LOGINBab 6
"Jangan ambil sertifikat Ibu. Akan kuusahakan uangnya besok siang." Nuraini berucap tanpa berpikir dari mana ia bisa mendapatkan uang itu. "Kamu yakin? Uang dua ratus juta itu tak sedikit?" Herfi menyahut. "Dari pada kamu pusing, biar sertifikat rumah ini saja yang kubawa!" Herfi mendekati ibunya. Tangannya mendorong sang ibu agar masuk ke dalam kamar. "Sudah tahu tak sedikit kenapa kamu masih merepotkan Ibu, Mas? Kamu laki-laki. seharusnya membahagiakan bukannya malah menyusahkan Ibu!" bentak Nuraini kesal. "Jaga mulutmu, Nur! Tahu apa kamu tentang apa yang sudah kulakukan untuk keluarga ini?" sengit Herfi terpancing murka. "Aku memang tak tahu, tapi paling enggak aku tidak menyusahkan Ibu seperti dirimu! Aku pernah sakit mental tapi aku masih bisa menafkahi diriku sendiri, sedangkan kamu? Kamu sudah menikah, Mas!" "Kamu pikir siapa yang keluar biaya untuk membawamu pindah dari sini kalau bukan aku? Jangan sok kamu! Aku tahu batasan. Kalau aku ngga kepepet juga ngga akan pinjam sertifikat Ibu! Toh aku punya usaha, aku bisa membayarnya nanti!" Rahang Herfi mengeras. "Kalau usahamu jalan, kalau enggak? Istrimu aja hobi shopping!" sembur Nur keras. Ia tak gentar sedikit pun meskipun emosi kakaknya sudah diubun-ubun. "Diam kamu, Nur!" bentak Herfi keras. "Sudah! Cukup!!" teriak Bu Salamah. Ia tak mau mendengar anak-anaknya bertengkar. Dua anak Bu Salamah itu seketika terdiam. Mereka hanya menunduk, tak berani berdebat lagi. "Ibu sudah tua, jangan lagi betengkar macam anak kecil!" "Ya sudah, kalau gitu segera ambilkan, Bu. Nuraini masih sakit, ngga mungkin bisa dapatkan uang itu segera!" paksa Herfi pada ibunya. Ia merasa bahwa adiknya tak mungkin sanggup memberinya uang sebanyak itu. "Jangan menghina, Mas! Mentalku memang terluka, tapi aku masih normal! Aku masih waras!! Aku bisa cari uang sendiri!!" Nuraini tak terima. "Lalu usaha apa yang kamu bisa lakukan buat dapatkan uang itu? Kamu kerja aja enggak!" sergah Herfi tak percaya. Sebab yang ia lihat selama ini adiknya hanya berdiam diri di rumah saja. "Sudahlah, Bu! Ambilkan saja sertifikatnya!" ucap Herfi lagi. Tangannya mendorong badan sang ibu agar segera masuk ke dalam kamar. "Jangan, Bu! Jangan turuti! Akan kuusahakan uangnya besok!" sergah Nuraini lagi. Bu Salamah mengerutkan dahinya setelah mendengar ucapan Nuraini. Nuraini memejamkan matanya setelah mengucapkan kalimat itu. Ia menggigit bibir bawahnya dengan hati yang tak yakin akan ucapannya sendiri. "Nur, kamu dapat dari mana uang itu? Jangan asal berjanji kalau kamu tak bisa menepatinya," sergah sang ibu. "Ibu jangan pikirkan gimana caranya. Yang penting rumah ini tidak jatuh ke tangan rentenir, Bu." "Tapi, Nur, uang dua ratus juta itu banyak. Kamu perempuan, mana mampu cari uang segitu banyak dalam waktu singkat?" Tak peduli pada perdebatan ibu dan anak, Herfi kembali berucap. "Baiklah Nur. Aku akan kembali besok untuk mengambil uangnya. Tapi kalau kamu ngga bisa usahakan uangnya, sertifikat Ibu akan tetap kuambil," ucap Herfi sebelum pergi. Nuraini mengangguk sambil memejamkan matanya. Diam-diam hatinya bingung hendak kemana ia harus mencari uang sebanyak itu. Akan tetapi, wajah ibunya yang sedih itu menjadi cambuk semangatnya untuk terus berusaha. Entah usaha apa nanti. Di dalam kamarnya, Nuraini duduk di bibir ranjang. Kepalanya berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Penghasilannya sebagai penulis yang diam-diam ia tekuni belum sebanyak itu. Masih kurang banyak untuk mencapai nominal yang diminta kakaknya. Nuraini mendesah dalam. Sebegitu rumitnya hidup yang ia jalani. Harta peninggalan sang bapak tak mungkin dilepas begitu saja. Sekuat tenaga ia harus mempertahankan rumah ini dari tangan kakaknya. "Nur," panggil Bu Salamah. Ia berdiri di ambang pintu sambil membawa map berwarna biru. Nuraini mengangkat wajahnya. Ia menatap sumber suara dan dahinya seketika mengerut saat melihat apa yang ada di tangan sang ibu. Wanita paruh baya itu masuk dan menyerahkan map itu pada Nuraini. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau kamu ngga mampu biar Ibu berikan sertifikat ini pada masmu." Nuraini menghela napas dalam dan panjang. Sebagai anak tertua, Herfi kerap kali menyusahkan sang ibu. Tak hanya mesin obras yang pernah dijual, uang penghasilan menjahit pun kerap dimintanya. Bukannya membahagiakan, Herfi malah menyusahkan. "Bu, sudah berapa kali Ibu membantu Mas Herfi tapi dia selalu saja menyusahkan Ibu?" Bu Salamah duduk di samping Nuraini. Ia tak mampu menjawab. Sebelum menikah dulu, Herfi kerap memberinya uang. Sebagian besar penghasilannya diberikan pada sang ibu. Akan tetapi, keadaan berubah setelah ia memiliki istri dan membuka usaha sendiri. "Ada banyak hal yang kamu belum tahu, Nak. Sebagai wanita yang telah melahirkan mereka, tentu seorang ibu berkewajiban membantu anaknya ketika mereka mengalami masalah. Mas mu itu kepala keluarga, dia bertanggung jawab atas diri anak dan istrinya. Kalau bukan Ibu yang bantu, lantas siapa lagi?" "Tapi, Bu. Mas Herfi bisa cari cara yang lain tanpa harus meminjam sertifikat ini," ucap Nuraini sambil memegang ujung map yang ada pada tangan ibunya. "Kalau dia sudah berani datang, berarti dia sudah menemui jalan buntu. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Lantas kalau sudah begitu, siapa lagi yang akan bantu kalau bukan Ibu?" Bu Salamah menatap wajah anak gadisnya dengan tatapan nanar. Ada sebuah rasa yang sulit untuk dijelaskan pada Nuraini. Tangan Bu Salamah terulur mengusap pucuk kepala anak gadisnya. "Kamu belum jadi Ibu, belum tahu bagaimana rasanya jadi Ibu jika melihat anaknya kesusahan. Kelak kamu akan paham. Ibu tidak menolak niat baik kamu. Ibu beri kamu kesempatan untuk mencari uang yang dibutuhkan masmu, tapi kalau kamu tak mampu mendapatkannya maka kamu harus ikhlas kalau Ibu pinjamkan sertifikat ini pada masmu." Nuraini menatap wajah ibunya dengan tatapan tak percaya. Akan tetapi ia tak bisa berbuat apapun. Tanpa menunggu jawaban Nuraini, Bu Salamah pergi dari hadapan anak perempuannya sambil membawa map yang ada di tangannya. Selepas kepergian sang ibu, Nuraini bangkit dari duduknya. Ia membuka lemari dan meraih sebuah kotak yang ia sembunyikan di dalamnya. Tangan Nuraini membuka kotak itu dengan cekatan. Sebuah kalung, gelang serta beberapa cincin dengan model senada ada di dalamnya. Perhiasan yang ia kumpulkan dari saat ia kerja sampai saat ini yang sengaja ia simpan sebagai kenang-kenangan. Nuraini mengembuskan napas kasar. "Apa aku harus menjualmu?" Tangannya terangkat sambil membawa gelang dan beberapa cincin dalam genggaman. "Huftt!" Tak mau kehilangan kesempatan, Nuraini segera mengambil dompet kecil dan