LOGINSetelah kehormatan Nuraini direnggut paksa, takdir mempertemukan mereka kembali dan mengharuskan mereka kembali saling berkaitan. Rasa trauma, benci dan rendah diri pada Nuraini menjadi kesempatan bagi Safitri untuk memaksanya meminjamkan rahim agar membuatnya mendapatkan kesempatan dipanggil sebagai ibu. Nuraini tak bisa menuruti permintaan Safitri tapi takdir buruk kembali berpihak padanya sehingga tak punya kesempatan untuk menolak. Januar, pelaku sekaligus suami yang baik bagi Safitri dihadapkan pada keadaan yang membuatnya tak bisa berkutik. Ia berada di posisi antara iba, trauma dan cinta.
View MoreBab 1
"Jangan bahas soal jodoh, Bu. Nur ini sudah kotor. Sudah bagus begini saja. Mana ada laki-laki yang mau sama wanita korban pemerkosaan? Ngga hamil aja udah untung." Perempuan berambut sebahu itu menghentikan suapannya. Ia berujar dengan dada yang penuh sesak. Air mulai mengalir menggenangi kelopak mata perempuan yang sedang duduk di meja makan itu. Bayang-bayang kejadian lima tahun lalu kembali terlintas dalam kepalanya. Wajahnya menunduk, membiarkan air itu berjatuhan. Nasi lauk sambal paru kesukaannya mendadak terasa hambar. Bayangan kejadian lima tahun lalu terus saja berputar dalam kepala Nuraini. Hamparan sawah yang membentang menjadi saksi kejadian mengerikan itu. Jerit suaranya memanggil siapapun yang lewat tapi tak ada yang datang menolong, hingga lelaki yang entah siapa itu dengan teganya merusak mahkota yang telah dijaga dengan baik oleh Nuraini. Jangan mengira kalau Nuraini berpakaian ketat, apalagi terbuka. Kesialan tak memandang itu. Pakaiannya tertutup, hanya saja rambut yang panjang lagi hitam legam serta poni lempar samping yang menghiasi wajahnya menjadi daya tarik tersendiri baginya. Wajah oval dengan bulu mata lentik menghiasi rautnya yang bersih membuat siapapun yang melihat pasti akan memujinya. Cantik. Kotor, rusak, tak punya masa depan, malu dan hal menyakitkan lainnya spontan terlintas dalam kepala Nuraini. Ia tak punya daya melawan lelaki yang ada di atasnya saat itu. Wanita yang baru saja pulang kerja itu hanya bisa pasrah pada Tuhan yang terasa tak adil padanya. Nuraini berusaha mengatur napasnya. Trauma itu tak bisa dibiarkan berlarut dalam hati. Dirinya berusaha menerima, mengikhlaskan takdir yang rasanya perih, sesuai dengan pesan psikolog yang ia hubungi secara online kala itu. Seharusnya Nuraini melapor setelah kejadian naas yang menimpanya. Tapi orang tuanya berpikir seribu kali. Jika dilaporkan, maka kabar itu akan menjadi konsumsi publik dan berimbas pada mental yang makin sulit untuk disembuhkan. Tentunya rasa malu yang akan ditanggung semakin besar jika banyak yang tahu. "Mau sampai kapan hidup sendiri? Masa lalu sudah jauh ke belakang, jangan lagi jadi penghalang kebahagiaan mu kedepannya. Kamu berhak bahagia, apapun keadaanmu. Suatu saat akan datang laki-laki yang mau menerima kamu apa adanya." Wanita tua itu berucap sambil