LOGINBab 5
Janu mengambil satu botol air kemasan yang ada di showcase minuman. Kemudian ia berjalan keluar showroom menuju wanita yang sedang berteduh di bengkel miliknya. Ada beberapa karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka tapi Janu abai. Ia sibuk dengan apa yang ada dalam pikirannya. Hati Janu berdebar kencang ketika jarak semakin terpangkas. Entah mengapa respon badannya seperti itu, berbeda ketika ia berjumpa dengan wanita lain yang baru ia temui, baik customer showroom atau pelanggan bengkel. Ini membuat hati Janu makin penasaran dengan sosok tersebut. Langkah Janu meragu setelah melihat tubuh wanita yang sedang berjongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan di sudut bangunan. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan langkahnya. Ia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri dan melihat dari jarak dekat agar bisa memastikan. "Mbak, permisi," ucap Janu sopan. Sekuat tenaga ia menutupi debar dalam dadanya yang saling berlompatan. Wanita itu membuka tangannya yang menutupi wajah, lalu kepalanya menggeleng kencang. "Jangan. Jangan mendekat." Ia berdiri, lalu berjalan mundur hingga badannya terbentur dinding yang ada di belakangnya. Janu menghentikan langkahnya. Ia mematung. Respon wanita itu membuatnya ragu melanjutkan langkah. "Kenapa dia? Apa jangan-jangan dia benar-benar korban pelecehan? Mengapa responnya begitu?" batin Janu dengan tatapan tak lepas dari wajah di depannya. Pandangannya menyapu sekitar. Kondisi jalanan yang sunyi ditambah dengan derasnya air hujan yang lebat membuat suasana bengkel yang sepi itu tampak menyeramkan. Tak ada lalu lalang kendaraan, hanya ada satu atau dua mobil yang melintas. Janu menghela napas dalam. Bayangan kejadian beberapa tahun lalu kembali terlintas. Suasana yang sama. Sepi, lembab karena hujan juga hanya ada mereka berdua dalam kesunyian senja yang hampir magrib. "Pergi!! Jangan sentuh aku!!" teriak suara itu lagi. "Aku sudah tak perawan, kamu tak akan dapat apa-apa dariku! Aku sudah tak berharga!" lanjutnya lagi. Janu makin tersentak. Kalimat itu, kalimat yang tak mungkin keluar dari wanita biasa. Jelas ada apa-apa dengan wanita itu. Suara itu membuat Janu berpikir keras. Rasa besalah pun makin besar dalam dada Janu. Ia harus bisa mendekati perempuan ini agar tahu penyebab sikapnya yang tak biasa. Tiba-tiba saja ucapan Safitri terlintas begitu saja. Agar bisa membuat hati perempuan di depannya tenang dan nyaman, ia harus memastikan bahwa dirinya adalah orang yang dikenal dan seorang laki-laki baik yang tak berniat kurang ajar padanya. "Mbak jangan khawatir. Saya adalah suami perempuan yang ngobrol sama Mbak di food court tadi. Ini bengkel saya. Di sebelah itu showroom punya saya. Saya tidak ada niatan jahat. Saya hanya ingin memberi minuman," ucap Janu sambil menunjukkan air mineral dalam genggamannya. "Mbak bisa masuk ke dalam kalau tidak keberatan. Di dalam banyak karyawan saya yang lagi lembur. Dari pada di sini sendirian, mana lagi hujan," sambung Janu lagi. Debaran yang semula mengusik hatinya tiba-atiba saja lenyap entah kemana. Nuraini mengangkat wajahnya. Mendengar ucapan Janu, ia merasa aman sebab meskipun tidak mengenal secara langsung, sosok yang disebut oleh Janu adalah nyata dan ia pernah berjumpa secara langsung. "Aku orang baik-baik. Mbak tenang saja. Jangan takut." Lagi, Janu meyakinkan. Namun, bagi seseorang yang pernah mengalami trauma dalam hidupnya, tidak akan bisa begitu saja melupakan kejadian yang pernah menimpa. Hatinya tetap waspada meskipun ia merasa aman. "Makasih, Mas. Tapi saya harus segera kembali." Tak menerima air pemberian Janu, Nuraini bergerak cepat menaiki motornya. "Permisi." Janu mematung menatap motor matic yang dinaiki perempuan itu. Ada sebuah gelenyar aneh dalam hatinya yang sulit untuk diungkapkan. Dalam perjalanan pulang, Nuraini tak henti merapalkan dzikir agar perjalanannya ditengah hujan lebat itu diberi keselamatan. Terlebih ia dijaga dari kejadian seperti masa lalu yang pernah menimpanya. Tak peduli baju yang basah, Nuraini terus saja memacu motornya hingga tiba di depan rumah. Akan tetapi, sebuah mobil yang terparkir di halaman rumahnya membuat hati Nuraini mendadak kesal. "Ada apa lagi ini?" gumamnya dalam hati. Nuraini memarkirkan motornya lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya. "Ini dia datang, Bu. Sebaiknya kita bahas bersama saja sekarang ini!" ucap seorang laki-laki yang tak lain adalah kakak kandung Nuraini. Ia datang dengan masalah yang lagi-lagi membuat seluruh keluarga kerepotan. "Jangan lah, Nak. Nuraini masih muda, masa depannya masih panjang. Jangan kau bebani dia dengan hutang-hutangmu! Kamu yang berbuat, maka kamu juga yang harus bertanggung jawab!" sergah ibunya. "Bu, aku sudah usaha. Tapi apa daya? Usahaku gagal. Ibu sebagai orang tuaku harus membantu aku. Aku malu kalau sampai merepotkan keluarga istriku!" sahut laki-laki itu lagi. "Tapi Mas ngga malu ngerepotin keluarga Mas sendiri?" sahut Nuraini tak lagi bisa diam saja. "Nur, anak laki-laki itu tanggung jawab ibunya sampai mati!! Kalau aku kayak gini, berarti Ibu yang harus bantu aku!" "Mas!! Tapi ngga semuanya dibebankan ke Ibu?!!" sembur Nuraini keras. "Kamu mana ngerti, Nur!! Makanya kamu nikah biar tahu kehidupan rumah tangga macam mana!" "Mas, mbok ya malu sama Ibu! Kamu sudah dewasa, sudah bekerja dan tahu resiko dari kerjaanmu bagaimana! Apa iya terus saja merepotkan Ibu? Kalau kamu ngga bisa bahagiakan Ibu ya minimal jangan menyusahkan!" sentak Nuraini lagi. "Sudahlah, Nur! Cepat ambil sertifikat rumahnya! Aku butuh uang sekarang juga!" "Jangan Nak! Rumah ini peninggalan almarhum bapakmu! Sebisa mungkin pertahankan rumah ini. Jangan sampai jatuh ke tangan rentenir!" "Bu! Waktu Nuraini sakit mental, aku yang biayai semuanya, Bu! Konsultasi ke psikolog itu ngga murah. Aku yang bantu dia pergi dan memfasilitasi dia di luar kota agar dia bisa hidup dengan tenang dan layak! Sekarang, saat aku susah begini kalian diam saja? Jawab Nur!!!!" sentak laki-laki di depan Nuraini. Mendengar ucapan kakaknya, Nuraini terdiam membisu. Kalimat demi kalimat itu menampar pipinya, menghancurkan hatinya yang masih berusaha ia tata dengan perlahan dan hati-hati. Rupanya, traumanya itu tak cukup membuat mentalnya terluka tapi juga menjadi beban di hati kakaknya. "Baiklah. Mas Herfi butuh uang berapa?" tanya Nuraini dengan tatapan nanar. Hati yang berdebar karena trauma itu ia acuhkan demi membalas semua yang kakaknya berikan. "Dua ratus juta, Nur. Kamu cukup