lekas memasukkan seluruh isi kotak itu ke dalamnya. "Semoga ini bisa membantu," gumamnya. Keesokan harinya, Nuraini pergi pagi sekali. Ia membawa dompet berisi perhiasan dan kartu ATM yang selama ini ia sembunyikan ke dalam dompet lain. "Tak harus dua ratus juta, yang penting di depan mata Mas Herfi ada uangnya," batin Nur. Setidaknya ia sudah berniat membantu. Saat Nuraini membuka pintu, betapa terkejutnya saat ia mendapati Riska ada di depan matanya. "Mbak? Ada apa pagi-pagi kemari?" Riska menatap Nuraini dengan tatapan nyalang. "Kamu yang tak mengizinkan suamiku pinjam sertifikat rumah Ibu? Kamu pikir kami tak mampu bayar?" sembur Riska tanpa tedeng aling-aling.Bab 78Janu mengendarai mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak bisa menerima semua ini. Pernikahan yang sedang diperjuangkan, rupanya diputuskan sepihak oleh wanita yang diharapkan menjadi teman setia. Kebahagiaan yang sudah dibayangkan akan bisa dilalui dengan mudah, rupanya tidak demikian dengan kenyataan yang ada. Berulang kali Janu memukul bundaran setir karena kesal. Ia butuh pelampiasan. Ia butuh bicara untuk mendapatkan pencerahan dari permasalahan yang sedang dihadapi. Namun, saat ini tak ada yang bisa diajak bicara. Janu hanya mampu diam sambil menikmati kesedihan yang sedang menderanya. Ponsel Janu tiba-tiba saja berbunyi. Ia meraih benda di atas dashboard itu sebelum menerima panggilan tersebut. "Assalamu'alaikum Mas," ucap sebuah suara di ujung sana. Janu mengurangi kecepatannya agar bisa berbicara dengan tenang. Ia lupa mengabari bahwa dirinya sedang pergi hari ini dan belum bisa menjemputnya. "Waalaikumsalam. Mas belum bisa jemput sekarang."Nuraini terdiam. Ad
Bab 77Janu melempar surat itu ke sembarang arah. Ia tak bisa menerima semua ini. Perpisahan bukan akhir dari tujuannya untuk mendapatkan keturunan. Bagaimana pun, hubungan mereka sudah terjalin cukup baik dan tak bisa berakhir begitu saja karena masalah ini. Tak bisa diam saja, Janu segera menghubungi kakak iparnya. Ia yakin, istri Herman itu pasti tahu sesuatu. "Mbak, apa yang terjadi dengan Fitri selama aku pergi mencari Nuraini? Dia tiba-tiba pergi, lalu sekarang surat cerai tiba-tiba datang ke rumah. Aku tak paham dengan semua ini, Mbak!" Janu mengomel tanpa jeda. "Maafkan aku, Nu. Aku hanya menuruti apa yang diminta oleh Ibu. Lagi pula, mungkin ini keputusan yang tepat sebab kasihan Fitri kalau terus ada di sini.""Apa maksudmu kasihan? Dia istriku, Mbak! Aku menyayanginya apapun keadaan dia!""Kamu sayang padanya, tapi Ibu? Apa kamu tahu apa yang diucapkan Ibu setelah tahu Nuraini hamil? Justru kalau kalian masih bersama, aku malah lebih kasihan dengan Fitri.""Apa yang Ibu
Bab 76Safitri menangis di bawah pohon. Hatinya sesak melihat laki-laki yang dicintainya terpaksa dilepas untuk dimiliki wanita lainnya. Kondisinya memang memiliki kekurangan tapi cintanya utuh. Bahkan laki-laki itu sudah menjadi sandaran hatinya selama ini. Bagaimana Fitri bisa dengan mudah melepasnya sementara ia sudah menggantungkan hidupnya pada lelaki yang bergelar suami? Fitri menghirup udara dalam-dalam. Ia berharap udara yang masuk itu bisa menghilangkan sesak yang masih saja membuat hidungnya sulit bernapas. "Ya Allah, aku ridho dengan ujian ini. Hamba ikhlas tapi tolong mudahkan segala prosesnya," ucap Fitri sambil meremas dadanya. Nyeri itu masih bertahan di sana. Perlahan, Fitri mengatur napasnya. Bertahan di tempat ini sepertinya bukan keputusan yang baik. Sewaktu-waktu Janu bisa saja kembali. Ia harus mencari tempat yang nyaman untuk tinggal hingga hatinya kuat untuk memutuskan semuanya. Terlebih menghadap suaminya kembali untuk mengurus proses perceraiannya. Fitri
Bab 75Assalamu'alaikum Mas. Bagaimana Nuraini? Sudah ketemu? Aku bantu banyak doa biar Nuraini cepat ditemukan. Saat kamu baca surat ini, mungkin aku sudah pergi. Aku bahagia akhirnya kamu bisa mendapatkan keturunan yang mungkin selama ini hanya mampu kamu pendam sendiri. Dalam lubuk hatimu yang paling dalam, aku tahu sebenarnya kamu menginginkannya, bukan? Hanya saja kamu menutupinya di depanku. Beruntung aku segera sadar dan memilih pergi sebelum semuanya terlambat. Selamat atas kehamilan Nuraini, wanita yang pernah kamu renggut kesuciannya. Selamat karena kamu telah berhasil menebus kesalahanmu padanya. Pasti nanti wajah anak kamu lebih mirip sama kamu. Karena selama ini kamu sedih banget saat Nuraini pergi. Kamu ngebatin ya, Mas? Kamu pasti rindu usap-usap perut istrimu itu. Andai kamu tahu, Mas. Aku pun ingin diusap perutnya saat hamil. Pasti aku merasa menjadi wanita yang sempurna. Pasti aku bahagia sekali. Tapi sayangnya, aku tidak akan mendapatkan kesempatan itu. Bisa h
Bab 74Dalam perjalanan menuju rumah Nuraini, Janu sedang menata hati. Ia menyiapkan banyak kata untuk berbicara kepada mertuanya secara langsung. Tak salah jika wanita yang sudah melahirkan Nuraini itu marah sebab Janu tak meminta izinnya saat akan menikah. "Kenapa diam aja, Mas?" tanya Nuraini cemas. Sepanjang perjalanan ia hanya memperhatikan wajah suaminya yang yang tampak tegang. Janu menoleh sambil mengulum senyum. Tangannya meraih tangan sang istri untuk digenggam erat. "Ngga apa-apa, Sayang. Mas hanya berusaha menata hati agar Ibu mau menerima kehadiranku yang sudah beristri ini.""Sudah selesai marahnya kemarin. Mungkin sekarang Ibu hanya butuh kejelasan soal status kita." Nuraini berucap tanpa ekspresi. "Itu yang Mas masih pikirkan.""Memangnya siapa yang akan Mas pilih?" tanya Nuraini sambil menatap wajah suaminya yang sedang fokus mengemudi. "Menurutku wajar kalau Ibu bilang begitu. Orang tua mana yang mau anaknya jadi istri kedua," sambung Nuraini lagi. Ia memperhat
Bab 73Nuraini berjalan bersisihan dengan Janu menuju sawah. Jalan setapak yang mereka lewati sedikit menanjak, membuat Nuraini harus ekstra berpegangan pada suaminya yang selalu siaga. "Tiap hari jalan begini sendirian?" tanya Janu kaget. Bagaimana istrinya bisa melewati jalan ini seorang diri sedangkan sekarang saja ia harus ekstra berpegangan denganya. "Iyalah. Sama siapa lagi emang? Ibu juga sibuk di rumah. Kan aku niatnya mau jalan-jalan cari udara segar. Hari ini aja entah kenapa tiba-tiba badan jadi lemes padahal biasanya juga ngga apa-apa." Nuraini menjawab dengan acuh. Ia tetap berjalan sambil menggandeng suaminya. "Jangan-jangan anak kita tahu ada bapaknya di sini jadi dia mode manja," ucap Janu sambil menatap wajah istrinya penuh selidik. "Bisa jadi. Mas sih! Kemana aja kemarin!" sungut Nuraini pura-pura kesal. "Ya lagian siapa suruh sembunyi. Mas sudah datang ke sini, kenapa kamu ngga temui Mas aja. Malah nyuruh Ibu buat bohong!""Biarin! Kan aku mode kesel sama Mas!"







