~••°••~"Sudah, Rin. Sudah, hentikan tangisanmu!" Kak Kasih melonggarkan pelukannya."Rindu ingin Bapak," kataku tersedu-sedu."Astaghfirullah, mengucap, Rindu! Bapak akan sedih melihatmu begini. Munculkan semangat itu, Rin. Tunjukkan pada dunia, kita bisa. Kaki kita kuat menopang semuanya. Bersama Kakak, bersama Emak. Demi Allah, tidak akan Kakak biarkan kamu sendirian, Rin."Sekali lagi aku terisak. Menutup wajah dengan dua telapak tangan. Senyum Bapak menari-nari di pelupuk mataku. Sosok pria yang selalu kutunggu kepulangannya setiap senja."Kamu istirahat dulu, ya. Kalau mau makan, itu tadi kakak masak ikan asin.""Kakak nggak tidur?""Ada sedikit jahitan, orang permak celana. Katanya dijemput besok pagi. Mau dipakai mungkin. Kasihan kalau iya, makanya mau diselesaikan malam ini."Kakak persis seperti Emak. Apa yang bisa ia kerjakan sekarang, akan ia lakukan segera. Tidak pakai entar, tidak pakai nanti. Kehidupan benar-benar membentuk Kak Kasih menjadi pribadi yang kuat dan tanggu
~••°••~"Rindu, langsung ke ruangan kepala sekolah. Silakan, Bu." Pak Huspri mempersilakan kami berjalan lebih dulu.Pak Arzen tersenyum sangat lebar menyambut aku dan Emak. Tidak pernah aku lihat beliau se-semringah itu selama tiga tahun sekolah di SMAN 1 Gunung Sandi. Meski beliau memang selalu tersenyum pada siapa pun, tetapi senyuman kali terasa berbeda."Ibundanya Rindu siapa namanya?" ucap Pak Arzen."Rosmayah," jawab Emak malu-malu."Sebentar, Harmoni Rindu Umayyah. Maaf kalau boleh tahu lagi, ayahandanya Rindu namanya siapa?""Umar Basdi," balas Emak masih bersikap kaku."Umar, Rosmayah. Aah, apakah Umayyah itu gabungan keduanya?"Emak mengangguk dengan senyum terukir indah. Ada binar keceriaan yang tergambar di wajah Emak. Ketakutan dan gugup yang awalnya menahan langkah, sepertinya sudah menguap bersama sambutan dan candaan dari Pak Arzen.Bapak memberi kami nama memang cukup unik. Kak Kasih bernama lengkap Senandung Kasih Umayyah. Sementara aku disematkan nama Harmoni Rindu
~••°••~"Guru kamu baik-baik semua, Rin. Emak keburu keder, kirain pada galak.""Namanya guru ya baik, Mak. Kan untuk digugu dan ditiru. Rindu nggak menyangka sama sekali, sampai begininya penghargaan dari sekolah. Kok Rindu jadi merasa terlalu besar ya, Mak."🌻🌻🌻Sesampainya di rumah, sudah dekat ke waktu Dzuhur. Emak mulai mengeluarkan terpal dan karung bawang. Aku bersalin pakaian, sebelum membantu pekerjaan Emak.Sebelum memulai mengurati bawang, Emak menyeduh kopi dulu, sambil menunggu waktu salat masuk. Aku duduk dekat Emak, memperhatikan gurat bahagia yang tersirat begitu jelas di wajah beliau."Emak kok senyum-senyum terus?""Kamu ini, Rin, Rin. Emak bahagia sekali rasanya. Selama ini, orang sekampung memandang keluarga kita ini begitu lemah. Apalagi semenjak Bapak tidak ada, semakin remeh pandangan orang terhadap kita.Emak merasa, Allah maha baik sedang menunjukkan bagaimana membalas dengan cara terbaik. Melalui nasibmu, Rin. Allah memilih si bungsu Emak untuk menaikkan d
~••°••~Tidak butuh waktu lama untuk tersebarnya berita tentang penarikan kembali sawah oleh Etek Yarni. Warga silih berganti datang bertamu ke rumah. Ada yang betul-betul peduli dan mengecam sikap Etek Yarni, ada yang hanya ingin tahu dan mengompor-ngompori. Emak menjawab semua pertanyaan dengan kalimat senada."Pada dasarnya, sawah itu memang bukan hak milik kami. Hanya hibah dari mertua untuk menantu dan cucunya. Benar juga kata Yarni, aku bisa kewalahan sendirian. Apalagi Rindu akan kuliah di Padang." Demikian jawaban Emak.Etek Yarni seakan menutup mata dan telinga. Santer pembicaraan terdengar tentangnya. Serakah, rakus, tamak, medit, dengki, semua cap buruk berhamburan keluar. Tetapi, dia santai dan seolah-olah tidak peduli.Sore itu Kak Kasih datang tergesa-gesa. Kabar tentang datangnya Etek Yarni kemarin siang baru sampai ke telinganya. Pias wajah Kak Kasih menghampiri aku dan Emak yang sedang mengurat bawang."Assalamualaikum.""Walaikumsalam," jawab kami serempak."Mak, Kas
~••°••~"Barangkali ini hanya ketakutan saya, Bu Ros. Andai, maaf kalau perandai-andaian saya ini sedikit melompat pagar ... andai Yarni menggadai atau bahkan menjual sawah tersebut untuk membayar hutang ke saya ....""Rindu tidak akan biarkan, Bu. Dengan alasan apa pun. Kalau Etek Yarni menggarapnya kemudian hasil panen digunakan untuk mencicil hutang, sekalipun kami tidak dibagi barang sesukat pun, Insya Allah Rindu rida lillahi ta'ala. Tetapi, kalau dia menggadai atau menjual, Rindu dan Kak Kasih yang maju paling depan.""Itu makanya Ibu ke sini, Rindu.""Akad jual beli sawah itu juga butuh saksi, bukan? Harus ada persetujuan juga dari Emak, Rindu dan Kak Kasih yang selama ini tercatat sebagai pemilik di surat sawah.""Surat sawah?" ulang Bu Upik."Sebelum Nenek meninggal, beliau sudah antisipasi dengan menulis surat dengan tulis tangan. Isinya menyebutkan bahwa sawah yang menjadi bagian masing-masing adalah ini, ini, ini. Sebenarnya kalau mau menolak permintaan Etek Yarni, Rindu b
~••°••~Di luar hujan begitu deras. Aku hampir tergelincir tadi ketika hendak berwudhu. Beruntung Emak menyambar lenganku cepat. Tidak jadi terjerembab ke tanah.Hingga Subuh usai, angin masih terdengar begitu keras. Atap dapur dibawa terbang entah berapa helai. Pasti sangat becek di dapur sekarang. Di depan rumah, genangan air mulai meninggi. Bandar di pinggir jalan sudah lama tidak dikeruk, alhasil air dari jalanan yang menurun berbelok ke halaman rumah kami.Rasa ngeri menyergapku. Teringat pohon jengkol yang lumayan tinggi di belakang rumah. Kalau angin tak kunjung berhenti, aku takut dahannya patah menimpa rumah. Atau kemungkinan lebih buruk lain, pohonnya tumbang.Dulu sekali, aku ingat betul kejadiannya. Setelah menerima rapor kenaikan kelas 3. Masih suasana hari libur, tiba-tiba hujan badai begitu kuat. Aku dan Kak Kasih asyik membakar jagung di dapur. Bapak berkali-kali meminta untuk segera masuk rumah. Menyuruh kami meninggalkan dulu jagung-jagung itu. Tetapi, kami bandel. T
"Hah, cuma ini, Mintuo?" seru Uda Revan sembari menyingkap tudung saji. Emak hanya menghela napas berat.Cuma ini, katanya. Hidangan sederhana itu dibuat dengan perjuangan oleh Emak. Butuh seharian kami mengurat bawang untuk dapat uang. Sekadar beli tempe dan ikan asin. Lalu, dengan remehnya dia berkata 'cuma ini.' Rasanya ingin kugampar pangkal telinga manusia satu ini."Uda, kalau mau Rindu kasih masukan, ubahlah perangai tak baik itu. Ada pepatah bukan, dahulukan adab dari pada ilmu. Se-brilian apa juga otak, tanpa etika itu sama dengan nol.""Maksudnya?" Uda Revan menghentikan suapan."Uda dengan entengnya bilang 'cuma ini, Mintuo?' tanpa peduli seperti apa usaha Mintuo Uda untuk bisa menghidangkan masakan sederhana ini di atas meja.""Ikhlas nggak ini Uda makan nasinya?""Bukan soal ikhlas atau tidak, Da. Apalah arti nasi sepiring dengan lauk buruk-buruk seperti itu. Rindu cuma minta Uda bisa menghargai lagi.""Rindu, sudah!" tegur Emak. "Biarkan Uda-mu makan dulu."Uda Revan men
~••°••~Ada perasaan deg-degan membuka tas pemberian Pak Huspri. Keterkejutan itu bertambah tatkala isinya aku keluarkan. Sepotong celana bahan seperti celana orang kantoran, blouse bermotif sakura berwarna Lilac, dan selembar pashmina plisket warna senada. Modelan anak zaman sekarang, yang sempat aku impikan."Mak, bagus-bagus semua, pasti mahal harganya!" seru Kak Kasih."Baru beberapa hari lalu Rindu pernah cerita kan, Mak ... ingin beli baju begini sama pashmina juga. Eh, tahu-tahu ada yang kasih hadiah. Alhamdulillah." Aku terharu sangat terlalu.Emak meraih tas dari bahan kertas tersebut, "Tasnya buat Emak ya, Rin. Bagus buat bawa mukena kalau mau salat ke masjid.""Eh, ada surat, Rin!" seru Emak, menyerahkan secarik kertas padaku.Surat kecil dengan tulisan tangan. Tulisannya rapi dan cantik. Aku mengeraskan suara membacanya, agar terdengar juga oleh Kak Kasih dan Emak.____________Dear Rindu,Salam kenal dari Ibu, ya. Kamu boleh panggil Ibu dengan sebutan Ibu Listi. Selamat a