Bagian 4
Sudah sejam lebih Raka memacu mobilnya, tetapi tidak juga ia temukan keberadaan wanita yang baru beberapa waktu ia nikahi. Begitu juga dengan warung makan di pinggir jalan, tidak kunjung ia jumpai. Seharusnya jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya berhenti ketika bertemu dengan sang mantan. Suasana di tepi hutan itu jangan ditanya lagi, sudah pasti angin yang berembus semakin menusuk tulang.
Ia melambatkan laju mobil ketika matanya menangkap gapura tempatnya menemukan boneka yang dipungut Ana. Dari dalam mobil terlihat olehnya bayangan anak kecil dengan rambut dijalin dua melambaikan tangan padanya. Bergegas lelaki itu memutar balik kendaraannya, artinya ia mundur jauh ke belakang.
Raka semakin frustasi mencari keberadaan Ana, perlahan ia menarik kasar rambutnya, merenungi kesalahan apa yang mereka lakukan hingga tersesat di wilayah Hutan Larangan. Bagaimana dengan nasib Ana yang entah di mana keberadaannya? Belum tuntas rasa bimbangnya, ia dikejutkan oleh kehadiran wanita yang sempat ia beri tumpangan beberapa waktu lalu. Wanita itu duduk di sebelah kursinya begitu saja.
“Bukankah sudah kukatakan, kembalikan boneka itu dan jangan membuat ulah di wilayah ini. Sekarang kalian rasakan sendiri akibatnya,” ujarnya, sambil memalingkan wajah ke arah lelaki berkacamata itu.
“Apa maumu, di mana istriku!” tanya Raka dengan nada mengancam.
“Dia diambil oleh penghuni asli hutan ini. Wajahnya yang cantik menjadi idaman bagi mahluk-mahluk bernafsu di dalam sana. Ikhlaskan saja istrimu, kembalilah ke rumah dengan selamat seorang diri.”
“Sial!”
Raka hendak mencekik wanita paruh baya itu, tetapi niatnya tidak terlaksana, karena wanita aneh itu menghilang begitu saja dari hadapannya.
“Ana, tunggu, kita pasti kembali ke rumah bersama-sama.”
Lelaki itu menghentikan kendaraannya dan memeriksa beberapa peralatan sederhana yang bisa ia bawa untuk menelusuri hutan itu. Tidak peduli seberapa luas dan angkernya di dalam sana, ia akan berusaha menemukan kembali Ana. Ia temukan dua buah senter mini yang mampu hidup beberapa jam, beberapa meter tali dan jaket tebal yang ia bongkar dari dalam tasnya. Tidak ketinggalan air mineral yang masih utuh ia bawa untuk persediaan selama di dalam hutan. Mobilnya, ia letakkan di bawah pohon besar yang usianya sudah ratusan tahun, dan daunnya sudah hampir menyentuh tanah. Dengan langkah penuh keyakinan ia menjejakkan tapak kakinya di hutan yang sangat gelap.
****
Kegelisahan melanda Ana. Ia bimbang harus memulai langkah dari mana, hutan itu seakan menutup akses jalan keluarnya. Ranting demi ranting dari berbagai macam pohon menutup jalan tempatnya masuk tadi. Ia terus saja berjalan mengikuti nalurinya, meskipun ia tidak tahu akan berakhir di mana. Telapak kakinya perih karena tergores tanaman-tanaman kecil yang ia jumpai sepanjang jalan. Wanita berambut panjang itu mencoba berteriak meminta tolong. Namun, hanya gema suaranya saja yang kembali diiringi suara burung hantu yang hinggap di atas pepohonan.
Tidak ada lagi tetes air mata yang membasahi wajahnya. Ana mencoba berani agar ia bisa segera keluar dari hutan angker itu. Beberapa meter berjalan ia pun kelelahan dan duduk di bawah pohon besar untuk beristirahat. Ana haus, tapi tidak ada setetes pun air untuk diminum. Hanya boneka Martha yang ia bawa. Dipeluknya boneka itu dengan erat, berharap melenyapkan sedikit rasa dingin di tubuhnya. Perlahan tangan mungil boneka cantik itu membelai rambut indah Ana, hingga wanita itu benar-benar terlelap ke alam mimpi.
