Share

Episode 6

Author: Pistachio
last update Last Updated: 2022-06-14 19:10:10

~••°••~

Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami.

"Rindu?"

Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor.

"Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah.

"Dari mana, kenapa sendiri?"

"Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah."

"Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"

Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu.

"Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."

Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, melepaskan perlahan. Berusaha melepaskan sesak yang tertahan dari tadi.

Sampai di depan rumah, tidak lupa aku berterima kasih kepada Pak Mus yang baik hati. Emak yang melihatku datang, menyusul hingga ke tepi jalan. Beliau mengucap terima kasih dan menawarkan Pak Mus untuk mampir. Ternyata beliau sedang terburu-buru, langsung pergi setelah basa-basi sebentar sekali.

"Kenapa bisa sama Pak Jorong, Rin?"

"Ketemu di jalan, Mak."

Aku mendahului langkah Emak. Masuk ke rumah, berganti pakaian, mengambil wudhu, kemudian salat Ashar. Selesai salat, aku lihat Emak sedang fokus membuang urat bawang. Kopi di gelas sudah kosong. Aku inisiatif membuatkan yang baru.

Aku menghampiri Emak, meletakkan kopi baru di meja kecil yang dulu dibuat Bapak. Dirakit dari papan-papan bekas pembangunan mesjid. Kecil saja, sebagai tempat meletakkan kopi dan camilan saat mereka kerja di beranda rumah.

"Emak sudah makan?" tanyaku sembari duduk di samping Emak.

"Sudah tadi sebelum salat Ashar. Kamu sudah makan, Rin?"

"Nantilah, Mak. Sebentar lagi. Rindu mau bilang sesuatu dulu."

"Nggak! Kamu makan dulu sana. Kebiasaan melalai-lalaikan makan. Eh, nanti kalau sudah jadi anak kos, gimana, Rin? Siapa yang ingetin makan?" Emak mendorong keningku dengan telunjuk. Aku tertawa dengan kepala terhuyung sedikit.

Tentu aku tidak mau Emak mengomel lebih panjang lagi. Segera berdiri dan menuju dapur. Emak masak gulai jantung pisang. Pasti sangat enak, tercium sedap saat tudung tersingkap.

Selesai makan, tumpukan piring kotor dan bekas peralatan memasak sudah menunggu di eksekusi. Mumpung belum terlalu sore, sebaiknya aku bereskan dulu pekerjaan ini. Sambil menyusun kalimat untuk menyampaikan berita bahagia pada Emak.

Tidak butuh waktu lama. Aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini. Piring sebaskom besar, hanya perlu beberapa menit saja.

Dari depan terdengar suara Kak Kasih. Suaranya lumayan keras. Kebiasaan buruk kakakku itu adalah tidak pandai mengatur volume suara, sekali pun itu sedang bicara dengan Emak.

"Nah, ini dia!" seru Kak Kasih melihat aku muncul.

"Sudah, Kasih. Jangan marahi Rindu. Emak yang kukuh minta dia ke sana."

"Apa Kakak bilang, Rin? Tidak perlu kamu ke sana, nggak ada gunanya. Hanya sakit hati yang akan kamu dapat. Kamu bandel!"

"Rindu hanya nurut kata Emak, Kak."

"Nih, baca!"

Ponsel Kak Kasih menyala terang. Sebuah aplikasi berkirim pesan berwarna hijau sedang terbuka. Ada nama Etek Yarni tertulis di sana.

[Mentang-mentang mau menjadi dokter adik kamu itu, Kasih. Pergi tanpa pamit, tidak ada sopan santun sama sekali. Sekolah semakin tinggi bukannya jadi orang pintar malah jadi kurang ajar. Kasih, jangan lupa kamu ya. Kamu bisa menamatkan SMA kalau bukan karena Etek, entahlah!]

[Saat ini, silakan tertawa lebar, Kasih. Semua orang sedang mengelu-elukan, memuja-muja Rindu yang lulus terbaik. Sampai di mana beasiswa itu mau kalian banggakan, ha? Setengah jalan nanti kalau kendala paling larinya ke Etek lagi. Ke siapa lagi kalau bukan?]