menatap jarum ditangannya. Jemarinya dengan lihai memasukkan jarum ke dalam gabungan dua kain yang ada di tangan tanpa peduli bagaimana reaksi lawan bicaranya. "Kalau gitu doain aja, Bu." Nuraini menjawab setelah menghela napas panjang. Suara serak bekas tangisan tak membuat wanita yang melahirkannya itu menoleh sedikit saja. "Kalau soal doa kamu ngga usah khawatir. Setiap selesai sembahyang Ibu selalu doain kamu. Tapi ya entah gimana kok kamu masih ketiban sial aja," jawab Salamah, wanita yang telah melahirkan dan merawat Nuraini hingga kini. Nuraini tak lagi memperhatikan ibunya. Ia memilih bangkit dari duduknya, lalu pergi ke dapur membuang sisa makanan yang tak lagi berminat untuk dilahap. Tangis Nuraini kembali berderai setelah ia sampai kamar. Mulutnya ditutup dengan bantal, lalu berteriak sekencangnya. Hatinya perih, dadanya sakit, pikirannya kacau. Rasa itu yang selalu hadir saat ibunya membahas soal jodoh. Siapa yang mau menjadi korban pele cehan? Tak ada. Bahkan orang tak waras pun rasanya tak akan mau. Namun, jika Tuhan sudah menunjuk wajah, siapa yang bisa menolak? Demikian dengan Nuraini. Ia hanya bisa pasrah menerima takdir yang terpaksa ditelan dengan lembut. Setelah melepas bantalnya, Nuraini tak sengaja melihat sebuah foto yang menyembul dalam buku diary yang menjadi teman berkeluh kesah. Foto seorang lelaki yang bahkan hingga kini masih menjadi satu-satunya pemenang dalam hatinya. Namun, setelah kejadian malam itu, Nuraini memutus hubungan melalui pesan. [Maaf, Mas. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Sebaiknya kamu cari wanita yang lebih baik dari aku] Setelah pesan itu terkirim, Nuraini menghilang. Ia mengasingkan diri, berusaha mengubur semua masa lalu dan membuka lembaran baru di tempat yang baru. Dan sekarang ia terpaksa kembali karena kondisi ibunya yang makin rapuh. Foto itu kembali diletakkanya di tempat semula. Menatap wajah dalam foto itu hanya membuat hatinya kembali sakit. Cinta yang sedang tumbuh subur mendadak harus dimusnahkan tanpa sisa. Tanpa peduli pada pemilik hatinya yang sedang berbunga-bunga. Nuraini membuang napas kasar. Hidup ini, tak seindah dongeng dalam buku yang dulu kerap ia baca. Nyatanya, hidupnya bahkan jauh dari kata bahagia. Disaat teman sebayanya sudah bahagia dengan keluarga kecilnya, Nuraini masih saja sibuk dengan deritanya. Gunting di atas nakas menjadi tujuan Nuraini setelah bangkit dari duduknya. Ia mengarahkan gunting itu pada rambut yang mulai tumbuh panjang. Gadis yang sedang sibuk dengan traumanya itu meraih rambut yang sedang dikucir, lalu mengarahkan guntingnya ke sana. Tanpa pikir panjang, Nuraini memangkas habis rambutnya. Tak peduli pada model apalagi tren, sakit hatinya hanya bisa dilampiaskan pada bagian tubuh yang dulu selalu dielu-elukannya. "Habis saja, tak perlu panjang apalagi tampil cantik kalau hanya menjadi penyebab derita." Nuraini menatap pantulan wajahnya di cermin meja