***
Sebuah tepukan di bahu membuat Ana yang baru beberapa menit tertidur, bangun kembali. Ia melirik ke arah sentuhan tangan itu berasal. Ana melihat seorang lelaki dengan peralatan camping lengkap di bahu, tersenyum padanya.
“Akhirnya aku ketemu orang lain juga setelah tersesat selama tiga hari di sini,” ujarnya, ketika duduk tidak jauh dari Ana.
“Maaf, tapi kamu siapa, ya? Terus kenapa bisa sampai di sini?” tanya Ana pesaran.
Lelaki yang ia temui tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan mengumpulkan beberapa ranting kering disekitarnya, menumpuknya, dan menghidupkan api untuk mengusir rasa dingin yang semakin menjadi. Melihat hal itu, Ana bergegas mendekatkan telapak tangannya untuk menghangatkan tubuh.
“Kami sedang melakukan perjalanan menelusuri hutan ini. Tadinya kami ada bertiga, tapi terpisah waktu kabut tebal mulai datang. Kompas juga nggak berfungsi, entah kenapa tiba-tiba rusak. Senter pun mulai kehabisan daya. Perbekalan tinggal sedikit. Udah hampir putus asa, untung aja aku ketemu sama kamu di sini, jadi nggak merasa sendirian.”
“Oh,” jawab Ana singkat, “dalam rangka apa kalian menelusuri hutan?”
“Untuk konten youtube. Kami merasa tertantang dengan komen dari followers. Katanya kalau bernyali taklukkan medan di Hutan Larangan. Ya kami coba aja.”
“Kurang kerjaan,” cemooh Ana.
“Demi subscriber yang berujung dolar.” Pemuda itu menyodorkan botol air minum pada Ana dan sepotong roti padanya.
Mereka berdua makan dalam keadaan hening, sesekali lelaki yang belum menyebutkan namanya itu menambah beberapa ranting agar api tidak padam.
“Mbaknya sendiri kenapa bisa ada di sini sendirian, terus nggak ada pakai perlengkapan masuk hutan, nekat banget, sih?”
“Tadinya aku berdua sama suami mau pulang ke kota. Nggak tahu kenapa bisa tersesat. Terus kami pergi makan, terus ditinggalin gitu aja sama suami. Aku nunggu lama banget, habis itu dikejar anjing dan terpaksa, deh, masuk ke sini.”
“Ha? Mana ada di sepanjang hutan ini warung makan? Tertipu kali, Mbak. Bisa jadi itu halusinasi yang diciptakan oleh mahluk bunian di sini. Mereka emang suka mengecoh manusia dengan memberi makan, minum, jadinya kita susah mau lepas dari pengaruh hutan ini. Harusnya dipikir dulu, donk, mana ada warung di tengah hutan gini.”
Ana memutar bola mata, malas mendengar ocehan orang yang baru saja ditemui.
“Ya, mana aku tahu, namanya juga udah kelaparan, ditambah cuaca dingin, takutnya gerd kalau nggak segera isi perut.”
“Terus rencana Mbak sekarang apa?”
“Ya nunggu pagi, biar ada sinar matahari terus cari jalan keluar.”
“Yakin? Aku yang sudah terjebak tiga hari di sini aja ngerasa siang dan malam nggak ada bedanya. Sinar matahari nggak pernah kelihatan. Suer.” Ia mengacungkan dua jari membentuk tanda sumpah.
Ana terdiam beberapa saat, lelaki di hadapannya itu tampak bersunguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Dalam hatinya, hanya berharap Raka segera menemukannya, karena sama sekali wanita bermata cokelat itu tidak memiliki pengalaman memasuki hutan.
“Nggak tahu, semoga aja ada yang nolongin kita. Sekarang aku mau tidur dulu, beneran ngantuk.”
“Namaku Riki, Mbak.” Pemuda itu mengeluarkan selimut untuk Ana.
“Aku, Kirana. Panggil aja Ana.” Ia menerima uluran selimut itu, menutupi tubuhnya dan bergegas melanjutkan istirahatnya yang tertunda.”
Riki memperhatikannya dengan seringai menyeramkan.
***
“Ana!” teriak Raka menelusuri jalan setapak yang ada di dalam hutan.
