Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Juli, 2011~•°•~"Rindu, Ibu minta maaf tidak bisa memberimu izin membawa ijazah ini pulang. Silakan kamu sidik jari dan catat nilainya, ya. Supaya bisa diperlihatkan pada ibunda di rumah."Aku mengulum senyum mendengar penjelasan Ibu Marni, Kepala Bagian Kurikulum. Di atas meja tepat di hadapanku, terhampar ijazah sebagai tanda selesainya pendidikan di sekolah ini. SMAN 01 Gunung Sandi.Harmoni Rindu Umayyah, tertulis dengan huruf besar dan sedikit timbul. Sebelum menempelkan sidik tiga jari di dekat pas foto, aku raba sedikit kertasnya. Ada harapan yang mengalir melalui pori-pori kulitku rasanya."Sabar ya, Nak. Pasti akan ada jalan untuk membawanya pulang." Bu Marni terdengar menguatkan.Aku menatap sebentar ke arah Bu Marni. Manik-manik kaca terbentuk di sana. Bukan tanpa alasan ijazahku sampai tertahan. Tunggakan uang sekolah, tidak bisa ditolerir lagi."Masih untung ananda diizinkan ikut ujian. Namanya sekolah memang butuh biaya, tidak ada yang gratis." Kalimat itu kuterima saat
~••°••~Sepanjang perjalanan menuju rumah, air mataku menghujan deras. Kak Kasih juga sama. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku."Semoga kamu menjadi jalan menaikkan derajat keluarga kita, Rin. Kamu satu-satunya harapan, kalau aku sudah tamat jalan itu."Di depan rumah, Emak sedang membersihkan bawang merah juga seperti Kak Kasih. Semenjak bapak tiada, Emak harus bekerja lebih keras. Tidak jarang sampai tengah malam, aku dan Emak masih memotong akar bawang. Kejar target agar bisa ambil upah agak banyak."Mak!" seru Kak Kasih, menyeretku. "Emak!""Astaghfirullah ... Kasih, kenapa? Ada apa ini?" Emak terperanjat melihat kami datang dalam keadaan menangis."Rindu, kenapa, Nak? Apa yang terjadi?"Aku ambruk memeluk lutut Emak. Segala sesak yang tertahan tumpah di sana. Kak Kasih juga sesenggukan melihatku sudah bersimpuh di kaki Emak."Rindu dapat undangan, Mak. Kuliah kedokteran. Seperti cita-cita bapak," ucap Kak Kasih di sela tangisnya."Jangan bercanda, Sih. Bangun, Nak." Emak
~••°••~Malam ini, kami berkumpul semua. Aku, Emak, Kak Kasih dan suaminya, Aldo dan Rafif—anak Kak Kasih. Suka cita lebur, menyantap goreng ayam balado ditambah nasi hangat. Tidak lupa sayur pucuk daun singkong.Masakan Emak tidak pernah mengecewakan. Selalu menjadi masakan terenak dalam versi apa pun itu. Apalagi menikmatinya dengan hati gembira begini.Secercah kenangan masa lalu, melintas dalam kepala. Ingatan tentang Bapak berpendar di sana. Berduyun-duyun menjadi genangan air mata yang siap terserak.Dahulu, jika Emak masak ayam begini, bapak selalu berpesan agar disisakan hatinya untuk beliau. Lauknya tidak begitu disukai. Bapak lebih memilih ceker, ujung sayap, leher, kepala, dan hatinya."Rin?" tegur Emak. Sepertinya beliau menyadari aku yang mendadak sedih.Tidak kujawab, karena jika satu kata lepas keluar, air mataku juga akan berhamburan bersamanya. Sebaris senyum aku berikan pada Emak. Kak Kasih juga menatap lama ke arahku."Bawang punya Pak RT banyak busuknya, Mak. Agak
~••°••~"Dari mana, Rindu? Kakak dari tadi di sini, pintu nggak dikunci. Emak nggak ada, kamu nggak ada!"Kak Kasih bersama dua anaknya sudah menunggu di depan rumah. Saking buru-buru menyusul Emak, aku sampai lupa mengunci pintu. Padahal rasanya tadi sudah kukunci sebelum berlari pergi."Habis bantu Emak, Kak. Ngantar bawang ke rumah Pak Rinto."Di waktu bersamaan, seorang anak buah Pak Rinto datang menjemput bawang. Dua karung bawang dimuat ke atas gerobak motor. Kak Kasih membantu mengangkat satu karung yang besar."Kok tumben Emak yang antar? Bukannya sebelum ini selalu dijemput?""Emak ada kepentingan lain dengan Pak Rinto, Kak." Mengatakan ini rasanya pedih di hati. Gara-gara aku, Emak harus berhutang sama orang.Kak Kasih hanya mengangguk. Aku paham dia nggak bertanya banyak. Dia pasti menebak-nebak kepentingan Emak yang aku maksud.Anak-anak Kak Kasih merengek ingin makan dengan ayam goreng lagi. Aku membantu mengambilkan nasi. Kak Kasih bagian memipilkan lauknya.Tidak lama,
~••°••~Pukul sembilan kurang beberapa menit, aku sampai di sekolah. Menaiki ojek pangkalan dari rumah, dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sebelum melangkah masuk memasuki gerbang, mataku menatap lekat pada tulisan besar yang melengkung di atas gapura."Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Gunung Sandi." Di bawah tulisan itu tertulis lagi "Tut Wuri Handayani." Ada desir di dada ini. Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya aku menimba ilmu di sini.Tujuan pertamaku adalah bagian tata usaha. Di loket pembayaran yang merupakan hasil sulap sebuah pintu ruangan tersebut dikerumuni banyak siswa. Mereka pastilah punya hajat yang sama denganku."Rindu!" seru seorang teman dekatku. Dari kelas satu, kami sudah akrab. Ranti, adalah teman pertamaku ketika memasuki sekolah ini. Lalu, keisengan jiwa anak remaja membuat label 2R sebagai tanda best friend forever."Sudah selesai punyamu?" Aku menyuguhkan senyum terbaik untuknya."Belum, itu lihat antriannya panjang. Mana Bu Erna ngomel-ngomel nggak jelas da
~••°••~Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami."Rindu?"Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor."Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah."Dari mana, kenapa sendiri?""Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah.""Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu."Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, mele
~••°••~"Sudah, ya. Jangan dijadikan beban pikiran juga omongan Emak."Kak Kasih pamit pulang. Aku bantu Emak merapikan sisa pekerjaannya. Melipat terpal dan menyapu bekas urat bawang.Emak duduk meluruskan kaki di bangku rotan tua. Kursi yang dibeli saat Emak kembali dari Bengkulu. Tentunya banyak kenangan di benda mati nan usang itu. Dia adalah saksi bisu keluarga ini melewati badai kehidupan.Kulihat Emak duduk diam, memandang jauh ke depan. Nelangsa menghampiri hatiku. Pasti Emak sangat lelah. Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak sendirian? Sedangkan Kak Kasih sudah hidup terpisah dengan Emak."Ateu!" seru Aldo, putra sulung kakakku."Loh, Aldo dari mana? Sendirian?" Emak yang menjawab."Dari rumah, Nek. Kata Mama, Ateu sama Nenek nanti tidur di rumah. Papa nggak pulang, pulangnya besok. Dedek Rafif agak demam," jelas Aldo."Biar Ateu Rindu nanti, ya. Nenek nggak ikut.""Emak sendirian di rumah, gimana?" selaku."Mau lipat kain yang kering, Rin. Sudah setinggi gunung tumpukannya.