Share

Terpaksa Menerima

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2024-10-09 13:39:52

Bab 4

"Astaghfirullah, sadar Sayang. Jangan punya pikiran seperti itu. Aku sayang dan cinta kamu itu tulus. Tak mungkin aku menodai cinta kita dengan hubungan haram itu."

"Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana, Mas. Bapak begitu, sekarang Laila juga begitu, sementara aku ngga mau pisah sama kamu." Kutatap wajah laki-laki yang menjadi pemilik hati. Tak bisa kubayangkan jika aku harus melihatnya duduk di pelaminan bersama perempuan lain.

"Sayang, kamu percaya takdir kan? Jika kita tidak ditakdirkan bersatu sekarang, mungkin suatu saat nanti kita bisa bersama. Biarkan cinta mencari jalannya sendiri untuk mempersatukan kita. Kamu percaya sama Mas kan? Meskipun Mas menikahi Laila, tapi cinta Mas hanya buat kamu."

"Mas yakin dengan jalan yang Mas ambil? Mas benar-benar akan menikahi Laila?" tanyaku dengan tatapan penuh buliran air.

"Yakin tak yakin, suka tak suka, mau tak mau Mas harus melakukannya sebab membayar hutang itu secara cash pun Mas tak mampu," balas Mas Fandy dengan tatapan dalam yang sarat akan sebuah rasa nelangsa.

Kuhela napas berat, sangat berat bahkan hampir sesak. Mas Fandy benar-benar akan menikahi Laila, lalu bagaimana denganku?

"Kita jalani takdir kita masing-masing, Sayang. Kamu percaya kekuatan doa, kan? Sambil jalani takdir, sambil kita berdoa agar suatu saat ada kesempatan untuk kita kembali bersatu," ujar Mas Fandy dengan tatapan hangat padaku.

Kuraih badan Mas Fandy yang tak terlalu besar itu untuk kudekap erat. Jika saja boleh, ingin kupeluk dan takkan kulepas lagi agar Mas Fandy tak pernah meninggalkanku.

Setibanya di rumah, Bapak menyambutku dengan dahi mengerut. Tatapannya penuh tanya saat aku baru saja masuk ke ruang tamu.

Namun, langkahku terhenti saat mataku tak sengaja melihat sesosok laki-laki yang sejak kemarin menjadi pembahasan Bapak dan Ibu.

"Dari mana kamu?" tanya Bapak tegas. "Jam segini baru pulang kerja?"

"Rani ada keperluan sebentar, Pak. Maaf tidak memberi kabar," jawabku takut-takut.

"Sini, salaman dulu sama Nak Lana. Dia datang kemari ingin mendengar jawaban dari kamu secara langsung."

Seketika pandanganku beralih pada sosok tampan yang sedang duduk di dekat Bapak. Ragu aku melangkah, sebab khawatir jika yang ingin didengar adalah kata "iya" sementara aku sedikitpun tak berniat untuk menjalin hubungan apapun dengannya.

"Iya, Dik Rani. Apa Dik Rani menerima lamaran saya? Kalau diterima juga saya ngga akan buru-buru menikah. Dijalani dulu sambil pendekatan," jawab Mas Lana seraya mengumbar senyumnya.

Tak dipungkiri wajah Mas Lana menang tampan, tapi kalau tak cinta juga buat apa. Lagi pula usia kami terpaut jauh, sepuluh tahun.

Bapak menepuk halus bagian kosong yang ada di sampingnya, seolah ia mengisyaratkan untuk aku duduk di sampingnya.

Tangan Mas Lana terulur di depanku saat aku sudah duduk sempurna. Seulas senyuman di wajahnya mengiringi tangan yang tergerak itu.

Terpaksa kusambut tangan Mas Lana dan hanya ujung jariku saja yang menempel dengan tangan kekarnya itu. Sedikit saja aku tak mau memberi harapan pada lelaki itu.

"Tapi kan tujuan Nak Lana mendekati Rani memang untuk menikah. Ya apa salahnya kalau hatinya ditata dulu untuk saling menerima sebagai pasangan suami istri. Bapak akan sangat senang sekali kalau kalian bisa cepat-cepat menikah, lebih cepat ya lebih baik biar Bapak tenang."