Sia-sia saja, tidak ada jawaban dari arah manapun. Senternya ia arahkan ke sana kemari untuk menemukan keberadaan Ana. Namun, dari arah kiri, sesosok mahluk dengan baju putih bersih berdiri di sebelahnya.
“Sayang, kamu nggak menyerah juga, ya. Untuk apa juga nyari istri baru kamu, dia sudah jadi tumbal hutan ini, nggak mungkin kembali.” Asih menggenggam tangan Raka.
“Kamu cuma ilusi, kan. Nggak masuk akal kalau kamu ada di hutan ini sendirian.”
“Harus kuingatkan kenapa aku bisa di sini.” Asih membelai pipi Raka perlahan, “Kalau aku cuma ilusi, lalu siapa yang kamu ajak bercinta beberapa jam lalu?”
“Aku nggak peduli.” Raka melanjutkan perjalanan tanpa menghiraukan keberadaan mantan istrinya.
Merasa diabaikan, Asih menahan langkah Raka dengan memanjangkan rambutnya. Lelaki itu memegang lehernya yang tercekik oleh helaian legam. Mereka berdua berhadap-hadapan, hanya saja kondisi Raka melayang di atas tanah karena pergerakan rambut Asih.
“Jangan pikir kamu bisa pergi dari hadapanku begitu saja, Sayang. Ingat, kita pernah hidup bersama dulu, bahkan sampai saat ini aku belum melupakanmu.” Asih mengehempaskan tubuh Raka beberapa meter dari hadapannya. Lelaki itu terbatuk, kepalanya membentur batang pohon, hingga penglihatannya gelap.
****
Ana terbangun ketika suara burung hantu ia rasa semakin dekat dengan pendengarannya. Ia membuka mata perlahan, mencari keberadaan Riki yang bersamanya tadi. Tidak ia temukan. Ia takut jika pemuda itu meninggalkannya seorang diri. Begitu juga dengan api unggun tidak ada sama sekali. Perlahan wanita cantik itu mencari ponsel di saku celananya, menghidupkan flash dan memindai keadaan sekitar.
Matanya membulat ketika mengarahkan sinar ke arah pohon tinggi di hadapannya. Sesosok tubuh tergantung di atas sana, sebagian sudah membusuk dan dimakan ulat. Pakaiannya sama dengan yang digunakan Riki, pun dengan ransel yang menggantung di punggungnya. Ana menggelengkan kepala, ia merasa perutnya mual dengan bau menyengat yang tercium, kemudian memuntahkan semua isi perutnya.
Setelah muntahnya mereda, ia melanjutkan lagi perjalanan yang tertunda tanpa menghiraukan mayat yang tergantung di atas pohon. Tak sanggup lagi wanita itu berpikir atas peristiwa mengerikan yang menimpanya selama berada di wilayah Hutan Larangan. Boneka Martha masih ia pegang. Ia terus dan terus berjalan beberapa meter menjauh, hingga terjatuh karena kakinya menabrak sesuatu. Ana meraba benda yang menyandungnya, darah menjejak di telapak tangannya.
Ia mengambil kembali ponselnya, mencari tahu. Dengan jelas dilihatnya dua tubuh lain duduk dan terlilit akar pohon. Bahkan di bagian leher, akar pohon itu menjerat hingga tubuh itu mati dengan mulut menganga lebar.
“Jangan-jangan mereka bertiga ini mati mengenaskan dibunuh oleh hantu di dalam sini,” ujarnya seorang diri, “ya Tuhan, tolong, aku hanya ingin pulang.” Ana terisak kembali sembari bangkit meninggalkan dua mayat yang juga mulai digerogoti ulat.
Namun, baru beberapa langkah Ana kembali ke tubuh yang terikat itu. Cepat ia mengambil salah satu ransel milik mereka yang tergeletak di dekat pohon. Ia temukan beberapa peralatan yang ia rasa bisa membantunya mencari jalan keluar. Setelah membuang beberapa benda yang tidak dibutuhkan, Ana menggandeng ransel tersebut di bahunya dan melanjutkan perjalanannya dengan terisak. Boneka Martha melambaikan tangan pada dua buah mayat yang mereka tinggalkan begitu saja.
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak