Share

Bab 4

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2025-08-14 12:19:32

Bab 4

Safitri menatap wajah sang suami dengan tatapan memohon. "Untuk bilang pada Ibu bahwa aku tak punya rahim pun aku tak berani, Mas. Apa salahnya kita yakinkan dia agar mau menerima permintaan tolong kita? Dia yang merasa tak pantas memiliki pasangan pasti akan tahu rasanya jadi aku."

Safitri berusaha mengutarakan maksud ucapannya pada sang suami. Ia khawatir jika Janu tak setuju dengan usulannya. Lalu, pada siapa lagi ia berharap bantuan? Sementara hatinya sudah sangat ingin menimang dan mencurahkan kasih sayangnya pada sang buah hati.

"Tidak, Sayang. Kita bisa cari cara yang lain. Tidak dengan cara ini, apalagi perempuan itu. Kita ngga kenal siapa dia dan bagaimana keluarganya," sergah Janu tak setuju. Ah tidak, bukan tak setuju, ia hanya sedang menutupi gelisah dalam hatinya.

"Tapi, Mas-" Fitri menghentikan ucapannya saat Janu kembali beranjak, mengabaikan ucapan sang istri yang masih dirundung pilu.

Akhirnya, Safitri terpaksa mengikuti langkah sang suami menuju mobil mereka terparkir.

"Mas akan pikirkan cara yang lain, tidak perlu cara seperti yang kamu katakan itu!" ucap Janu tegas saat keduanya sudah duduk dalam mobil.

Safitri tak punya pilihan lain. Ia menghela napas dalam. Wajahnya menunduk, tak lagi bersemangat untuk mengatakan keinginannya setelah melihat respon sang suami yang tak sejalan.

Sepanjang perjalanan pulang, Janu hanya diam tak banyak bicara. Ia sibuk menenangkan pikirannya yang sedang berkecamuk. Bagaimana jika benar perempuan itu adalah korbannya beberapa tahun lalu? Bagaimana jika ia harus kembali melakukan hubungan suami istri seperti yang dilakukannya dulu, sementara hatinya penuh dengan rasa bersalah?

Semua keresahan itu bisa Janu atasi sendiri. Akan tetapi, bagaimana jika perempuan itu tahu siapa Janu sebenarnya dan berakhir murka? Lalu, setelah tahu reaksi perempuan itu bagaimana jika Fitri tahu masa lalunya yang kelam dan pergi meninggalkannya juga?

Usulan Safitri itu memperparah gejolak hati Janu yang makin membara. Berulang kali Janu harus menata napas agar hatinya tetap tenang, juga agar emosinya tak meledak-ledak yang bisa saja membuat istrinya makin sakit hati karena ucapannya.

"Tidak, tidak bisa," batin Janu.

Janu menggelengkan kepalanya pelan, menepis pikiran buruk yang sejatinya belum barang tentu terjadi. Dadanya berdegub kencang, rasa cemas pun tiba-tiba menyergap kewarasannya.

"Kamu kenapa, Mas? Dari tadi kuperhatikan kok kayak cemas gitu?" Fitri mulai bersuara setelah melihat ekpresi sang suami yang sepertinya tak biasa.

"Aku ikhlas kalau harus membagi tubuhmu dengan wanita lain demi bisa mendapatkan keturunan dari benihmu sendiri. Jangan terlalu berpikiran yang tidak-tidak," ucap Fitri berpikir bahwa penyebab berubahnya wajah sang suami karena permitaannya.

"Tidak. Aku tidak apa-apa. Kita bisa cari cara yang lain nanti. Kamu tenang saja. Setelah ini kamu Mas antar pulang ya? Mas mau ke showroom sebentar. Ada barang yang baru aja datang dan harus diperiksa." Janu berucap tanpa menoleh. Matanya fokus pada jalan raya yang lengang. Tangannya mencengkeram setir dengan eratnya.

Ucapan Janu itu terpaksa membuat Fitri diam, tak lagi melanjutkan rencananya. Ia pun terpaksa mengangguk sebab tak mau mengganggu suaminya yang tampaknya sedang tidak baik-baik saja.

"Setelah dari showroom langsung pulang kan? Mas makan malam di rumah kan?" tanya Fitri tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.

Janu mengangguk. Keduanya kembali diam setelah anggukan itu. Tak ada yang bicara. Sepasang suami istri itu sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga keduanya tiba di depan rumah.

"Mas hati-hati ya?" ucap Fitri sebelum turun. Ia meraih tangan sang suami untuk dicium takdzim.

Janu mengangguk lemah. Ia menatap wajah sang istri dengan tatapan penuh rasa bersalah.

Fitri melambaikan tangannya sebelum mobil itu berlalu. Rasa tak nyaman kembali hadir dalam hatinya saat melihat sosok yang baru saja keluar dari pintu rumah. Ragu, ia berjalan menuju pintu.

"Dari mana saja? Pulang dari mana-mana itu ya mbok bawa tentengan. Kayak ngga punya uang aja," sambut wanita paruh baya itu dengan tatapan sinis saat melihat sang menantu datang tanpa apapun di tangannya.