Ucapan Bapak menambah gejolak hati yang masih berkecamuk dalam dada. Cinta untuk Mas Fandy yang masih terlalu besar bercampur dengan rasa kehilangan membuatku tak lagi sanggup menahan lisan untuk tidak bersuara.

Namun, ucapan Mas Fandy saat dalam perjalanan tadi membuatku urung berujar.

"Sayang, Mas sungguh merasa bersalah pada Ibu dan Bapak. Aku pernah berjanji pada mereka akan segera datang melamarmu tapi kenyataannya sekarang aku ngga bisa berbuat apapun. Apa Mas boleh minta tolong padamu?" tanya Mas Fandy diiringi embusan angin yang menerpa wajahku.

"Apa, Mas?" balasku tak bersemangat.

"Terima apapun keputusan Bapak dan Ibu. Jangan buat mereka nunggu lagi sebab usia kamu memang sudah waktunya menikah. Disini Mas yang salah, Mas yang ngga bisa tepati janji sama mereka. Kalau Bapak minta kamu terima lamaran laki-laki itu, terima saja, demi aku." Mas Lana menghentikan laju motor kami. Ia memutar badannya menjadi berhadapan denganku.

Mata Mas Fandy tampak merah. Tersirat rasa sesal bercampur rasa bersalah dalam sorot matanya yang selalu menjadi candu bagiku.

"Aku tidak bisa, Mas," balasku dengan bahu bergetar karena tangis.

"Demi aku, terima saja. Mas akan sangat bahagia sekali kalau melihat kamu bersama laki-laki yang tepat."

"Aku ngga cinta dia, Mas!"

"Mas juga ngga cinta Laila, tapi terpaksa demi bakti Mas pada almarhum Ibu. Sebagai anak, kita masih harus berbakti pada mereka, kamu ngga mau jadi anak durhaka kan?" Mas Fandy menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

Kubalas tatapan laki-laki yang kucintai itu. Mata yang penuh luka, membuatku tak lagi sanggup berontak.

"Demi Mas. Demi cinta kita," lirih Mas Fandy dengan mata yang dipenuhi serpihan kaca.

Helaan napas panjang terembus dari bibirku. Sakit sekali di ulu hati.

"Baiklah," ucapku akhirnya.

Setelah mendengar jawabanku, Mas Fandy memelukku erat. Hangat badannya membuatku merasa nyaman. Seharusnya badan ini yang akan senantiasa menjadi penenang dikala sedih dan gelisah, sayangnya kami kalah dengan takdir.

"Nak," panggil Bapak yang seketika membuatku tersadar dari lamunan.

"Iya, Pak?"

"Itu Nak Lana tanya, apa kamu menerima lamarannya?" jawab Bapak mengulang ucapan lelaki di sampingku itu.

"Terserah Bapak saja. Rani manut sama Bapak," balasku sambil menahan sebak di dada.

"Alhamdulillah," ucap Mas Lana diiringi senyum yang terkembang di wajahnya.

"Jangan lama-lama kalau gitu. Bawa keluarga Nak Lana kemari, biar segera resmi melangkah ke jenjang yang lebih serius," sambung Bapak yang juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

Kutatap dua lelaki di depan dan sampingku ini, senyum penuh rasa bahagia terkembang di wajah mereka. Pada akhirnya, aku kalah dengan takdir yang tak berpihak padaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Melepasmu Pergi    Kita Pulang

    Bab 50PoV Maharani Lelaki itu mengikatku dengan tali, kencang sekali. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku segera berteriak agar siapapun yang diluaran sana mendengar suaraku."Tolong!" teriakku kencang."Hey! Diam kamu!" sengit lelaki itu sambil menatapku tajam.Tak kupedulikan tatapan lelaki itu. Aku kembali berteriak. "Tolong!" "Dasar kamu!" Lelaki itu kembali menatapku penuh emosi. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan tua ini dan kembali dengan membawa kain panjang dan diikatkan di mulutku. Aku tak lagi bisa berontak. Kedua tangan dan kakiku diikat. Entah apa yang akan dia lakukan padaku."Diam kamu kalau tidak mau aku bermain kasar denganmu!" sentak lelaki itu. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan ini.Aku hanya bisa menangis sambil berdoa dalam hati. Siapapun itu, diluaran sana, tolong aku. Aku takut di sini. Lelaki itu kembali setelah beberapa saat. Ia mendekatiku, lalu membuka ikatan tanganku tapi tetap memegangi pergelangan tanganku agar aku tak berontak."Jangan

  • Setelah Melepasmu Pergi    Jangan Ikut Campur!

