Share

Episode 6

~••°••~

Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami.

"Rindu?"

Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor.

"Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah.

"Dari mana, kenapa sendiri?"

"Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah."

"Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"

Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu.

"Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."

Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, melepaskan perlahan. Berusaha melepaskan sesak yang tertahan dari tadi.

Sampai di depan rumah, tidak lupa aku berterima kasih kepada Pak Mus yang baik hati. Emak yang melihatku datang, menyusul hingga ke tepi jalan. Beliau mengucap terima kasih dan menawarkan Pak Mus untuk mampir. Ternyata beliau sedang terburu-buru, langsung pergi setelah basa-basi sebentar sekali.

"Kenapa bisa sama Pak Jorong, Rin?"

"Ketemu di jalan, Mak."

Aku mendahului langkah Emak. Masuk ke rumah, berganti pakaian, mengambil wudhu, kemudian salat Ashar. Selesai salat, aku lihat Emak sedang fokus membuang urat bawang. Kopi di gelas sudah kosong. Aku inisiatif membuatkan yang baru.

Aku menghampiri Emak, meletakkan kopi baru di meja kecil yang dulu dibuat Bapak. Dirakit dari papan-papan bekas pembangunan mesjid. Kecil saja, sebagai tempat meletakkan kopi dan camilan saat mereka kerja di beranda rumah.

"Emak sudah makan?" tanyaku sembari duduk di samping Emak.

"Sudah tadi sebelum salat Ashar. Kamu sudah makan, Rin?"

"Nantilah, Mak. Sebentar lagi. Rindu mau bilang sesuatu dulu."

"Nggak! Kamu makan dulu sana. Kebiasaan melalai-lalaikan makan. Eh, nanti kalau sudah jadi anak kos, gimana, Rin? Siapa yang ingetin makan?" Emak mendorong keningku dengan telunjuk. Aku tertawa dengan kepala terhuyung sedikit.

Tentu aku tidak mau Emak mengomel lebih panjang lagi. Segera berdiri dan menuju dapur. Emak masak gulai jantung pisang. Pasti sangat enak, tercium sedap saat tudung tersingkap.

Selesai makan, tumpukan piring kotor dan bekas peralatan memasak sudah menunggu di eksekusi. Mumpung belum terlalu sore, sebaiknya aku bereskan dulu pekerjaan ini. Sambil menyusun kalimat untuk menyampaikan berita bahagia pada Emak.

Tidak butuh waktu lama. Aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini. Piring sebaskom besar, hanya perlu beberapa menit saja.

Dari depan terdengar suara Kak Kasih. Suaranya lumayan keras. Kebiasaan buruk kakakku itu adalah tidak pandai mengatur volume suara, sekali pun itu sedang bicara dengan Emak.

"Nah, ini dia!" seru Kak Kasih melihat aku muncul.

"Sudah, Kasih. Jangan marahi Rindu. Emak yang kukuh minta dia ke sana."

"Apa Kakak bilang, Rin? Tidak perlu kamu ke sana, nggak ada gunanya. Hanya sakit hati yang akan kamu dapat. Kamu bandel!"

"Rindu hanya nurut kata Emak, Kak."

"Nih, baca!"

Ponsel Kak Kasih menyala terang. Sebuah aplikasi berkirim pesan berwarna hijau sedang terbuka. Ada nama Etek Yarni tertulis di sana.

[Mentang-mentang mau menjadi dokter adik kamu itu, Kasih. Pergi tanpa pamit, tidak ada sopan santun sama sekali. Sekolah semakin tinggi bukannya jadi orang pintar malah jadi kurang ajar. Kasih, jangan lupa kamu ya. Kamu bisa menamatkan SMA kalau bukan karena Etek, entahlah!]

[Saat ini, silakan tertawa lebar, Kasih. Semua orang sedang mengelu-elukan, memuja-muja Rindu yang lulus terbaik. Sampai di mana beasiswa itu mau kalian banggakan, ha? Setengah jalan nanti kalau kendala paling larinya ke Etek lagi. Ke siapa lagi kalau bukan?]

