Share

Episode 5

~••°••~

Pukul sembilan kurang beberapa menit, aku sampai di sekolah. Menaiki ojek pangkalan dari rumah, dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sebelum melangkah masuk memasuki gerbang, mataku menatap lekat pada tulisan besar yang melengkung di atas gapura.

"Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Gunung Sandi." Di bawah tulisan itu tertulis lagi "Tut Wuri Handayani." Ada desir di dada ini. Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya aku menimba ilmu di sini.

Tujuan pertamaku adalah bagian tata usaha. Di loket pembayaran yang merupakan hasil sulap sebuah pintu ruangan tersebut dikerumuni banyak siswa. Mereka pastilah punya hajat yang sama denganku.

"Rindu!" seru seorang teman dekatku. Dari kelas satu, kami sudah akrab. Ranti, adalah teman pertamaku ketika memasuki sekolah ini. Lalu, keisengan jiwa anak remaja membuat label 2R sebagai tanda best friend forever.

"Sudah selesai punyamu?" Aku menyuguhkan senyum terbaik untuknya.

"Belum, itu lihat antriannya panjang. Mana Bu Erna ngomel-ngomel nggak jelas dari tadi. Biasalah, cukup kita paham, 'kan?" balas Ranti juga tersenyum lebar.

Kurang beruntung langkahku hari ini. Dari rumah, aku berharap yang sedang tugas adalah Bu Evi. Petugas TU paling ramah seantero sekolah. Berbanding terbalik dengan Bu Erna, judesnya minta ampun. Hal sepele saja bisa lama ceramahnya. Namun demikian, Bu Erna ligat soal catat mencatat. Sementara Bu Evi cenderung lama, benar-benar diteliti dulu sebelum memberi tanda stempel.

Banyak hal kami bicarakan. Ranti akan kuliah di universitas negeri berbasis islami di Batu Sangkar. Ia mengambil jurusan Keguruan, khususnya Biologi. Rasa bahagia turut hadir ke dalam sukma.

"Kamu jadi ambil kedokteran, Rin? Aku bangga loh sebagai teman kamu. Di saat semua orang bersaing dengan ketat untuk masuk ke sana, kamu malah diundang. Keren banget kamu, Rin. Udah gitu dibayarin ...."

"Ranti?!" seruan Bu Erna memutus obrolan kami. "Mau bayar uang sekolah apa mau mengobrol. Jangan melalai-lalaikan pekerjaan orang ya!"

Aku tersenyum kecut mendengar Omelan Bu Erna. Mimpi apa Ranti semalam? Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba jadi bulan-bulanan omelan Bu Erna.

"Sudah, ya. Ini kwitansi bawa ke bagian kurikulum. Selanjutnya, Rindu!" seru Bu Erna.

"Aku tunggu di koridor." Ranti memberi kode.

"Gimana, Rindu? Mau membayar utang uang sekolah apa mau minta perpanjangan waktu lagi?" Bu Erna menatap tajam padaku.

"Bayar uang sekolah, Bu."

"Total tunggakan kamu Rp. 897.000,- termasuk pembayaran LKS. Mau dibayar semua?"

Aku mengangguk. Kemudian memberikan sembilan lembar uang seratus ribuan pada beliau. Dengan cepat Bu Erna meraih, mengitung lagi sebelum dimasukkan ke laci.

"Coba lihat tanganmu dulu, Rindu. Barangkali ruam-ruam habis pegang uang banyak."

Bodohnya aku mengikuti ucapan Bu Erna. Membolak-balik telapak tangan mencari ruam merah yang dimaksud. Seketika tertawa keras Bu Erna. Aku semakin bingung.

"Rindu, Rindu! Polosnya kamu, Nak. Ibu bercanda."

Sekali lagi aku tersenyum pahit. Candaan yang tidak lucu, menurutku. Ah bukan, aku yang selera humornya rendah. Level candaan Bu Erna tidak tercapai olehku.