    Bab 49PoV Maulana Mobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju jalan raya. Suara teriakan wanita di belakangku membuatku turut panik. Berbagai pikiran buruk terus saja muncul dalam pikiranku.Setibanya di klinik, seorang tenaga medis membantu menaikkan tubuh ibu muda itu ke atas brankar untuk dibawa ke ruangan IGD."Mas, makasih ya? Kalau ngga ada Mas saya ngga tahu lagi harus gimana. Saya ngga bisa bawa istri saya pakai motor sebab khawatir kalau dia kenapa-kenapa di jalan," ucap lelaki itu sambil berulang kali melihat brankar sang istri yang sudah didorong oleh petugas."Sama-sama, Pak. Semoga ibu dan bayinya sehat dan selamat. Saya permisi," ucapku sopan."Aamiin. Hati-hati di jalan, Mas," ucap bapak itu sambil menyelipkan amplop ke dalam tanganku saat aku berpamitan."Ngga usah, Pak. Saya senang bisa bantu Ibu. Ngga pakai ginian," ucapku seraya mengembalikan amplop itu ke dalam tangan pemiliknya."Mas beneran?" Binar di mata bapak muda itu bersinar sambil berkaca-kaca."Be

  • Setelah Melepasmu Pergi    Kamu Dimana, Mas?

    Bab 48PoV MaharaniMelihat Mas Lana ada di depan mata, rasanya aku tak percaya. Dia bisa sampai disini dan menemukanku untuk mengajaknya kembali.Sayangnya, aku masih kesal padanya sebab dia yang sudah tega menuduhku yang bukan-bukan. Harus kuberi pelajaran dulu agar dia tahu caranya menghargai pasangan.Berulang kali mendapatinya mengejarku membuatku merasa bahwa dia laki-laki yang memang bertanggung jawab. Hasutan Renata mampu membuat suamiku yang baik itu sampai tega melontarkan kata-kata yang menyakitkan padahal selama bersamaku, Mas Lana terbilang dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi.Tiga hari, adalah waktu yang kuperkirakan untuk membuat Mas Lana cukup menyesali perbuatannya. Setelah tiga hari, aku akan mulai menerima ajakannya bicara untuk memperbaiki semuanya.Mataku membelalak saat melihat Mas Fandy tiba-tiba saja ada di sini, di rumah Bulik yang jauh dari rumah kami di kota, di hadapanku dengan senyumnya yang masih sama seperti saat kita menjalin hubunga

  • Setelah Melepasmu Pergi    Rasa Bersalah

    Bab 47PoV Maulana Setelah beristirahat, badanku sedikit membaik. Perutku pun rasanya minta segera diisi. Sehari kemarin, Bulik yang memberiku makan maka sekarang, aku ingin membalas kebaikannya dengan membelikan makanan untuk seisi rumah.Ikan bakar beserta sambal dan lalapan sudah ada di tanganku. Aku ingat, di awal kehamilan Rani, ia sempat meminta dibelikan makanan ini. Kali ini aku ingin mengulang momen itu, dimana hubungan kami masih baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun."Repot-repot aja Nak Lana," ucap Bulik saat aku mengulurkan beberapa kotak berisi ikan padanya."Enggak, Bulik. Kemarin Bulik yang memberiku makan, maka sekarang izinkan Lana mentraktir kalian semua," balasku sambil mengulum senyum. Sayangnya, Rani sama sekali tak melirikku padahal ia sedang duduk di ruang tengah."Walah, rejeki ini namanya. Kebetulan aja Bulik baru mau masak buat makan malam. Sekarang ayo sini kumpul makan dulu," ajak Bulik."Pak, ayo makan dulu," teriak Bulik di ambang pintu dapur. E