Fitri menunduk. Ia tak berani menatap wajah mertuanya. Akan tetapi, wanita paruh baya itu masih saja berdiri dengan tatapan lurus ke arahnya. "Mas Janu buru-buru, Bu. Ibu mau minta apa? Biar nanti dibawakan pas pulang."

"Ya ngapain tanya! Apa aja yang bisa dibawa pulang!" Ibu mertua Fitri itu mendengkus pelan, lalu memutar badannya dan kembali masuk ke dalam rumah. Tak peduli pada wajah sang menantu yang tampak tak nyaman.

Fitri memberenggut merasai sikap mertuanya yang makin hari makin menjengkelkan.

***

Saat dalam perjalanan pulang, hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya. Aini yang tak membawa mantel terpaksa berteduh di sebuah bengkel mobil yang sudah tutup. Di sebelah bengkel itu terdapat showroom yang pintunya masih terbuka separuh.

"Astaga pake lupa bawa mantel segala!" gerutu Aini sambil mengibaskan tangannya pada baju karena tetesan air hujan. "Jadi ngga bisa pulang kan!" sambungnya lagi.

Tak punya pilihan lain, Aini terpaksa duduk di atas jok motornya sambil menatap air hujan yang turun dengan derasnya.

Disaat bersamaan, ponselnya berdering. Sebuah notifikasi pesan muncul dalam layar yang menyala.

[Nduk, kamu di mana? Ini hujannya lebat banget. Petir juga. Kamu hati-hati, yo?]

Sebuah pesan yang selalu dikirim ibunya ketika Aini sedang tidak di rumah dan dalam keadaan hujan lebat. Kalimat terakhir itu selalu saja mengingatkannya akan malam menjijikkan yang selalu berusaha ia lupakan.

Lagi, bayangan kejadian malam itu kembali hadir. Saat itu, Aini yang sudah hancur dan remuk terpaksa pulang dalam kondisi hujan deras sebab takut jika keadaannya dilihat orang. Ia harus buru-buru sampai rumah agar tak ada yang tahu musibah yang menimpanya.

Nuraini mengabaikan rasa nyeri di tubuh, terlebih di hatinya. Rasa nyeri itu tak seberapa dibanding dengan rasa hancur dan tak berharga dalam hatinya. Dunia ini kejam padanya. Tapi ia bisa apa? Menolak? Sia-sia. Buang-buang waktu.

Aini memejamkan matanya, berusaha menghilangkan jejak masa lalu yang kerap datang dimoment yang sama. Ia mengatur napas, perlahan tapi pasti kondisi hatinya kembali membaik. "Aku sehat. Aku layak bahagia. Aku menerima semua ini dengan lapang dada. Aku ikhlas melepas masa lalu yang menyakitkan."

Ketika Aini memasukkan ponselnya ke dalam saku, sebuah lampu mobil terarah pada wajahnya. Mobil itu berhenti sejenak, lalu berbelok ke gedung besar di sebelah bengkel tempatnya berteduh.

"Apaan sih!" gerutu Aini yang matanya silau karena lampu mobil itu.

Sementara itu, pengemudi mobil itu terdiam di tempat duduk setelah mobilnya berhenti sempurna. Hatinya kembali berdebar saat melihat wajah yang sama dengan wajah yang menjadi triger pengingat masa lalunya yang kelam beberapa saat lalu.

Janu, meremas rambutnya keras. Ia tak lagi dapat menutupi gejolak hatinya yang sedang tak menentu. "Kenapa dia ada di sini!!" umpatnya kesal. Ia menyendiri untuk menenangkan diri tapi fakta di depannya malah membuat hatinya makin gelisah.

Berulang kali Janu mengatur napasnya. Ia harus bisa tenang demi bisa berpikir jernih.

Janu memejamkan matanya. Perlahan tapi pasti, gejolak hatinya mereda dan pikirannya menjadi tenang. "Aku harus membuktikan bahwa dia bukan perempuan itu!" gumam Janu mantap.

Janu berpikir sejenak untuk mencari cara agar bisa memastikan wajah itu bukan wajah wanita yang meronta di bawah kungkungannya beberapa tahun silam. "Ah ya!!" ucap Janu semangat setelah sebuah ide muncul.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 5

    Bab 5Janu mengambil satu botol air kemasan yang ada di showcase minuman. Kemudian ia berjalan keluar showroom menuju wanita yang sedang berteduh di bengkel miliknya. Ada beberapa karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka tapi Janu abai. Ia sibuk dengan apa yang ada dalam pikirannya.Hati Janu berdebar kencang ketika jarak semakin terpangkas. Entah mengapa respon badannya seperti itu, berbeda ketika ia berjumpa dengan wanita lain yang baru ia temui, baik customer showroom atau pelanggan bengkel. Ini membuat hati Janu makin penasaran dengan sosok tersebut.Langkah Janu meragu setelah melihat tubuh wanita yang sedang berjongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan di sudut bangunan. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan langkahnya. Ia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri dan melihat dari jarak dekat agar bisa memastikan."Mbak, permisi," ucap Janu sopan. Sekuat tenaga ia menutupi debar dalam dadanya yang saling berlompatan.Wanita itu membuka tangannya yang menu