[Tolong diajari sopan santun sedikit. Mentang-mentang jadi artis, viral ke mana-mana. Sampai di mana? Ingat ya, kalau nanti butuh uang di setengah jalan, jangan merengek-rengek minta bantuanku!]

Bergemuruh dalam dadaku membaca pesan dari Etek Yarni. Dia Etekku, sama seperti ibuku. Adik kandung, seibu-sebapak dengan Bapak kami. Tetapi, mengapa sikap Etek seperti orang lain bahkan sejak kami kecil-kecil dulu. Betul, kami miskin, sementara dia kaya raya. Namun, bahkan sejak Bapak masih ada ... tidak pernah kami menadah tangan meminta apa pun padanya.

Kak Kasih setahuku juga tamat SMA bukan sepenuhnya atas jasa Etek. Selama dia bersekolah selalu dapat beasiswa prestasi. Setiap semester bukan Etek yang mengeluarkan uang. Nenek yang kasih uang untuk beli buku, memang Etek yang pergi membelikan. Haruskah itu diungkit terus seumur hidup?

"Rindu minta maaf, Kak." Aku menjadi takut melihat Kak Kasih begitu emosi.

"Sudahlah, Mak. Dulu, setiap lebaran ke sana bawakan kue segala macam, ketika Nenek masih ada. Apa pernah dimakan Etek? Tidak pernah, Mak. Mungkin dia takut keracunan.

Ketika Bapak masih ada pun, setiap ke sana wajahnya selalu masam. Kalau ada Bapak, alangkah manisnya mulut. Giliran cuma kami yang datang, entah seperti apa buruk rupanya Etek!"

"Kasih, sudahlah, Nak."

Kalau Emak mau mengungkit masa lalu, bisa kami jadikan senjata. Dahulu, setelah Bapak dan Emak menikah, mereka merantau ke Bengkulu. Kak Kasih lahir di sana. Merintis usaha rumah makan sederhana.

Kehidupan Emak bisa terbilang sejahtera. Banyak orang kampung sini yang diajak merantau dan dicarikan kerja oleh Bapak. Setelah sukses, lupalah kacang pada kulitnya.

Begitu juga dengan Etek. Karena dia satu-satunya saudara Bapak, maka dengan penuh suka cita Etek disekolahkan. Masuk sekolah SPG namanya waktu itu. Tamat dari SPG langsung jadi guru dan bisa jadi PNS.

Terwujudkan cita-cita Etek Yarni. Menjadi pegawai di usia yang masih muda. Karirnya merangkak naik, tapi usaha Bapak terjun bebas. Tidak mungkin bertahan di rantau, akhirnya pulang ke kampung. Menjadi petani lagi.

Etek mungkin lupa itu semua. Bagaimana Emak menyisihkan laba berjualan untuk baju sekolah dan segala keperluan yang ia butuhkan. Bicara soal Bapak, beliau memang terkesan disiplin. Selepas sekolah, Etek diminta bantu-bantu di rumah makan. Sekadar mengelap meja, mengisi air kobokan yang kosong, mengisi air di teko, dan pekerjaan ringan lain.

Hal itu dijadikan fitnah oleh Etek untuk Bapak dan Emak. Dia memang tidak menyangkal kalau sudah disekolahkan sampai menjadi pegawai oleh Bapak. Tetapi, dipelintir cerita lain ... dia bilang dijadikan pembantu oleh kakak dan iparnya.

Cerita itu berkembang belum lama, baru beberapa tahun terakhir semenjak ia diangkat jadi kepala sekolah. Sampailah desas-desus itu ke telinga kami sekeluarga. Menjadi pemicu menurunnya kondisi Bapak.

Bapak yang punya penyakit darah tinggi dan diabetes, selalu kambuh bila teringat cerita jahat itu. Kemudian drop dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kekecewaan yang dipikul Bapak sangat berat, fitnah keji dari adik kandung sendiri.

