POV ArumHanya beberapa hari tinggal di Solo, khususnya kampung batik Laweyan ini membuatku merasa sudah betah. Bagaimana tidak, selain warganya ramah, suasana sangat damai serta unik. Terutama, arsitektur bangunan di kampung ini yang menurutku memiliki ciri khasnya tersendiri. Apalagi sejarah tempo dulu tentang pembuatan dan pemasaran batik, membuat kampung ini menjadi salah satu destinasi wisata di kota solo. Kampung ini terletak di sisi selatan Kota Solo, Jawa Tengah, berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Kampung Laweyan istimewa bukan semata-mata karena merupakan kampung tua yang eksotis, tapi juga karena menyimpan jejak panjang industri batik di Solo. Pada awal abad ke-20, Kampung Batik Laweyan pernah mengalami masa kejayaan sebagai kampung saudagar batik pribumi. Membuat kota ini terasa istimewa di mataku.Suasana kampung dengan rumah-rumah kuno dan gang-gang jalan yang dibatasi tembok-tembok putih tinggi mendominasi. Termasuk rumah kontrakan yang kutinggali ini persis sepert
“Makasih, ya, Rum. Kamu mau bantu aku. Kamu memang sahabat terbaikku,” ucap Shofie dengan riang.“Justru aku yang mau ucapin makasih sama kamu, Shof. Kamu udah ngasih aku kerjaan. Maaf, kalau aku terus merepotkanmu selama ini.”“Jangan minta maaf begitu kalau kamu masih nganggap aku teman. Kita ini sahabat, kan? Teman akan membantu di saat sedang kesusahan.”Ah, temanku yang satu ini memang orang paling baik yang pernah kukenal.Mendengar kata-kata Shofie membuat mata ini berkaca-kaca. Aku merasa begitu terharu dengan segala kebaikan yang Shofie berikan. Entah mengapa, aku merasa akhir-akhir ini semakin cepat emosional dan terbawa suasana. Sebenarnya ada apa dengan diriku ini?“Kamu udah bisa kerja mulai hari ini, Rum. Tiap hari aku akan ke sini buat cek laporan dari kamu, sambil makan malam bareng. Kalau di rumah aku suka kesepian,” ujar Shofie. Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan di lantai atas.Ruangan kerja dengan segala pernak-pernik tempo dulu masih ter
Sudah waktunya aku menjemput Erika ke Jakarta, setelah sebelumnya kuberi tahu dia serta menyuruhnya untuk bersiap-siap karena aku takkan lama di Bandung.Aku hanya akan datang menjemput, pada hari itu juga kami harus langsung kembali ke Jakarta, sebab aku cuma memiliki satu hari untuk libur. Sebelum kusiapkan jadwal untuk bulan madu kami ke Bali sesuai keinginan Erika.“Sayang, Mas sebentar lagi sampai. Kamu siap-siap lagi jangan sampai ada barang-barangmu yang ketinggalan,” ucapku di telepon ketika aku mampir dulu ke SPBU untuk mengisi bahan bakar mobilku.“Iya, Mas. Sudah, kok. Aku tunggu, ya, Mas.” Terdengar dari sana Erika sangat antusias, mungkinkah istriku itu sudah tak sabar untuk kubawa pindah. Salahku dari awal tak membawa, serta menyuruhnya tinggal di Jakarta. Aku tak perlu repot-repot untuk bolak-balik pulang pergi Jakarta-Bandung dan sebaliknya. Semua itu sungguh merepotkan, persis seperti sekarang ini..Setelah sampai di rumah Erika, aku disambut oleh istri cantikku itu
Karena kelelahan, tak sadar aku bangun kesiangan sampai-sampai lupa waktu untuk salat subuh. Kuraba kasur di sebelahku, ternyata Erika masih tidur di tempat yang sama denganku. Mungkin dia juga kelelahan setelah pergulatan kami semalam. Kusibak rambut yang menutupi pundak mulusnya lalu kukecupi dari belakang.“Sayang, bangun, sudah siang.” Membuat istri mudaku itu menggeliat. Dengan berat dia membuka matanya dengan perlahan.“Aku masih ngantuk, Mas. Badanku capek dan pegal-pegal,” racaunya dengan suara serak khas bangun tidur.Kulirik jam di atas nakas, sudah pukul enam pagi. Masih ada waktu panjang untukku siap-siap ke Rumah Sakit.“Mas mau kenalin kamu ke Bi Surmi dan Mang Mansur. Mereka asisten dan sopir Mas di rumah ini. Kalau enggak kenalan, entar mereka kaget saat lihat kamu,” bujukku kembali. Kupeluk dia dari belakang. “Lagian, Mas ingin merasakan masakan buatan istri Mas yang cantik ini, bisa, kan?” Erika berbalik badan menghadap kepadaku lalu mengangguk sambil tersenyum man