  • Setelah Melepasmu Pergi    Mulai Goyah

    Bab 46Pov MaulanaMalam ini adalah malam pertama aku tidur di rumah ini. Panas sekali. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin kecil yang sudah usang. Dan itu pun tak bisa sesejuk kipas angin yang masih baru. Tak hanya itu, kipas angin itu berbunyi saat kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ah seharusnya ini kumatikan saja. Tanganku tergerak menekan tombol kipas itu. Dari pada berisik dan aku tak jadi tidur lebih baik tak usah kipas angin.Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rumah ini. Berat, tapi demi Rani aku harus rela menelan semua ini.Terpaksa kulepas bajuku agar aku bisa tidur malam ini. Badanku baru terasa sejuk saat aku hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan. Kulit punggungku menempel pada kain sprei yang meskipun warnanya sudah pudar, kain itu tetap terasa dingin.Keesokan harinya, badanku sakit semuanya. Kasurnya bukan dari springbed tapi dari kasur kapuk yang sepertinya sudah lama. Saat aku tidur tidak ada empukn

  • Setelah Melepasmu Pergi    Berjuang Untuk Rani

    Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem

  • Setelah Melepasmu Pergi    Merayu Rani

    Bab 44Sebuah rumah sederhana menjadi tempatku berhenti setelah berulang kali bertanya perihal alamat yang diberikan oleh Bapak. Rumah buliknya Rani, Bu Sulastri.Aku berjalan dengan langkah penuh keyakinan bahwa Rani ada di sini, di rumah ini dan aku bisa segera membawanya kembali ke rumah kami."Permisi, assalamualaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. Aku berdiri dengan harap-harap cemas.Dua kali ketukan tak kunjung ada seseorang dari dalam yang menjawab salamku. Akan tetapi, aku tetap sabar menunggu hingga sang pemilik mendengar salamku dan membukakan pintu.Benar saja, tak butuh waktu lama, seseorang membukakan pintu untukku."Waalaikum salam. Cari siapa ya, Nak?" jawab seseorang setelah pintu ruang tamu itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan ciput yang membungkus kepalanya. Gamis panjang melekat di tubuhnya yang tidak terlalu gemuk."Saya cari Rani. Apa dia ada di sini?" tanyaku tak sabaran."Rani?" jawab perempuan paruh baya yang sepertinya beliau ini yang bernama Bu

  • Setelah Melepasmu Pergi    Tangis Ibu Mertua

    Bab 43PoV Maulana Aku terkekeh mendengar permintaan Fandy. Permintaan macam apa itu? Dia sudah menikah, aku pun sudah menikah. Bagaimana bisa dia meminta Rani untuknya hanya karena setelah membantuku memberi informasi soal keluarganya."Jangan mimpi kamu! Rani sudah sah menjadi milikku dan aku ngga akan melepas dia begitu saja." Aku berucap dengan tegas sambil menatap wajah yang sedang merasa bangga di depanku itu.Fandy terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari hadapanku lalu kembali menatapku setelah beberapa saat."Baiklah. Aku tidak akan memberi tahu kamu soal dimana rumah saudara Rani. Silahkan kamu cari tahu sendiri soal ini ke orang tua Rani. Itu pun kalau mereka tidak murka padamu sebab sudah membuat anak mereka pergi dari sini!" Fandy terkekeh setelahnya.Ucapan Fandy itu sedikit membuat ketakutan dalam dadaku makin meningkat. Tapi, sebagai laki-laki aku harus menerima setiap konsekuensi dari apa yang sudah kulakukan pada Rani, sesuai dengan apa yang Mama ucapkan.

  • Setelah Melepasmu Pergi    Berani Bertanggung Jawab

    Bab 42PoV Maulana Aku menatap geram wajah Renata. Padahal kemarin aku sudah baik padanya, membantu mengatasi masalahnya tapi ini balasan dia padaku?Aku salah mengartikan kebaikannya selama ini. Kukira dia memang benar baik, nyatanya ada maksud yang tersembunyi dari semua kebaikannya padaku.Benar apa yang dilakukan Maharani dengan bersikap tegas pada Renata kemarin. Sekarang aku yang menjadi korban keegoisannya. Aku lupa melindungi keluargaku dari godaan perempuan seperti Renata padahal istriku sudah melakukannya lebih dulu.Aku merasa gagal sebagai suami."Aku minta maaf, Lan. Aku sungguh masih cinta kamu. Aku ingin kita balikan lagi kayak dulu. Aku ngga bisa lepasin kamu," rengek Renata setelah ia menjelaskan semuanya padaku. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dalam diri Renata setelah apa yang ia lakukan padaku. Ia masih berani mengajakku menjalin hubungan setelah rumah tanggaku porak-poranda karenanya.Benar memang Mbak Narti adalah orang suruhannya dan semua itu hasil rekayas

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status