Beranda / Fantasi / Series Hutan Larangan / Pelaku Sekte Sesat

Share

Pelaku Sekte Sesat

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-21 06:49:34

Bagian 5

Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.

Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan. 

Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia memasuki hutan.

Berkali-kali wanita berambut panjang itu membuka kompas dari dalam ransel, tapi sama sekali benda itu tidak berfungsi, jarum penunjuk arahnya berputar terus menerus tanpa menunjukkan ke arah yang tepat. Sekalipun menunjukkan arah yang tepat wanita itu juga tidak menguasai area hutan yang pertama kali terpaksa berada di dalamnya.

Ana berhenti sejenak untuk beristirahat, gegas ia membuka ransel dan mengambil tali yang panjang. Akalnya mulai berpikir jika terus-terusan berada di dalam hutan bukan tidak mungkin senter akan kehabisan daya dan gelap pun semakin menjadi menemaninya. Secepatnya wanita itu mengikat tali ke pohon demi pohon yang dilewatinya. Jika bertemu lagi dengan pohon yang sudah diikat, itu artinya dirinya masih berputar-putar di jalan yang sama.

Ana tidak menyadari ketika ia mengikatkan talinya ke sebatang pohon, maka boneka Martha yang melepaskan ikatan itu dengan mudah. Hingga, walaupun ia merasa sudah berjalan beberapa meter menjauh, tetapi, tetap saja sebenarnya ia masih berputar-putar di tempat yang sama.

Kilatan cahaya membuat wanita bermata cokelat itu memicingkan matanya. Hawa yang sedikit hangat menyapa tengkuknya. Ia pun bergegas mencari asal cahaya itu, siapa tahu ada seseorang yang bisa menolongnya untuk keluar dari Hutan Larangan. Tali itu ia kumpulkan kembali dan dibawanya serta. Perlahan wanita berambut panjang tersebut, melihat sekumpulan orang dengan baju hitam melingkari api unggun di wilayah hutan yang sedikit dibabat. Tinggi orang-orang itu sama, kepalanya ditutup oleh tudung hitam, satu orang memimpin sebuah ritual dengan membacakan mantera yang Ana sendiri tidak mengerti maksudnya apa.

“Ehm.” 

Ana mencoba berkomunikasi dengan salah seorang berbaju hitam, tetapi tidak ada sahutan. Lagi, ia mencoba dengan suara yang lebih keras, tetap saja tidak ada jawaban. Mereka bergeming seolah-olah tidak menyadari kehadiran Ana.

“Pak, Bu. Boleh saya minta tolong,” ulangnya lagi.

Pemimpin ritual itu, menghentikan pembacaan mantera dan menunjuk wajah Ana dengan telunjuknya. Seketika, semua perhatian tertuju pada wanita cantik itu. Orang-orang pun mulai mendekati dirinya sambil membawa tongkat dari besi tajam dengan bekas darah yang ada di sekitar api unggun. Seolah-olah mengerti dengan nyawanya terancam bahaya, Ana bergegas berlari, walau kulitnya harus tergores ranting pohon atau pun duri di sepanjang jalan.

Ia terus berlari, hingga orang-orang berbaju hitam dengan wajah nyaris terlihat seluruh tulang-belulangnya itu mulai melambatkan langkah mengejar Ana. Namun, wanita itu dihadapkan pada dua pilihan sulit di depannya. Menceburkan diri di sungai yang arusnya deras atau pasrah tertangkap dan dijadikan tumbal. Orang-orang berbaju hitam tersebut semakin dekat dengannya, hingga ia pun terpaksa menceburkan diri.

Melihat Ana di dalam sungai, rombongan manusia dengan wajah tidak utuh itu pun berbalik arah kembali ke tempat ritual mereka. Tubuh wanita itu hanyut melawan arus sungai seorang diri, seolah-olah sungai itu menyelematkannya dari arus yang semakin deras. Akan tetapi, cuaca dingin membuatnya nyaris tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri di dalam air, hingga seseorang datang dan membawanya ke daratan saat kesadarannya sudah benar-benar terbawa ke alam mimpi.

***

“Raka,” gumam Ana ketika membuka matanya. 

Wanita itu bergegas duduk dan berusaha mengumpulkan kesadarannya, dilihat lebih jelas, lelaki di hadapannya bukanlah suaminya.