"Ini kwitansi lunasnya, silakan bawa ke bagian kurikulum. Rindu, ibu minta maaf kalau selama ini pernah salah-salah kata. Membuat kamu tersinggung, segala macam. Selamat ya, Nak ... semoga menjadi dokter yang amanah dalam profesi. Harumkan nama sekolah kita ya, Nak."

Bu Erna mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dan mencium punggung tangan beliau. Momen sangat langka, yaitu Bu Erna yang kalem.

"Saya juga minta maaf kalau ada salah, Bu."

"Ibu maafkan, Nak. Sukses selalu ya, Rindu."

Kutinggalkan Bu Erna, mencari Ranti yang katanya tadi menunggu koridor. Belum sempat aku bertemu, Pak Huspri sudah memanggil.

Di ruangan kurikulum akhirnya aku bertemu Ranti lagi. Secara bergantian kami menandatangani lembar pernyataan pengambilan ijazah. Kemudian saling tersenyum, hati semakin lega.

"Rindu, ada kekeliruan mengenai beasiswa kamu itu. Temui Pak Huspri segera ya, Nak!" Bu Marni memberi penjelasan.

Ranti kubawa serta. Setelah selesai urusan dengan Pak Huspri, aku ingin bercerita panjang pada Ranti.

"Pak, tadi memanggil saya?" Aku mendekati meja Pak Huspri, guru agama paling kocak se-dunia.

"Ah, Rindu. Duduklah sebentar. Ini Bapak lagi cari-cari berkas beasiswa itu."

Beberapa menit Pak Huspri begitu sibuk berjibaku membalik buku demi buku, kertas demi kertas. Di kolong meja, di bawah bangku, di dalam laci. Semuanya diperiksa.

"Bapak cari apa?" Ranti bertanya ragu-ragu.

"Itu loh, berkas pendaftaran beasiswa bidikmisi."

"Bapak letakkan di mana memangnya, Pak?" Aku turut penasaran.

"Dalam map biru, Rindu. Itu semua berkasnya di-bundle jadi satu."

"Yang bapak kepit, bukan?"

Pak Huspri menoleh segera. Benda yang dicari sampai heboh tadi, ternyata nyelip di antara lengan dan ketiak. Dikepit kuat sejak tadi, malah.

"Astaghfirullah, otakku ini, Ya Allah! Bisa hilang fokus begini ya, Rind?"

"Bapak kurang minum itu, Pak?"

Pak Huspri lalu menjelaskan mengenai program beasiswa Bidikmisi yang dimaksud. Bahwa semua biaya perkuliahan akan di-cover. Beasiswa ini berupa pembebasan dari seluruh biaya pendidikan selama masa perkuliahan di perguruan tinggi, baik uang pangkal maupun SPP per-bulan. Selain itu, mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi juga menerima uang saku untuk biaya kuliahnya yang akan diberikan setiap 6 bulan sekali.

"Kamu sebagai calon mahasiswi, hanya perlu menyiapkan akomodasi untuk kost di Padang. Atau bila ada saudara, bisa juga menumpang satu semester ini."

Aku kehilangan banyak kosa kata mendengar penjelasan Pak Huspri. Awalnya cuma mahasiswi undangan, kini menjadi penerima beasiswa Bidikmisi. Apa Tuhan sedang mengabulkan doa-doa yang kupanjatkan setiap tengah malam melalui Pak Huspri? Entah.

"Ada hal perlu dan penting untuk selalu kamu ingat ya, Rindu. Pertahankan performa nilai akademik setiap semester. Jangan pernah sampai turun dari semester sebelumnya. Bisa?"

"Bisa, pasti bisa! Wong Rindu sepintar ini, kok!" Ranti yang menjawab. Pak Huspri terkekeh mendengarnya.

"Ini lembar kontraknya. Besok bawa orang tua untuk menandatangani berkas-berkas yang akan dikirim ke Dikti.

"Pak, ini beneran?"

"Enggak, saya lagi bercanda, Rindu."

Aku dan Ranti saling tatap, Pak Huspri malah tertawa.