[Tolong diajari sopan santun sedikit. Mentang-mentang jadi artis, viral ke mana-mana. Sampai di mana? Ingat ya, kalau nanti butuh uang di setengah jalan, jangan merengek-rengek minta bantuanku!]

Bergemuruh dalam dadaku membaca pesan dari Etek Yarni. Dia Etekku, sama seperti ibuku. Adik kandung, seibu-sebapak dengan Bapak kami. Tetapi, mengapa sikap Etek seperti orang lain bahkan sejak kami kecil-kecil dulu. Betul, kami miskin, sementara dia kaya raya. Namun, bahkan sejak Bapak masih ada ... tidak pernah kami menadah tangan meminta apa pun padanya.

Kak Kasih setahuku juga tamat SMA bukan sepenuhnya atas jasa Etek. Selama dia bersekolah selalu dapat beasiswa prestasi. Setiap semester bukan Etek yang mengeluarkan uang. Nenek yang kasih uang untuk beli buku, memang Etek yang pergi membelikan. Haruskah itu diungkit terus seumur hidup?

"Rindu minta maaf, Kak." Aku menjadi takut melihat Kak Kasih begitu emosi.

"Sudahlah, Mak. Dulu, setiap lebaran ke sana bawakan kue segala macam, ketika Nenek masih ada. Apa pernah dimakan Etek? Tidak pernah, Mak. Mungkin dia takut keracunan.

Ketika Bapak masih ada pun, setiap ke sana wajahnya selalu masam. Kalau ada Bapak, alangkah manisnya mulut. Giliran cuma kami yang datang, entah seperti apa buruk rupanya Etek!"

"Kasih, sudahlah, Nak."

Kalau Emak mau mengungkit masa lalu, bisa kami jadikan senjata. Dahulu, setelah Bapak dan Emak menikah, mereka merantau ke Bengkulu. Kak Kasih lahir di sana. Merintis usaha rumah makan sederhana.

Kehidupan Emak bisa terbilang sejahtera. Banyak orang kampung sini yang diajak merantau dan dicarikan kerja oleh Bapak. Setelah sukses, lupalah kacang pada kulitnya.

Begitu juga dengan Etek. Karena dia satu-satunya saudara Bapak, maka dengan penuh suka cita Etek disekolahkan. Masuk sekolah SPG namanya waktu itu. Tamat dari SPG langsung jadi guru dan bisa jadi PNS.

Terwujudkan cita-cita Etek Yarni. Menjadi pegawai di usia yang masih muda. Karirnya merangkak naik, tapi usaha Bapak terjun bebas. Tidak mungkin bertahan di rantau, akhirnya pulang ke kampung. Menjadi petani lagi.

Etek mungkin lupa itu semua. Bagaimana Emak menyisihkan laba berjualan untuk baju sekolah dan segala keperluan yang ia butuhkan. Bicara soal Bapak, beliau memang terkesan disiplin. Selepas sekolah, Etek diminta bantu-bantu di rumah makan. Sekadar mengelap meja, mengisi air kobokan yang kosong, mengisi air di teko, dan pekerjaan ringan lain.

Hal itu dijadikan fitnah oleh Etek untuk Bapak dan Emak. Dia memang tidak menyangkal kalau sudah disekolahkan sampai menjadi pegawai oleh Bapak. Tetapi, dipelintir cerita lain ... dia bilang dijadikan pembantu oleh kakak dan iparnya.

Cerita itu berkembang belum lama, baru beberapa tahun terakhir semenjak ia diangkat jadi kepala sekolah. Sampailah desas-desus itu ke telinga kami sekeluarga. Menjadi pemicu menurunnya kondisi Bapak.

Bapak yang punya penyakit darah tinggi dan diabetes, selalu kambuh bila teringat cerita jahat itu. Kemudian drop dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kekecewaan yang dipikul Bapak sangat berat, fitnah keji dari adik kandung sendiri.