“Sudah sadar?” tanya lelaki itu di hadapannya.

“Kamu siapa? Manusia atau mayat atau hantu atau rombongan mereka tadi?”

Lelaki itu tersenyum. “Aku penduduk asli di hutan ini, kau tadi hanyut hampir tenggelam di sungai, makanya aku tolong.”

“Oh, tapi apa bener kamu manusia?” tanyanya dengan penuh keraguan.

“Kau tidak percaya? Apa kakiku terlihat tidak memijak tanah?” 

Ana memperhatikan kaki lelaki itu yang jelas-jelas berada di tanah.

“Jelas, aku nggak akan percaya gitu aja. Bukan sekali ini aku jumpa hal-hal aneh di dalam hutan, tapi udah berkali-kali.”

“Iya, aku paham kalau kau tidak percaya denganku. Lagipula aku ingin tahu, bagaimana caranya wanita cantik sepertimu bisa berada di tengah hutan di malam gelap seperti ini. Mustahil kau datang begitu saja menyerahkan diri kemari, bukan?”

“Me-menyerahkan diri, maksudnya? Ya, nggak mungkinlah. Entah gimana ceritanya kami bisa terpisah, Raka ninggalin aku sendirian di pinggir jalan, terus dikejar anjing, ketemu mayat hidup terus ketemu manusia-manusia aneh, melompat ke sungai, terus ketemu kamu,” cicit Ana tanpa titik koma.

“Kukira kau berniat bunuh diri di dalam hutan ini, makanya tadi aku sempat ragu untuk menolong, tapi melihat tubuhmu terbawa arus yang berlawanan, itu pertanda dari hutan kau adalah orang tersesat yang membutuhkan pertolongan,” sahut lelaki bermata tajam itu. 

“By the way, makasih, ya, udah nolong aku tadi, tapi kamu sebenernya siapa, sih?” Ana menatap lelaki yang mengenakan pakaian lusuh itu. 

“Penduduk asli hutan ini. Rumahku agak masuk ke arah barat. Aku berniat membawamu ke rumah tadi, tapi karena kau mengigil kedinginan makanya aku menghidupkan api saja sambil menunggumu sadar. Kau terus saja mengigau nama Raka. Jika kau berkenan, sementara bagaimana kalau ke rumahku dulu, ada baju yang bisa digunakan di sana, dan kita bisa menyusun rencana untuk membawamu keluar dari hutan ini.”

“Membawaku keluar dengan menyusun rencana, emangnya kita seberapa jauh dari jalan raya? Kamu paham jalan raya, kan. Jalan yang dilalui oleh kendaraan?

“Paham, aku memang orang asli sini tapi bukan berarti tidak tahu juga kehidupan di luar hutan bagaimana. Dan sayangnya kau berada jauh sangat dalam di inti hutan, perlu waktu beberapa hari untuk bisa keluar. Jika kau berminat dengan tawaranku kau bisa ikut aku pulang dulu, istirahat sebentar lalu kita lanjutkan perjalanan. Jika tidak aku tinggalkan kau seorang diri di sini dan kau bisa lanjutkan sendiri perjalananmu.” Lelaki itu berdiri dan mulai melangkah meninggalkan Ana, ia tidak suka menawarkan bantuan dua kali. 

“Eh tunggu. I-iya aku ikut dengamu. Maaf, kalau aku salah kata tadi, aku cuma nggak mau tertipu lagi.” Ana tersenyum memamerkan giginya yang rapi, “Namamu siapa, kalau aku boleh tahu. Aku Ana.” tanyanya sambil mencoba mensejajarkan langkah dengan lelaki di sampingnya.

“Bagus,” jawabnya singkat, “Raka itu siapa? Nama yang kau igaukan dalam tidurmu tadi?”

“Oh, dia itu suamiku, kami baru dua minggu menikah, terus bulan madu nggak terlalu jauh di villa dekat kota ini.”

“Hmm, sudah menikah rupanya. Aku kira kau masih gadis, wajahmu sangat cantik, aku hampir tergoda tadi,” gumam Bagus seorang diri.

Ana menghentikan langkahnya seketika, ia teringat dengan boneka Martha yang tidak ada dalam genggaman tangannya. 