rias. Tatapannya tajam pada sosoknya yang ada dalam kaca di depannya. Jika saja bisa, ia ingin menghancurkan wajahnya itu. Setelah rambutnya terpangkas, Nuraini menghela napas panjang dan dalam. Lega? Mungkin. Bebannya terasa berkurang setelah melampiaskan amarahnya pada rambut yang kini selalu dipangkas pendek meskipun sebenarnya rambut itu akan lebih indah jika dibiarkan tumbuh. Nuraini menghindari tatapannya dari bayangan dirinya dalam cermin. Ia enggan mengaca, jika hanya luka yang tampak di wajahnya. Sebuah kerudung segitiga yang menggantung di atas stand hanger segera diraih oleh Nuraini dan dikenakannya dengan rapi, menutupi hiasan kepala yang dulu selalu dielu-elukan. "Mau kemana, Nur?" tanya ibunya saat melihat sang putri meraih kunci dengan pakaian panjang yang menutup seluruh badannya. "Mau cari jodoh yang menerima korban pemerkosaan!" jawab Nuraini asal. Ia melenggang begitu saja tanpa mempedulikan reaksi ibunya.Bab 56Safitri menatap wajah suaminya yang sedang terlelap dengan hati gundah. Laki-laki yang dijadikan sandaran dalam hidupnya, kini telah melukai hati dengan belati perselingkuhan. Perselingkuhan? Apalagi namanya kalau bukan selingkuh? Air mata Safitri mengalir deras. Ia tak bisa berpikir jernih malam ini. Hati yang porak-poranda, air mata yang tak bisa berhenti mengalir ditambah dengan fakta bahwa pernikahan itu terjadi atas dasar permintaannya sendiri. "Tega sekali kamu, Mas," lirih Safitri sambil terisak dalam diam. Ia menutup mulutnya dengan ujung selimut agar Janu tak mendengar isakannya. "Harus bagaimana aku setelah ini? Pada siapa aku bersandar?" gumam Safitri lagi. Kepala Fitri bersandar pada tumpukan bantal yang ditata tinggi. Matanya memejam, mencari solusi dari apa yang sedang menimpanya. Tiba-tiba, satu nama terlintas di pikirannya. Paling tidak, ia butuh teman bercerita sebelum mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Safitri pun meraih ponselnya. Jarum jam suda
Bab 55Janu terperanjat saat mendengar ucaapn istrinya. Seketika kepalanya berdenyut nyeri. Bagaimana bisa dia menolak sementara pernikahan sudah terjadi dan janin sudah terbentuk?"Mas, aku ngga mau dimadu. Sungguh." Lagi, Safitri mengulang kata-katanya. Janu mengangkat wajahnya, menatap wajah istrinya yang sedang dilanda emosi. "Sayang. Jangan seperti itu," sergah Janu lemah. "Aku ingin anak, Mas. Bukan madu!" sengit Fitri. "Lalu, kamu pikir bikin anak sama kayak bikin kue??! Apa jadinya anak kalau hadir tanpa perkawinan? Zina namanya!" sentak Janu. Entah dapat keberanian dari mana hingga ia bisa membentak wanita yang ia cintai. Fitri tak percaya dengan ucapan Janu. Bibirnya menganga dengan tatapan tak lepas dari wajah suaminya. "Jadi kamu setuju?" tanya Fitri lemah. Janu mengubah posisi duduknya. Ia turun dari atas ranjang dan berjongkok menghadap sang istri. "Mas terpaksa mengiyakan sebab Mas sendiri pun tak punya pilihan. Kamu memaksa, terlebih Ibu juga demikian.""Jadi ...
