Share

Pelaku Sekte Sesat

Bagian 5

Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.

Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan. 

Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia memasuki hutan.

Berkali-kali wanita berambut panjang itu membuka kompas dari dalam ransel, tapi sama sekali benda itu tidak berfungsi, jarum penunjuk arahnya berputar terus menerus tanpa menunjukkan ke arah yang tepat. Sekalipun menunjukkan arah yang tepat wanita itu juga tidak menguasai area hutan yang pertama kali terpaksa berada di dalamnya.

Ana berhenti sejenak untuk beristirahat, gegas ia membuka ransel dan mengambil tali yang panjang. Akalnya mulai berpikir jika terus-terusan berada di dalam hutan bukan tidak mungkin senter akan kehabisan daya dan gelap pun semakin menjadi menemaninya. Secepatnya wanita itu mengikat tali ke pohon demi pohon yang dilewatinya. Jika bertemu lagi dengan pohon yang sudah diikat, itu artinya dirinya masih berputar-putar di jalan yang sama.

Ana tidak menyadari ketika ia mengikatkan talinya ke sebatang pohon, maka boneka Martha yang melepaskan ikatan itu dengan mudah. Hingga, walaupun ia merasa sudah berjalan beberapa meter menjauh, tetapi, tetap saja sebenarnya ia masih berputar-putar di tempat yang sama.

Kilatan cahaya membuat wanita bermata cokelat itu memicingkan matanya. Hawa yang sedikit hangat menyapa tengkuknya. Ia pun bergegas mencari asal cahaya itu, siapa tahu ada seseorang yang bisa menolongnya untuk keluar dari Hutan Larangan. Tali itu ia kumpulkan kembali dan dibawanya serta. Perlahan wanita berambut panjang tersebut, melihat sekumpulan orang dengan baju hitam melingkari api unggun di wilayah hutan yang sedikit dibabat. Tinggi orang-orang itu sama, kepalanya ditutup oleh tudung hitam, satu orang memimpin sebuah ritual dengan membacakan mantera yang Ana sendiri tidak mengerti maksudnya apa.

“Ehm.” 

Ana mencoba berkomunikasi dengan salah seorang berbaju hitam, tetapi tidak ada sahutan. Lagi, ia mencoba dengan suara yang lebih keras, tetap saja tidak ada jawaban. Mereka bergeming seolah-olah tidak menyadari kehadiran Ana.

“Pak, Bu. Boleh saya minta tolong,” ulangnya lagi.

Pemimpin ritual itu, menghentikan pembacaan mantera dan menunjuk wajah Ana dengan telunjuknya. Seketika, semua perhatian tertuju pada wanita cantik itu. Orang-orang pun mulai mendekati dirinya sambil membawa tongkat dari besi tajam dengan bekas darah yang ada di sekitar api unggun. Seolah-olah mengerti dengan nyawanya terancam bahaya, Ana bergegas berlari, walau kulitnya harus tergores ranting pohon atau pun duri di sepanjang jalan.

Ia terus berlari, hingga orang-orang berbaju hitam dengan wajah nyaris terlihat seluruh tulang-belulangnya itu mulai melambatkan langkah mengejar Ana. Namun, wanita itu dihadapkan pada dua pilihan sulit di depannya. Menceburkan diri di sungai yang arusnya deras atau pasrah tertangkap dan dijadikan tumbal. Orang-orang berbaju hitam tersebut semakin dekat dengannya, hingga ia pun terpaksa menceburkan diri.

Melihat Ana di dalam sungai, rombongan manusia dengan wajah tidak utuh itu pun berbalik arah kembali ke tempat ritual mereka. Tubuh wanita itu hanyut melawan arus sungai seorang diri, seolah-olah sungai itu menyelematkannya dari arus yang semakin deras. Akan tetapi, cuaca dingin membuatnya nyaris tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri di dalam air, hingga seseorang datang dan membawanya ke daratan saat kesadarannya sudah benar-benar terbawa ke alam mimpi.

***

“Raka,” gumam Ana ketika membuka matanya. 