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 4

    Bab 4Safitri menatap wajah sang suami dengan tatapan memohon. "Untuk bilang pada Ibu bahwa aku tak punya rahim pun aku tak berani, Mas. Apa salahnya kita yakinkan dia agar mau menerima permintaan tolong kita? Dia yang merasa tak pantas memiliki pasangan pasti akan tahu rasanya jadi aku."Safitri berusaha mengutarakan maksud ucapannya pada sang suami. Ia khawatir jika Janu tak setuju dengan usulannya. Lalu, pada siapa lagi ia berharap bantuan? Sementara hatinya sudah sangat ingin menimang dan mencurahkan kasih sayangnya pada sang buah hati."Tidak, Sayang. Kita bisa cari cara yang lain. Tidak dengan cara ini, apalagi perempuan itu. Kita ngga kenal siapa dia dan bagaimana keluarganya," sergah Janu tak setuju. Ah tidak, bukan tak setuju, ia hanya sedang menutupi gelisah dalam hatinya. "Tapi, Mas-" Fitri menghentikan ucapannya saat Janu kembali beranjak, mengabaikan ucapan sang istri yang masih dirundung pilu. Akhirnya, Safitri terpaksa mengikuti langkah sang suami menuju mobil mereka

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 3

    Bab 3Safitri menatap wajah di depannya dengan tatapan dalam, seakan memohon kerelaan hati Nuraini agar mau menuruti keinginannya."Traumamu masih bisa disembuhkan tapi rahimku tak mungkin kembali." Safitri terisak. Kepalanya menunduk merasai nyeri yang menghantam dadanya. Kenyataan itu, cukup mengguncang hati dan jiwanya.Juna sudah berusaha menguatkan Fitri, tapi mendengar omelan mertuanya tiap hari membuat hatinya terus saja merasa bersalah. Memangnya siapa yang mau rahimnya diangkat sementara ia baru saja menikah? Tidak ada."Aku turut prihatin Mbak," ucap Nuraini lirih. Tapi ... aku—" Ucapan Nuraini terhenti sebab suara yang terdengar"Sayang," panggil sebuah suara yang membuat dua wanita di depan sana menoleh bersamaan.Fitri mengusap wajahnya dengan cepat. Ia tak mau membuat sang suami cemas karena wajahnya basah oleh air mata. Sekuat tenaga Janu telah membuatnya bahagia, meskipun nyatanya usaha Janu itu tak sepenuhnya berhasil. Tangis itu masih ada. Suara-suara menyakitkan yan

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 2

    Bab 2"Sudah tiga tahun menikah, kamu ngga juga punya anak. Program juga ngga kunjung hamil. Terus diam saja begini? Kamu anak laki-laki satu-satunya, apa iya ngga ingin punya keturunan?""Ibu ini ngomong apa! Ya jelas kepengan lah. Tapi namanya belum dikasih ya mau gimana lagi?""Kalau diam aja ya gimana bisa cepet dikasih? Sudah periksa tapi ngga hasil, harusnya ganti metode yang lain. Jangan diam aja nunggu. Ibarat orang kalau ngga kerja ya gimana mau punya uang? Harusnya istrimu itu sadar diri, kalau ngga bisa kasih keturunan biar izinkan kamu nikah lagi! Biar ngga buang-buang waktu!""Ya masak Janu usaha harus bilang sama Ibu? Ibu cukup bantu doa aja, jangan banyak menuntut nanti yang ada Janu malah stres."Tak lagi menghiraukan ibunya, Januar masuk ke dalam kamar. Ia menghindari perdebatan yang mungkin saja bisa menjadi luka baru untuk sang istri. Jangankan istrinya, mendengar kalimat tadi sudah cukup menyayat hatinya sendiri.Namun, langkah Janu terhenti saat melihat sang istri

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 1

    Bab 1"Jangan bahas soal jodoh, Bu. Nur ini sudah kotor. Sudah bagus begini saja. Mana ada laki-laki yang mau sama wanita korban pemerkosaan? Ngga hamil aja udah untung." Perempuan berambut sebahu itu menghentikan suapannya. Ia berujar dengan dada yang penuh sesak.Air mulai mengalir menggenangi kelopak mata perempuan yang sedang duduk di meja makan itu. Bayang-bayang kejadian lima tahun lalu kembali terlintas dalam kepalanya. Wajahnya menunduk, membiarkan air itu berjatuhan. Nasi lauk sambal paru kesukaannya mendadak terasa hambar.Bayangan kejadian lima tahun lalu terus saja berputar dalam kepala Nuraini. Hamparan sawah yang membentang menjadi saksi kejadian mengerikan itu. Jerit suaranya memanggil siapapun yang lewat tapi tak ada yang datang menolong, hingga lelaki yang entah siapa itu dengan teganya merusak mahkota yang telah dijaga dengan baik oleh Nuraini.Jangan mengira kalau Nuraini berpakaian ketat, apalagi terbuka. Kesialan tak memandang itu. Pakaiannya tertutup, hanya saja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status