“Tadi waktu kamu tolong aku, ada lihat boneka cantik, nggak?”

Bagus menghentikan langkahnya agar Ana bisa menyusulnya.

“Tidak ada, hanya tas ransel itu yang kau bawa.”

“Yah, sayang banget, donk, kalau sampai hanyut.”

“Sudah lupakan saja, kalau berjodoh kalian pasti berjumpa lagi,” jawabnya pada Ana.

“Emangnya bisa, kan, boneka nggak bisa jalan sendiri?”

“Di hutan ini, semuanya yang nggak mungkin bisa jadi mungkin.”

 Mereka melanjutkan perjalanan berdua menuju rumah Bagus.

Untuk menghilangkan rasa dingin yang perlahan mulai menyergap Ana terus mengajak Bagus berbicara, lelaki dengan gaya bahasa formal itu menjawab setiap pertanyaan Ana karena jarak rumahnya masih lumayan jauh. Wanita itu juga menanyakan maksud dari orang-orang yang datang untuk bunuh diri di hutan tersebut.

“Nanti kau lihat saja, kalau ada tubuh-tubuh yang masih tergantung di atas pohon dengan jerat di leher, itu pertanda mereka bunuh diri,” jelas Bagus.

Sejenak Ana berpikir, tiga mayat yang ia jumpai di awal waktu apakah mereka juga ingin bunuh diri? Jika ia memang iya, lalu mengapa membawa peralatan lengkap untuk menyisiri hutan.

“Apa semua yang mati di sini karena bunuh diri?”

“Tidak juga, ada yang memang mati dibunuh oleh pemilik hutan ini karena melanggar peraturan.”

“Melanggar peraturan seperti apa sampai harus mati dibunuh?” Ana menggenggam erat tangannya sendiri.

“Berkata kasar, menantang seisi hutan, dan juga bercinta di dalam hutan.” Bagus berhenti dan mendekatkan wajahnya pada Ana, wanita itu mundur beberapa langkah.

“Di hutan ini apa nggak ada binatang buas?”

“Di sini bukan binatang buas yang harus kau takuti, tapi orang-orang yang mengejarmu tadi, itulah yang harus kau hindari, karena mereka melakukan ritual meminum darah manusia untuk ilmu hitam.”

Sambil berjalan Bagus menjelaskan bahwa orang-orang dengan wajah nyaris terlihat semua tulangnya itu, karena bersekutu dengan salah satu penghuni wilayah Hutan Larangan. Harganya tidaklah murah, daging dan darah manusia wajib mereka santap agar ilmunya kekal dan tidak musnah. Sengaja mereka lakukan ritual di malam bulan purnama agar lebih mudah menemukan orang-orang tersesat atau yang ingin bunuh diri di dalam hutan. Setelah menyantap daging dan darah itu, maka wajah mereka akan pulih seperti sedia kala.

“Terus kenapa mereka nggak tangkap kamu buat tumbal?”

“Karena aku lebih tahu situasi di hutan ini daripada mereka, aku bisa bersembunyi dengan mudah, berbaur dengan pohon-pohon besar dan semak belukar. Sekarang coba kau lihat di atas kepalamu ada apa?” Tiba-tiba saja Bagus mengalihkan topik pembicaraan.

Ana enggan melihat ke atas, ia masih mengingat dengan jelas perkataan lelaki berambut sebahu itu, tentang orang yang mati gantung diri. Namun, jemari Bagus memaksanya mendongak ke atas. Lekas Ana memejamkan matanya kembali. Ada beberapa tubuh manusia menggantung di pohon, mati dengan leher terjerat tali. Anehnya ia tidak mencium bau bangkai sedari tadi. Seolah membaca kebingungan Ana, Bagus menjelaskan bahwa ada banyak pohon yang bisa menyerap bau mayat di sekitar hutan. Begitu juga tubuh-tubuh itu akan dimakan oleh binatang buas yang akan melintas di sekitar pohon.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Series Hutan Larangan    Bunga Es

    Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai

  • Series Hutan Larangan    Harus Ke Mana?

    “Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal

  • Series Hutan Larangan    Diusir

    Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi

  • Series Hutan Larangan    Tersiksa

    Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita

  • Series Hutan Larangan    Perpisahan

    Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a

  • Series Hutan Larangan    Harapan

    Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status