Dua hari Erika tak mau bicara padaku. Dia begitu marah sejak aku tak sengaja membandingkannya dengan Arum. Istri mudaku itu memang susah dibujuk kalau sudah merajuk. Jika sudah begini, kepalaku pusing karena memikirkannya. Saat pulang bekerja, kusempatkan untuk mampir ke toko bunga dan perhiasan. Aku bermaksud untuk memberikan kejutan kepada Erika. Berharap amarahnya akan reda dengan sikap manis yang kuberikan. “Satu buket bunga mawar merah, ya, Mbak,” pesanku pada pemilik toko bunga yang kukunjungi. Setelah sebelumnya membawa pesanan kalung dari toko khusus. “Baik, Mas. Ditunggu sebentar,” jawabnya. Beberapa menit kemudian pemilik toko tersebut memberikan bunga pesananku. Di dalam perjalanan, kupandangi benda yang kubeli tersebut sambil tersenyum membayangkan reaksi Erika nanti. “Dia pasti senang mendapatkan kejutan ini dariku dan berakhir menghabiskan waktu seperti biasa,” ujarku antusias. Setelah sampai di rumah. Erika menyambutku dengan wajah cueknya. “Asalamualaikum, Sayang
“Sabar, dong, Ga. Gue kan lagi jelasin. Gue udah selidiki semuanya dan sengaja pergi ke sana. Ternyata benar, istri Lo, Arum betul tinggal di sana. Gue udah menemukannya,” terang Ibnu membuatku terlonjak saking bahagianya. “Serius, Nu?” “Ya ialah, masa gue bercanda. Entar gue kirim alamatnya setelah ini. ,” jelasnya membuatku bernapas lega. “Makasih atas bantuannya, ya, Nu,” ucapku dengan tulus. Kalau bukan karena bantuan temanku itu Arum tak mungkin kutemukan sekarang. Tak lama setelah panggilan telepon mati, Ibnu mengirimkan alamat Arum di solo melalui pesan. Dengan tak sabar kucek tiket kereta api menuju ke sana hari ini. Ternyata keberangkatan pukul sembilan kurang lima belas menit nanti malam. Kebetulan masih ada tiket dengan kelas eksekutif yang masih kosong. Dapat! Aku mengelus dadaku sambil bersyukur dalam hati. Beruntung sekali aku bisa mendapatkan kemudahan ini. Tak harus menunggu lama untuk segera bertemu dengan Arum. Tiba-tiba rasa rindu ini semakin membuncah. Saking
“Sayang, kamu kenapa? Ini suamimu sudah datang.” Kupeluk tubuh Arum sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun, tak ada reaksi apa pun dari istriku itu. Meskipun aku dokter, tak mungkin mengurusnya sendiri tanpa alat. Takut terjadi apa-apa terhadapnya, segera kupesan taksi online untuk membawa kami ke Rumah Sakit terdekat di kota ini. Para tetangga yang mendengar suaraku memanggil Arum, membuat mereka satu-persatu berdatangan untuk melihat kami. Kupindahkan tubuh istriku ke atas sofa di ruang tamu ini. “Maaf, Anda siapa, ya? Kenapa bisa datang ke rumah ini? Apa hubungan Anda dengan Arum?” tanya seorang ibu-ibu yang datang menghampiriku. Dia memandang penuh selidik. “Oh iya, perkenalkan saya Arga, suami dari Arum.” Semua orang mangut-mangut dan saling berpandangan satu sama lain. “Oh begitu, soalnya setahu saya Arum memang hanya tinggal sendiri sejak dia pindah kemari. Saya tidak tahu kalau Mas-nya ini suaminya.” “Tidak apa-apa, Bu.” Aku tersenyum, tak mungkin kukatakan pada semua orang
Menurut dokter kandungan yang memeriksa kondisi kehamilan Arum, beliau mengatakan istriku itu sudah mengandung sekitar delapan Minggu. Berarti, kehamilan ini terjadi sebulan sebelum dia pergi. Kenapa aku tak menyadari ini semua. Sebagai seorang dokter, seharusnya aku tahu, perubahan fisik dari Arum istriku. Atau mungkin aku saja yang tak peka karena terlalu sibuk memikirkan Erika istri mudaku itu. Saat itu aku hanya fokus pada kesenangan diri sendiri. Apalagi kami berdua masih menjadi pengantin baru yang tengah hangat-hangatnya. Aku memang egois sudah abai kepada Arum di saat kondisi psikis dia sedang tak stabil karena hamil. Apalagi hatinya telah kusakiti dengan pengkhianatan. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya istriku itu sadar. “Alhamdulillah, kamu sudah bangun, Sayang.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya, membuat dia menoleh dan membulatkan mata dengan lebar. Lalu, dengan cepat Arum melepaskan tautan tangan kami. Dia membuang muka seolah jijik melihat wajahku. “S