Wanita itu bergegas duduk dan berusaha mengumpulkan kesadarannya, dilihat lebih jelas, lelaki di hadapannya bukanlah suaminya.

“Sudah sadar?” tanya lelaki itu di hadapannya.

“Kamu siapa? Manusia atau mayat atau hantu atau rombongan mereka tadi?”

Lelaki itu tersenyum. “Aku penduduk asli di hutan ini, kau tadi hanyut hampir tenggelam di sungai, makanya aku tolong.”

“Oh, tapi apa bener kamu manusia?” tanyanya dengan penuh keraguan.

“Kau tidak percaya? Apa kakiku terlihat tidak memijak tanah?” 

Ana memperhatikan kaki lelaki itu yang jelas-jelas berada di tanah.

“Jelas, aku nggak akan percaya gitu aja. Bukan sekali ini aku jumpa hal-hal aneh di dalam hutan, tapi udah berkali-kali.”

“Iya, aku paham kalau kau tidak percaya denganku. Lagipula aku ingin tahu, bagaimana caranya wanita cantik sepertimu bisa berada di tengah hutan di malam gelap seperti ini. Mustahil kau datang begitu saja menyerahkan diri kemari, bukan?”

“Me-menyerahkan diri, maksudnya? Ya, nggak mungkinlah. Entah gimana ceritanya kami bisa terpisah, Raka ninggalin aku sendirian di pinggir jalan, terus dikejar anjing, ketemu mayat hidup terus ketemu manusia-manusia aneh, melompat ke sungai, terus ketemu kamu,” cicit Ana tanpa titik koma.

“Kukira kau berniat bunuh diri di dalam hutan ini, makanya tadi aku sempat ragu untuk menolong, tapi melihat tubuhmu terbawa arus yang berlawanan, itu pertanda dari hutan kau adalah orang tersesat yang membutuhkan pertolongan,” sahut lelaki bermata tajam itu. 

“By the way, makasih, ya, udah nolong aku tadi, tapi kamu sebenernya siapa, sih?” Ana menatap lelaki yang mengenakan pakaian lusuh itu. 

“Penduduk asli hutan ini. Rumahku agak masuk ke arah barat. Aku berniat membawamu ke rumah tadi, tapi karena kau mengigil kedinginan makanya aku menghidupkan api saja sambil menunggumu sadar. Kau terus saja mengigau nama Raka. Jika kau berkenan, sementara bagaimana kalau ke rumahku dulu, ada baju yang bisa digunakan di sana, dan kita bisa menyusun rencana untuk membawamu keluar dari hutan ini.”

“Membawaku keluar dengan menyusun rencana, emangnya kita seberapa jauh dari jalan raya? Kamu paham jalan raya, kan. Jalan yang dilalui oleh kendaraan?

“Paham, aku memang orang asli sini tapi bukan berarti tidak tahu juga kehidupan di luar hutan bagaimana. Dan sayangnya kau berada jauh sangat dalam di inti hutan, perlu waktu beberapa hari untuk bisa keluar. Jika kau berminat dengan tawaranku kau bisa ikut aku pulang dulu, istirahat sebentar lalu kita lanjutkan perjalanan. Jika tidak aku tinggalkan kau seorang diri di sini dan kau bisa lanjutkan sendiri perjalananmu.” Lelaki itu berdiri dan mulai melangkah meninggalkan Ana, ia tidak suka menawarkan bantuan dua kali. 

“Eh tunggu. I-iya aku ikut dengamu. Maaf, kalau aku salah kata tadi, aku cuma nggak mau tertipu lagi.” Ana tersenyum memamerkan giginya yang rapi, “Namamu siapa, kalau aku boleh tahu. Aku Ana.” tanyanya sambil mencoba mensejajarkan langkah dengan lelaki di sampingnya.

“Bagus,” jawabnya singkat, “Raka itu siapa? Nama yang kau igaukan dalam tidurmu tadi?”

“Oh, dia itu suamiku, kami baru dua minggu menikah, terus bulan madu nggak terlalu jauh di villa dekat kota ini.”

“Hmm, sudah menikah rupanya. Aku kira kau masih gadis, wajahmu sangat cantik, aku hampir tergoda tadi,” gumam Bagus seorang diri.

Ana menghentikan langkahnya seketika, ia teringat dengan boneka Martha yang tidak ada dalam genggaman tangannya. 

“Tadi waktu kamu tolong aku, ada lihat boneka cantik, nggak?”

Bagus menghentikan langkahnya agar Ana bisa menyusulnya.

“Tidak ada, hanya tas ransel itu yang kau bawa.”

“Yah, sayang banget, donk, kalau sampai hanyut.”

“Sudah lupakan saja, kalau berjodoh kalian pasti berjumpa lagi,” jawabnya pada Ana.

“Emangnya bisa, kan, boneka nggak bisa jalan sendiri?”

“Di hutan ini, semuanya yang nggak mungkin bisa jadi mungkin.”

 Mereka melanjutkan perjalanan berdua menuju rumah Bagus.

Untuk menghilangkan rasa dingin yang perlahan mulai menyergap Ana terus mengajak Bagus berbicara, lelaki dengan gaya bahasa formal itu menjawab setiap pertanyaan Ana karena jarak rumahnya masih lumayan jauh. Wanita itu juga menanyakan maksud dari orang-orang yang datang untuk bunuh diri di hutan tersebut.

“Nanti kau lihat saja, kalau ada tubuh-tubuh yang masih tergantung di atas pohon dengan jerat di leher, itu pertanda mereka bunuh diri,” jelas Bagus.

Sejenak Ana berpikir, tiga mayat yang ia jumpai di awal waktu apakah mereka juga ingin bunuh diri? Jika ia memang iya, lalu mengapa membawa peralatan lengkap untuk menyisiri hutan.

“Apa semua yang mati di sini karena bunuh diri?”

“Tidak juga, ada yang memang mati dibunuh oleh pemilik hutan ini karena melanggar peraturan.”

“Melanggar peraturan seperti apa sampai harus mati dibunuh?” Ana menggenggam erat tangannya sendiri.

“Berkata kasar, menantang seisi hutan, dan juga bercinta di dalam hutan.” Bagus berhenti dan mendekatkan wajahnya pada Ana, wanita itu mundur beberapa langkah.

“Di hutan ini apa nggak ada binatang buas?”

“Di sini bukan binatang buas yang harus kau takuti, tapi orang-orang yang mengejarmu tadi, itulah yang harus kau hindari, karena mereka melakukan ritual meminum darah manusia untuk ilmu hitam.”

Sambil berjalan Bagus menjelaskan bahwa orang-orang dengan wajah nyaris terlihat semua tulangnya itu, karena bersekutu dengan salah satu penghuni wilayah Hutan Larangan. Harganya tidaklah murah, daging dan darah manusia wajib mereka santap agar ilmunya kekal dan tidak musnah. Sengaja mereka lakukan ritual di malam bulan purnama agar lebih mudah menemukan orang-orang tersesat atau yang ingin bunuh diri di dalam hutan. Setelah menyantap daging dan darah itu, maka wajah mereka akan pulih seperti sedia kala.

“Terus kenapa mereka nggak tangkap kamu buat tumbal?”

“Karena aku lebih tahu situasi di hutan ini daripada mereka, aku bisa bersembunyi dengan mudah, berbaur dengan pohon-pohon besar dan semak belukar. Sekarang coba kau lihat di atas kepalamu ada apa?” Tiba-tiba saja Bagus mengalihkan topik pembicaraan.

Ana enggan melihat ke atas, ia masih mengingat dengan jelas perkataan lelaki berambut sebahu itu, tentang orang yang mati gantung diri. Namun, jemari Bagus memaksanya mendongak ke atas. Lekas Ana memejamkan matanya kembali. Ada beberapa tubuh manusia menggantung di pohon, mati dengan leher terjerat tali. Anehnya ia tidak mencium bau bangkai sedari tadi. Seolah membaca kebingungan Ana, Bagus menjelaskan bahwa ada banyak pohon yang bisa menyerap bau mayat di sekitar hutan. Begitu juga tubuh-tubuh itu akan dimakan oleh binatang buas yang akan melintas di sekitar pohon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status