"Andai kehidupan aku lebih sejahtera, Mak. Rasanya ingin aku kembalikan semua yang pernah diberikan oleh Etek. Dari pada diumpat terus menerus."

Kalau boleh berandai-andai, katakanlah Etek tiba-tiba menjadi baik dan menguliahkan aku. Tanpa berpikir lagi, aku akan menolaknya. Sesuai permintaan Bapak di saat-saat terakhir beliau hidup.

Emak menghentikan pekerjaannya. Memutar arah duduk dan menatap padaku, Kak Kasih, padaku lagi. Wajah Emak menjadi serius.

"Tadi, apa yang terjadi di rumah Etek?" tanya Emak lembut.

Sebelum menjawab, aku menoleh pada Kak Kasih dulu. Mencari keberanian seperti yang ia miliki. Di matanya, ada kepercayaan diri yang sangat besar. Ingin aku memintanya sedikit, agar tidak minderan lagi seperti biasa.

"Tidak ada apa-apa, Mak."

"Jujur saja, Rin!" desak Kak Kasih. Kenapa dia selalu tahu kalau aku berdusta?

"Rindu menunggu sangat lama, Mak. Setengah jam lebih, duduk sendirian di luar. Rumah dikunci, rumah tetangga juga kosong. Etek pulang bersamaan dengan Pak Etek Zal. Pas lagi buka pintu, dia bilang 'Etek belum gajian.'

Rindu tersinggung mendengar itu, Mak. Nggak jadi masuk rumah, langsung balik badan, jalan terus bergegas. Sampai ketemu Pak Mus."

"Tuh, 'kan! Dikiranya kita kalau datang hanya untuk uang. Astaghfirullah, piciknya otak Etek!" geram Kak Kasih.

Emak menatap padaku lama. Kemudian menghirup udara lewat hidung, mengempaskan cepat lewat mulut. Aku masih menunggu Emak akan berbuat apa? Akan diapakan aku ini?

"Tidak bisa kita bantah, Etek Yarni tetaplah Etek kalian. Emak cuma berpesan, seperti apa pun sakit hati yang kalian pendam saat ini, tolong dikeluarkan dan buang. Tidak elok, menjadi penyakit nanti.

Kehidupan ini tidak ada yang tahu, Nak. Semuanya adalah misteri. Sekarang boleh jadi Etek Yarni sedang di puncak, entahlah besok, lusa, bulan depan, tahun depan. Kita tidak sedang mendoakan keburukan untuknya. Jadikan sebagai pelecut untuk diri sendiri.

Saat ini katakanlah kita sedang di bawah, Nak. Kehidupan bukan sedang menghukum kita, bukan. Allah sedang memberi pelajaran berharga untuk kita hikmahi dengan baik.

Entah nanti itu kamu, Kasih. Ataukah itu kamu, Rindu. Salah satu dari kalian, atau justru keduanya akan menaikkan derajat keluarga kita setinggi-tingginya."

Mendengar nasihat Emak, perlahan tenang terasa gejolak di dada.

"Maafkan sikap Etek kalian!" ulas Emak. "Dia boleh jadi sedang khilaf. Tidak mungkin Allah menciptakan manusia yang buruk dan jahat. Allah menciptakan semua ciptaan-Nya dengan sebaik-baik penciptaan."

Aku tercenung mendengar nasihat Emak. Bagaimana cara Emak melapangkan hati seperti ini? Setelah semua fitnah dan sikap Etek selama ini, Emak masih bisa bersangka baik kepadanya. Malah masih sempat mendo'akan kebaikan untuk Etek Yarni. Kejernihan hati yang dimiliki oleh Emak tercermin dalam sikap, lisan, dan raut wajah yang selalu meneduhkan.

Emak merupakan penetralisir gejolak emosi kami anak-anaknya.

~••°••~

To be continue!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nunik Finishe
ceritanya mengandung bawang...
goodnovel comment avatar
Kimberlin Tan
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 100

    Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 99

    Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 98

    ♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 97

    Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 96

    Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 95

    Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 94

    Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 93

    Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 92

    ♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status