berikan sertifikat rumah ini saja biar nanti kuambil pas aku punya uang." "Apa Mas yakin bisa menebus hutang direntenir yang meskipun kamu bayar bunganya terus saja berjalan?" tanya Nuraini lantang. Ia tahu bagaimana watak kakaknya. "Aku akan usahakan." "Kamu ingat, Mas, mesin obras Ibu yang kamu gadaikan? Kemana sekarang mesin itu?" balas Nuraini yang seketika membuka ingatan masa lalu Mas Herfi. "Jangan ambil sertifikat Ibu. Akan kuusahakan uangnya besok siang." Nuraini berucap tanpa berpikir dari mana ia bisa mendapatkan uang itu.Bab 78Janu mengendarai mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak bisa menerima semua ini. Pernikahan yang sedang diperjuangkan, rupanya diputuskan sepihak oleh wanita yang diharapkan menjadi teman setia. Kebahagiaan yang sudah dibayangkan akan bisa dilalui dengan mudah, rupanya tidak demikian dengan kenyataan yang ada. Berulang kali Janu memukul bundaran setir karena kesal. Ia butuh pelampiasan. Ia butuh bicara untuk mendapatkan pencerahan dari permasalahan yang sedang dihadapi. Namun, saat ini tak ada yang bisa diajak bicara. Janu hanya mampu diam sambil menikmati kesedihan yang sedang menderanya. Ponsel Janu tiba-tiba saja berbunyi. Ia meraih benda di atas dashboard itu sebelum menerima panggilan tersebut. "Assalamu'alaikum Mas," ucap sebuah suara di ujung sana. Janu mengurangi kecepatannya agar bisa berbicara dengan tenang. Ia lupa mengabari bahwa dirinya sedang pergi hari ini dan belum bisa menjemputnya. "Waalaikumsalam. Mas belum bisa jemput sekarang."Nuraini terdiam. Ad
Bab 77Janu melempar surat itu ke sembarang arah. Ia tak bisa menerima semua ini. Perpisahan bukan akhir dari tujuannya untuk mendapatkan keturunan. Bagaimana pun, hubungan mereka sudah terjalin cukup baik dan tak bisa berakhir begitu saja karena masalah ini. Tak bisa diam saja, Janu segera menghubungi kakak iparnya. Ia yakin, istri Herman itu pasti tahu sesuatu. "Mbak, apa yang terjadi dengan Fitri selama aku pergi mencari Nuraini? Dia tiba-tiba pergi, lalu sekarang surat cerai tiba-tiba datang ke rumah. Aku tak paham dengan semua ini, Mbak!" Janu mengomel tanpa jeda. "Maafkan aku, Nu. Aku hanya menuruti apa yang diminta oleh Ibu. Lagi pula, mungkin ini keputusan yang tepat sebab kasihan Fitri kalau terus ada di sini.""Apa maksudmu kasihan? Dia istriku, Mbak! Aku menyayanginya apapun keadaan dia!""Kamu sayang padanya, tapi Ibu? Apa kamu tahu apa yang diucapkan Ibu setelah tahu Nuraini hamil? Justru kalau kalian masih bersama, aku malah lebih kasihan dengan Fitri.""Apa yang Ibu
Bab 76Safitri menangis di bawah pohon. Hatinya sesak melihat laki-laki yang dicintainya terpaksa dilepas untuk dimiliki wanita lainnya. Kondisinya memang memiliki kekurangan tapi cintanya utuh. Bahkan laki-laki itu sudah menjadi sandaran hatinya selama ini. Bagaimana Fitri bisa dengan mudah melepasnya sementara ia sudah menggantungkan hidupnya pada lelaki yang bergelar suami? Fitri menghirup udara dalam-dalam. Ia berharap udara yang masuk itu bisa menghilangkan sesak yang masih saja membuat hidungnya sulit bernapas. "Ya Allah, aku ridho dengan ujian ini. Hamba ikhlas tapi tolong mudahkan segala prosesnya," ucap Fitri sambil meremas dadanya. Nyeri itu masih bertahan di sana. Perlahan, Fitri mengatur napasnya. Bertahan di tempat ini sepertinya bukan keputusan yang baik. Sewaktu-waktu Janu bisa saja kembali. Ia harus mencari tempat yang nyaman untuk tinggal hingga hatinya kuat untuk memutuskan semuanya. Terlebih menghadap suaminya kembali untuk mengurus proses perceraiannya. Fitri