Bab 54Sepulang dari klinik, Janu lebih banyak diam. Ia fokus pada pikirannya dan jalanan yang sedang lengang. "Mas kenapa?" Nuraini merasa aneh. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya. "Ngga suka ya aku hamil?"Janu refleks menoleh. "Jangan ngawur! Mana ada punya anak ngga suka! Ya suka lah! Suka bange malah.""Terus kok diem aja?" Nuraini memaku pandangan pada wajah suaminya. "Mas lagi mikir.""Mikir apa?" tanya Nur cepat. "Kamu sedang hamil. Mas tak mungkin membiarkan kamu sendirian, meskipun nanti akan Mas carikan asisten rumah tangga. Rasanya tak nyaman kalau Mas sebagai suami tak ada di sisimu setiap waktu, takut kalau terjadi apa-apa sama kamu.""Lalu? Mas mau aku bagaimana? Aku pulang ke Ibu? Kita bilang sama Ibu, gitu?""Seharusnya begitu. Sebagai kehamilan yang pertama, biasanya anak akan lebih sering bertanya pada ibunya. Dan pasti Ibu akan ngasih perhatian penuh pada kamu. Tapi sayangnya, Mas belum memikirkan hal itu. Yang jadi beban pikiran adalah Mbakmu.""Kenapa, Mas
Bab 53Janu terdiam tak menjawab ucapan ibunya. Ia menatapnya dengan sorot mata kecewa. "Bu, meskipun tanpa rahim, Fitri perempuan yang baik. Dia selalu berusaha menjaga perasaan Ibu. Tak seharusnya Ibu berkata demikian," sergah Janu membela istrinya. "Justru kalau dia perempuan yang baik itu sadar diri dan sadar posisi. Dia harus merasa kalau dia tidak sempurna dan kamu butuh istri untuk menyempurnakan dirimu." Mata Bu Maryam menatap putranya tajam, seakan penuh penekanan. "Sudahlah, Bu. Jangan lagi bahas Fitri, apalagi soal rahimnya. Dia pun terluka dengan keadaan ini dan aku harus menjaga kondisinya agar tidak stres.""Alah, penyakitan gitu dipertahankan! Buat apa!""Memangnya siapa yang mau sakit? Fitri pun tidak!" sengit Janu. Ia hampir kehilangan kesabaran. Bu Maryam mencebikkan bibirnya. Ia sama sekali tak peduli dengan kondisi Fitri. "Jangan lagi menyudutkan Janu, Bu. Dia ada di posisi yang serba salah. Tak seharusnya Ibu menambah bebannya." Rina menyahuti. Ia merasa kasi
Bab 52Safitri mulai merasa ada yang aneh sebab sudah lebih dari satu bulan suaminya berangkat lebih pagi. Ia mulai bertanya-tanya perihal masalah ini. "Lagi ada proyek besar, Sayang. Doain lancar ya?" jawab Janu ketika Fitri mengungkapkan kegalauannya. Ia meraih pucuk kepala istrinya untuk dicium. "Firasatku mulai tak enak." Fitri kembali berucap. Matanya nanar menatap langit-langit kamar. "Prasangka itu biasanya karena kamu terlalu over thingking. Sibukkan diri, jangan memikirkan hal yang tak penting. Mas kerja, tidak ada selingkuh atau apapun yang terjadi." Lagi, Janu menenangkan hati istrinya. Fitri menatap suaminya. Ia memiringkan badannya dan mengganjal kepalanya dengan telapak tangan. "Beneran?" Tatapan Fitri lurus ke wajah suaminya. Janu tersenyum meyakinkan. Ia harus yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tangan Janu pun terulur merangkul pinggang istrinya. "Beneran, Sayang. Jangan berpikir yang bukan-bukan."Fitri mulai merasa tenang. Ia menenggelamkan kepalanya ke
Bab 51Mata Fitri menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Kursi dan meja yang ada di ruang tamu ini tampak seperti tak pernah tersentuh manusia. Lantainya pun demikian, terasa kotor di telapak kaki. "Kenapa, Sayang?" tanya Janu saat Fitri hanya diam saja dit tempatnya. "Mas ngga pernah pulang?" Fitri malah balik bertanya. "Kan Mas sudah bilang lebih sering ke tempat Mas Herman?" jawab Janu asal. "Apa iya, rumah dibiarkan seperti ini? Minimal di sapu kek!" omel Fitri lagi. Ia berjalan dengan berjinjit sebab kakinya terasa tak nyaman. "Kok nyapu, pulang aja cuma ambil baju." Janu menjawab sambil melenggang masuk ke dalam rumah. Fitri menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar jawaban suaminya. Memang berbeda kalau rumah tak pernah tersentuh perempuan, pasti ada aja yang kotor. Tak cukup sampai disitu, Fitri kembali berdecak kesal saat melihat dapurnya. Ada beberapa gelas kopi yang diletakkan begitu saja di atas wastafel tanpa dibuang ampas kopinya. Beberapa barang berserakan, me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments