yang bersedia mengantarnya ke dokter. “Pernah satu kali,” kata Raesaka di bawah tekanan menyakitkan di kepalanya dan tubuhnya gemetar samar, “aku pergi ke dokter umum di dekat rumah di Niskala, setelah jempol kakiku digigit nyamuk dan sakitnya seperti disengat lebah, lalu aku demam.” “Ah, barangkali itu memang lebah, Re.” Purangga menyesap air di gelas dan terkekeh. “Enggak, enggak, itu beneran nyamuk, kok. Sakitnya memang kayak habis disengat lebah, tapi enggak gatal dan enggak bengkak. Aku lantas bilang sama dokternya, kayaknya aku kena chikungunya. Aku malah dikatain sok tahu sama dokternya, dan cuma dikasih obat pereda sakit dan penurun panas.” “Terus, kondisi kamu gimana?” “Ya, makin parah. Aku demam tinggi malam harinya. Yang sakit bukan lagi jempol, tapi semua persendian, dan baru sembuh sepuluh hari kemudian. Saking sakitnya, aku enggak bisa bangun, dan aku pikir, aku lumpuh, Pur. Tapi, enggak ada yang percaya kalau aku kena chikungunya. Mer
Raesaka membuka mata, melihat siling yang semula buram kini tampak jelas, menyadari kekeliruannya yang mengira neneknya adalah ibunya. Senyuman dan sentuhan neneknya menyambutnya kala itu. Rambutnya yang keriting pendek dan kelabu, berkilat-kilat diterpa cahaya dari luar jendela. Tubuhnya yang pendek tetapi tidak bungkuk, bergerak-gerak di sekitar ranjang Raesaka.“Kapan Nenek datang?” tanya Raesaka sambil menyentuh plester penurun panas di keningnya. Pergi, kata Raesaka dalam hati. Tinggalkan Rae sendiri, Nek. Nenek mengganggu!“Kemarin malam saat kamu tidur—ceroboh sekali kamu enggak kunci pintu depan,” jawab neneknya yang kini sedang memeriksa kotak obat di ujung ranjang. “Setelah tahu kamu sakit, Nenek langsung berangkat ke sini.”“Dari mana Nenek tahu aku sakit?” tanya Raesaka lagi setelah meneguk air.Neneknya menghela nafas pendek, mengangkat wajahnya dan menjawab, “Sena yang kasih kabar. Duh, seperti apa ya dia sekarang? Sudah lama Nenek enggak ketemu Sena.”“Maksudnya?”“M
Ketika lidah pahitnya berusaha menikmati potongan tumis jamur, Raesaka melihat kepulan asap kelabu, yang berputar-putar di sudut siling di atas lemari dapur. Kepulan asap itu berbisik-bisik, membentuk beberapa ekspresi wajah yang berbeda, asing, dan samar. Keberadaannya tidak disadari neneknya dan Arumi, dan Raesaka sudah tidak lagi merasa heran.Di antara wangi-wangi gurih ikan goreng, sambal, dan tumis sayuran, Raesaka melirik kepada neneknya yang sedang menambah beberapa centong nasi ke piring Arumi. Ia mendengar neneknya berkata, “Ayo, ambil nasinya yang banyak. Apa kamu pemilih? Enggak ‘kan?”“Enggak, Nek,” gumam Arumi sambil sesekali melirik kepada Raesaka, berharap pacarnya itu bisa menghentikan apa yang dilakukan neneknya. Jelas Arumi berbohong. Dia tidak suka jamur dan sayuran, jadi dia hanya mengambil ikan goreng dan sedikit sambal, dan diam-diam menyingkirkan potongan bawang dan tomat ke sisi piring. Raesaka tahu betul apa yang ada dalam pikiran pacarnya saat ini: ingin
“Aku mau lihat perpustakaan kamu, boleh ‘kan?” kata Arumi ketika Raesaka sedang mengamati layar ponselnya, memeriksa kapan Purangga terakhir kali online.Sebetulnya, Arumi tidak sungguh-sungguh ingin ke perpustakaan, selain menghindari obrolan Raesaka dan neneknya yang terlalu intens. Tapi, muncul rasa penasaran, apa yang sedang dibicarakan keduanya ketika dirinya tidak ada? Jadi, Arumi berdiam diri di dekat pintu, menyimak obrolan Raesaka dan neneknya yang melebur dengan suara televisi.Arumi berharap kedatangannya ke sini bisa mencairkan suasana yang kaku, dan menghibur Raesaka. Semenjak meninggalkan Niskala, Raesaka menjadi agak sinis, terlalu serius, dan misterius. Sekarang, dia juga menolak diurus, seakan-akan kehadiran Arumi mengganggunya. Arumi sama sekali tidak bermaksud menyetujui apa yang diucapkan neneknya Raesaka tadi siang, tetapi alangkah baiknya Raesaka melupakan ibunya dan persoalan Sindukala barang sejenak.Sambil menatap refleksinya di cermin lonjong yang menggantu