Bab 75Assalamu'alaikum Mas. Bagaimana Nuraini? Sudah ketemu? Aku bantu banyak doa biar Nuraini cepat ditemukan. Saat kamu baca surat ini, mungkin aku sudah pergi. Aku bahagia akhirnya kamu bisa mendapatkan keturunan yang mungkin selama ini hanya mampu kamu pendam sendiri. Dalam lubuk hatimu yang paling dalam, aku tahu sebenarnya kamu menginginkannya, bukan? Hanya saja kamu menutupinya di depanku. Beruntung aku segera sadar dan memilih pergi sebelum semuanya terlambat. Selamat atas kehamilan Nuraini, wanita yang pernah kamu renggut kesuciannya. Selamat karena kamu telah berhasil menebus kesalahanmu padanya. Pasti nanti wajah anak kamu lebih mirip sama kamu. Karena selama ini kamu sedih banget saat Nuraini pergi. Kamu ngebatin ya, Mas? Kamu pasti rindu usap-usap perut istrimu itu. Andai kamu tahu, Mas. Aku pun ingin diusap perutnya saat hamil. Pasti aku merasa menjadi wanita yang sempurna. Pasti aku bahagia sekali. Tapi sayangnya, aku tidak akan mendapatkan kesempatan itu. Bisa h
Bab 74Dalam perjalanan menuju rumah Nuraini, Janu sedang menata hati. Ia menyiapkan banyak kata untuk berbicara kepada mertuanya secara langsung. Tak salah jika wanita yang sudah melahirkan Nuraini itu marah sebab Janu tak meminta izinnya saat akan menikah. "Kenapa diam aja, Mas?" tanya Nuraini cemas. Sepanjang perjalanan ia hanya memperhatikan wajah suaminya yang yang tampak tegang. Janu menoleh sambil mengulum senyum. Tangannya meraih tangan sang istri untuk digenggam erat. "Ngga apa-apa, Sayang. Mas hanya berusaha menata hati agar Ibu mau menerima kehadiranku yang sudah beristri ini.""Sudah selesai marahnya kemarin. Mungkin sekarang Ibu hanya butuh kejelasan soal status kita." Nuraini berucap tanpa ekspresi. "Itu yang Mas masih pikirkan.""Memangnya siapa yang akan Mas pilih?" tanya Nuraini sambil menatap wajah suaminya yang sedang fokus mengemudi. "Menurutku wajar kalau Ibu bilang begitu. Orang tua mana yang mau anaknya jadi istri kedua," sambung Nuraini lagi. Ia memperhat
Bab 73Nuraini berjalan bersisihan dengan Janu menuju sawah. Jalan setapak yang mereka lewati sedikit menanjak, membuat Nuraini harus ekstra berpegangan pada suaminya yang selalu siaga. "Tiap hari jalan begini sendirian?" tanya Janu kaget. Bagaimana istrinya bisa melewati jalan ini seorang diri sedangkan sekarang saja ia harus ekstra berpegangan denganya. "Iyalah. Sama siapa lagi emang? Ibu juga sibuk di rumah. Kan aku niatnya mau jalan-jalan cari udara segar. Hari ini aja entah kenapa tiba-tiba badan jadi lemes padahal biasanya juga ngga apa-apa." Nuraini menjawab dengan acuh. Ia tetap berjalan sambil menggandeng suaminya. "Jangan-jangan anak kita tahu ada bapaknya di sini jadi dia mode manja," ucap Janu sambil menatap wajah istrinya penuh selidik. "Bisa jadi. Mas sih! Kemana aja kemarin!" sungut Nuraini pura-pura kesal. "Ya lagian siapa suruh sembunyi. Mas sudah datang ke sini, kenapa kamu ngga temui Mas aja. Malah nyuruh Ibu buat bohong!""Biarin! Kan aku mode kesel sama Mas!"