"Benar 100% ini, Rindu. Bapak sederhanakan ya, kamu dapat beasiswa undangan jadi mahasiswa kedokteran di UNAND, dengan biaya kuliah ditanggung oleh Bidikmisi. Paham sampai di sini?" Pak Huspri menjelaskan lagi.

"Tugas kamu hanyalah registrasi ulang setelah semua berkas ini siap. Bisa offline, bisa online. Kalau tidak paham, tanya bapak nanti. Biar bapak bantu uruskan. Paham belum, Rindu?"

Jantungku berpacu lebih kencang. Seperti habis berlari 100m. Tanganku basah dibanjiri keringat.

Belum habis keterkejutan atas informasi dari Pak Huspri, datang lagi kepala sekolah. Memintaku agar keruangannya segera. Takut-takut aku mengikuti beliau. Sementara Ranti menunggu di meja Pak Huspri.

"Rindu, terima kasih banyak sudah mengharumkan nama sekolah kita berkali-kali. Sebagai kepala sekolah, bapak sangat bangga atas prestasi gemilang yang ananda capai." Beliau adalah kepala sekolah idola kami. Pembawaan yang selalu riang, selalu membumi, dekat dengan semua siswa.

"Sama-sama, Pak. Saya juga terima kasih. Tanpa guru-guru di sini, tanpa kebaikan hati bapak memberi kelonggaran waktu pembayaran uang sekolah, apalah saya."

"Lihat lemari itu, Rindu. Sebagian besar piala di sana adalah milikmu."

Aku menoleh cepat, melihat ke arah lemari kaca tinggi besar tempat pajangan piala. Berbagai perlombaan menghasilkan banyak penghargaan. Rasa bangga itu menyusup ke buluh-buluh darah.

Cukup lama aku berbincang-bincang dengan Pak Arzen, kepala sekolah yang kami banggakan. Mulai dari rencana registrasi sampai pada mencari tempat kost. Aku bahkan tidak menyangka, pihak sekolah akan memikirkan sampai sedetail itu.

Hampir tengah hari, aku memutuskan pulang. Seperti pesan Emak, dari sini aku langsung ke rumah orang tua Bapak. Kakek dan Nenek sudah lama tiada, satu-satunya keluarga bapak adalah Etek Yarni, adik beliau.

Etek Yarni adalah kepala sekolah di sebuah SD Negeri, begitu juga suaminya. Kehidupan Etek memang terbilang sudah mapan. Namun, Bapak pernah berpesan untuk tidak bergantung nasib pada orang sekalipun itu keluarga dekat.

Sampai di sana, rumah dikunci. Nampaknya Etek belum pulang. Aku duduk di beranda, menunggu siapa saja yang akan pulang.

Cukup lama aku menunggu, sampai datanglah mobil Innova putih. Pak Etek Zal yang turun lebih dulu, kemudian Etek Yarni. Melihat wajah Etek yang masam aku langsung takut.

"Dari mana?" tanya Etek Datar, langsung membuka kunci pintu.

"Dari sekolah, Tek. Habis jemput ijazah."

"Oh, Etek belum gajian, Rindu. Ada perlu apa ke sini?"

Etek selalu beranggapan kalau aku datang hanyalah karena uang. Lantaran kami orang tak ada? Kalau bukan karena paksaan Emak, aku juga tidak akan datang.

Melihat Etek yang tidak menerima kedatanganku. Perlahan aku mundur. Urung kulangkahkan kaki memasuki rumahnya. Berjalan sejauh mungkin dari rumah itu. Entah sampai ke mana, mungkin sampai ada ojek yang bisa aku tumpangi untuk pulang.

Luka di hatiku ini sudah berkali-kali. Belum kering luka lama, sudah dirajam lagi dengan yang baru. "Dia Etekmu, Rindu." Terngiang-ngiang ucapan Emak. Iya betul, dia Etekku. Sikapnya sama sekali tidak seperti sikap antara Etek dan anak.

~••°••~

To be continue!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status