"Andai kehidupan aku lebih sejahtera, Mak. Rasanya ingin aku kembalikan semua yang pernah diberikan oleh Etek. Dari pada diumpat terus menerus."

Kalau boleh berandai-andai, katakanlah Etek tiba-tiba menjadi baik dan menguliahkan aku. Tanpa berpikir lagi, aku akan menolaknya. Sesuai permintaan Bapak di saat-saat terakhir beliau hidup.

Emak menghentikan pekerjaannya. Memutar arah duduk dan menatap padaku, Kak Kasih, padaku lagi. Wajah Emak menjadi serius.

"Tadi, apa yang terjadi di rumah Etek?" tanya Emak lembut.

Sebelum menjawab, aku menoleh pada Kak Kasih dulu. Mencari keberanian seperti yang ia miliki. Di matanya, ada kepercayaan diri yang sangat besar. Ingin aku memintanya sedikit, agar tidak minderan lagi seperti biasa.

"Tidak ada apa-apa, Mak."

"Jujur saja, Rin!" desak Kak Kasih. Kenapa dia selalu tahu kalau aku berdusta?

"Rindu menunggu sangat lama, Mak. Setengah jam lebih, duduk sendirian di luar. Rumah dikunci, rumah tetangga juga kosong. Etek pulang bersamaan dengan Pak Etek Zal. Pas lagi buka pintu, dia bilang 'Etek belum gajian.'

Rindu tersinggung mendengar itu, Mak. Nggak jadi masuk rumah, langsung balik badan, jalan terus bergegas. Sampai ketemu Pak Mus."

"Tuh, 'kan! Dikiranya kita kalau datang hanya untuk uang. Astaghfirullah, piciknya otak Etek!" geram Kak Kasih.

Emak menatap padaku lama. Kemudian menghirup udara lewat hidung, mengempaskan cepat lewat mulut. Aku masih menunggu Emak akan berbuat apa? Akan diapakan aku ini?

"Tidak bisa kita bantah, Etek Yarni tetaplah Etek kalian. Emak cuma berpesan, seperti apa pun sakit hati yang kalian pendam saat ini, tolong dikeluarkan dan buang. Tidak elok, menjadi penyakit nanti.

Kehidupan ini tidak ada yang tahu, Nak. Semuanya adalah misteri. Sekarang boleh jadi Etek Yarni sedang di puncak, entahlah besok, lusa, bulan depan, tahun depan. Kita tidak sedang mendoakan keburukan untuknya. Jadikan sebagai pelecut untuk diri sendiri.

Saat ini katakanlah kita sedang di bawah, Nak. Kehidupan bukan sedang menghukum kita, bukan. Allah sedang memberi pelajaran berharga untuk kita hikmahi dengan baik.

Entah nanti itu kamu, Kasih. Ataukah itu kamu, Rindu. Salah satu dari kalian, atau justru keduanya akan menaikkan derajat keluarga kita setinggi-tingginya."

Mendengar nasihat Emak, perlahan tenang terasa gejolak di dada.

"Maafkan sikap Etek kalian!" ulas Emak. "Dia boleh jadi sedang khilaf. Tidak mungkin Allah menciptakan manusia yang buruk dan jahat. Allah menciptakan semua ciptaan-Nya dengan sebaik-baik penciptaan."

Aku tercenung mendengar nasihat Emak. Bagaimana cara Emak melapangkan hati seperti ini? Setelah semua fitnah dan sikap Etek selama ini, Emak masih bisa bersangka baik kepadanya. Malah masih sempat mendo'akan kebaikan untuk Etek Yarni. Kejernihan hati yang dimiliki oleh Emak tercermin dalam sikap, lisan, dan raut wajah yang selalu meneduhkan.

Emak merupakan penetralisir gejolak emosi kami anak-anaknya.

~••°••~

To be continue!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nunik Finishe
ceritanya mengandung bawang...
goodnovel comment avatar
Kimberlin Tan
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status